pengusaha, sebab melalui arbitrase tidak ada kewajiban untuk mempublikasikan keputusan arbitrase sebagaimana halnya yang terjadi pada pengadilan nasional
biasa. Dengan adanya kerahasiaan ini nama baik atau imej para pihak tetap terlindungi, sementara bagi perusahaan mereka dapat menjaga kerahasiaan informasi-
informasi dagang mereka. Penyelesaian sengketa melalui arbitrase ini tidak harus melulu diselesaikan menurut proses hukum tertentu saja, tetapi juga dimungkinkan
suatu penyelesaian secara kompromi diantara para pihak. Hal ini dimungkinkan mana kala para arbitrator menemui kesulitan untuk memastikan yang menjadi sebab atau
sebab-sebab timbulnya suatu sengketa dan pihak mana yang bertanggungjawab karenanya. Keadaan ini timbul karena persidangan arbitrase biasanya diminta dan
diadakan setelah beberapa waktu lama setelah klaim diajukan oleh para pihak karena adanya jenjang waktu yang cukup lama ini para arbitrator kadang kala menemui
kesulitan dalam merekonstruksi fakta-fakta yang relevan dalam keadaan yang aslinya. Dan cara penyelesaian arbitrase secara kompromi disebut juga dengan conciliatory
arbitration.
F. Prospek Penegakan Hukum Arbitrase di Indonesia
Mengingat tugas arbitrase ini tidak ringan dan terbilang rumit, maka pelaksanaannya tentulah harus dilakukan secara profesional. Karena itu didalam
Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 diatur bahwa seorang arbiter dapat dimintakan pertanggungjawaban hukumnya manakala terjadi hal-hal antara lain sebagai berikut :
Universitas Sumatera Utara
1. Apabila arbiter meninggalkan tugasnya setelah menerima penunjukkannya
sebagai arbiter tanpa persetujuan para pihak atau tanpa ketetapan Pengadilan Negeri.
2. Apabila arbiter tidak melaksanakan tugasnya secara profesional, dalam arti
melakukan kesalahan dalam menjalankan tugasnya. 3.
Apabila arbiter tidak memberitahukan kepada para pihak sebelum menerima penunjukan tentang hal yang mungkin akan mempengaruhi kebebasannya atau
menimbulkan kepribadian terhadap putusan yang akan diberikan. Dengan perkataan lain, arbiter tidak mendisclose adanya conflict or interest, misalnya
apabila terdapat adanya hubungan kekeluargaan, keuangan atau pekerjan dengan salah satu pihak.
4. Apabila arbiter tanpa alasan yang sah tidak memberikan putuan dalam jangka
waktu yang telah ditentukan. 5.
Apabila arbiter menjalankan tugasnya tidak dengan itikad baik. Pada uraian di muka telah dikatakan bahwa tempat di mana putusan arbitrase
dijatuhkan memiliki peranan yang sangat penting dalam rangka pelaksanaan putusan arbitrase yang dijatuhkan tersebut. Dimana putusan arbitrase tersebut dimaksudkan
untuk dilaksanakan, dikenal dengan istilah arbitrase nasional. Pada lazimnya dalam kontrak-kontrak dagang hanya dicantumkan klausula
arbitrase dan tidak ada ketentuan lebih lanjut mengenai cara penyelenggaran arbitrase ini maka dalam praktek kita saksikan lazimnya dibuat pada permulaan dimulainya
pemeriksaan oleh tim arbitrase, apa yang dinamakan ”Term of Reference”, yaitu
Universitas Sumatera Utara
pokok-pokok persoalan yang akan diputuskan oleh para arbitrase dalam sengketa bersangkutan ini. Inilah yang lazimnya disebut bahwa para arbitrase yang akan
mengatur sendiri prosedur dari pada arbitrase ini. Segala sesuatu ini tidak perlu jika para pihak telah menyetujui bahwa
arbitrase akan diselenggarakan melalui peraturan-peraturan dari badan suatu organisasi atau badan yang mengurus arbitrase. Suatu arbitration centre atau pusat
arbitrase yang menyelenggarkan arbitrase, pemeriksaannya memakai prosedur sesuai dengan model peraturan arbitrase tertentu untuk pusat arbitrase ini.
Apabila para pihak tidak memilih hukum, maka tim arbitrase yang akan memakai hukum atau kaidah-kaidah dari pada hukum yang dianggap cocok oleh tim
arbitrase ini. Dalam semua hal, tim arbitrase ini akan memberi putusan dengan memperhatikan istilah-istilah dari pada kebiasaan-kebiasaan perdagangan yang
berlaku. Umumnya beracara dengan memakai arbitrase dipilih atas inisiatif para
pihak yang bersangkutan melalui suatu arbitrase kontrak yang dibuat sebelum atau setelah terjadi sengketa, ini yang disebut Voluntary Arbitrator.
