60 mengemukakan bahwa ciri-ciri dari penduduk miskin tersebut antara lain
adalah kondisi kesehatan yang menyedihkan dan tempat tinggal yang jauh dari memenuhi syarat kebersihan dan kesehatan sempit, pengap dan kotor.
4.3. Kehidupan Ekonomi Penduduk
4.3.1. Pekerjaan Bidang pekerjaan yang menjadi sumber mata pencaharian warga
pemukiman kumuh ini dibedakan menjadi pekerjaan utama dan pekerjaan tambahan. Bidang-bidang pekerjaan tersebut sangat
bervariasi seperti berjualan di pajak pagi Pulo Brayan, penarik becak dayung atau beca bermotor, tukang tambal ban motor, buruh
bangunan, tukang bangunan, supir, penjahit, karyawan toko, pemulung dan ada yang hanya bekerja secara serabutan mocok-
mocok. Bidang-bidang pekerjaan tersebut termasuk sebagai sektor informal yang merupakan ciri kaum miskin di daerah perkotaan
termasuk warga pemukiman kumuh, sebagaimana dikemukakan oleh Suparlan 2007 bahwa penghuni pemukiman kumuh secara sosial
ekonomi tidak homogen, warganya mempunyai mata pencaharian dan tingkat kepadatan yang beranekaragam.
Untuk memenuhi kebutuhan ekonomi rumah tangga maka seluruh anggota keluarga yaitu suami, isteri dan anak-anak dilibatkan
dalam mencari nafkah. Hal ini sesuai dengan pendapat dari Moser
dalam Simarmata 2009, bahwa masyarakat miskin dalam
Universitas Sumatera Utara
61 mempertahankan kelangsungan hidupnya mengembangkan strategi
adaptasi pengelolaan aset tenaga kerja, misalnya meningkatkan keterlibatan wanita dan anak dalam bekerja untuk membantu ekonomi
rumah tangga. Suami sebagai penanggung jawab utama dalam mencari nafkah memiliki pekerjaan utama dan pekerjaan
tambahan. Misalnya jika pekerjaan utamanya adalah penarik becak maka sebagai pekerjaan tambahan yang dilakukannya adalah
pemulung, tukang bangunan atau buruh bangunan. Oleh karena penghasilan suami dari pekerjaan utama dan
pekerjaan tambahan sering tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan keluarga maka sebagian besar dari kaum ibuisteri warga
pemukiman kumuh ini harus bekerja untuk menambah penghasilan suami. Bidang-bidang pekerjaan kaum ibuisteri ini
adalah sebagai pembantu rumah tangga, tukang cucisetrika, pemulung atau membuka warung kecil di rumahnya yang menjual
makanan ringan, es, bakso, mie dan lain-lain. .
Anak-anak yang sudah tidak bersekolah lagi juga telah dilibatkan dalam mencari nafkah untuk membantu kehidupan ekonomi
keluarga. Kemiskinan yang dialami menyebabkan mereka hanya bisa menamatkan pendidikannya pada tingkat SD atau SMP. Mereka
bekerja sebagai penarik becak, buruh bangunan, pembantu rumah tangga, tukang cucisetrika atau menjadi pemulung. Pada keluarga
yang bermatapencaharian sebagai pemulung maka anak-anak yang
Universitas Sumatera Utara
62 masih bersekolah juga telah dilibatkan untuk membantu orang tuanya.
Anak-anak ini diberi tugas untuk memilah-milah barang-barang bekas botot yang telah dikumpulkan orang tua mereka.
Bagi kaum ibu yang telah menjadi janda maka penanggungjawab utama dalam mencari nafkah berada pada si
ibu, yang bekerja sebagai pembantu rumah tangga, tukang cucisetrika, pemulung atau membuka warung kecil di rumahnya. Si
ibu akan dibantu anak-anaknya yang telah mampu bekerja untuk mencari nafkah. Mereka umumnya bekerja sebagai karyawan toko,
buruh bangunan, penarik becak atau menjadi pemulung. 4.3.2. Pendapatan dan Pengeluaran
Bidang pekerjaan yang menjadi sumber mata pencaharian hidup warga pemukiman kumuh ini merupakan sektor informal
dengan penghasilan yang rendah, sehingga mereka berada dalam kehidupan ekonomi yang miskin. Sumardi 1982 mengemukakan
bahwa sektor informal dicirikan oleh sektor ekonomi marginal dengan kondisi nyata kegiatan sejumlah tenaga kerja yang umumnya
kurang berpendidikan, tidak punya ketrampilan. Tingkat pendidikan yang rendah yakni hanya tamat SD dan SMP dan tidak adanya
ketrampilan yang memadai mengakibatkan mereka tidak mempunyai pilihan lain untuk bekerja di luar sektor informal tersebut. Rata-
rata pendapatan keluarga adalah antara Rp. 900.000 – Rp. 1.500.000
Universitas Sumatera Utara
63 yang diperoleh dari pekerjaan utama dan pekerjaan tambahan, baik
oleh suami, isteri dan anak-anak maupun anggota keluarga lainnya yang ikut di dalam suatu keluarga. Jika seluruh anggota keluarga yaitu
suami, isteri, anak-anak maupun anggota keluarga lainnya bekerja untuk mencari nafkah, maka mereka akan memperoleh penghasilan
yang lebih besar dibandingkan kalau hanya suami, hanya isteri atau hanya anak-anak saja yang bekerja.
