Muhammad Imârah dalam bukunya ma’rakatul mushthalahat baina al-
gharbi wal Islami menyatakan bahwa term moderat dalam Islam tidaklah sama moderat dalam konsep barat. Jika dalam konsep barat, moderat diartikan sebagai
sebuah sikap diam dalam menghadapi problema serta persoalan-persoalan yang kompleks. Maka dalam konsep Islam, term moderat memiliki kandungan makna
yang sangat penting dan mulia, yang mencerminkan karakter dan jati diri Islam. Moderat dalam Islam dimaknai sebagai kebenaran di tengah-tengah dua kebathilan,
keadilan di tengah dua kedzholiman, dan dua ekstrimitas yang saling bertentangan, dan menolak eksageritas sikap berlebihan pada salah satu pihak yang pada
akhirnya menimbulkan keberpihakan pada salah satu dari dua kutub yang bertentangan. Imarah, 1998: 265-266
Selaras dengan Qardhawi dan Imarah, menurut Mahmud Yunus dalam bukunya Tafsir Q
ur’an Karim, wasat berarti pertengahan antara berlebih-lebihan dan ketaksiran kelalaian, seimbang antara urusan dunia dan akhirat. Yunus,
2004:29 Berdasarkan pendapat tokoh di atas, maka dapat disimpulkan bahwa Islam
moderat adalah Islam yang selalu menghindarkan perilaku atau pengungkapan yang ekstrem dan cenderung kepada jalan tengah.
2. Karakteristik Islam moderat
Islam adalah agama yang moderat dalam artian Islam tidak mengajarkan sikap esktrim dalam berbagai aspeknya. Umatnya disebut sebagai ummatan
wasatan, yaitu umat pertengahan,umat yang adil, tidak memihak ke kiri atau ke kanan. Karena itu, umat ini bisa berdiskusi dan berinteraksi dengan pihak mana
saja. Kemenag RI, 2012: 44
Adapun karakteristik Islam moderat menurut Kementerian Agama RI adalah:
1. Memahami realitas
Manusia adalah makhluk yang beraneka ragam baik suku, bangsa, ras, bahasa dan agama. Perbedaan yang ada membuat kita harus realistis dalam
menetapkan hajat hidup orang banyak. Berdasarkan hal inilah para ulama kemudian membagi ajaran Islam menjadi dua macam yaitu ajaran Islam yang
berisikan ketentuan-ketentuan yang tetap, dan hal-hal yang dimungkinkan untuk berubah sesuai dengan perubahan ruang dan waktu. Kemenag RI, 2012: 45
Sejarah mencatat bahwa sejak awal perkembangan Islam, banyak fatwa yang berbeda disebabkan oleh realitas kehidupan masyarakat yang berbeda.
Sebut saja khalifah Umar yang dalam memutuskan suatu perkara yang secara lahiriyah terkadang terlihat tidak sesuai dengan teks
Alqur’an maupun hadits hal ini disebabkan karena berdasarkan ijtihad beliau yang melihat sesuatu tidak
hanya pada dalil qathi akan tetapi melihat juga realitas yang ada. Kemenag RI, 2012: 45-46
Atas dasar realistislah, maka para tokoh pendiri bangsa akhirnya menerima keberadaan pancasila sebagai ideologi negara. Mereka menyadari
bahwa kurang realistis jika bangsa Indonesia memaksakan untuk menganut ideologi Islam karena negara Indonesia didirikan hasil dari perjuangan semua
rakyat Indonesia yang bersatu meraih kemerdekaan. Kemerdekaan Indonesia
adalah hasil perjuangan semua rakyat Indonesia bukan hanya umat Islam akan tetapi juga umat yang lain.
2. Memahami fiqh prioritas
Karakteristik kedua dari Islam moderat adalah prioritas dalam beramal. Setiap muslim harus mengetahui tingkatan prioritas amal karena dengan
mengetahui tingkatan prioritas amal maka seorang muslim akan dapat memilih mana amal yang paling penting di antara yang penting, yang utama diantara yang
biasa dan yang wajib diantara yang sunnah. Kemenag RI, 2012: 53
Sebagai contoh dalam hal ini adalah khilafiyah dalam masalah amalan- amalan ajaran agama. Khususnya yang berkaitan dengan masalah fikih.
