Paradigma dan Strategi Penelitian

Concong Luar. Hal tersebut diawali pada saat kemunduran Kerajaan Johor dan adanya Traktat London, dimana Inggris menguasai Temasek Singapura dan Malaka Malaysia, sedangkan Indonesia dikuasai oleh Belanda. Pulau Concong yang berada di perlintasan jalur antara Tembilahan-Tanjung Balai Karimun- Tanjung Pinang-Batam-Kaula Tungkal menjadi tempat persinggahan Suku Duano. Pulau Concong merupakan lokasi yang relatif terlindung pada saat musim badai di lautan dan terdapat sungai untuk mencukupi bekal air tawar Suku Duano. Kepemimpinan Suku Duano yang merupakan perpanjangan tangan kerajaan, pertama kali adalah ditunjuknya Ismail oleh Sultan Indragiri sebagai Panglima Raja pada tahun 1932. Ismail digantikan oleh anaknya yang bernama Maakim pada tahun 1935, karena beliau gugur dibunuh kawanan perampok di laut. Maakim digantikan oleh keponakannya yang bernama M. Sya’iyim. Kehidupan Suku Duano secara menetap dimulai pada sekitar tahun 1960-an, yaitu pada masa kepemimpinan M Sya’iyim. M Sya’iyim adalah penghulu Concong laut sekarang menjadi Kecamatan Concong generasi ke tiga. Saat ini Suku Duano tidak lagi hidup di rumah perahu atau mengembara di lautan. Suku Duano telah bermukim di desa-desa muara dan pantai Indragiri Hilir, yaitu melalui program pemerintah pada tahun 1970-an. Program Pemukiman Kembali Masyarakat Terasing PKMT yang dilaksanakan pada masa orde baru telah memukimkan Suku Duano di 13 desa Kabupaten Indragiri Hilir, yaitu Desa Concong Luar, Desa Sungai Belah, Desa Tanjung Pasir, Desa Sungai Laut, Desa Bekawan, Desa Belaras, Desa Tanah Merah, Desa Kuala Patah Parang, Desa Taga Raja, Desa Kuala Selat, Desa Pulau Ruku, Desa Perigi Raja, dan Desa Panglima Raja lokasi dapat dilihat pada Gambar 5.2. Ketika penelitian lapangan dilakukan, tidak ditemukan lagi rumah perahu yang pernah digunakan Suku Duano sebagai tempat tinggal. Perahu yang mereka gunakan saat ini, sama dengan perahu-perahu yang ada ditempat lain atau yang digunakan oleh penduduk non Suku Duano. Meskipun Suku Duano memiliki kecenderungan untuk melakukan perkawinan yang bersifat endogami, namun tidak sedikit pula Suku Duano yang melakukan perkawinan dengan etnis lain Bugis, Banjar, Melayu. Penyebaran Suku Duano pun tidak lagi hanya terbatas di desa-desa muara dan pantai Indragiri Hilir, sebagian kecil Suku Duano tinggal daratan di pusat-pusat pemerintahan, perdagangan, atau industri di Provinsi Riau. Mereka yang menyebar ke daratan umumnya setelah mengenyam pendidikan formal dan atau menikah dengan etnis lain. Diperkirakan terdapat hampir 12.000 orang Suku Duano yang ada di Provinsi Riau, termasuk Suku Duano yang berasal dari perkawinan antar etnis dan yang tidak lagi tinggal di desa-desa muara-pantai. 