Pengeluaran dalam setiap keluarga untuk memenuhi kebutuhan dikelompokkan menjadi dua bagian yaitu pengeluaran
untuk pangan beras dan lauk pauk dan pengeluaran untuk non pangan pakaian, pendidikan, transportasi, kesehatan dan lain-lain.
Pengeluaran terbesar dalam setiap keluarga adalah untuk memenuhi kebutuhan pangan yaitu antara Rp. 750.000 – Rp. 1.200.000.
Jadi persentase terbesar pengeluaran setiap rumah tangga adalah untuk makanan yakni antara 80 - 83 dari pendapatan. Kemudian
sisanya digunakan untuk transportasi, kesehatan pendidikan, listrik, ibadahSTM. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa warga
pemukiman kumuh ini merupakan keluarga miskin, sebagimana dikemukakan oleh Papanek 1986 bahwa golongan berpenghasilan
rendah miskin membelanjakan 85 pendapatannya untuk membeli makanan. Sedangkan data dari BPS 2010 memperlihatkan bahwa
bagi masyarakat miskin di perkotaan, persentase pengeluaran rumah tangga terbesar adalah untuk makanan yakni sebesar 73,5.
Universitas Sumatera Utara
64 Para informan umumnya berpendapat bahwa penghasilan yang
mereka peroleh tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan sehari- hari, tetapi diupayakan agar bisa “dicukup-cukupkan”. Hal ini
menunjukkan sikap pasrah nrimo mereka dalam menerima kenyataan yang harus dihadapinya. Ukuran yang digunakan warga
masyarakat dalam menilai kecukupan pendapatan yang diperoleh adalah asal sudah dapat memenuhi kebutuhan makan anggota keluarga
terutama anak-anak. Mereka juga tidak terlalu mempersoalkan frekuensi makan yang dapat dikatakan cukup, kalau ada akan makan
tiga kali sehari tetapi kalau sedang tidak mempunyai uang maka satu kalipun makan dalam sehari juga dianggap cukup.
Prioritas pengeluaran mereka adalah untuk membeli beras untuk keperluan makan. Mereka umumnya membeli beras untuk konsumsi
satu hari, sangat jarang mereka dapat membeli beras untuk keperluan satu minggu apalagi menyediakan stok untuk keperluan sebulan.
Pengeluaran berikutnya setelah makanan adalah untuk keperluan perumahan, listrik, sandang, kesehatan, pendidikan, ibadahSTM.
Bagi keluarga yang telah memiliki rumah sendiri maka urutan prioritas pengeluaran ini adalah makanan, listrik, sandang, kesehatan,
pendidikan, tranportasi dan ibadahSTM. Sedangkan bagi keluarga yang masih menyewa rumah maka urutan prioritas pengeluaran ini
adalah makanan, sewa rumah, listrik, sandang, kesehatan, pendidikan dan ibadahSTM.
Universitas Sumatera Utara
65 Pendapatan warga masyarakat yang kecil sebagai warga miskin
menyebabkan jenis kebutuhan yang idealnya dianggap penting, dalam kenyataannya menjadi tidak penting bagi mereka untuk
mengkonsumsinya. Kesehatan adalah jenis kebutuhan yang idealnya dianggap penting tetapi jika menderita sakit ringan maka mereka
akan berusaha untuk tidak berobat ke dokter atau ke puskesmas dengan biaya yang paling murah sekalipun. Mereka hanya membeli
obat yang sudah umum di jual di warung atau meminum jamu. Oleh sebab itulah warga masyarakat merasa sangat terbantu dengan adanya
berbagai program bantuan kesehatan yang diberikan pemerintah seperti jamkesmas, walaupun belum semua warga pemukiman kumuh
ini dapat menikmati program bantuan tersebut. Warga pemukiman kumuh ini juga mengetahui bahwa
pendidikan merupakan sesuatu yang penting, tetapi karena kecilnya pendapatan yang diperoleh setiap bulannya menyebabkan mereka
tidak dapat menyisihkannya untuk keperluan pendidikan anak- anaknya. Salah seorang informan yaitu Porman Sitorus 38 tahun
mengemukakan pendapatnya sebagai berikut : “Anakku yang paling besar sekarang sudah kelas 5 SD
dan kami sekolahkan dia di negeri supaya tidak banyak pengeluaran untuk biaya pendidikannnya. Kalau
sekolah di swasta, nggak sangguplah. Aku heran melihat keadaan di negara kita ini, yang kaya semakin
kaya dan yang miskin semakin miskin”.
