20 lalu lintas, pengangguran, narkotika dan sebagainya. Adapun tanggapan
yang positif, melihat kota sebagai tempat pusat modal, keahlian, daya kreasi, dan segala fasilitas yang mutlak bagi pembangunan Daldjoeni,
2003; Kusumawijaya, 2006; Adisasmita, 2010.
2.2. Pemukiman Kumuh Daerah Slum
Pemukiman sering disamakan dengan perumahan, padahal keduanya memiliki arti yang berbeda walaupun pada hakikatnya saling melengkapi.
Pemukiman memberi makna tentang pemukim atau kumpulan pemukim beserta sikap dan prilakunya di dalam lingkungan, sehingga
pemukiman menitikberatkan pada manusia dan bukan pada sesuatu yang
bersifat fisik atau benda mati. Sedangkan perumahan memberikan makna tentang rumah atau kumpulan rumah beserta prasarana dan sarana
lingkungan, jadi menitikberatkan pada aspek fisik atau benda mati Mulia,
2008.
Kumuh merupakan pandangan masyarakat kelas atas kaya terhadap sikap dan tingkah laku yang rendah dari masyarakat kelas bawah miskin.
Kurniasih 2007 mengemukakan bahwa kumuh dapat dipahami sebagai sebab dan sebagai akibat. Kumuh sebagai sebab adalah
kemunduran atau kerusakan lingkungan hidup dilihat dari: 1 segi fisik, yaitu gangguan yang
ditimbulkan oleh unsur-unsur alam seperti air dan udara, 2 segi masyarakat sosial, yaitu gangguan yang ditimbulkan oleh manusia sendiri seperti kepadatan
lalulintas, sampah.
Sebagai akibat, kumuh adalah
perkembangan dari gejala-
Universitas Sumatera Utara
21
gejala antara lain: 1 kondisi perumahan yang buruk, 2 penduduk yang terlalu padat, 3 fasilitas lingkungan yang kurang memadai, 4 tingkah laku
menyimpang, 5 budaya kumuh, 6 apatis dan isolasi.
Pemukiman kumuh adalah gambaran yang diberikan terhadap pemukiman orang-orang miskin di daerah perkotaan. Pemukiman kumuh ini
ditandai dengan gejala-gejala yaitu kondisi perumahan yang buruk karena tidak sesuai dengan persyaratan bangunan dan rumah yang sehat, penduduk
yang terlalu padat, fasilitas yang kurang memadai seperti sarana air bersih, listrik, jalan, sanitasi, ruang terbuka dan fasilitas sosial lainnya. Suparlan
2007 mengemukakan ciri-ciri pemukiman kumuh sebagai berikut : 1. Fasilitas umum yang kondisinya kurang atau tidak memadai
2. Kondisi hunian rumah dan pemukiman serta penggunaan ruangannya mencerminkan penghuninya yang kurang mampu atau miskin
3. Adanya tingkat frekuensi dan kepadatan volume yang tinggi dalam penggunaan ruang-ruang yang ada di pemukiman kumuh sehingga
mencerminkan adanya kesemrawutan tata ruang dan ketidakberdayaan ekonomi penghuninya.
4. Pemukiman kumuh merupakan suatu satuan-satuan komuniti yang hidup secara tersendiri dengan batas-batas kebudayaan dan sosial yang
jelas, yaitu terwujud sebagai : a. Sebuah komuniti tunggal, berada di tanah milik negara dan karena itu
dapat digolongkan sebagai hunian liar
Universitas Sumatera Utara
22 b. Satuan komuniti tunggal yang merupakan bagian dari sebuah Rukun
Tetangga atau sebuah Rukun Warga c. Sebuah satuan komuniti tunggal yang terwujud sebagai Rukun
Tetangga atau Rukun Warga atau bahkan terwujud sebagai sebuah
Kelurahan dan bukan hunian liar
5. Penghuni pemukiman kumuh secara sosial ekonomi tidak homogen, warganya mempunyai mata pencaharian dan tingkat kepadatan yang
beranekaragam, begitu pula asal muasalnya. Dalam masyarakat kumuh juga dikenal adanya pelapisan sosial berdasarkan atas kemampuan
ekonomi mereka yang berbeda-beda tersebut.
6. Sebagian besar penghuni pemukiman kumuh adalah mereka yang bekerja di sektor informal atau mempunyai mata pencaharian tambahan di sektor
informal. Selanjutnya Sinulingga 1999 mengemukakan ciri-ciri pemukiman kumuh
tersebut adalah sebagai berikut : 1. Luas dan ukuran bangunan yang sempit dengan kondisi rata-rata yang
tidak memenuhi standar kesehatan maupun standar kehidupan sosial yang layak
2. Kondisi bangunan rumah yang saling berhimpitan sehingga rentan dan rawan terhadap bahaya kebakaran
3. Kurangnya suplai terhadap kebutuhan air bersih
Universitas Sumatera Utara
23 4. Jaringan listrik yang tidak tertata dan terpasang secara baik serta dengan
kapasitas yang terbatas 5. Drainase yang sangat buruk
6. Jalan lingkungan yang buruk dan tidak memadai 7. Ketersediaan sarana MCK yang sangat terbatas.
Lingkungan pemukiman kumuh terlihat jorok karena warganya belum memiliki kesadaran untuk hidup bersih dan sehat. Rumah dibangun secara
berdempetan dan tidak teratur, banyak warganya yang membuang sampah secara sembarangan sehingga aliran air tidak lancar. Akibatnya adalah
sering muncul permasalahan di kawasan permukiman kumuh
seperti bahaya kebakaran, banjir, masalah kesehatan dan lingkungan.
