Pangan Siap Saji Aturan Halal di Indonesia

A. INDONESIA

A.1. Legislasi Halal Di Indonesia aturan Halal ada dalam 1 Undang-Undang Pangan No 18 tahun 2012 tentang Pangan , 2 Undang-Undang No.18 tahun 1999 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan,3 Undang-Undang No.8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, 4 Peraturan Pemerintah No.69 tahun 1999 tentang Label dan Iklan Pangan, 5 Peraturan Pemerintah No.95 tahun 2012 tentang Kesehatan Masyarakat Veteriner, 6 Permentan No.50 tahun 2011 tentang Rekomendasi Persetujuan Pemasukan Karkas,Daging, Jeroan dan atau olahannya ke dalam Negara Republik Indonesia, 7 Permentan No.13 tahun 2010 tentang persyaratan RPH Ruminansia dan Unit Penanganan Daging, 8 Permenkes No. 924 tahun 1996 ketentuan teknis tentang pelaksanaan labelisasi dengan sertifikasi halal yang merupakan tindak lanjut terhadap Surat Keputusan SK bersama antara Menteri Kesehatan dan Menteri Agama No. 427MenkesSKBMII1985 tentang pencantuman Tulisan Halal pada Label Makanan, 9 Permentan No. 342006 tentang Persyaratan dan tata cara penetapan instansi karantina hewan, pasal 10, 10 Peraturan Kepala BPOM RI No. HK.03.1.123.12.11.105692011 tentang Pedoman Cara Ritel Pangan yang Baik, 11 Peraturan Kepala BPOM RI No. HK.03.1.23.06.10.5166 tentang Pencantuman Informasi asal bahan tertentu, kandungan alkohol, dan batas kadaluwarsa pada penandaanlabel obat, obat tradisional, suplemen makanan, dan pangan, 12 Keputusan Kepala Badan Karantina Pertanian No. 4362007, Tindakan karantina hewan terhadap susu dan produk olahannya. Pada regulasi tersebut diatas, aturan halal termuat secara eksplisit. Pada regulasi tersebut aturan halal masih bersifat sukarela di Indonesia. Sekalipun konsumen terbesar di Indonesia adalah konsumen muslim, tetapi hak terhadap ketersediaan pangan halal belum dapat terjamin secara utuh. Saat ini secara umum disepakati bahwa jaminan kehalalan produk yang beredar di Indonesia dengan adanya label halal pada kemasan. Keberadaan label halal bersifat legal ketika produk tersebut memiliki sertifikat halal yang dikeluarkan oleh Majelis Ulama Indonesia melalui proses audit yang dilakukan oleh LP POM MUI. Undang-Undang UU No.18 tahun 2012 tentang Pangan merupakan UU Pangan yang menggantikan UU Pangan No.7 tahun 1996. Dalam UU Pangan No.182012 definisi keamanan pangan telah mengakomodasi keamanan pangan dari sudut agama dan keyakinan. Pasal 1 ayat 5 mendefinisikan keamanan pangan sebagai berikut : Keamanan Pangan adalah kondisi dan upaya yang diperlukan untuk mencegah pangan dari kemungkinan cemaran biologis, kimia, dan benda lain yang dapat mengganggu, merugikan, dan membahayakan kesehatan manusia serta tidak bertentangan dengan agama, keyakinan, dan budaya masyarakat sehingga aman untuk dikonsumsi. UU Pangan No.182012 telah banyak mengakomodasi kepentingan umat Islam dalam hal berikut : 1. Impor Pangan. Pasal 37 menyatakan impor pangan yang dilakukan untuk memenuhi kebutuhan konsumsi dalam negeri wajib memenuhi persyaratan keamanan, mutu, gizi, dan tidak bertentangan dengan agama, keyakinan, dan budaya masyarakat . 2. Distribusi Pangan. Pasal 48 ayat b menyatakan pengelolaan sistem distribusi pangan yang dapat mempertahankan keamanan,mutu, gizi dan tidak bertentangan dengan agama dan keyakinan dan budaya masyarakat. 3. Penyelenggaraan Keamanan Pangan . Pasal 67 menyatakan bahwa keamanan pangan diselenggarakan untuk menjaga pangan tetap aman, higienis, bermutu, bergizi, dan tidak bertentangan dengan agama, keyakinan, dan budaya masyarakat. Selanjutnya pasal 69 menyatakan bahwa penyelenggaraan keamanan pangan dilakukan melalui g jaminan produk halal bagi yang dipersyaratkan.

4. Jaminan Produk Halal bagi yang dipersyaratkan.Pasal 95 1 Pemerintah

dan Pemerintah Daerah melakukan pengawasan terhadap penerapan sistem jaminan produk halal bagi yang dipersyaratkan terhadap pangan. 2 Penerapan sistem jaminan produk halal bagi yang dipersyaratkan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

5. Label dan Iklan Pangan. Pasal 101 ayat 1 menyatakan bahwa setiap

orang yang menyatakan dalam label bahwa pangan yang diperdagangkan adalah halal sesuai dengan yang dipersyaratkan bertanggung jawab atas kebenarannya. Pasal 105 ayat 1 setiap orang yang menyatakan dalam iklan bahwa pangan yang diperdagangkan adalah halal sesuai dengan yang dipersyaratkan wajib bertanggung jawab atas kebenarannya Pengaturan dan peredaran bahan pangan segar di Indonesia menjadi tanggungjawab Kementrian Pertanian Kementan. Untuk bahan pangan olahan pengaturan dan pengawasannya ada di Badan Pengawasan Pangan dan Obat BPOM. Untuk produk pangan PIRT Produk Industri Rumah Tangga dan Pangan siap saji menjadi tanggungjawab setiap kepala daerah Gubernur, Bupatiwalikota dan dinas terkait setempat. Pembagian tugas ini berdasarkan amanat PP No.28 tentang Keamanan Mutu dan Gizi Pangan. Namun pada Peraturan Pemerintah tersebut belum terakomodasi kepentingan konsumen muslim dalam hal keamanan bathin yaitu kehalalan.Hal ini disebabkan PP No.28 tersebut masih merupakan turunan dari UU Pangan No.71996 yang belum mengakomodir halal sebagai definisi keamanan pangan sebagaimana yang terdapat pada UU No.18 2012. A.2. Manajemen Pengawasan Dengan berlakunya UU Pangan No.18 tahun 2012, aturan halal sudah menjadi bagian dari definisi keamanan pangan. Artinya aturan halal sama posisinya dengan makna keamanan pangan dalam arti bebas dari bahaya fisik, kimia dan mikrobiologis. Di Indonesia pengawasan kehalalan produk pangan olahan menjadi otoritas dari Badan Pengawas Makanan dan Obat BPOM dan untuk produk pangan segar menjadi otoritas Kementrian Pertanian. Untuk pengawasan produk berlabel halal menjadi bagian dari kegiatan di BPOM, karena izin pencantuman label halal