Universitas Sumatera Utara
66 Mereka harus merelakan pendidikan anak-anaknya yang tidak dapat
melanjutkan sekolahnya ke SMP atau SMA. Anak-anak yang putus sekolah ini justeru menjadi penting untuk bekerja agar dapat
membantu ekonomi keluarga. Ada beberapa informan yang mengatakan bahwa “anak orang kecil, toh jadi orang kecil juga”.
Jawaban ini seakan menggambarkan kepasrahan mereka terhadap ketidakmampuan dalam memperoleh pendidikan tersebut.
Sunuharyo dalam Sumardi 1982 mengemukakan bahwa salah satu ciri dari penduduk miskin tersebut adalah kondisi kesehatan yang
menyedihkan dan tidak mampu mendapatkan pendidikan formalnon formal. Dengan demikian karena mereka miskin maka tidak mampu
meningkatkan produktifitasnya dan karena produktifitasnya rendah maka mereka tetap miskin. Akibatnya adalah mereka tetap terjerat
dalam lingkaran setan kemiskinan yang tidak berujung pangkal tersebut. Hidup dalam lingkaran setan kemiskinan tersebut
mengakibatkan munculnya ciri-ciri kebudayaan kemiskinan sebagaimana dikemukakan oleh Oscar Lewis dalam Suparlan 1984
yaitu apatisme, curiga, putus asa, ketergantungan, rendah diri, kriminalitas, berorientasi pada masa kini yang kesemuanya
disosialisasikan dari satu generasi ke generasi berikutnya. 4.3.3. Kepemilikan Rumah dan Peralatan Rumah Tangga
Rumah yang ditempati warga pemukiman kumuh ini ada yang statusnya sudah merupakan milik sendiri dan ada pula yang masih
Universitas Sumatera Utara
67 dalam status menyewa milik orang lain. Ada beberapa cara
kepemilikan terhadap rumah yang sudah merupakan milik sendiri yaitu :
1 merupakan warisan dari orang tua : penghuni yang menempati rumah tersebut pada saat sekarang ini merupakan generasi
kedua, sedangkan yang membangun rumah tersebut adalah orang tua mereka.
2 membeli dari pemilik sebelumnya : penghuni yang menempati rumah tersebut pada saat sekarang ini bukan sebagai pihak yang
membangun rumah tersebut tetapi membelinya dari pemilik sebelumnya.
3 membangun sendiri : penghuni yang menempati rumah tersebut pada saat sekarang ini membangun sendiri rumah tersebut setelah
mendapat izin dari pihak PJKA untuk menggunakan lahan tersebut. Sebagian dari warga pemukiman kumuh tersebut ada yang masih
menyewa rumah yang mereka tempati karena belum sanggup untuk memiliki rumah sendiri. Mereka mau menyewa rumah di kawasan
pemukiman kumuh tersebut karena harga sewa rumah yang relatif masih murah sesuai dengan kesanggupan ekonomi mereka.
Rata-rata harga sewa rumah di kawasan ini adalah antara Rp. 150.000 - Rp. 250.000 per bulan.
