pihak yang kalah untuk mengajukan pembatalan putusan ke Pengadilan Negeri apabila putusan tersebut diduga mengandung unsur-unsur sebagai berikut :
1. Surat atau dokumen yang diajukan dalam pemeriksaan, setelah putusan
dijatuhkan, diakui palsu dan dinyatakan palsu. 2.
Setelah putusan diambil ditemukan dokumen yang bersifat menentukan yang disembunyikan oleh pihak lawan, atau
3. Putusan diambil dari tipu muslihat yang dilakukan oleh salah satu pihak
dalam pemeriksaan sengketa. Dari alasan-alasan tersebut di atas jelas bahwa pembatalan tersebut bukanlah
merupakan banding biasa terhadap suatu putusan arbitrase melainkan pembatalan tersebut merupakan upaya hukum luar biasa. Oleh karenanya tanpa alasan-alasan
yang sangat spesifik tersebut, pada prinsipnya pembatalan suatu putusan arbitrase tidak mungkin dapat dilakukan.
Jadi sangat jelas sekali bahwa putusan arbitrase memang memiliki kekuatan hukum yang tetap yang tidak bisa dilakukan upaya hukum lainnya dimana putusan
arbitrase tersebut dapat segera dilakukan eksekui apakah secara suka rela ataupun melalui Pengadilan Negeri setempat.
D. Arbitrase Sebagai Suatu Cara Penyelesaian Sengketa di Luar Badan Peradilan Non Litigasi
Bahwa dengan semakin maju dan berkembangnya suatu bangsa maka semakin banyak dan besar pula aktivitas kegiatan dari masyarakatnya, baik itu
Universitas Sumatera Utara
kegiatan dalam dunia bisnis dan perdagangan, sosial budaya, ekonomi dan lain sebagainya. Bahwa dalam setiap kegiatan dan aktivitas dari warga negara dan
masyarakat terutama khususnya dalam dunia perdagangan tentunya tidak terlepas dari yang namanya persoalan atau sengketa yang terjadi baik karena kesengajaan maupun
karena kelalaian, wanprestasi dan lain sebagainya. Kalau sengketa ataupun persoalan tersebut telah terjadi tentunya tidak ada jalan lain selain harus diselesaikan secepat
mungkin agar tercapai suatu kepastian hukum. Bahwa apabila terjadi sengketa antara dua belah pihak biasanya kedua belah pihak mempunyai suatu kepentingan yang
sama yaitu sama-sama ingin menyelesaikannya secepat mungkin. Bahwa apabila penyelesaian sengketa tersebut tidak bisa diselesaikan secara
musyawarah dan mufakat maka lazimnya persoalan dan sengketa tersebut haruslah dibawa ke pengadilan untuk mendapatkan suatu kepastian hukum. Akan tetapi karena
banyaknya kelemahan-kelemahan yang melekat pada badan peradilan dalam menyelesaikan sengketa, baik itu kelemahan yang dapat diperbaiki ataupun
kelemahan yang sama sekali tidak dapat diperbaiki maka banyak kalangan yang ingin mencari cara lain atau institusi lain dalam menyelesaikan sengketa di luar badan-
badan peradilan. Model penyelesaian sengketa di luar pengadilan yang sangat populer saat ini adalah apa yang disebut dengan arbitrase.
Namun arbitrase bukanlah satu-satunya jalan untuk menyelesaikan sengketa di lar pengadilan. Masih banyak alternatif penyelesaian sengketa di luar pengadilan,
meskipun tidak sepopuler lembaga arbitrase misalnya melalui cara mediasi maupun konsiliasi dan lain sebagainya. Baik mediasi maupun rekonsiliasi adalah sama-sama
Universitas Sumatera Utara
merupakan suatu upaya menyelesaikan sengketa dengan cara musyawarah dan mufakat yang diperantarai oleh seorang mediator atau konsiliator. Akan tetapi sifat
dari pada penyelesaian sengketa dengan cara mediasi dan konsiliasi tidaklah merupakan keputusan yang bersifat final tetapi hanya sarana untuk mencari jalan
penyelesaian ke arah yang lebih baik tanpa harus berperkara kepada arah yang lebih jauh lagi.
Selanjutnya dikenal juga alternatif penyelesaian sengketa yang lain lagi seperti Ombudsman, Badan Perumus administrasi, internal tribunal, dimana
kesemuanya tentunya memiliki kelebihan maupun kelemahan masing-msing. Penyelesaian sengketa alternatif mempunyai kadar keterikatan kepada aturan main
yang bervariasi dari yang paling kaku dalam menjalankan aturan main sampai kepada yang paling relaks.
