Effective Environment Sumber-sumber Agraria yang Terakses

dengan ukuran lebih dari 1 cm, sedangkan yang masih kecil harus dibiarkan tumbuh besar terlebih dahulu. Ukuran persis dari kerang darah dewasa diketahui dari pengetahuan modern, yang saat ini diserap oleh Suku Duano sebagai bagian dari pengaturan pemanfaatan kerang darah. Distribusi yang sebelumnya bersifat merata pada semua anggota batin, diatur, dan diawasi sepenuhnya oleh ketua batin, bergeser menjadi distribusi yang mengikuti mekanisme pasar. Kerang darah yang diproduksi nelayan penongkah didistribusikan tidak hanya untuk anggota komunitas, tetapi juga diluar komunitas. Kerang darah yang didistribusikan ke luar anggota komunitas, dikembalikan kepada anggota komunitas dalam bentuk uang melalui mekanisme jual beli. Proporsi kekuasaan dalam proses pengaturan dan pengawasan proses distribusi, lebih besar berada di pihak-pihak yang melakukan pemasaran. Proporsi kekuasaan dalam proses distribusi pihak yang melakukan produksi jauh lebih kecil. Konsumsi rumah tangga yang sebelumnya relatif seragam dan merata dalam satu batin, dan bersumber dari hasil produksi bersama, menjadi bervariasi pada setiap rumah tangga. Barang-barang konsumsi sebagian besar tidak lagi dari hasil produksi sendiri, tetapi dibeli dipasar. Rumah tangga yang mampu memproduksi lebih banyak akan dapat lebih leluasa mengatur besaran dan jenis konsumsi mereka, dibanding rumah tangga yang menghasilkan lebih sedikit. Perbedaan ini menyebabkan adanya perbedaan tingkat saving pada anggota masyarakat. Pemenuhan kebutuhan untuk konsumsi pada masa paceklik, disiasati melalui mekanisme pinjam-meminjam dan utang-piutang. Mekanisme ini menjadi salah satu bentuk social security mechanism yang tumbuh dan berkembang dalam budaya bernafkah yang baru. Mekanisme pinjam-meminjam dan utang-piutang dapat berlangsung karena adanya perbedaan saving dalam anggota masyarakat. Aspek-aspek Demografi Penyesuaian yang harus dilakukan oleh Suku Duano pada aspek-aspek demografi sebagai konsekuensi dari pergeseran budaya bernafkah adalah perkawinan eksogami, pertumbuhan penduduk yang lebih besar, dan pembagian kerja laki-laki dan perempuan yang semakin tegas. Suku Duano sebagai suku pengembara laut membutuhkan pasangan hidup yang sama-sama mampu bertahan dalam kerasnya kehidupan di laut, sehingga cara terbaik memilih pasangan adalah dari sesama suku. Pergeseran budaya bernafkah Suku Duano dari masyarakat pengembara laut yang berburu ikan-ikan ruaya, kepada masyarakat nelayan menetap yang menangkapmengumpulkan sumberdaya perikanan non ruaya, memberi ruang pada perkawinan antar suku. Budaya bernafkah Suku Duano yang baru tidak lagi menjadi pembatas untuk memilih pasangan hidup dari luar suku. Meskipun perkawinan endogami tetap menjadi pilihan utama Suku Duano dalam memilih pasangan hidup, tidak ada larangan atau hukuman bagi mereka yang melakukan perkawinan antar suku. Pengaturan pada aspek demografi yang juga mengalami perubahan mencolok adalah migrasi. Migrasi temporer yang dilakukan sepanjang tahun untuk mengikuti gerombolan ikan yang diburu, tidak lagi dilakukan pada budaya bernafkah baru yang sedang bertumbuh. Pengaturan pengembaraan yang dilakukan oleh ketua batin, merupakan hal pokok di dalam budaya bernafkah Suku Duano sebelum mereka hidup menetap. Pengaturan migrasi yang dikaitkan dengan proses produksi tidak lagi menjadi bagian dari budaya bernafkah yang baru. Migrasi dilakukan untuk tujuan-tujuan non produksi, seperti menempuh pendidikan ke kota, dan mengunjungi sanak keluarga di desa lain. Migrasi yang sebelumnya dilakukan oleh sekelompok rumah tangga dalam satu