Suku Duano di Indragiri Hilir

4.2.4. Desa Panglima Raja dan Desa Concong Luar: Gambaran Masyarakat Desa yang Sedang Berubah

Desa Panglima Raja dan Concong Luar adalah desa-desa yang dipilih sebagai lokasi wawancara dan pengamatan terhadap Suku Duano, sebagaimana yang telah dibahas pada bagian Metodologi Penelitian BAB III. Secara administratif Desa Panglima Raja dan Desa Concong Luar termasuk dalam Kecamatan Concong, Kabupaten Indragiri Hilir, Provinsi Riau. Kedua desa ini cukup strategis karena berada di muara Sungai Sebatang, Pulau Concong. Perjalanan menuju desa-desa lain yang berada di hulu Sungai Sebatang selalunya melewati Panglima Raja dan Concong Luar, karena jalur laut dan sungai adalah satu-satunya transportasi darike desa-desa di kawasan Kuala Indragiri. Waktu yang dibutuhkan dari ibu kota Kabupaten Tembilahan ke desa-desa ini adalah 1,5-3 jam menggunakan speed boat atau sekitar 5 jam menggunakan pompong. Jalur terdekat berjarak sekitar 61 km dari Tembilahan, penduduk setempat menyebutnya dengan jalur luar. Jika melalui jalur dalam yaitu menyusuri sungai Sebatang ke arah hulu, menempuh jarak yang lebih jauh, penduduk setempat menyebut dengan jalur dalam. Posisi geografis posisi Desa Panglima Raja terletak pada 00 o 14’09”- 00 o 21’31” LS dan 103 o 38’-103 o 47’ BT, sedangkan Desa Concong Luar terletak pada 00 o 13’06”-00 o 23’45” LS dan 103 o 30’-103 o 55’ BT. Selat Berhala dan Kecamatan Khariyah Mandah terletak di sebelah utara kedua desa ini, sedangkan di sebelah selatan adalah Kecamatan Kuala Indragiri. Perairan laut dan sungai di sekitar Panglima Raja dan Concong Luar merupakan lintasan rute pelayaran tradisional di perairan Indragiri dan Selat Malaka yang penting. Muara Sungai Sebatang saat ini dijadikan sebagai tempat transit hasil laut dari Kawasan Kuala Indragiri, sebelum diangkut ke Tembilahan, Tanjung Balai Karimun, dan Batam. Lalu lintas perairan yang melintasi muara Sungai Batang sangat sibuk, hampir tidak pernah sepi dari suara mesin perahu dan kapal motor. Meskipun transportasi menuju Panglima Raja dan Concong Luar tersedia setiap hari, perjalanan ke desa ini sesungguhnya cukup melelahkan dan menguras energi. Penduduk harus menempuh ribuan kilometer dengan berganti-ganti angkutan perairan, darat dan udara untuk mencapai ibu kota Republik Indonesia Jakarta. Kurang lebih dibutuhkan waktu 24 jam untuk sampai di Jakarta. Perjalanan dari Panglima Raja atau Pulau Concong menggunakan speed boat pancung komersial tersedia 1 kali sehari yaitu pukul 9 pagi, di luar waktu tersebut hanya tersedia pompong carteran dengan waktu tempuh yang jauh lebih lama. Perjalanan diawali dengan speed boat dari Panglima Raja atau Concong Luar ke Tembilahan, dilanjutkan perjalanan darat menuju Pekanbaru ibu kota provinsi yang membutuhkan waktu 8-10 jam. Perjalanan udara dari Pekanbaru ke Jakarta selalunya tidak dapat dilakukan pada hari itu juga, harus menginap semalam di Pekanbaru. Sementara itu, perjalanan dari Jakarta ke Panglima Raja harus menginap semalam di Tembilahan. Meskipun kedua desa ini hanya dibatasi oleh Sungai Sebatang, namun masing-masing desa memiliki kekhasan, khususnya interaksi masyarakat dengan negara dan pasar. Panglima Raja dapat mewakili karakteristik masyarakat Suku Duano strata bawah yang masih mengandalkan alam dengan