Seringkali kita menemukan seseorang yang bersikap ekstrim dalam berpegang kepada salah satu mazhab fikih untuk amalan yang hukumnya sunnah sehingga
menyebabkan mereka tidak segan-segan menyalahkan hingga memusuhi pihak yang lain yang berbeda dengan mereka. Kalau orang tersebut memahami fikih
prioritas dengan baik maka hal tersebut tidak akan terjadi, karena mereka akan mengetahui bahwa menjaga persaudaraan itu hukumnya wajib sedangkan apa
yang mereka pertentangkan itu hukumnya adalah sunnah. Intinya, sikap moderat akan sulit terwujud manakala seseorang tidak memahami fikih prioritas dengan
baik. Kemenag RI, 2012: 55-56
3. Menghindari fanatisme berlebihan
Pada dasarnya semua umat beragama fanatik terhadap ajaran agama mereka. Namun bukan berarti sikap fanatisme tersebut membuat mereka
memperlakukan orang lain yang tidak seagama dengan perlakukan yang tidak baik. Fanatisme seperti inilah yang dilarang karena hal tersebut bukan tidak
mungkin akan memicu permusuhan hingga perkelahian diantara umat beragama. Untuk menghindari fanatisme yang berlebihan maka kerukunan hidup antar umat
beragama dalam masyarakat yang plural harus terus diperjuangkan dengan catatan tidak mengorbankan akidah. Kemenag RI, 2012: 57 Sebagaimana
firman Allah dalam Q.S Al-Kafirun: 5-6 yang
berbunyi:
Artinya: “Bagimu agamamu dan bagiku agamaku” Q.S Al-Kafirun: 5-6
Ungkapan ayat di atas mengandung makna pengakuan eksistensi secara timbal balik, sehingga masing-masing pihak dapat melaksanakan apa yang
dianggapnya benar dan baik, tanpa memutlakkan pendapat kepada orang lain sekaligus tanpa mengabaikan keyakinan masing-masing. Kemenag RI, 2012:
57
4. Mengedepankan prinsip kemudahan dalam beragama.
Islam adalah agama yang mudah, mencintai dan menganjurkan kemudahan. Sebagaimana firman Allah dalam Q.S Al-baqarah: 185 yang
berbunyi:
Artinya: “Beberapa hari yang ditentukan itu ialah bulan Ramadhan, bulan
yang di dalamnya diturunkan permulaan Al Quran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda antara
yang hak dan yang bathil. karena itu, Barangsiapa di antara kamu hadir di negeri tempat tinggalnya di bulan itu, Maka hendaklah ia berpuasa pada bulan
itu, dan Barangsiapa sakit atau dalam perjalanan lalu ia berbuka, Maka wajiblah baginya berpuasa, sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada
hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. dan hendaklah kamu mencukupkan
bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur.
” Q.S Al-baqarah: 185 Adapun contoh-contoh kemudahan yang diberikan Islam yaitu
bolehnya tidak berpuasa karena sakit, bolehnya menjamak sholat karena safar ataupun bolehnya tayammum sebagai ganti dari wudhu. Prinsip-prinsip di atas,
seharusnya cukup untuk menjadikan umat Islam menjadi umat yang moderat bukan umat yang radikal.
5. Memahami teks-teks keagamaan secara komprehensif
Ajaran Islam yang bersumber dari Alqur’an dan hadits akan dapat
dipahami dengan baik apabila dilakukan secara komprehensif dan tidak parsial. Ayat-ayat
Alqur’an dan hadits harus dipahami secara utuh karena antara ayat satu dengan yang lainnya saling terkait dan saling menafsirkan. Untuk memahami
ajaran Islam secara komprehensif, kita bisa menggunakan metode tematik, salah satu metode tafsir yang dinilai paling objektif dalam menjawab setiap persoalan
yang diarahkan kepadanya. Kemenag RI, 2012: 63
Umat Islam dianjurkan untuk memahami teks-teks keagamaan secara komprehensif, karena dengan memahami teks-teks agama secara komprehensif
maka mereka dapat melihat wajah Islam yang moderat. Sebaliknya apabila ayat Alqur’an seperti Q.S at-Taubah: 123 yang berbunyi:
k
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, perangilah orang-orang kafir yang di
sekitar kamu itu, dan hendaklah mereka menemui kekerasan daripadamu, dan ketahuilah, bahwasanya Allah bersama orang-orang yang bertaqwa.