Nurmaidah 2010 mengemukakan bahwa pemukiman kumuh ini tidak layak huni karena tidak memenuhi syarat sebagai tempat tinggal, dengan
kriteria antara lain :
a.
Luas lantai perkapita, di kota kurang dari 4 m
2
sedangkan di desa kurang dari 10 m
2
.
b.
Jenis atap rumah terbuat dari daun dan lainnya.
c. Jenis dinding rumah terbuat dari anyaman bambu yang belum diproses. d. Jenis lantai tanah
e.
Tidak mempunyai fasilitas tempat untuk Mandi, Cuci, Kakus MCK.
Selain dicirikan oleh pemilihan lokasi tempat tinggal yang tidak layak huni, warga dari pemukiman kumuh umumnya terkonsentrasi pada berbagai
Universitas Sumatera Utara
24 jenis pekerjaan di sektor informal seperti penjual makanan dan minuman
baik yang diproduksi sendiri maupun diambil dari orang lain, penjual rokok dan sejenisnya. Pada umumnya mereka berjualan secara berkeliling
atau menggunakan “lapak” sebagai pedagang kaki lima. Jenis pekerjaan lainnya yang banyak dilakukan adalah sebagai pemulung, kuli bangunan
dan pekerjaan kasar lainnya. Terkonsentrasinya mereka pada sektor informal ini adalah karena mudah dimasuki dan tidak memerlukan
ketrampilan serta pendidikan yang tinggi. Sektor informal menyediakan berbagai barang dan jasa misalnya tenaga kerja kurang terampilkurang
terdidik untuk kebutuhan pembangunan fisik kota, bahkan sebagian bisa mendukung keberlangsungan kehidupan sektor formal Lubis, 2010.
Mata pencaharian warga pemukiman kumuh yang umumnya di sektor informal ini mengakibatkan tingkat kemampuan ekonominya rendah,
tetapi perkembangan pemukiman kumuh ini di daerah perkotaan sangat
pesat. Nurmaidah 2010, mengemukakan faktor yang mendorong perkembangan pemukiman kumuh di daerah perkotaan adalah :
a. Pertumbuhan penduduk yang cukup tinggi baik berasal dari pertumbuhan alamiah maupun terjadi akibat arus urbanisasi.
b. Mahalnya pembangunan rumah di kota ditunjang dengan keterbatasan lahan. c. Rendahnya kemampuan penduduk untuk tinggal di kawasan pemukiman
layak huni karena keterbatasan kondisi ekonomi. d. Keterbatasan sarana dan prasarana untuk memenuhi kebutuhan hidup
masyarakat terutama masyarakat ekonomi kelas bawah.
Universitas Sumatera Utara
25 Selain faktor-faktor ekonomi maka perkembangan pemukiman kumuh
ini juga dipengaruhi pandangan warga miskin di perkotaan dalam memilih rumah tempat tinggal. Santoso dalam Kurniasih 2007 mengemukakan
bahwa pandangan masyarakat berpenghasilan rendah dalam memilih rumah adalah:
1. Dekat dengan tempat kerja atau di tempat yang berpeluang untuk mendapatkan pekerjaan, minimal pekerjaan di sektor informal
2. Kualitas fisik hunian dan lingkungan tidak penting sejauh mereka masih bisa menyelenggarakan kehidupan mereka.
3. Hak-hak penguasaan atas tanah dan bangunan khususnya hak milik tidak penting. Yang penting bagi mereka adalah mereka tidak diusir atau
digusur, sesuai dengan cara berpikir mereka bahwa rumah adalah sebuah fasilitas.
Pemukiman kumuh sering juga disebut pemukiman liar karena dibangun secara tidak resmi liar pada lahan kosong di kota yang
merupakan milik pemerintah maupun swasta, yang didiami oleh orang yang miskin karena tidak mempunyai akses terhadap pemilikan lahan
tetap. Menurut Srinivas, istilah pemukiman liar sesungguhnya dimulai sejak masa pembangunan diprakarsai negara Barat Lubis, 2010. Sebutan
pemukiman liar sebenarnya tidak mengandung suatu kecenderungan kriminal, tetapi hanya menunjukkan hubungan antara kelompok orang dan
perumahan di atas tanah tertentu, maksudnya seorang pemukim liar adalah yang menempati sebidang tanah, sebuah rumah atau sebuah bangunan tanpa
kekuatan hukum Auslan, 1986.
Universitas Sumatera Utara
26 Menurut Oscar Lewis dalam Suparlan 1984, pemasalahan yang
terdapat di pemukiman kumuh dan liar sangat kompleks. Pada pemukiman tersebut tercipta suatu kehidupan yang tidak nyaman yang mengakibatkan
munculnya budaya kemelaratan seperti apatisme, serba curiga, putus asa, ketergantungan, rendah diri, kriminalitas, berorientasi pada masa kini yang
kesemuanya disosialisasikan dari satu generasi ke generasi berikutnya.
2.3. Kemiskinan dan Kebudayaan Kemiskinan