Sosiologi Nafkah Perubahan Lingkungan dan Perubahan Penghidupan

Kesimpulan yang diberikan oleh Li 2002 didukung oleh fakta empiris yang ditemukan oleh Kahn 2002 pada petani Minangkabau, Schrauwers 1998; 2002 pada peladang masyarakat To Pamona, dan Ruiter 2002 pada petani kebun Batak Karo. Kahn 2002 menemukan bahwa jenis-jenis hirarki sosial yang timbul di pedalaman Sumatera masyarakat Minangkabau sangat berkaitan bukan sekedar dengan tradisi yang telah ada, tetapi juga dengan proses pembentukan negara modern dan investasi asing. Schrauwers 1998; 2002 menjelaskan bahwa tradisi bertukar tenaga kerja yang dilakukan oleh peladang berpindah masyarakat To Pamona merupakan budaya yang tumbuh dari campur tangan pemerintah dan gereja pada upacara bertukar hadiah; bahasa daerahnya posintuwu dengan kekerabatan yang tumbuh dari budaya rumah panjang. Selanjutnya Ruiter 2002 menggambarkan bahwa terbentuknya budaya pertanian menetap padi dan karet masyarakat Karo di pinggiran perkebunan kolonial di dataran tinggi Langkat, karena adanya kepentingan politik pemerintah kolonial untuk mempertahankan masyarakat Karo di sekitar perkebunan dan sikap hidup orang Karo yang menolak menjadi karyawan upahan di perkebunan. Perubahan lingkungan tidak saja berkaitan dengan adaptasi dan budaya bernafkah. Perubahan lingkungan juga menyebabkan penyesuaian-penyesuaian dalam pengaturan penghidupan pada semua aras. 2.2.2. Penyesuaian Pengaturan Penghidupan pada Berbagai Aras Pengaturan penghidupan pada berbagai aras, mulai dari komunitas, rumah tangga, dan individu, menjadi perhatian yang sangat penting dalam studi perubahan lingkungan dan penghidupan. Kemampuan suatu komunitas, rumah tangga, atau individu dalam mengatur dan mengorganisasikan cara, teknik, dan strategi dalam merespon perubahan lingkungan, dalam upaya mempertahankan eksistensi kehidupannya, penting untuk diungkap dalam penelitian ini. Pengaturan aktivitas nafkah pada berbagai aras menunjukkan realitas sosial yang berbeda-beda. Johnson 1988 menyatakan terdapat 4 tingkatan realitas sosial yang berbeda secara analitis dan menjadi fokus perhatian yaitu aras individual, aras antarpribadi interpersonal, aras struktur sosial, dan aras budaya. Realitas sosial pada aras individual menempatkan individu sebagai fokus perhatian dalam analisis, termasuk sub-arasnya yaitu perilaku, tindakan sosial, persepsi, motivasi, dan rasionalitas. Aktivitas nafkah pada aras individual tentunya berkaitan dengan hal-hal tersebut, antara lain tindakan ekonomi, motivasi berusaha, dan rasionalitas ekonomi. Ritzer Ritzer Goodman, 2004 memandang bahwa pada aras ini realitas sosial sebagai suatu definisi sosial, sosiologi Weberian banyak bermain pada aras ini. Aras antar pribadi menempatkan interaksi antar pribadi sebagai fokus perhatian, meliputi komunikasi simbolis, penyesuaian timbal balik, kerja sama antar pribadi, koflik antar pribadi, dan pola adaptasi bersama. Fokus sosiologi nafkah pada aras ini adalah aktivitas nafkah rumah tangga atau strategi nafkah livelihood strategy rumah tangga. Realitas sosial pada aras struktur sosial memusatkan perhatian pada pola- pola tindakan dan jaringan-jaringan interaksi yang disimpulkan dari pengamatan terhadap keteraturan dan keseragaman yang terdapat dalam suatu waktu dan ruang, meliputi posisi