Faktor-faktor penting yang berkaitan dengan pelaksanaan kerja penyelesaian sengketa alternatif juga mempunyai kadar yang berbeda-beda yaitu :
1. Apakah para pihak dapat diwakili oleh pengacaranya atau para pihak sendiri
yang tampil. 2.
Apakah partisipasi dalam penyelesaian sengketa alternatif tertentu wajib dilakukan oleh para pihak atau hanya bersifat suka rela.
3. Apakah putusan dibuat oleh para pihak sendiri atau oleh pihak ketiga.
4. Apakah prosedur yang digunakan bersifat formal atau tidak formal.
5. Apakah dasar untuk menjatuhkan putusan adalah aturan hukum atau ada
kriteria lain.
Universitas Sumatera Utara
6. Apakah putusan dapat dieksekusi secara hukum atau tidak.
Tidak semua model penyelesaian sengketa alternatif baik untuk para pihak yang bersengketa. Oleh karena itu para pihak yang bersengketa biasanya akan
mencari suatu alternatif penyelesaian sengketa yang lebih baik setidak-tidaknya memenuhi prinsip-prinsip sebagai berikut :
1. Haruslah efisien dari segi waktu.
2. Harus hemat biaya.
3. Haruslah dapat diakses oleh para pihak, misalnya tempatnya tidak terlalu jauh.
4. Haruslah melindungi hak-hak dari para pihak yang bersangkutan.
5. Haruslah dapat menghasilkan putusan yang adil dan jujur.
6. Badan atau orang yang menyelesaikan sengketa haruslah terpercaya dimata
masyarakat dan dimata para pihak yang bersengketa. 7.
Putusannya haruslah final dan mengikat. 8.
Putusannya haruslah dapat dan mudah dieksekusi. 9.
Putusannya haruslah sesuai dengan perasaan keadilan dari komuniti dimana penyelesaian sengketa alternatif tersebut terdapat.
Dari prinsip-prinsip tersebut di atas sudah jelas bahwa para pihak yang bersengketa selalu ingin mencari model penyelesaian yang lebih baik dan efisien,
maka oleh karena itu model penyelesaian sengketa yang paling banyak diminati oleh para usahawan adalah penyelesaian sengketa melalui lembaga arbitrase.
Seiring dengan makin tumbuh dan berkembangnya dunia usaha, kehadiran Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 telah memberikan angin segar bagi kalangan
Universitas Sumatera Utara
dunia usaha, walaupun jika kita inventarisasi hukum positif yang berlaku di Indonesia akan dapat kita temukan bahwa sesungguhnya pengaturan mengenai penyelesaian
sengketa di luar pengadilan cukup banyak yang diatur secara terpisah dalam beberapa perundang-undangan tersendiri.
Undang-undang No. 30 Tahun 1999 lebih menekan kepada arbitrase, hal ini dapat kita lihat bahwa pada dasarnya Undang-undang No. 30 Tahun 1999 lebih
banyak mengatur mengenai ketentuan arbitrase, mulai dari tata cara, prosedur kelembagaan, jenis-jenis maupun putusan dan pelaksanaan arbitrase itu sendiri.
Pranata penyelesaian sengketa alternatif pada dasarnya merupakan suatu bentuk penyelesaian sengketa di luar pengadilan yang didasarkan pada kesepakatan
para pihak yang bersengketa sebagai konsekuensi dari kesepakatan para pihak yang berperkara harus bersifat suka rela dan karenanya tidak dapat dipaksakan oleh salah
satu pihak kepada pihak lain yang bersengketa. Walau demikian sebagai suatu bentuk perjanjian alternatif penyelesaian sengketa, kesepakatan yang telah disampaikan oleh
para pihak untuk menyelesaikan sengketa melalui forum di luar pengadilan ini sifatnya mengikat dalam sistem hukum positif yang berlaku.
Dalam hukum dikenal adanya istilah kompetensi relatif dan kompetensi absolut. Kedua istilah tersebut berhubungan dengan masalah kewenangan dari
lembaga peradilan yang berwenang untuk menyelesaikan perselisihan sengketa yagn timbul diantara para pihak. Pada kompetensi relatif kewenangan tersebut
berhubungan dengan lokasi atau letak pengadilan yang berwenang, sedangkan pada
Universitas Sumatera Utara
kompetensi absolut mempersoalkan kewenangan dari lembaga penyelesaian sengketa yang berwenang untuk menyelesaikan perselisihan atau sengketa yang terjadi.
