Dari Jakarta dan Bekasi Dari Bogor, Puncak, Cianjur

Tabel 3. Sebaran penduduk Desa Buana Jaya berdasarkan mata pencaharian Jenis Usaha Jumlah orang Persentase PertanianKehutanan 812 77,78 Pertambangan dan Penggalian - - Industri 68 6,51 Konstruksi 22 2,11 Perdagangan dan Restoran 94 9,00 Angkutan 4 0,38 Jasa 36 3,45 Lainnya 8 0,77 Jumlah 1.044 100 Sumber : Profil Desa Buana Jaya 2011 HASIL DAN PEMBAHASAN Aspek Fisik-Biofisik Fisik 1. Topografi dan Kemiringan a. Kesesuaian untuk Pengembangan Wisata WWPR memiliki topografi yang bervariasi Gambar 8. Menurut Laurie 1984, topografi sangat berpengaruh dalam menentukan susunan rencana tapak dan harus peka dalam segala hal yang berhubungan dengan kondisi lahan yang ada. Elevasi tertinggi 360 m dpl berada di sebelah timur tapak yang berbatasan dengan petak 9 Perhutani. Elevasi terendah 230 m dpl berada di sebelah barat daya utara tapak yang berbatasan langsung dengan Desa Buana Jaya. Adapun data mengenai topografi dan kemiringan kawasan WWPR diperoleh dari Bappeda Kabupaten Bogor. Berdasarkan data tersebut dapat diketahui bahwa sebagian besar kawasan memiliki topografi berbukit dengan karakter kemiringan lahan yang bervariasi dari datar hingga curam yaitu antara 3-70. Menurut hasil olahan data yang mengacu pada Bappeda Kabupaten Bogor dengan menggunakan perangkat lunak ArcMap GIS 9.3 menunjukkan bahwa kawasan WWPR memiliki variasi kemiringan lahan yang beragam Tabel 4. Adapun peta topografi dan klasifikasi kemiringan lahan darat disajikan dalam bentuk spasial seperti pada Gambar 8 dan Gambar 9. Tabel 4. Persentase luas kemiringan lahan daratan Kemiringan Luas Lahan ha Presentase 0 - 8 9,87 19,56 8 - 15 26,81 53,09 15 - 25 8,32 16,48 25 - 40 3,87 7,68 40 1,61 3,19 Total keseluruhan 50,51 100 Jika dilihat dari tabel 4, area yang memiliki kemiringan 0-8 datar memiliki presentase luasan yakni 19,56 atau seluas 9,87ha dari total luasan lahan area daratan tapak penelitian yakni 50,51ha. Presentase terbesar adalah pada tingkat kemiringan 8-15 landai yakni seluas 26,81ha atau 53,09. Area dengan kemiringan di atas 40 sangat curam memiliki presentase terkecil yakni 3,19 atau seluas 1.61 ha. Perbedaan sudut lereng topografi mempengaruhi kemampuan lahan dalam menampung aktivitas dan fasilitas sedangkan adanya variasi topografi terbentuk lahan yang memberi ciri bagi tapak dan memberi efek visual. Kemiringan lahan yang berkisar 8-15 sebagian besar dimanfaatkan untuk pembangunan fasilitas berupa bangunan dan area pemanfaatan untuk aktivitas aktif, sedangkan pada tapak dengan kemiringan mencapai 15-25 sebagian besar dimanfaatkan untuk area wisata yang tidak terdapat aktivitas aktif. Pada bagian tapak dengan kemiringan 0-8 kemiringan lahan 25-45 dan 45 yang merupakan daerah curam tidak dimanfaatkan dan dikonservasi sebagaimana kondisi alaminya Pengembangan area luar outdoor space dapat dibedakan menjadi beberapa tingkat klasifikasi kesesuaian berdasarkan perbedaan kemiringan pada suatu tapak Hardjowigeno dan Widiatmaka 2007. Area dengan kemiringan antara 0-8 dinilai sebagai area yang datar dan sesuai untuk pengembangan area luar, dimana pada anal isis diberikan kategori ”sesuai” dengan skor 3. Area dengan kemiringan antara 8-15 dinilai sebagai area yang cukup sesuai untuk pengembangan area luar karena pada umumnya bentuk fisik dari wilayah ini adalah landai hingga berbukit, dimana pada analisis diberikan kategori ”sedang” dengan skor 2. Area dengan kemiringan di atas 15 dinilai kurang sesuai untuk pengembangan area luar karena tergolong curam dan berbahaya, dimana pada analisis diberikan kategori ”rendah” dengan skor 1 Tabel 5 . Adapun peta analisis kesesuaian kemiringan dapat dilihat pada Gambar 10. Tabel 5. Penilaian potensi kemiringan lahan Peubah Kategori Skor Kemiringan lahan 0 - 8 Area datar, sesuai dengan pengembangan area luar kegiatan wisata S1 8 - 15 Area landai sampai berbukit, cukup sesuai untuk pengembangan area luar kegiatan wisata S2 15 Area curam dan berbahaya, kurang sesuai untuk pengembangan area luar kegiatan wisata S3 Keterangan : Kelas S1= sesuai, S2=cukup sesuai, S3=kurang sesuai Sumber : Hardjowigeno dan Widiatmaka 2007; modifikasi Ga mbar 8. P eta topogr afi Ga mbar 9. P eta k emi ringa n laha n Ga mbar 10. P eta k ese sui an ke mi ringa n laha n untu k a kti vit as wisata