penggunaan teknologi tradisional, dimana negara selalu hadir dengan program-programnya. Concong Luar dapat mewakili karakteristik masyarakat Suku Duano yang sedang berubah dimana pasar sangat dominan. Pola pemukiman peduduk di Desa Panglima Raja dan Concong Luar adalah memanjang di pinggir Sungai Sebatang, menjorok sampai ke arah tengah sungai. Pemandangan yang kontras terlihat dari pemukiman di kedua desa ini adalah keberadaan toko-toko di atas air di baris pertama dan kedua pada pemukiman Concong Luar. Toko-toko di Concong Luar tersebut saling berhadapan, sehingga toko pada baris pertama membelakangi Sungai Sebatang water back village. Pemukiman di Panglima Raja pada baris pertama sebagian besar menghadap ke Sungai Sebatang water front village, tidak terlihat toko-toko di desa ini kecuali warung-warung kecil. Rumah-rumah di kedua desa ini bertipe rumah panggung, yang dihubungkan oleh jalan-jalan panggung seperti dermaga yang terbuat dari kayu dan dibangun dengan beberapa tonggak kayu yang mereka sebut “jalan pelantar”. Tiang-tiang penyanggah rumah di Panglima Raja sebagian besar terbuat dari kayu, sedangkan di Concong Luar sudah menggunakan beton cor bertulang, terutama rumah yang sekaligus berfungsi sebagai toko. Rumah-rumah toko yang berada di Concong Luar sebagian besar berlantai dua, dan dihuni oleh pedagang etnis Cina. Penduduk di Panglima Raja Mayoritas berprofesi sebagai nelayan 85, sebagai petani kebun 5, dan sisanya sebagai PNS dan pedagang. Komposisi penduduk berdasarkan pekerjaan di Concong Luar cukup jauh berbeda. Meskipun nelayan termasuk pekerjaan yang dominan 50, namun pekerjaan sebagai buruh 16, petani kebun 14, dan pedagang 12 cukup tinggi, sisanya sebagai PNS dan peternak. Tingkat pendidikan formal masyarakat di kedua desa masih berkisar pada pendidikan dasar, sebagian kecil saja yang menempuh sampai tingkat pendidikan menengah. Masyarakat dengan tingkat pendidikan sekolah dasar kebawah cukup tinggi di kedua desa ini, untuk Panglima Raja mencapai 90 dan Concong Luar mencapai 72. Masyarakat dengan tingkat pendidikan SLTP dan SLTA di Panglima Raja sebesar 8, sedangkan di Concong Luar mencapai 23. Sumber-sumber agraria yang terdapat di Panglima Raja dan Concong Luar tidak jauh berbeda dengan desa-desa lain di Indragiri Hilir, yaitu berkaitan dengan tanah, perairan, dan hutan. Tanah di Panglima Raja dan Concong Luar dimanfaatkan untuk perkebunan kelapa rakyat, potensi hutan didominasi oleh hutan mangrove dan hutan rawa gambut, sedangkan potensi perairan khususnya yang berkaitan dengan sumberdaya perikanan laut dan muara sungai. Potensi perikanan yang terkenal dari Panglima Raja dan Concong Luar adalah kerang darah, siput, dan udang nenek. Lokasi fishing ground untuk kedua desa ini menyatu, tidak dibatasi oleh batas administrasi. Tepat di ujung Sungai Sebatang terdapat lokasi perairan tempat kerang darah Anadara granosa tumbuh dan berkembang biak. Lokasi tersebut berupa hamparan lumpur pasang-surut, yang membentang 1 km dari batas pasang tinggi ke arah laut pada waktu surut rendah. Hamparan lumpur tersebut pada saat air laut surut merupakan pantai lumpur yang landai, sedangkan pada saat air laut pasang menjadi dasar perairan yang berlumpur. Selain kerang darah, terdapat pula siput dan udang nenek pada hamparan lumpur tersebut.