Bahwa penyelesaian perselisihan atau sengketa pada lembaga arbitrase adalah memiliki kewenangan kompetensi absolut terhadap penyelesaian perselisihan
atau sengketa melalui lembaga ini, itu berarti bahwa setiap perjanjian yang telah mencantumkan klausula arbitrase atau apabila suatu perjanjian arbitrase yang dibuat
para pihak, menghapuskan kewenangan dari Pengadilan Negeri untuk menyelesaikan setiap perselisihan atau sengketa yang timbul dari perjanjian yang membuat klausula
arbitrase tersebut atau yang telah timbul sebelum ditanda tanganinya perjanjian arbitrase oleh para pihak.
Melihat defenisi dari perjanjian arbitrase yang dicantumkan Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 bahwa pada dasarnya perjanjian arbitrase dapat terwujud
dalam bentuk suatu kesepakatan berupa : 1.
Klausula arbitrase yang tercantum dalam suatu perjanjian yang dibuat para pihak sebelum sengketa.
2. Suatu perjanjian arbitrase tersendiri yang dibuat para pihak setelah timbul
suatu sengketa. Sebagai salah satu bentuk perjanjian, maka sah tidaknya perjanjian arbitrase
itu digantungkan pada syarat-syarat sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1320 KUH Perdata, untuk sahnya perjanjian diperlukan 4 syarat yaitu :
1. Kesepakatan mereka yang mengikatkan diri.
2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan.
Universitas Sumatera Utara
3. Suatu hal tertentu.
4. Suatu sebab yang halal
Dalam ketentuan Pasal 1320 KUH Perdata akan ditemui 2 syarat pokok sahnya perjanjian yaitu :
a. Syarat subjektif
b. Syarat objektif
Untuk memenuhi syarat subjektif, selain harus dibuat oleh mereka yang demi hukum cakap untuk bertindak dalam hukum, perjanjian arbitrase juga harus
dibuat oleh mereka yang demi hukum dianggap memiliki kewenangan untuk melakukan hal yang demikian. Undang-undang No. 30 Tahun 1999 menentukan
bahwa para pihak dalam perjanjian arbitrase tidak dibatasi hanya untuk subjek hukum menurut hukum perdata saja melainkan juga termasuk didalamnya subjek hukum
publik. Namun satu hal yang perlu diperhatikan di sini adalah bahwa meskipun
subjek hukum publik dimasukkan di sini tidak berarti arbitrase dapat mengadili segala sesuatu yang berhubungan dengan hukum publik. Jika kita lihat ketentuan
dalam Pasal 5 ayat 1 dan 2 Undang-undang No. 30 Tahun 1999 yang berbunyi : 1.
Sengketa yang dapat diselesaikan melalui arbitrase hanya sengketa dibidang perdagangan dan mengenai hak yang menurut hukum dan peraturan
perundang-undangan dikuasai sepenuhnya oleh pihak yang bersengketa.
2. Sengketa yang tidak dapat diselesaikan melalui arbitrase adalah sengketa yang
menurut peraturan perundang-undangan tidak dapat dilakukan perdamaian.
Universitas Sumatera Utara
Jadi jelas bahwa sengketa yang dapat diselesaikan melalui arbitrase sifatnya terbatas dan yang pasti relevansi dari kewenangan para pihak menjadi bagian yang
sangat penting bagi para pihak dlam perjanjian arbitrase. Syarat objektif dari perjanjian arbitrase diatur dalam Pasal 5 ayat 1
Undang-undang No. 30 Tahun 1999. Menurut ketentuan Pasal 5 ayat 1 Undang- undang No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa
tersebut, objek perjanjian arbitrase atau dalam hal ini sengketa yang akan diselesaikan melalui lembaga arbitrase hanyalah sengketa dibidang perdagangan dan mengenai
hak yang menurut hukum dan peraturan-peraturan dikuasai sepenuhnya oleh pihak yang bersengketa. Tidak ada penjelasan resmi mengenai apa yang dimaksud dengan
ketentuan Pasal 5 ayat 1 Undang-undang No. 30 Tahun 1999 tersebut, namun jika kita lihat pada penjelasan Pasal 66 huruf b Undang-undang No. 30 Tahun 1999
yang berhubungan dengan pelaksanaan putusan arbitrase internasional, dimana dikatakan bahwa yang dimaksud dengan ”ruang lingkup dalam hukum perdagangan”
adalah bagian-bagian antara lain bidang perniagaan, perbankan, keuangan, penanaman modal, industri dan hak kekayaan intelektual.
Ini berarti bahwa makna ”perdagangan” sebagaimana disebutkan dalam Pasal 5 ayat 1 seharusnya juga memiliki makna yang luas sebagaimana dijabarkan
dalam penjabaran Pasal 66 Undang-undang No. 30 Tahun 1999 tersebut. Hal ini sejalan juga dengan ketentuan dalam Pasal 5 ayat 2 yang memberikan perumusan
negatif dimana dikatakan bahwa sengketa-sengketa yang dianggap tidak dapat
Universitas Sumatera Utara
diselesaikan melalui arbitrase adalah sengketa yang menurut peraturan perundang- undangan tidak dapat diadakan perdamaian.