batin, berubah menjadi migrasi yang dilakukan oleh perorangan atau rumah tangga. Ruang yang terbatas di dalam rumah perahu, mengharuskan Suku Duano untuk melakukan pembatasan penambahan populasi. Pilihan tersebut harus dilakukan, meskipun ketersediaan pangan di alam masih sangat mendukung bagi penambahan populasi. Ketersediaan ruang yang lebih besar untuk peningkatan jumlah populasi Suku Duano pada budaya bernafkah yang baru, menyebabkan perubahan pada pengaturan fertilitas. Fertilitas tidak lagi diupayakan seimbang dengan mortalitas. Kecenderungan yang terjadi adalah peningkatan fertilitas dan penurunan mortalitas. Suku Duano sebagai pengembara laut melakukan pengaturan pembagian kerja yang tidak terlalu tegas antara laki-laki dan perempuan. Keduanya dituntut untuk mampu melakukan kegiatan produksi, meskipun proporsi tugas lelaki dewasa lebih besar. Proses produksi dilakukan bersama-sama oleh semua anggota batin. Pengaturan pembagian kerja tersebut mengalami pergeseran pada budaya bernafkah Suku Duano yang baru, kegiatan produksi lebih ditumpukan pada laki- laki dewasa, sedangkan perempuan dewasa dan anak-anak hanya bersifat membantu. 5.3. Analisis Ekonomi-Politik: Pengaruh Perubahan Struktur Agraria Terhadap Budaya Bernafkah Suku Duano

5.3.1. Pengaruh Kekuatan Negara: Berada Dilingkar Kekuasaan atau Terpinggirkan

Relasi antara negara dan Suku Duano sesungguhnya telah berlangsung sejak lama sebagaimana yang telah diutarakan pada sub bab 4.1 dan sub bab 5.1.1, yaitu pada masa Kerajaan Johor-Malaka, masa Kerajaan Siak-Indragiri, masa Pemerintahan Indonesia. Jika dibandingkan antara 3 masa pemerintahan tersebut terdapat perbedaan struktur agraria yang ikut mempengaruhi budaya bernafkah Suku Duano. Relasi antara negara dan Suku Duano pada masa Kerajaan Johor-Malaka dan Kerajaan Siak-Indragiri sangat kuat, jika dibandingkan pada masa pemerintahan NKRI. Hal tersebut diindikasikan dari posisi Suku Duano yang lebih penting pada masa kerajaan, mereka diposisikan sebagai pasukan pengawal perairan kerajaan, dibanding pada masa pemerintahan NKRI dimana mereka diposisikan sebagai komunitas terbelakangterpencil. Bahkan pada masa Kerajaan Siak, Suku Duano adalah pendukung setia kerajaan dalam melakukan perlawanan terhadap Kerajaan Johor. Sebagai pasukan pengawal perairan, Suku Duano memiliki akses yang besar terhadap sumberdaya perikanan pada wilayah perairan yang mereka kawal. Alasan pemilihan Suku Duano sebagai pengawal perairan, karena mereka dipandang sebagai pelaut yang handal yang menguasai seluk beluk perairan di Selat Malaka. Relasi tersebut memperkuat budaya bernafkah Suku Duano dengan basis sumberdaya perikanan. Akses Suku Duano bahkan lebih besar dari pihak swasta. Suku Duano atau pada masa itu lebih dikenal dengan Suku Laut sekaligus merupakan perpanjangan tangan negara dalam memungut pajak terhadap pedagang yang melintasi wilayah perairan kerajaan. Relasi yang kuat antara negara dan Suku Duano pada masa Kerajaan Siak- Indragiri, memiliki implikasi pula terhadap akses mereka pada sumberdaya perikanan di Selat Malaka. Kekalahan Raja Kecil dari Siak yang didukung oleh Suku Duano, memaksa Suku Duano untuk menyingkir ke wilayah perairan di sekitar pulau-pulau terpencil. Kondisi tersebut telah menggeser sumber-sumber penghidupan Suku Duano kepada sumberdaya perikanan di perairan dangkal. Akses Suku Duano yang pada awalnya mencakupi hampir seluas perairan Selat Malaka, menyempit ke wilayah perairan dangkal di sekitar Muara Indaragiri dan Muara Siak. Suku Duano yang berada di sekitar Muara Indragiri yang masih hidup di rumah perahu pada awal kemerdekaan Indonesia, kehilangan posisi