sosial, peranan sosial, organisasi sosial, institusi sosial, dan masyarakat keseluruhannya. Aktivitas nafkah pada aras ini merupakan strategi nafkah komunitas. Realitas sosial pada aras budaya meliputi arti, nilai, simbol, norma, dan pandangan hidup umumnya yang dimiliki bersama oleh anggota suatu masyarakat. Kebudayaan dalam arti yang luas dapat dipandang sebagai produk- produk tindakan dan interaksi manusia, termasuk benda-benda ciptaan manusia berupa materi dan kebudayaan non materi. Johnson 1998 menyatakan bahwa pembedaan aras realitas ini dapat menjadi pemandu dalam melakukan analisa sosiologis, namun dalam prakteknya realitas-realitas tersebut saling berkaitan dan mempengaruhi. Teori sosiologi yang berkembang pada era klasik Marx, Durkheim, Weber, Simmel dan sosiologi modern teori-teori fungsionalisme, teori-teori konflik, teori-teori interaksionisme simbolik, teori-teori pertukaran sangat mengedepankan pemilihan pada satu aras realitas sosial. Selanjutnya sosiologi yang berkembang pada era kontemporer sosiologi kritik dan sosiologi posmodernisme mulai mengkaitkan beberapa aras sebagai fokus analisisnya. Realitas sosial dari pengaturan aktivitas nafkah dalam penelitian ini mencakup aras individu, aras antar pribadi, dan aras struktur sosial. Kebudayaan material dan non material yang merupakan produk dari tindakan dan interaksi sosial dari aktivitas nafkah menjadi perhatian pula dalam penelitian ini. Analisis seperti ini dikenal sebagai analisis multilevel, banyak dikembangkan oleh penganut akonomi substantif dalam sosiologi ekonomi maupun antropologi. Ekonomi substantif mengasumsikan bahwa tindakan ekonomi tidak lepas dari faktor-faktor di luar ekonomi sosial, budaya, politik. Sesungguhnya pada era klasik Weber juga telah melakukan analisis yang mengkaitkan antara tindakan dan struktur, meskipun penekanan yang diberikan lebih besar pada aras individu. Max Weber Weber, 2006 dalam teori Protestant Ethic and Spirit of Capitalism mengkaitkan prilakutindakan ekonomi pimpinan perusahaan dan pekerja teknis dengan nilai-nilai religius etika protestan. Begitu pun tulisan Weber yang lain di dalam General Economic History Giddens, 2009, analisisnya mengkaitkan perilaku tindakan ekonomi petani kecil dengan etika China dan Jepang. Analisis multilevel dalam sosiologi ekonomi berkembang lebih jauh setelah pertengahan tahun 1980-an. Era ini ditandai oleh essei teoritis karya Mark Granovetter tentang Economic Action and Social Structure: The Problem of Embeddedness 1985, dan beliau memperkenalkan istilah new economic sociology NES pada era tersebut Smelser Swedberg, 2005. Granovetter juga melakukan analisis pada beberapa aras yaitu aras individu tindakan dan rasionalitas dan aras struktur, lebih jauh ide Granovetter dikembangkan dalam analisis multilevel Victor Nee Nee, 2005. Analisis multilevel juga dilakukan di dalam antropologi ekonomi, sebagaimana analisis Clifford Geertz Geertz, 1963; 1984 dalam teori involusi pertanian. Geertz mengkaitkan tindakan ekonomi petani dengan perubahan ekologi dan sosiokultural di Jawa. Analisis multilevel yang dikembangkan oleh Victor Nee merupakan bagian dari upayanya bersama dengan Brinton untuk mengembangkan apa yang disebutnya sebagai New Institutionalism in Economic Sociology NIES. Analisis multilevel yang dikembangkan Nee