Namun yang lebih sering dan sudah menjadi common practice terutama dalam kontrak-kontrak arbitrase ini tercipta bingkai-bingkai dimana sebuah harapan
digantungkan yang umum merupakan harapan dari mereka yang selama ini melakukan sumpah serapah terhadap badan-badan pengadilan yang konvensional.
Badan-badan pengadilan tersebut di Indonesia lebih banyak memutuskan dengan bernalar ”naif” ketimbang ”reasonable”. Oleh karena itu dibentuklah arbitrase secara
Universitas Sumatera Utara
insidentil dan khusus untuk menangani perkara yang bersangkutan, ada yang ditunjuk oleh para pihak yang bersengketa dan ada yang ditunjuk oleh hakim setelah putusan
diberikan maka tugas mereka selesai dan mereka bubar. Peranan arbiter menjadi semakin penting mengingat sejuta harapan para
pelaku bisnis digantungkan kepadanya, bahkan para arbiter ini diharapkan dapat menjadi dewa penyelemat bagi dunia bisnis dan hukum disaat ini, lembaga
pengadilan konvensional tidak dapat diharapkan dapat menjadi untuk berbuat optimal dalam penegakan hukum. Pada prinsipnya walaupun sengketa dinyatakan menjadi
kewenangan arbitrase tidak berarti pengadilan sama sekali tidak berwenang.
G Proses Pemeriksaan Sengketa Dalam Arbitrase
Secara umum dapat dikatakan bahwa jalannya pemeriksaan atau penyelesaian dalam arbitrase tidak akan jauh berbeda dengan jalannya proses
pemeriksaan perkara dalam pranata peradilan pada umumnya, proses jalannya pemeriksaan tersebut meliputi antara lain acara yang dipergunakan, bahasa yang
dipakai, sistem pembuktian yang diterapkan, hak-hak para pihak dalam proses pemeriksaan serta alur jalannya pemeriksaan itu sendiri yang dimulai dari sejak
permohonan untuk pemeriksaan sengketa diajukan, hingga pada akhirnya dijatuhkan suatu putusan pada tingkat akhir yang mengikat para pihak yang meminta
penyelesaian perselisihan atau sengketa mereka melalui lembaga Pranata Arbitrase tersebut.
Universitas Sumatera Utara
Sebagai suatu bentuk lembaga peradilan swasta dengan hakim swasta dan seperti juga telah ditegaskan dalam Undang-undang No. 30 Tahun 1999 bahwa
perselisihan atau sengketa yang dapat diperiksa dan karenanya tunduk pada proses pemeriksaan arbitrase ini adalah perselisihan atau sengketa yang secara hukum dapat
diselesaikan melalui proses perdamaian. Hal ini menunjukkan bahwa pranata arbitrase merupakan suatu alternatif penyelesaian sengketa hanya terdapat hal-hal
dimana dimungkinkan adanya kebebasan dari para pihak untuk melakukan penyimpangan dari ketentuan hukum yang berlaku umum dalam hal ini secara
teoritis dapat dikatakan dengan ketentuan sebagaimana yang diatur dalam buku III KUH Perdata yang bersifat terbuka. Karena berarti proses pemeriksaan melalui
pranata arbitrase ini tidak jauh berbeda dengan proses pemeriksaan peradilan perdata yang menunjukkan atau menjurus ke arah perniagaan.
28
Pada dasarnya para pihak diberikan kebebasan untuk menentukan sendiri acara dan proses pemeriksaan sengketa yang mereka kehendaki untuk dilaksanakan
oleh para arbiter yang telah ditunjuk atau diangkat tersebut, hanya saja kehendak tersebut harus disebutkan secara tegas dan tertulis, sehingga dapat menjadi acuan
Seperti pernah disinggung dalam tulisan sebelumnya, UU No. 30 tahun 999 mengenal dua macam penyelesaian perselisihan melalui lembaga arbitrase yaitu
arbitrase yang diselenggarakan secara ad-hoc dan arbitrase yang dilaksanakan oleh suatu lembaga arbitrase tersendiri.
28
Gunawan Widjaya, Op.Cit, h. 123.