pentingnya di mata negara. Meskipun sebagai negara maritim, orientasi dan prioritas yang diberikan oleh negara pada masa pemerintahan orde lama dan orde baru jauh lebih dominan pada aspek kehidupan di daratan. Posisi Suku Laut yang dipandang penting oleh Kerajaan Johor-Malaka dan Kerajaan Siak-Indragiri, dipandang berbeda oleh pemerintah NKRI. Suku-suku pengembara laut yang ada di nusantara diupayakan untuk ditarik mendekat ke pusat-pusat pemerintahan daratan. Hal tersebut mengindikasikan adanya upaya negara untuk menanamkan budaya bernafkah yang lebih berorientasi sumberdaya alam yang terdapat di daratan. Suku Duano yang memiliki relasi kuat dengan kerajaan pada masa pra kemerdekaan, justru diposisikan sebagai masyarakat terbelakang di era pemerintahan NKRI. Suku-suku yang berada jauh dari lingkar kekuasaan dan pemerintahan, seperti di pedalaman hutan, dataran tinggi, pulau-pulau terpencil, dan perairan laut dan sungai dalam pendangan pemerintah perlu ditata kembali. Proses penataan yang dilakukan negara tersebut diistilahkan oleh Li 2002 sebagai teritorialisasi dan pembangunan. Sebagai negara kesatuan yang baru memproklamirkan kemerdekaannya, proses penataan pada masyarakat adat yang terpencar di wilayah nusantara yang cukup luas, telah dimulai pada masa pemerintahan Presiden Soekarno. Payung hukum penataan masyarakat adat di Indonesia yang paling awal adalah Undang- undang Pokok Agraria No. 5 1960 UUPA 1960. Semangat nasionalisme yang harus ditanamkan kuat pada negara yang baru merdeka, menjadi salah satu latar belakang kelahiran UUPA 1960. UUPA 1960 menolak pluralisme hukum tanah masa kolonial, karena bertentangan dengan kepentingan-kepentingan rakyat dan negara dalam melaksanakan pembangunan, dan begitupun hukum agraria masa kolonial tidak menjamin kepastian hukum masyarakat asli. Proses penataan yang dilakukan pemerintah Indonesia terlihat dalam UUPA 1960 dan secara khusus dijelaskan pada bagian penjelasan umum, kutipan penjelasan umum UUPA tersebut adalah sebagai berikut: “Di dalam Negara Republik Indonesia, yang susunan kehidupan rakyatnya, termasuk perekonomiannya, terutama masih bercorak agraria, bumi, air dan ruang angkasa, sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa mempunyai fungsi yang amat penting untuk membangun masyarakat yang adil dan makmur sebagai yang kita cita-citakan. Dalam pada itu hukum agraria yang berlaku sekarang ini, yang merupakan salah satu alat yang penting untuk membangun masyarakat yang adil dan makmur tersebut, ternyata bahkan sebaliknya, dalam banyak hal justru merupakan penghambat daripada tercapainya cita-cita diatas”. UUPA 1960 berimplikasi pada penghapusan hak-hak asing dan konsesi- konsesi kolonial atas tanah, serta pengakhiran penghisapan feodal secara berangsur-angsur tercermin di dalam pasal 5, pasal 21 ayat 3 dan 4. Upaya- upaya yang diambil pemerintah dibawah Presiden Soekarno sebagai bagian dari proses lahirnya UUPA 1960 adalah menjalankan kebijakan penghapusan desa- desa perdikan pada tahun 1946, penghapusan tanah-tanah partikelir pada tahun 1958, dan mencanangkan land reform pada tahun 1959. Amanat untuk melaksanakan land reform dari UUPA 1960 ditindaklanjuti melalui penerbitan UU No.56 Prp Tahun 1960 tentang penetapan luas tanah pertanian yang berlaku mulai tanggal 1 Januari 1961, bersamaan dengan perintah dari Presiden Soekarno untuk segera melaksanakan peraturan land reform. Pemerintah menerbitkan pula Peraturan Pemerintah No. 224 Tahun 1961 tentang pelaksanaan pembagian tanah dan pemberian ganti kerugian BPN RI, 2007. Penataan masyarakat adat yang hidup di rumah-rumah perahu, mengembara dan berpindah-pindah