dalam NIES merupakan suatu kerangka institusional institutional framework yang menunjukkan bekerjanya mekanisme institusional pada aras makro, ikatan interpersonal pada aras meso, dan tindakan ekonomi individu pada aras mikro Nee, 2005. Konsep context bound rationality yang diutarakan Nee, sangat penting dalam mengkaitkan budaya, strategi nafkah dan tindakan bernafkah. Nee 2005 menyatakan bahwa konsep context bound rationality menunjukkan adanya keterikatan rasionalitas pada konteks dan melekat embedded dalam ikatan interpersonal. Adat-istiadat, jaringan, norma, keyakinan kultural, dan pengaturan kelembagaan mempertajam keterikatan rasionalitas pada konteksnya. Teori embeddedness Granovetter diterapkan lebih luas dalam kerangka analisis multilevel Nee, yaitu sampai pada aras makro struktural. Aras makro struktural ini merupakan lingkungan institusional institutional environment, berupa aturan- aturan formal yang dikeluarkan oleh negarapemerintah. Kerangka analisis multilevel dalam penelitian ini dibangun dengan memegang asumsi dasar analisis multilevel Nee 2005, yaitu aktivitas nafkah memiliki hubungan yang timbal balik antara berbagai aras, dengan kerangka institusional yang bersifat dua arah bolak-balik. Kerangka institusional bergerak dari aras makro ke mikro dan dari mikro ke makro. Pembedaan aktivitas nafkah atas beberapa aras untuk menunjukkan bahwa terdapat proses sosial yang spesifik pada setiap aras, sehingga ketajaman analisis dapat tercapai. Penyesuaian pengaturan penghidupan pada semua aras karena terjadinya perubahan lingkungan, dimana semua aras saling berhubungan timbal balik dalam suatu kerangka institusional disebut sebagai perubahan penghidupan yang bersifat sistemik atau telah terjadi perubahan sistem penghidupan. Hal-hal yang perlu diungkap dalam studi perubahan sistem penghidupan mencakup perubahan kombinasi sumberdaya nafkah, strategi pengaturan teknologi, strategi pengaturan- pengaturan produksi, distribusi, dan konsumsi komunitas, strategi pengaturan aspek demografi, strategi pemenuhan kebutuhan dasar, peningkatan derajat sosial ekonomi, dan pengakumulasian modal rumah tangga, serta penyesuaian kualitas human kapital anggota rumah tangga Tabel 2.5. Tabel 2.5. Item-item dalam Studi Pengaturan Penghidupan pada Berbagai Aras Item-item Studi Aras 1. Kombinasi sumberdaya nafkah Aras komunitas dan aras rumah tangga 2. Strategi pengaturan teknologi Aras komunitas 3. Strategi pengaturan produksi, distribusi, dan konsumsi Aras komunitas 4. Strategi pengaturan aspek demografi Aras komunitas 5. Strategi pemenuhan kebutuhan dasar Aras rumah tangga 6. Strategi peningkatan derajat sosial ekonomi Aras rumah tangga 7. Strategi pengakumulasian modal Aras rumah tangga 8. Penyesuaian kualitas human kapital Individu anggota rumah tangga Adaptasi adalah manifestasi dari kapasitas adaptif adaptive capacity dan representasi dari penurunan kerentanan reducing vulnerability. Kapasitas adaptif terhadap perubahan lingkungan dan kemampuan melindungi penghidupan atas kerentanan lingkungan environmental vulnerability ditentukan oleh kemampuan rumah tangga dalam mengatur dan mengorganisasikan sumber penghidupan livelihood assets yang dimiliki, serta kualitas human kapital rumah tangga dan kapasitas rasionalisasi tindakan aktor anggota rumah tangga.