Undang-undang No. 30 Tahun 1999 mensyaratkan bahwa perjanjian arbitrase harus dibuat secara tertulis. Syarat tertulis dari perjanjian arbitrase dapat
berwujud suatu kesepakatan berupa klausula arbitrase yang tercantum dalam perjanjian tertulis yang dibuat para pihak sebelum timbulnya sengketa atau perjanjian
arbitrase tersendiri yang dibuat para pihak setelah timbul sengketa. Adanya perjanjian arbitrase tertulis ini berarti meniadakan hak para pihak untuk mengajukan
penyelesaian sengketa atau beda pendapat yang dimuat dalam perjanjian pokok ke Pengadilan Negeri. Demikian juga kiranya Pengadilan Negeri tidak berwenang untuk
mengadili sengketa para pihak yang telah terikat dalam perjanjian arbitrase. Ini berarti suatu perjanjian arbitrase melahirkan kompetensi absolut bagi para pihak, cara
penyelesaian sengketa itu, para pihak itu sendiri yang menentukan sesuai dengan yang dikehendaki.
Fokus perjanjian arbitrase ditujukan kepada masalah penyelesaian perselisihan yang timbul dari perjanjian. Perjanjian ini bukan perjanjian ”bersyarat”.
Pelaksanaan perjanjian arbitrase tidak digantungkan pada suatu kejadian tertentu dimasa mendatang, perjanjian ini tidak mempersoalkan masalah pelaksanaan
perjanjian tetapi hanya mempersoalkan masalah cara dan pranata yang berwenang menyelesaikan perselisihan yang terjadi antara para pihak.
Perjanjian arbitrase tidak melekat menjadi satu kesatuan dengan materi pokok perjanjian. Perjanjian arbitrase merupakan tambahan yang diletakkan pada
Universitas Sumatera Utara
perjanjian pokok. Meskipun keberadaannya hanya sebagai tambahan pada perjanjian pokok, klausula arbitrase maupun perjanjian arbitrase tidak bersifat assesoir. Oleh
karena pelaksanaannya sama sekali tidak mempengaruhi atau dipengaruhi oleh keabsahan maupun pelaksanaan pemenuhan perjanjian pokok. Yang jelas arbitrase
lahir dengan maksud dan tujuan untuk menyelesaikan suatu perselisihan atau sengketa yang ada di luar badan pengadilan.
Arbitrase adalah merupakan institusi penyelesaian sengketa alternatif yang paling populer dan paling luas digunakan orang dibandingkan dengan institusi
penyelesaian sengketa alternatif lainnya. Hal ini disebabkan banyaknya kelebihan yang dimiliki oleh institusi arbitrase ini.
Kelebihan-kelebihan dari penyelesaian melalui arbitrase adalah sebagai berikut :
1. Prosedur tidak berbelit dan keputusan dapat dicapai dalam waktu relatif
singkat. 2.
Biaya lebih murah. 3.
Dapat dihindari expose dari keputusan di depan umum. 4.
Hukum terhadap prosedur dan pembuktian lebih relaks. 5.
Para pihak dapat memilih hukum mana yang akan diberlakukan oleh arbitrase. 6.
Para pihak dapat memilih sendiri para arbiter. 7.
Dapat dipilih para arbiter dari kalangan yang ahli dalam bidangnya. 8.
Keputusan dapat lebih terkait dengan situasi dan kondisi.
Universitas Sumatera Utara
9. Keputusan arbitrase umumnya final dan binding tanpa harus naik banding
dan kasasi. 10.
Keputusan arbitrase umumnya dapat diberlakukan dan dieksekusi oleh pengadilan dengan sedikit atau tanpa review sama sekali.
11. Prosesprosedur arbitrase lebih mudah dimengerti oleh masyarakat luas.
12. Menutup kemungkinan untuk dilakukan ”forum shopping”.
23
Jika dibandingkan dengan alternatif-alternatif penyelesaian sengketa yang lain, maka institusi arbitrase adalah merupakan lembaga penyelesaian sengketa yang
paling mirip dengan badan pengadilan, terutama jika ditinjau dari prosedur yang berlaku, kekuatan putusannya, keterikatan dengan hukum yang berlaku atau dengan
aturan main yang ada. Atas dsar hal itulah maka banyaknya orang terutama kalangan pengusaha banyak memilih model penyelesaian sengketa melalui institusi arbitrase
ini.
E. Peranan Arbitrase Menurut Sistem Hukum Indonesia