dari satu lokasi perairan laut atau sungai ke lokasi perairan lain, baru terlihat pada masa pemerintahan Presiden Soeharto. Setelah tahun 1965 orde baru, seiring dengan terjadinya perubahan konstelasi politik Indonesia, land reform menjadi hal yang tabu dan di cap sebagai bagian dari ideologi kiri. Land reform yang diamanatkan di dalam UUPA 1960 berubah menjadi program- program redistribusi lahan yang dikuasai negara, antara lain transmigrasiresettlement, perkebunan inti rakyat PIR, PIR-Trans, dsb. Redistribusi lahan atau dalam konsep reforma agraria dikenal dengan land settlement, di Indonesia dapat dibedakan menjadi dua bentuk: pertama, program yang ditujukan untuk memindahkan penduduk dari wilayah dengan kepadatan tinggi Jawa ke wilayah yang masih jarang luar Jawa dikenal dengan program transmigrasi; kedua, program yang ditujukan untuk memukimkan kembali masyarakat yang bermukim atau mengembara jauh dari pusat-pusat pembangunan terbelakang, terpencil dikenal dengan program pemukiman kembali masyarakat terasing PKMT atau resettlement masyarakat adat. Suku Duano yang masih hidup di rumah perahu menjadi bagian dari PKMT, mereka dimukimkan ulang di desa-desa pingiran pantai dan sungai. Bukti bahwa masyarakat Suku Duano pernah hidup dan beranak-pinak di rumah perahu, sebagaimana pengakuan sesepuh Suku Duano yaitu Pak Rbn dan Pak SF bahwa pada tahun 1950-an masih terdapat Suku Duano yang hidup di rumah perahu. Suasana hidup di rumah perahu, sesungguhnya sangat jauh berbeda dengan suasana rumah panggung yang di tempati Suku Duano saat ini. Hidup di rumah perahu yang serba berjongkok, pergerakan yang terbatas, serta hampir semua aktivitas biologis dan sosial dilakukan di ruang yang sama, dimaknai oleh pemerintah sebagai bentuk keterbelakangan Suku Duano. Keyakinan tersebut melahirkan beberapa program lain, yang dilakukan berdampingan dengan PKMT maupun setelah PKMT usai. Struktur agraria yang terbentuk pada masa awal kemerdekaan jauh berbeda dengan struktur agraria pada masa kerajaan. Relasi yang kuat antara negara dan Suku Duano pada masa pra kemerdekaan, bergeser menjadi struktur agraria dengan relasi yang kuat antara negara dan swasta pada masa pemerintahan orde baru. Melalui kebijakan modernisasi perikanan, negara menggandeng swasta untuk mencapai target-target peningkatan produksi perikanan. Kebijakan yang mulai diterapkan pada tahun 70-an ini dikenal pula dengan istilah blue revolution. Struktur agraria yang terbentuk memposiskan Suku Duano sebagai nelayan tradisional yang terbelakang. Aktivitas nafkah yang dijalankan oleh Suku Duano dipandang tidak sejalan dengan upaya peningkatan produksi perikanan. Negara mendorong Suku Duano untuk mengikuti langkah yang diambil swasta, yaitu melakukan mekanisasi dan motorisasi dalam mengeksploitasi sumberdaya perikanan. Implementasi dari kebijakan ini adalah program penataan masyarakat lebih diarahkan berupa bantuan kapal motor dan alat tangkap. Proses penataan yang dilakukan pemerintah orde baru melalui kebijakan ini, menganggap kesejahteraan Suku Duano hanya akan tercapai jika budaya bernafkah mereka mengakomodir kemajuan teknologi modern dan ekonomi pasar. Kebijakan ini telah menarik pengusaha-pengusaha perikanan untuk beroperasi di muara-muara sungai yang berada di Indragiri Hilir, termasuk wilayah Concong di mana Suku Duano dimukimkan. Penggunaan alat tangkap yang tidak ramah lingkungan banyak dilakukan oleh pengusaha-pengusaha nakal pada era ini. Kasus yang cukup mengganggu penghidupan Suku Duano adalah penggunaan songko bermesin oleh swasta untuk mengeksploitasi kerang darah. Meskipun pada akhirnya alat tersebut