2. Karakteristik dan Jenis Tanah

Berdasarkan peta tanah Kabupaten Bogor yang bersumber dari BAPPEDA Kabupaten Bogor, kawasan WWPR memiliki jenis tanah hapludands dystrudepts yang masuk dalam ordo Inceptisol menurut sistem klasifikasi USDA Soil Taxonomy Gambar 11. Tanah inceptisol adalah tanah yang mempunyai sedikit horison atau horison yang tidak jelas. Inceptisol mempunyai karakteristik dari kombinasi sifat-sifat tersedianya air untuk tanaman lebih dari setengah tahun atau lebih dari 3 bulan berturut-turut dalam musim –musim kemarau Darmawijaya 1990. Jenis tanah Inceptisol tergolong tanah yang peka terhadap erosi karena struktur tanahnya blok, massif, granuler dengan tekstur liat, kisaran permeabilitas sangat lambat sampai sedang dan kedalaman solum sangat dalam. Pada kawasan WWPR, erosi yang terjadi terdapat di daerah sekitar tebing. Dari faktor penyebab erosi, besar sudut dan panjang lereng yang menyebabkan terjadinya erosi di daerah tersebut. Kondisi ini diupayakan dapat ditanggulangi dengan tetap mempertahankan kondisi alami dan penanaman vegetasi pada area yang cukup terbuka. Berdasarkan kriteria USDA, permukaan tanah dengan tekstur liat sesuai untuk aktivitas wisata. Kondisi ini ditunjang dengan drainase yang cepat sehingga tanah tidak mudah tergenang. Kondisi kedalaman muka air tanah yang tidak terlalu dalam mendukung aktivitas wisata. Hal ini didukung dengan dekatnya letak badan air yang dapat dimanfaatkan untuk aktivitas wisata. Sumber air tersebut dapat diambil dari air tanah atau dengan memanfaatkan badan air yang ada di beberapa lokasi kawasan WWPR.

3. Hidrologi

Badan-badan air yang ada pada tapak berupa tiga buah sungai yang mengalir dalam kawasan tersebut. Ketiga sungai tersebut yaitu sungai cibeet, sungai cinanggung, dan sungai cibogo. Sungai-sungai yang terdapat pada tapak merupakan sungai yang masih alami. Kondisi sungai sangat dipengaruhi oleh kondisi hulu dan kondisi lingkungan di bantarannya. Pada sungai cinanggung dan sungai cibogo, kondisi hulunya masih sangat terjaga karena merupakan kawasan yang masih alami. Kondisi air sungai yang ada termasuk air golongan A yaitu air yang dapat digunakan sebagai air baku untuk diolah menjadi air minum dan keperluan rumah tangga. Keadaan tersebut merupakan potensi yang ada dimanfaatkan untuk keperluan aktivitas wisata Gambar 12.

4. Penutupan Lahan

Kondisi WWPR yang berada di kawasan hutan pegunungan bawah didominasi oleh tegakan hutan pinus dan pohon-pohon hutan yang masih terjaga. Pengembangan kawasan WWPR untuk wisata alam, perlu dilakukan evaluasi terkait penutupan lahan untuk dapat mengetahui alokasi RTH yang dapat dipertahankan, dibangun, serta diketahui dimana seharusnya area terbangun dikembangkan. Penilaian ini berdasarkan RTH yang diklasifikasikan pada Tabel 6 dan Gambar 13. Tabel 6. Penilaian potensi penutupan lahan Keterangan : Kelas S1= sesuai, S2= cukup sesuai, S3=kurang sesuai Sumber : USDA 1968;modifikasi

5. Iklim

a. Curah Hujan

Curah hujan di WWPR berdasarkan data dari Stasiun Iklim Citeureup Tahun 2011 adalah sebesar 3000-3500 mmtahun. Curah hujan tertinggi terjadi pada bulan Oktober dengan rata-rata curah hujan 614 mm, sedangkan curah hujan terendah terjadi pada bulan Februari sebesar 203 mm. Tingginya curah hujan di tapak tidak mempengaruhi kondisi tanah. Air hujan secara cepat langsung dapat diserap oleh tanah yang memiliki daya serap yang baik. Hal ini juga didukung oleh kondisi vegetasi yang baik yang dapat menahan curah hujan. Kondisi yang perlu diperhatikan terjadi pada daerah yang tidak tertutup oleh vegetasi dan memiliki kemiringan lereng yang cukup tinggi. Pada daerah ini perlu dilakukan tindakan konservasi dengan tetap menjaga kondisi lahan dan vegetasi diatasnya. b. Suhu Berdasarkan pengamatan Stasiun Iklim Citeureup, suhu rata-rata di WWPR adalah 26.4 o C. Suhu maksimum di kawasan ini berkisar antara 28,3-32,1ºC, suhu minimumnya berkisar antara 23,9-25,1ºC. Karena lokasi WWPR yang berada pada daerah pegunungan dengan ketinggian yang berbeda-beda, maka suhu pada setiap lokasi juga berbeda. Grafik fluktuasi suhu di kawasan Wana Wisata Penangkaran ini dapat dilihat pada Gambar 14

c. Kelembaban Relatif RH

Menurut Laurie 1984, kelembaban udara yang ideal bagi kenyamanan manusia agar dapat melakukan aktivitasnya dengan baik adalah berkisar 40-75 . Kelembaban udara di WWPR berdasarkan pengamatan di lapang, kelembaban udara di sekitar WWPR sebesar 62,3 dan tergolong cukup ideal. Kelembaban udara di WWPR cukup ideal karena di sepanjang jalan dalam kawasan terdapat jalur hijau dan koridor vegetasi sehingga aliran udara yang lembab tidak terhambat mengalirkan dan mengurangi kelembaban udara yang tinggi. Peubah Kategori Nilai Skor Penutupan Lahan - Seluruh area tertutup RTH 3 S1 - Sebagian area tertutup RTH dan bangunan 2 S2 - Hampir seluruh area tertutup bangunan 1 S3 Ga mbar 11. P eta tan ah