53
4.2. Kondisi Fisik Pemukiman Kumuh
Pemukiman kumuh di Kelurahan Pulo Brayan Kota menyebar dibeberapa lingkungan yang berada di sepanjang bantaran rel kereta api,
salah satu di antaranya adalah lingkungan XXIV. Rumah-rumah di pemukiman kumuh ini dibangun di atas tanah milik PJKA yang
mengijinkan penduduk membangun tempat tinggal mereka dengan status hak pakai. Warga dapat menggunakan tanah tersebut secara gratis dan hal
ini telah berlangsung selama puluhan tahun. PJKA sebenarnya mempersyaratkan agar bangunan yang didirikan penduduk berjarak minimal
8 m dari rel kereta api, tetapi rumah-rumah kumuh yang dibangun sejajar dengan rel kereta api ini hanya berjarak sekitar 3 – 4 m dari rel kereta api
sehingga sangat rentan terhadap kecelakaan yang dapat terjadi setiap saat. Deretan rumah penduduk yang jaraknya sangat dekat dengan rel kereta api
ini dapat dilihat pada gambar berikut ini
Gambar 4.6. Jarak Rumah Penduduk dengan Rel Kereta Api
Universitas Sumatera Utara
54 Salah satu indikasi rumah sehat menurut Badan Kesehatan Dunia
WHO adalah rumah tinggal yang memiliki luas lantai per kapita minimal 10 m2 BPS Kota Medan, 2012. Ukuran rata-rata rumah di pemukiman
kumuh ini adalah 4 x 3 m dan 5 x 4 m atau sama dengan luas 12 m2 dan 20 m2. Besaran jumlah anggota keluarga yang tinggal di dalam setiap rumah
adalah antara 1 – 6 orang, sehingga rata-rata luas lantai per kapita adalah antara 2 m2 – 3,3 m2. Jumlah ini sangat jauh lebih kecil dari persyaratan
rumah sehat yang ditetapkan oleh WHO. Nurmaidah 2010 mengemukakan bahwa luas lantai per kapita di kota kurang dari 4 m2, sehingga merupakan
pemukiman kumuh yang tidak layak huni karena tidak memenuhi syarat sebagai tempat tinggal.
Sebagian besar dari rumah tersebut tidak memiliki pembagian ruang dengan fungsi yang berbeda. Mereka setiap hari melakukan berbagai
kegiatan seperti memasak, tidur, menerima tamu, istirahat dan kegiatan- kegiatan keluarga lainnya di ruangan yang sama. Hanya sebagian dari
rumah-rumah tersebut yang memiliki 1 kamar tidur sedangkan sebagian lagi tidak memiliki kamar tidur sama sekali.
Bahan dinding bangunan terbuat dari tepas, papantripleks dan sebagian kecil terbuat dari setengah batu bata tanpa plester dan setengah
papantripleks. Bahan atap rumah terbuat dari seng yang sebagian besar telah berkarat dan ada juga yang masih terbuat dari rumbia. Sebagian besar
lantai rumah telah menggunakan semen kasar tetapi masih terdapat juga rumah yang berlantai tanah. Kondisi fisik rumah penduduk dapat dilihat
Universitas Sumatera Utara
55 pada gambar berikut ini :
Gambar 4.7. Kondisi Fisik Rumah Penduduk Kondisi bahan bangunan seperti ini merupakan ciri-ciri umum dari rumah
yang terdapat di kawasan pemukiman kumuh. Hal yang sama juga ditemukan oleh Kurniasih 2007 di kawasan Petukangan Jakarta Utara
yaitu dinding bangunannya terbuat dari seng, papan, triplek, dan sebagian dari tembok, lantai terbuat dari plesteran semen dan atap bangunan
menggunakan genting dan seng. Sebagian besar rumah-rumah kumuh ini telah menggunakan
penerangan listrik dari PLN dengan pencahayaan seadanya karena mereka harus mengirit pengeluaran untuk pembayaran rekening listrik. Hampir
semua penghuni pemukiman kumuh ini menggunakan air sumur galian sebagai sumber air minum dan untuk keperluan MCK, seperti terlihat pada
Universitas Sumatera Utara
56 pada gambar berikut ini :
Gambar 4.8. Sumur Galian untuk Keperluan MCK Kamar mandi menyatu dengan WC yang terletak di bagian samping atau
belakang rumah dengan dinding yang terbuat dari bahan-bahan yang sederhana seperti tepas, tenda plastik atau kombinasi keduanya. WC yang
digunakan tanpa septic tank model cemplung dan limbah dari WC dan kamar mandi ini disalurkan ke parit yang terletak di belakang barisan rumah
di pemukiman kumuh ini, sehingga tidak memenuhi syarat hunian yang sehat karena jaraknya sangat dekat dengan sumur galian, seperti terlihat
pada gambar berikut ini :
Universitas Sumatera Utara
57
Gambar 4.9. Saluran Pembuangan Air Limbah dari Rumah Penduduk Setiap rumah di pemukiman kumuh ini tidak mempunyai tempat
pembuangan sampah yang permanen, sehingga sampah hanya dibuang secara sembarangan di depan rumah atau di sekitar lingkungan pemukiman
kumuh ini. Pemusnahan sampah umumnya dilakukan dengan cara membakar sampah tersebut jika sudah kering, tetapi sebagian besar sampah
yang tidak terbakar akan berserakan di halaman rumah warga. seperti terlihat pada gambar berikut ini :
Universitas Sumatera Utara
58
Gambar 4.10. Tempat Pembuangan Sampah Penelitian yang dilakukan Julia Ivana di kawasan kumuh di
Kecamatan Percut Sei Tuan juga menemukan hal yang sama. Ivana mengemukakan bahwa tingkat kekumuhan kawasan Percut Sei Tuan dilihat
dari segi kondisi fisik lingkungan sangat tinggi tidak layak karena sebanyak 68 menggunakan air yang bersumber dari sungai untuk mandi
dan mencuci. Demikian juga tempat pembuangan sampah dilakukan disembarang tempat, penampungan dan tempat pembuangan tinja yang
digunakan sebagian besar rumah responden adalah ke sungai. Kondisi fisik lingkungan yang tidak memadai ini menyebabkan kawasan tersebut kumuh
Ivana, 2006. Lantai rumah di pemukiman kumuh ini lebih rendah dari bantaran rel
kereta api yang ada di depannya, sehingga pada musim penghujan maka
Universitas Sumatera Utara
59 genangan air akan masuk ke dalam rumah warga. Jika banjir telah surut
maka genangan air yang masih tersisa di halaman rumah penduduk akan merendam sampah-sampah yang berserakan ini, seperti terlihat pada gambar
berikut ini :
Gambar 4.11. Genangan Air Di Depan Rumah Penduduk Keadaan ini akan menimbulkan aroma yang tidak sedap dan sekaligus
membahayakan kesehatan penduduk yang rentan terhadap penyakit seperti gatal - gatal, diare, flu dan lain-lain. Sunuharyo dalam Sumardi 1982,
Universitas Sumatera Utara
60 mengemukakan bahwa ciri-ciri dari penduduk miskin tersebut antara lain
adalah kondisi kesehatan yang menyedihkan dan tempat tinggal yang jauh dari memenuhi syarat kebersihan dan kesehatan sempit, pengap dan kotor.
4.3. Kehidupan Ekonomi Penduduk