dilarang, karena menyebabkan rusaknya ekosistem muara dan mengancam keberlanjutan keberadaan kerang darah, serta mendapat protes keras dari Suku Duano dan aktivis lingkungan. Kebijakan yang diambil oleh pemerintah orde baru telah menggiring budaya bernafkah Suku Duano masuk ke dalam ekonomi pasar, namun Suku Duano tetap pada budaya bernafkah yang tidak terlalu mengandalkan teknologi perikanan tangkap modern. Kegiatan mengumpulkan kerang atau aktivitas menongkah yang menjadi pilihan Suku Duano sebagai sumber utama penghidupan mereka. Motorisasi armada dan mekanisasi alat tangkap justru menyisakan permasalahan baru, yaitu terkurasnya sumberdaya perikanan di Muara Indragiri. Gejala-gejala overfishing semakin terlihat, yaitu dengan semakin menurunnya hasil tangkapan nelayan tradisional, ikan-ikan jenis tertentu semakin sulit ditemukan, dan fishing ground nelayan semakin jauh. Kondisi tersebut diperparah pula oleh penurunan kualitas lingkungan Indragiri sebagaimana yang telah dibahas pada sub bab 5.1.2. Kebijakan yang masih berhubungan dengan isu kerusakan ekosistem perairan dan peningkatan kesejahteraan nelayan di Indragiri Hilir pada era orde reformasi setelah orde baru adalah Marine and Coastal Resources Management Project MCRMP dari tahun 2001 sampai 2006. Kegiatan-kegiatan yang dilakukan sebagian besar adalah menyangkut konservasi mangrove dan peningkatan pendapatan nelayan Suku Duano dari aktivitas nafkah selain menongkah. Pemerintah mengenalkan teknologi pembudidayaan kerang darah kepada nelayan Suku Duano, dengan maksud menjaga stabilitas produksi kerang darah dan keberlanjutan ketersediaan stock kerang darah di alam. MCRMP sekaligus mengindikasikan kegagalan negara pada orde sebelumnya orde baru melalui program revolusi biru. Modernisasi perikanan telah menyebabkan overfishing dan kerusakan ekosistem perairan pada banyak lokasi perairan dan pedesaan pesisir Indonesia, namun kesejahteraan nelayan tidak berubah signifikan. Kedua indikator tersebut yang dijadikan dasar untuk memilih desa-desa target MCRMP. Paradigma yang digunakan dalam MCRMP adalah pembagunan berkelanjutan yang ramah lingkungan, melalui model co- management. Orientasi produktivitas sesungguhnya masih terasa di dalam kegiatan-kegiatan yang didesain dalam MCRMP ini. Proses penataan yang dilakukan oleh pemerintah terhadap Suku Duano menjelang berakhirnya MCRMP beralih orientasi, dari orientasi produktivitas menjadi berorientasi nilai jual. Segala hal yang bernuansa Duano dipromosikan sebagai warisan budaya yang harus dijaga dan dilestarikan. Kegiatan-kegiatan yang mempromosikan Suku Duano menjadi agenda tahunan pemerintah daerah. Sejak tahun 2005 telah diselenggarakan festival monongkah, bahkan pada tahun 2008 panitia festival mencatatkan menongkah kedalam MURI. Selama festival menongkah dipertontonkan pacu tongkah¸ tarian menongkah, dan pameran kenangan perahu kajang Lampiran 3. Perubahan struktur agraria telah mengharuskan Suku Duano untuk menetapkan pilihan berada pada lingkar kekuasaan, menerima dicap sebagai masyarakat terasing, ataukah mengikuti polaalur yang diinginkan oleh peguasa. Strategi yang dipilih Suku Duano tampaknya lebih berlandaskan keberlanjutan dan keamanan kehidupan dan penghidupan mereka. Berada dilingkar kekuasaan, diberi label perampok, berpindah-pindah livelihood place, diberi lebel masyarakat terasing atau tertinggal, hidup mengembara atau menetap, menggantungkan hidup sepenuhnya dari alam, atau hidup dengan melindungi alam, menjadi bagian dari strategi yang dijalankan Suku Duano dalam mempertahankan penghidupan mereka dibahas lebih detil pada BAB VI, ketahanan nafkah Suku Duano.