Universitas Sumatera Utara
68 Warga pemukiman kumuh ini memilih bertempat tinggal di
kawasan tersebut karena letaknya yang dekat dengan tempat mereka melakukan aktivitas ekonomi seperti berjualan di pajak pagi
pasar Pulo Brayan, sebagai karyawan toko di kawasan pertokoan Pulo Brayan atau sebagai penarik becak dayung atau beca bermotor yang
sebagian besar penumpang yang menggunakan jasa mereka adalah warga sekitar yang mau berbelanja ke pajak Pulo Brayan. Bagi warga
yang masih berstatus sebagai penyewa rumah maka harga sewa rumah yang murah merupakan alasan mereka untuk bermukim di
kawasan tersebut. Hasil penelitian yang dilakukan Nurmaidah di Kelurahan
Tegal Sari II Kecamatan Medan Denai memperlihatkan bahwa faktor sosial ekonomi pekerjaan, pendapatan dan pendidikan sangat
berpengaruh signifikan dengan alasan memilih tinggal dilokasi penelitian tersebut Nurmaidah, 2010. Hal ini sesuai dengan
pendapat Santoso dalam Kurniasih 2007 yang mengemukakan bahwa pandangan masyarakat berpenghasilan rendah miskin
dalam memilih rumah tempat tinggal adalah dekat dengan tempat kerja, kualitas fisik hunian dan lingkungan tidak penting dan tidak
mempersoalkan hak penguasaan atas tanah dan bangunan tersebut. Kondisi rumah-rumah yang terdapat di kawasan pemukiman
kumuh ini sangat memprihatinkan. Sebagian rumah tersebut yang dindingnya terbuat dari papantripleks atau tepas telah berlubang pada
Universitas Sumatera Utara
69 beberapa bagian karena dimakan rayap. Demikian pula halnya dengan
atap rumah yang walaupun telah terbuat dari seng tetapi kondisinya karatan dan berlubang-lubang pada beberapa bagian sehingga saat
musim penghujan cukup menyengsarakan mereka, seperti terlihat pada gambar berikut ini :
Gambar 4.12. Kondisi Atap Rumah Penduduk Lantai rumah mereka umumnya telah menggunakan semen tetapi
kondisinya juga memprihatinkan karena telah berlubang pada beberapa bagian lantai tersebut. Upaya-upaya untuk melakukan
perbaikan pada kerusakan-kerusakan yang ada pada rumah mereka hampir tidak pernah dapat mereka lakukan karena kesulitan
ekonomi yang mereka hadapi. “Jangankan untuk memperbaiki
Universitas Sumatera Utara
70 rumah, penghasilan kami untuk memenuhi keperluan makan sehari-
hari saja tidak mencukupi”, adalah merupakan keluhan yang lazim mereka lontarkan jika kepada mereka dipertanyakan perihal upaya
memperbaiki kondisi rumah tempat tinggalnya. Kondisi rumah dan lingkungan sebagaimana digambarkan pada
uraian di atas mengkibatkan sebagian besar warga pemukiman kumuh ini merasa tidak puas untuk bertempat tinggal di kawasan tersebut.
Mereka dengan terpaksa harus menerima kenyataan tersebut karena tidak memiliki uang yang cukup untuk membeli rumah yang lebih
layak. Faktor kedekatan tempat tinggal dengan sumber mata pencaharian hidup mereka merupakan alasan lain yang membuat
bersabar untuk tetap bertempat tinggal di kawasan pemukiman kumuh tersebut. Hal yang selalu membuat mereka merasa khawatir dengan
rumah dan lingkungan tempat tinggal mereka adalah banjir yang terjadi di saat musim penghujan, takut jika suatu saat kereta api
terbalik atau jika suatu saat PJKA menggusur mereka dari kawasan tersebut. Walaupun demikian warga pemukiman kumuh ini juga
masih punya impian jika suatu saat kelak mereka dapat memiliki rumah yang lebih layak seperti rumah perumnas atau rumah susun
yang pernah mereka lihat dalam tayangan televisi. Hampir setiap rumah tidak memiliki perabotan rumah tangga dengan kondisi yang
baik. Jikalau di dalam suatu rumah terdapat kursi tamu tetapi kondisinya kelihatan sudah tua dan terbuat dari bahan yang kurang
Universitas Sumatera Utara
71 berkualitas.
4.3.4. Kepemilikan Alat-alat Transportasi dan Elektronik Jenis alat-alat elektronik yang umumnya dimiliki setiap rumah
tangga adalah televisi TV. Hal ini mencerminkan bahwa TV sudah merupakan barang elektronik kebutuhan setiap keluarga
sebagai sarana hiburan dan informasi yang tergolong murah untuk keluarga. Media hiburan lainnya yang dimiliki sebagian keluarga
adalah radiotape. Alat-alat elektronik lainnya yang dimiliki beberapa keluarga adalah kipas angin yang sangat mereka butuhkan mengingat
rumah mereka yang berdempetan sehingga ventilasi untuk sirkulasi udara sangat sedikit. Umumnya alat-alat elektronik ini sudah tua dan
merek yang tidak terlalu terkenal. Mereka mendapatkannya dengan membeli berupa barang-barang bekas second sehingga harganya
cukup terjangkau oleh kemampuan ekonomi mereka sebagai masyarakat miskin.
Demikian pula halnya dengan alat-alat transportasi yang dimiliki warga seperti sepedasepeda motor dengan kondisi yang juga sudah
tua dan tidak terawat dengan baik. Beberapa keluarga juga memiliki beca barang dan beca bermotor karena berkaitan dengan jenis mata
pencahariannya seperti penarik becak, pemulung atau berjualan di pajak pagi Pulo Brayan, seperti terlihat pada gambar berikut ini :
Universitas Sumatera Utara
72
Gambar 4.13. Beca DayungBermotor Sebagai Alat Transportasi dan Untuk Mencari Nafkah
4.4. Kehidupan Sosial Budaya Penduduk