” Q.S At- taubah: 123
Dipahami secara parsial maka akan menghasilkan kesimpulan yang keliru bahwa semua orang kafir harus diperangi.
6. Keterbukaan dalam menyikapi perbedaan intern dan antar umat beragama.
Islam yang moderat sangat terbuka dalam menyikapi setiap perbedaan baik inter maupun antar umat beragama. Prinsip ini didasari pada realitas bahwa
perbedaan pandangan dalam kehidupan manusia adalah sebuah keniscayaan. Kemenag RI, 2012: 65 Sebagaimana firman Allah dalam Q.S Yunus: 99 yang
berbunyi:
Artinya:
“dan jikalau Tuhanmu menghendaki, tentulah beriman semua orang yang di muka bumi seluruhnya. Maka apakah kamu hendak memaksa manusia
supaya mereka menjadi orang- orang yang beriman semuanya.” Q.S. Yunus:
99 Ayat di atas mengandung makna bahwa pada dasarnya Allah memiliki
kemampuan untuk membuat manusia beriman kepadanya namun dalam hal tersebut, Allah tidaklah memaksa akan tetapi Allah memberikan kebebasan
beriman dan tidak beriman kepada manusia. Dengan ayat di atas, semestinya menjadikan umat Islam untuk dapat selalu bersikap toleran dalam
mengeskpresikan sikap keberagamaanya, karena jika Allah saja tidak bersikap memaksa maka pantaskah kita hambanya tuk berlaku berlebihan. Kemenag RI,
2012: 63
7. Komitmen terhadap keadilan dan kebenaran.
Islam yang moderat memiliki komitmen untuk menegakkan kebenaran dan keadilan, bukan saja eksklusif untuk umat Islam akan tetapi bagi seluruh
umat manusia. Komitmen ini selaras dengan firman Allah dalam Q.S al-Maidah: 8 yang berbunyi:
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu Jadi orang-orang yang
selalu menegakkan kebenaran karena Allah, menjadi saksi dengan adil. dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu
untuk Berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. dan bertakwalah kepada Allah, Sesungguhnya Allah Maha mengetahui
apa yang kamu kerjakan.
” Q.S al-Maidah: 8 Berdasarkan ayat di atas maka dapat kita simpulkan bahwa keadilan
dimanapun dan kapanpun harus senantiasa ditegakkan. Setiap orang yang diberi kekuasaan harus senantiasa berlaku adil karena perintah menegakkan keadilan
dan larangan mengikuti hawa nafsu pada hakikatnya adalah upaya pemeliharaan martabat kemanusiaan agar tidak berbuat salah. Adapun sebuah kepemimpinan
bukan hanya sekedar hasil kesepakatan semata akan tetapi kepemimpinan adalah sebuah tanggung jawab dan komitmen untuk selalu menegakkan keadilan dan
kebenaran. Kemenag RI, 2012: 73-78
Sedangkan menurut Imarah, moderat memiliki karakteristik yaitu memadukan antara ruh dan jasad, dunia dan akhirat, agama dan negara, subjek
dan objek, individu dan masyarakat, pemikiran dan realitas, materi dan idealisme, yang riil dan ideal, tujuan dan cara, akal dan naql, lokal dan global, ijtihad dan
taklid, agama dan ilmu, yang umum dan khusus, dan seterusnya. Imarah, 1998: 265-266
C. ISLAM LIBERAL
1. Konsep Liberal
Defenisi liberal hingga saat ini sesungguhnya masih menjadi sebuah perdebatan. Terlebih lagi, ketika kata liberal dikaitkan dengan kata
“Islam”, dua entitas yang sesungguhnya bertentangan secara diametral. Frase “Islam liberal” tidak
hanya mengandung kontradiksi dalam peristilahan contradiction in terms tetapi juga absurd. Islam dalam makna generic-nya menuntut kepasrahan, yaitu sikap
pasrah seorang hamba kepada Allah dengan mengikuti seluruh perintah dan menjauhi larangan-
Nya. Sedangkan kata “liberal”, menunjuk pada kebebasan, lepas dari tuntutan atau perintah dan seterusnya. Oleh karena itu, hampir tidak mungkin
untuk mempertemukan dua entitas yang bertentangan ini Islam dan liberal menjadi sebuah istilah yang berdiri sendiri. Zuhdi, 2014: 178 Meskipun dua kata ini
bertentangan akan tetapi sekelompok orang seperti Charles Kruzman, Leonard Binder, Greg Barton, Luthfi As-Syaukanie, dan Ulil Abshar Abdalla tetap saja
menyandingkan dua kata ini menjadi sebuah peristilahan untuk menunjukkan diri, pikiran serta agenda-agendanya.