5.3.2. Pengaruh Kekuatan Pasar: Penghidupan Berbasis Orientasi Pasar atau

Penghidupan yang Berbasis Tradisi Seiring dengan besarya pengaruh kekuatan negara terhadap pilihan nafkah yang harus dijalankan Suku Duano, kekuatan pasar berhubungan pula dengan hal tersebut. Budaya bernafkah Suku Duano yang sedang bertumbuh mengalami tarik ulur antara pertimbangan pasar ataukah pertimbangan tradisi. Sebagaimana yang telah dibahas sebelumnya, bahwa organisasi produksi, distribusi, dan konsumsi Suku Duano berubah dari pola pengaturan yang ditujukan untuk produksi, distribusi, dan konsumsi bersama setingkat komunitas batin, ke pengaturan yang cederung mengikuti mekanisme pasar. Pengaruh kekuatan pasar begitu terasa ketika pemerintah mencanangkan rovolusi biru. Modernisasi perikanan sangat membutuhkan keterlibatan pengusaha-pengusaha baik dalam proses produksi maupun pemasaran. Pengusaha-pengusaha perikanan besar yang seharusnya beroperasi di wilayah ZEE, lebih senang beroperasi di perairan pantai. Hal tersebut dilakukan karena sumberdaya perikanan di perairan pantai masih banyak dan biaya yang dikeluarkan lebih kecil. Kondisi ini justru menyebabkan terjadinya persaingan antara nelayan tradisional skala kecil dengan nelayan modern skala besar. Tidak jarang terjadi konflik diantara keduanya dalam memperebutkan atau mempertahankan wilayah penangkapan fishing ground. Konflik antara pengusaha perikanan songko bermesin dengan nelayan Suku Duano, berakhir dengan pelarangan pengoperasian alat songko bermesin di Indragiri Hilir. Kasus ini menunjukkan bahwa Suku Duano lebih memilih teknologi tradisional yang dapat menjamin keberlajutan penghidupan mereka, daripada teknologi modern yang mengutamakan produksi maksimum namun mengancam keberlanjutan sumber dan aktivitas nafkah. Gagal menguasai kerang darah melalui proses produksi, para pengusaha perikanan beralih ke kegiatan pemasaran kerang darah. Kekuatan pasar ini ternyata mampu bertahan sampai saat ini. Meskipun Suku Duano yang memiliki akses besar pada fishing ground kerang darah, para pengusaha pedagang kerang yang memperoleh profit margin lebih besar. Menurut hasil studi Abdullah 2010 bahwa nelayan pengumpul kerang memperoleh profit margin sebesar Rp2.100 per kg, sementara pedagang memperoleh profit margin sebesar Rp3.800 per kg. Para pengusaha juga memiliki rantai pemasaran yang permanen hingga ke ibu kota provinsi Pekanbaru, bahkan sampai ke Batam. Seiring dengan program promosi budaya Suku Duano yang dijalankan pemerintah, kekuatan pasar juga masuk melalui bisnis pertelevisian. Beberapa stasiun televisi swasta mengangkat kehidupan Suku Duano dan aktivitas nafkah mereka sebagai acara-acara televisi yang bernuansa etnik dan budaya tradisional. Aktivitas ini diterima dan diikuti oleh Suku Duano dengan tangan terbuka. Selain memperoleh keuntungan secara ekonomi, aktivitas tersebut juga memiliki implikasi pada penguatan dan penanaman identitas ke-Duano-an. Relasi yang kuat antara pasar dan negara dalam menanamkan orientasi produksi, pertumbuhan, dan profit dalam aktivitas nafkah Suku Duano, tampaknya tetap memasukkan pertimbangan tradisi dan keamanan nafkah Suku Duano. Budaya bernafkah Suku Duano tumbuh di antara tarik ulur kekuatan dan pertimbangan negara, pasar, dan tradisi. Hal ini mengindikasikan bahwa Suku Duano menyandingkan penghidupan yang berbasis tradisi dengan penghidupan yang berbasiskan orientasi pasar dalam budaya bernafkah yang sedang mereka bangun.