4.2. Latar Sosio-ekologis Kehidupan di Muara Indragiri 4.2.1. Sejarah Peradaban di Indragiri Hilir Kabupaten Indragiri Hilir saat ini merupakan kabupaten dengan luas daratan 11.605,97 km 2 dan perairan 7.207 km 2 , terdiri dari 20 kecamatan 201 desa dan 33 kelurahan, serta berpenduduk kurang lebih 683.354 jiwa. Wilayah yang cukup luas tersebut terletak pada 00 o 32’51” LU sampai 01 o 07’17” LS dan 102 o 32’59” sampai 104 o 17’31” BT. Kabupaten ini berbatasan dengan Kabupaten Indragiri Hulu di sebelah barat, Kabupaten Kepulauan Riau Selat Berhala di sebelah Timur, Kabupaten Pelalawan di sebelah Utara, dan Provinsi Jambi di sebelah Selatan. Kehidupan bermasyarakat dan peradaban di Muara Indragiri yang ada saat ini, tidak terlepas dari keberadaan beberapa kerajaan yang berpusat di sepanjang daerah aliran sungai Indragiri pada masa pra kolonial dan kolonial. Kerajaan yang pertama adalah Kerajaan Keritang yang didirikan sekitar awal abad ke 6. Lokasi kerajaan ini sekarang adalah wilayah Kecamatan Keritang. Kebudayaan Kerajaan Keritang banyak dipengaruhi oleh agama hindu. Kerajaan yang selanjutnya adalah Kerajaan Kemuning yang didirikan oleh Raja Singapura ke 5 yang bernama Raja Sampu atau Raja Iskandarsyah Zulkarnain atau Prameswara, berlokasi di Desa Kemuning Tua dan Desa Kemuning Muda. Terdapat pula Kerajaan Batin Enam Suku yang didirikan tahun 1260 di daerah Indragiri Hilir bagian utara, meliputi daerah Gaung Anak Serka, Batang Tuaka, Mandah, dan Guntung. Selain dari tiga kerajaan tersebut, kerajaan selanjutnya yang cukup terkenal adalah Kerajaan Indragiri, diperkirakan berdiri tahun 1298 dengan raja pertama bergelar Raja Merlang yang berkedudukan di Malaka. Pengganti Raja Merlang yang dikenal dengan Raja Narasinga I dan Raja Merlang II masih berkedudukan di Malaka. Kedudukan Kerajaan Indragiri dipindahkan ke Rengat pada masa Pemerintahan Sultan Ibrahim, dengan cakupan wilayah Indragiri Hulu dan Indragiri Hilir. Tonggak sejarah yang cukup penting bagi perkembangan peradaban di Indragiri Hilir adalah bermigrasinya Suku Banjar dan Suku Bugis yang berasal dari Kalimantan dan Sulawesi ke wilayah Indragiri. Kejadian tersebut adalah pada masa pemerintahan Sultan Isa. Kedatangan kedua suku ini karena peperangan dan perpecahan di daerah asal, sebagaimana yang terjadi pada tahun 1859 karena dihapuskannya Kerajaan Banjar oleh Gubernement. Perjanjian perdamaian dan persahabatan tractaat Van Vrindchaap tanggal 27 September 1938 antara Kerajaan Indragiri dengan Belanda menyebabkan Kesultanan Indragiri menjadi Zelfbestuur. Perpanjangan tangan Belanda di wilayah Indragiri Hilir adalah seorang Controlleur yang membawahi 6 daerah keamiran, yaitu: Amir Tembilahan di Tembilahan, Amir Batang Tuaka di Sungai Luar, Amir Tempuling di Sungai Salak, Amir Mandah dan Gaung di Khairiah Mandah, Amir Enok di Enok, dan Amir Reteh di Kotabaru. Controlleur memegang wewenang semua jawatan, bahkan juga menjadi hakim di pengadilan wilayah ini. Kerajaan Indragiri terus dipersempit sampai dengan masuknya Jepang tahun 1942. Masa pendudukan Jepang di Indragiri Hilir sampai dengan Oktober 1945. Controlleur digantikan dengan seorang Cun Cho yang berkedudukan di Tembilahan. Cun Cho membawahi 5 Ku Cho, yaitu: Ku Cho Tembilahan dan Tempuling di Tembilahan, Ku Cho Sungai Luar, Ku Cho Enok, Ku Cho Reteh, dan Ku Cho Mandah. Suku Bugis dan Banjar saat ini merupakan komposisi terbesar dari penduduk Indragiri Hilir bersama etnis Melayu, mereka menyebar hampir di seluruh desa yang ada di Indragiri Hilir. Mereka hidup dari kekayaan sumberdaya alam Muara Indragiri, mulai dari hasil laut, hutan, perkebunan, perdagangan, dan jasa transportasi