Menurut bahasa, term liberal berasal dari bahasa inggris yaitu dari kata liberal yang berarti bebas. Sedangkan menurut istilah liberal mengandung makna
berpandangan bebas, luas dan terbuka. KBBI, 1995:591. Dalam bahasa arab, term liberal dimaknai dengan hurriyah yang berarti kebebasankemerdekaan. Imarah,
1998: 141 Liberalisme menurut istilah berarti falsafah politik yang menekankan nilai -nilai kebebasan individu dan peran negara dalam melindungi hak-hak
warganya. Salim, 2013: 182
Kurzman menyebut Islam liberal sebagai sebuah gerakan keagamaan yang berusaha menghadirkan kembali kejayaan Islam masa lalu untuk kepentingan
modernitas, kemajuan ekonomi, demokrasi, hak-hak hukum dan sebagainya. Kruzman, 2001: xvii Sementara itu, Leonard Binder men-definisikan Islam liberal
sebagai “ for Islamic liberal the language of the Alquran is coordinate with the
essence of revelation, but the content and meaning of the revelation is not essentially verbal. Since the words of the Alquran do not exhaust the meaning of revelation,
there is a need for an effort beyond them, seeking that which is represented or revealed by language.” Binder: 2014: 178
Muhammad Imârah dalam bukunya mengulas term kebebasan hurriyah ini dari sudut pandang Islam dan barat. Dalam konsep Islam, kebebasan bertolak
belakang dengan yang teologi kebebasan yang dianut oleh filsuf barat. Islam tidak memandang iffah sebagai sebuah ikatan yang mengurangi kebebasan berbeda yang
dipahami oleh kalangan barat yang memandang bahwa sikap iffah sebagai penghambaan. Oleh karena itu, tidak heran jika barat mengusung slogan kebebasan
seksual. Imarah, 1998: 35
Menurut Setiawan, liberalisme adalah sebuah ajaran yang menekankan pada kebebasan manusia baik kebebasan beragama, berfikir, berpendapat,
berperilaku dan kebebasan-kebebasan lainnya. Setiawan, 2008: 19 Senada dengan Setiawan, menurut Luthfi Assyaukanie istilah Islam liberal mengandung dua makna.
Pertama: Pembebasan kaum muslim dari dari kolonialisme yang melanda dunia Islam saat ini. Kedua: Pembebasan kaum muslim dari cara-cara berpikir dan
berperilaku keberagamaan yang menghambat kemajuan. Assyaukanie, 2007: 61
Menurut Khalimi, Islam Liberal adalah suatu bentuk penafsiran tertentu atas Islam dengan landasan sebagai berikut:
1 Membuka pintu ijtihad pada semua dimensi Islam.
Islam liberal percaya bahwa ijtihad atau penalaran rasional atas teks-teks keislaman adalah prinsip utama yang memungkinkan Islam terus bisa bertahan
dalam segala cuaca. Penutupan pintu ijtihad, baik secara terbatas atau secara keseluruhan adalah ancaman atas Islam itu sendiri, sebab dengan demikian
Islam akan mengalami pembusukan. Islam liberal percaya bahwa ijtihad bisa diselenggarakan dalam semua segi, baik segi muamalat, ubudiyyah dan
ilahiyyat. Khalimi, 2010: 222
2 Mengutamakan semangat religio-etik, bukan makna literal-teks.
Ijtihad yang dikembangkan oleh Islam liberal adalah upaya menafsirkan Islam berdasarkan semangat religio-etik
qur’an dan sunnah nabi, bukan menafsirkan Islam semata-mata berdasarkan makna literal sebuah teks. Penafsiran yang
literal hanya akan melumpuhkan Islam. Dengan penafsiran yang berdasarkan semangat religio-etik, Islam akan hidup dan berkembang secara kreatif menjadi
bagian dari peradaban kemanusiaan universal. Khalimi, 2010: 223