5.4. Ikhtisar: Perubahan Lingkungan, Adaptasi semi-natural, dan Tumbuhnya Budaya Bernafkah Baru

Perubahan lingkungan yang terdiri dari perubahan ekologikal dan perubahan sosiokultural yang berlangsung pada livelihood place Suku Duano, mengharuskan mereka melakukan penyesuaian-penyesuaian dalam pengaturan sistem penghidupan. Pengaturan-pengaturan baru dalam sistem penghidupan Suku Duano yang menyesuaikan dengan effective environment berimplikasi pada tumbuhnya budaya bernafkah baru. Sejarah menunjukkan bahwa interaksi Suku Duano dengan lingkungan biofisik, negara, pasar, dan masyarakat lokal, telah berlangsung lama. Sejak tahun 1700-an, Suku Duano yang saat itu lebih dikenal dengan Suku Laut telah melakukan adaptasi terhadap lingkungan perairan laut Selat Malaka dengan hidup sebagai pengembara laut, sekaligus bertugas sebagai pengawal kerajaan untuk wilayah laut. Perubahan livelihood place dan lingkungan sosial Suku Duano terjadi pada tahun 1720-an, tahun 1300-an, dan tahun 1960-an, dimana livelihood place mereka semakin tertarik ke daratan. Perubahan tersebut tidak lepas dari interaksi Suku Duano dengan negara. Mereka harus berpindah ke perairan dangkal pada tahun 1720 karena ikut menanggung akibat dari kekalahan Raja Kecil yang didukung Suku Duano, harus membatasi hidup dari sumber-sumber alam di perairan Selat Berhala pada tahun 1932 karena adanya perubahan kesepakatan antara Kerajaan Indragiri dan pemerintah kolonial, serta harus hidup menetap di ekosistem muara Indragiri sejak tahun 1960-an karena proses territorialisasi dan pembangunan yang dilakukan pemerintah Republik Indonesia. Perubahan lingkungan biofisik dan sosial tetap berlangsung dalam kehidupan Suku Duano setelah mereka hidup menetap. Program modernisasi perikanan atau revolusi biru yang dilakukan oleh pemerintahan orde baru yang bergandengan tangan dengan pihak swasta sejak tahun 1970-an sampai 1990-an, telah menurunkan kelimpahan sumberdaya perikanan di Muara Indragiri dan menarik Suku Duano ke dalam pusaran ekonomi pasar. Setelah berjibaku dengan kerasnya persaingan ekonomi pasar di tengah penurunan ketersediaan sumber- sumber alam, Suku Duano harus ikut memikul tanggung jawab memulihkan dan mempertahankan ekosistem muara pantai tempat mereka menggantungkan hidup tahun 2001 sampai 2006, melalui MCRMP. Seiring dengan kebijakan pemerintah daerah yang memperkenalkan kekhasan daerah guna mendorong sektor pariwisata budaya, Suku Duano harus rela mengorbankan waktu dan tenaga untuk terlibat aktif dalam even-even pariwisata yang diagendakan pemerintah daerah sejak tahun 2005. Penyesuain-penyesuaian dalam pengaturan tekno-ekonomi, organisasi sosial, dan aspek-aspek demografi dalam aktivitas subsistensi Suku Duano terus dilakukan, sejalan dengan perubahan lingkungan yang terus terjadi pada rezim penguasaan dan pengelolaan sumber daya alam yang berbeda. Semakin ke ujung tampaknya livelihood place Suku Duano semakin tertarik ke wilayah daratan dengan luasan yang semakin terbatas dan sumber-sumber alam yang semakin terbatas pula. Adaptasi yang dilakukan oleh Suku Duano Tabel 5.4, sejauh ini masih dapat melindungi dan mempertahankan keberlanjutan penghidupan mereka. Perubahan yang mencolok dari aspek teknologi dalam sistem penghidupan Suku Duano hanya terlihat ketika terjadi perpindahan livelihood place dari perairan laut ke ekosistem muara pantai. Teknologi yang terdiri dari peralatan, teknik, dan pengetahuan tentang bertahan hidup sebagai pengembara laut digantikan dengan teknologi untuk bertahan hidup sebagai nelayan pengumpul kerang. Teknologi yang berkembang dalam budaya bernafkah sebagai pengembara laut harus ditinggalkan oleh Suku Duano, karena tidak lagi dibutuhkan pada ekosistem muara. Tabel 5.4. Matrik Perubahan Budaya Bernafkah Suku Duano, Perubahan Ekosistem, dan Perubahan