sungai-laut. Sejarah peradaban di muara Indragiri yang banyak berkaitan dengan ekosistem sungai, laut, dan hutan-kebun telah membentuk pemukiman, perkampungan, atau pedesaan yang khas di Indragiri Hilir. Beberapa pemukiman yang khas di Indragiri Hilir adalah perkampungan di atas air, desa kebun, dan pemukiman masyarakat adat. Pemukiman di Indragiri Hilir sangat dipengaruhi oleh lingkungan bio-fisik yang merupakan rawa gambut, sungai pasang surut, dan muara sungai yang payau dan berlumpur. Kondisi lingkungan bio-fisik tersebut membentuk pemukiman-pemukiman dengan rumah-rumah panggung yang dihubungkan oleh pelantar-pelantar atau jerambah, dengan tiang-tiang rumah yang berdiri di atas rawa, bibir sungai, sungai, atau laut. Perkampungan di atas air dapat ditemukan di beberapa kecamatan, seperti Kecamatan Tanah Merah, Kecamatan Concong, dan Kecamatan Sungai Batang. Sebagian dari perkampungan di atas air adalah pemukiman masyarakat adat Suku Duano dari program pemukiman kembali masyarakat terasing PKMT. Desa kebun yang ada di Indragiri Hilir memiliki ciri khas berupa rumah- rumah panggung dan semi permanen yang dihubungkan oleh kanal-kanal yang sangat panjang atau menurut istilah tempatan disebut parit. Kanal-kanal yang dibangun sebagian besar oleh penduduk yang membuka kebun kelapa di atas tanah rawa ini, berfungsi untuk mengatur atau mengurangi genangan air di areal perkebunan, dan berfungsi sebagai lalu lintas atau transportasi air. Pengangkutan hasil bumi dan transportasi penduduk dilakukan menggunakan perahu dan kapal kecil melintasi kanal. Desa-desa kebun seperti ini dapat ditemukan di Kecamatan Tempuling, Kecamatan Tembilahan Hulu, dan Kecamatan Kempas. 4.2.2. Sumber-sumber Agraria: dari Perkebunan Kelapa, Hasil Hutan, hingga Hasil Laut Sumber-sumber agraria yang meliputi tanah, perairan, hutan, bahan tambang, dan udara yang menjadi sumber penghidupan, sekaligus menjadi dasar bagi berkembangnya inti budaya suatu masyarakat, merupakan hal yang penting untuk ditelusuri dalam pendekatan ekologi budaya. Menurut Steward 1995 bahwa inti budaya culture core berkembang dari adaptasi teknologi dan pengaturan-pengaturan seputar pemanfaatan sumber-sumber agraria yang tersedia di alam. Hampir semua bentuk sumber-sumber agraria tersedia di Indragiri Hilir, namun sejarah pengelolaannya lebih banyak menyentuh tanah, perairan, dan hutan. Sebagian besar dari luas wilayah atau 93,31 daerah Kabupaten Indragiri Hilir merupakan daerah dataran rendah, yaitu daerah endapan sungai, daerah rawa dengan tanah gambut peat, daerah hutan payau mangrove dan terdiri atas pulau-pulau besar dan kecil, dengan rata-rata ketinggian lebih kurang 0-3 Meter dari permukaan laut. Sedangkan sebagian kecilnya 6,69 berupa daerah berbukit- bukit dengan ketinggian rata-rata 6-35 meter dari permukaan laut yang terdapat di bagian selatan Sungai Reteh Kecamatan Keritang, yang berbatasan dengan Propinsi Jambi. Daerah ini umumnya dipengaruhi oleh pasang surut, apalagi bila diperhatikan fisiografinya dimana tanah-tanah tersebut terbelah-belah oleh beberapa sungai, terusan, sehingga membentuk gugusan pulau-pulau. Sungai yang terbesar di daerah ini adalah Sungai Indragiri yang berhulu di penggunungan