2.3. Kapasitas Adaptif dan Ketahanan Nafkah Rumah Tangga

2.3.1. Strategi Nafkah Bertahan Hidup, Konsolidasi, dan Akumulasi Modal Konsep adaptasi dalam studi perubahan lingkungan dan penghidupan pedesaan sangat berkaitan dengan konsep kapasitas adaptif, kerentanan, dan ketahanan nafkah livelihood securities. Kerentanan dari suatu sistem pada berbagai aras dan skala merupakan refleksi dari sensitivitas sistem tersebut terhadap kondisi yang buruk serta refleksi dari kemampuankapasitaskelentingan sistem dalam mengatasi, menyesuaikan, memulihkan diri dari pengaruh-pengaruh tersebut. Smith dan Wandel 2006 menjelaskan hubungan konsep-konsep tersebut dalam nested hierarchy model Gambar 2.2. Gambar 2.2. Nested Hierarchy Model of Vulnerability Smith Wandel, 2006 Nested hierarchy model memposisikan konsep kapasitas adaptif mirip dengan konsep-konsep adaptabilitas, coping ability, kapasitas manajemen, stabilitas, robustness, fleksibelitas, dan resiliensi. Kapasitas adaptif menunjukkan dimensi jangka panjang dan coping ability menunjukkan dimensi jangka pendek, sementara itu adaptabilitas menunjukkan coping ability yang berpotensi menjadi kemampuan jangka panjang. Kapasitas adaptif bersifat spesifik dan kontekstual tergantung aras dan waktu, bervariasi menurut karakteristik suatu negara, komunitas, kelompok sosial, rumah tangga, maupun individu. Kapasitas adaptif jika dikaitkan dengan strategi nafkah rumah tangga dalam merespon perubahan lingkungan adalah kemampuan rumah tangga dalam mengatasi kerentanan lingkungan melalui pengorganisasian sumber-sumber nafkah yang dimiliki dan yang dapat diakses. Menurut Smith dan Wandel 2006, bahwa sistem yang lebih tereskspos dan sensitif pada perubahan lingkungan akan lebih rentan, cateris paribus, dan sistem yang memiliki kapasitas adaptif lebih baik akan cenderung tidak terlalu rentan, cateris paribus. Kapasitas adaptif dalam konteks sistem penghidupan dapat disamakan dengan konsep livelihood securities ketahanan nafkah, yaitu kemampuan komunitas atau rumah tangga dalam melindungi atau mengamankan sumber- sumber nafkah yang dimiliki dan yang dapat diakses atas kerentanan yang hadir, dalam upaya pencapaian kehidupan yang lebih baik untuk generasi sekarang dan masa depan. Kapasitas adaptif rumah tangga dapat dikelompokkan berdasarkan kemampuan rumah tangga mengelola sumber-sumber nafkah yang dimiliki dan atau yang dapat diakses. Sebagian rumah tangga hanya mampu melakukan penyesuaian strategi nafkah pada tujuan pemenuhan kebutuhan subsisten dan bertahan hidup, sebagian rumah tangga yang lainnya mampu melakukan penyesuain strategi nafkah pada tujuan konsolidasi dan akumulasi modal. Berdasarkan hal tersebut, strategi nafkah rumah tangga dalam merespon perubahan lingkungan dapat dikelompokkan menjadi strategi survival, strategi konsolidasi, dan strategi akumulasi. Menurut White 1991, bahwa rumah tangga yang menjalankan strategi survival cenderung memiliki keterbatasan aset produksi dan skill. Mereka memaksimalkan penggunaan tenaga kerja rumah tangga untuk pemenuhan kebutuhan dasar dan bertahan hidup. Pemaksimalan tenaga kerja yang dimiliki dapat berupa pola nafkah ganda dan penyebaran tenaga kerja rumah tangga pada berbagai bidang pekerjaan yang tidak terlalu mengandalkan skill. Mereka menjual tenaga untuk aktivitas apa saja yang dapat menambah penghasilan. Jika dikaitkan dengan kapasitas adaptif dan kerentanan penghidupan, kelompok rumah tangga ini berada pada lapisan yang paling bawah dan yang paling terekspos dan sensitif pada perubahan lingkungan. Kerentanan penghidupan rumah tangga pada kategori survival berkaitan pula dengan ketergantungan yang tinggi pada ketersediaan sumber-sumber nafkah di alam dan terbatasnya skill pada bidang pekerjaan lain. Jika terjadi goncangan atau tekanan pada sumber-sumber nafkah yang mereka andalkan, mereka akan sulit merespon dengan cepat untuk mengalihkan aktivitas nafkahnya pada sumber-sumber lain. Rumah tangga yang menjalankan strategi konsolidasi memiliki kapasitas adaptif yang lebih luas. Mereka telah dapat mengarahkan aktivitas nafkah pada tujuan-tujuan peningkatan taraf hidup selain untuk pemenuhan kebutuhan dasar rumah tangga. Rumah tangga pada lapisan ini juga telah mampu menginvestasikan aset dan memiliki saving, meskipun masih terbatas pada bidang pekerjaan atau aktivitas nafkah sejenis. Jika terjadi goncangan atau tekanan pada aktivitas nafkah yang mereka jalankan, mereka akan lebih dapat bertahan. Aset dan saving yang dimiliki dapat digunakan untuk bertahan dalam jangka pendek, sambil melakukan penyesuaian terhadap perubahan lingkungan yang terjadi.