Rezim Penguasaan SDA Perubahan Rezim Penguasaan Sumberdaya Alam Pra Kemerdekaan NKRI Ker. Johor-Malaka Ker. Siak-Indragiri Orde Lama Orde Baru Orde Reformasi Perubahan Ekosistem Perairan Masih di atas baku mutu bagi keberlangsungan makhluk hidup Masih di atas baku mutu bagi keberlangsungan makhluk hidup Masih di atas baku mutu bagi keberlangsungan makhluk hidup Penurunan kualitas Upaya perbaikan Kedalaman Sungai Pendangkalan Upaya Penekanan pendangkalan Pantai Abrasi Upaya Penekanan abrasi Lahan tanah Erosi, penguragan tutupan lahan, delta semakin luas Erosi, pengurangan tutupan lahan, delta semakin luas Hutan rawa gambut, mangrove Konversi hutan rawa gambut, mangrove rusak Konversi hutan rawa gambut, konservasi mangrove Ikan, Udang, cumi, kerang Penurunan Stok Upaya penekanan over eksploitasi Perubahan Budaya Bernafkah Suku Duano Livelihood Place Perairan laut Selat Malaka Perairan Laut Dangkal Selat Berhala Muara Indragiri Hamparan Lumpur delta Muara Indragiri Hamparan Lumpur delta Muara Indragiri Teknologi  Peralatan  Perahu kajang, panah, tombak, pancing, jaring  Perahu kajang, panah, tombak, pancing, jaring  Perahu kajang, papan tongkah, pancing, jaring  Papan tongkah, pancing, jaring  Papan tongkah, pancing, jaring  Teknik  Pengembaraan di laut, dan berburu ikan ruaya  Pengembaraan di laut, dan berburu ikan perairan dangkal  Pengembaraan di laut, menangkap ikan, menongkah  Menongkah, menangkap ikan  Menongkah, menangkap ikan  Pengetahuan  Pengetahuan lokal  Pengetahuan lokal  Pengetahuan lokal  Pengetahuan lokal + pengetahuan modern  Pengetahuan lokal + pengetahuan modern Perubahan Rezim Penguasaan Sumberdaya Alam Pra Kemerdekaan NKRI Ker. Johor-Malaka Ker. Siak-Indragiri Orde Lama Orde Baru Orde Reformasi Organisasi Sosial  Produksi  Produksi untuk konsumsi komunitas batin; pengaturan produksi oleh ketua batin  Produksi untuk konsumsi komunitas batin; pengaturan produksi oleh ketua batin  Produksi untuk konsumsi komunitas batin; pengaturan produksi oleh ketua batin  Produksi untuk dijual dan konsumsi rumah tangga; pengaturan produksi oleh kepala rumah tangga  Produksi untuk dijual dan konsumsi rumah tangga; pengaturan produksi oleh kepala rumah tangga  Distribusi  Pengaturan dan pengawasan distribusi oleh ketua batin  Pengaturan dan pengawasan distribusi oleh ketua batin  Pengaturan dan pengawasan distribusi oleh ketua batin + mekanisme pasar  Mekanisme pasar  Mekanisme pasar  Konsumsi  Konsumsi bersama dalam satu batin; konsumsi dari hasil produksi  Konsumsi bersama dalam satu batin; konsumsi dari hasil produksi  Konsumsi bersama dalam satu batin; konsumsi dari hasil produksi  Konsumsi rumah tangga; konsumsi dari hasil produksi + beli dipasar  Konsumsi rumah tangga; konsumsi dengan membeli dipasar + sisa produksi yang tidak dijual Aspek Demografi  Perkawinan, Fertilitas dan Mortalitas  Perkawinan endogami; fertilitas dan mortalitas seimbang  Perkawinan endogami; fertilitas dan mortalitas seimbang  Perkawinan endogami; fertilitas dan mortalitas seimbang  Perkawinan endogami + eksogami; fertilitas lebih tinggi dari mortalitas  Perkawinan endogami + eksogami; fertilitas lebih tinggi dari mortalitas  Migrasi  Migrasi temporer mengikuti ruaya schooling fish; sepanjang tahun oleh semua anggota batin  Migrasi temporer disekitar pulau terpencil; sepanjang tahun oleh semua anggota batin  Migrasi temporer disekitar selat berhala; sepanjang tahun oleh semua anggota batin  Migrasi oleh perorangan atau rumah tangga  Migrasi oleh perorangan atau rumah tangga  Pembagian Kerja  Tidak terlalu tegas, laki-laki dan perempuan  Tidak terlalu tegas, laki-laki dan perempuan  Tidak terlalu tegas, laki- laki dan perempuan  Laki-laki dewasa tugas produksi; perempuan dewasa tugas domestik  Laki-laki dewasa tugas produksi; perempuan dewasa tugas domestik