Universitas Sumatera Utara
yang jelas bagi para arbiter tersebut. Satu hal lagi yang harus diperhatikan adalah bahwa pemilihan acara dan proses tersebut tidak boleh bertentangan dengan
ketentuan yang diatur dalam UU No. 30 Tahun 1999. Bagi arbitrase ad-hoc UU No. 30 Tahun 1999 menyatakan bahwa para pihak
tidak menentukan sendiri ketentuan mengenai acara arbitrase yang akan digunakan dalam pemeriksaan, arbiter atau majelis arbitrase ad-hoc telah terbentuk, maka semua
sengketa yang penyelesaiannya diserahkan kepada arbiter atau majelis arbitrase ad- hoc tersebut akan diperiksa dan diputuskan menurut ketentuan dalam UU No. 30
Tahun 1999 ini. Khusus untuk penyelesaian sengketa melalui lembaga arbitrase, ketentuan
Pasal 34 UU No. 30 Tahun 1999 menentukan bahwa penyelesaian sengketa melalui arbitrase dapat dilakukan dengan menggunakan lembaga arbitrase nasional dan
internasional berdasarkan atas kesepakatan para pihak dalam hal yang demikian, maka proses pemeriksaan dan penyelesaian sengketa melalui lembaga arbitrase
tersebut yang dipilih oleh para pihak, akan dilakukan menurut peraturan dan acara dari lembaga arbitrase yang dipilih kecuali ditetapkan secara lain oleh para pihak.
Berbeda dengan sidang pemeriksaan peradilan perdata yang terbuka untuk umum, semua pemeriksaan sengketa yang dilakukan oleh arbiter atau majelis
arbitrase dilakukan secara tertutup, ini merupakan salah satu kelebihan perbedaan dari lembaga arbitrase terhadap lembaga peradilan pada umumnya, sifat kerahasian ini
cenderung menjadi pilihan utama bagi kalangan usahawan yang tidak menginginkan masyarkat umum mengetahui adanya suatu perselisihan, sengketa atau bahkan
Universitas Sumatera Utara
perkara perdata yang dialami oleh usahawan dengan pihak lain yang mungkin juga merupakan ”mitra usahanya”.
Sejalan dengan pengakuan akan pranata alternatif penyelesaian perselisihan oleh Indonesia, menurut ketentuan hukum Indonesia, maka sudah selayaknya jika
bahasa Indonesia, kecuali jika para pihak berdasarkan atas mufakat bersama memilih bahasa lain yang dipergunakan selama proses pemeriksaan berlangsung.
Sebagaimana halnya proses pemeriksaan peradilan pada umumnya UU No. 30 Tahun 1999 memungkinkan masuknya pihak ketiga diluar perjanjian arbitrase,
untuk turut serta menggabungkan diri dalam proses penyelesaian sengketa melalui arbitrase, jika terdapat unsur kepentingan yang terkait, walaupun demikian sedikit
berbeda dengan proses peradilan pada umumnya. Keikutsertaan pihak ketiga ini perlu disepakati oleh para pihak yang bersengketa serta disetujui oleh arbiter atau majelis
arbitrase yang memeriksa sengketa yang bersangkutan.
29
29
Ibid, h. 125.
Dalam rumusan Pasal 48 UU No. 30 Tahun 1999 mewajibkan pemeriksaan atas sengketa untuk diselesaikan dalam jangka waktu paling lama 180 hari terhitung
sejak arbiter atau majelis arbiter terbentuk, walau demikian atas persetujuan para pihak dan jika memang diperlukan sesuai ketentuan Pasal 33 UU No. 30 Tahun 1999
maka jangka waktu tersebut dapat diperpanjang, adapun rumusan ketentuan Pasal 33 ini adalah sebagai berikut :
”Arbiter atau majelis arbitrase berwenang untuk memperpanjang jangka waktu tugasnya apabila :
Universitas Sumatera Utara
a. Diajukan permohonan oleh salah satu pihak mengenai hal khusus tertentu.
b. Sebagai akibat ditetapkannya putusan provisionil atau putusan sela lainnya.
c. Dianggap perlu oleh arbiter atau majelis arbitrase untuk kepentingan
pemeriksaan.
30
Pada umumnya pilihan hukum ditentukan oleh para pihak dalam perjanjian awal yang menjadi dasar terbitnya perbedaan pendapat, perselisihan ataupun
sengketa, walau demikian sebagaimana halnya perjanjian arbitrase itu sendiri dimungkinkan untuk dibuat setelah perbedaan pendapat, perselisihan atau sengketa
terbit, UU No. 30 Tahun1999 juga memungkinkan atau secara lugas kita katakan memberikan hak kepada para pihak untuk menentukan sendiri pilihan hukum yang
dipilih untuk menyelesaikan perbedaan pendpat, perselisihan atau sengketa yang telah ada tersebut. Dalam hal para pihak tidak menentukan hukum mana yang akan
berlaku, penjelasan Pasal 56 ayat 2 UU NO. 30 Tahun 1999 menyatakan bahwa yang harus diberlakukan adalah ketentuan hukum dari tempat dimana arbitrase
diselenggarakan. Kebebasan untuk melakukan pilihan hukum tidak begitu saja memberikan
kewenangan yang mutlak bagi para pihak untuk melakukan pilihan atas ketentuan hukum dari setiap negara, jika hukum yang dipilih tersebut tidak memiliki hubungan
baik secara langsung maupun tidak langsung dengan perjanjian yang dibuat. Dalam hal yang demikian hakim bebas untuk menilai apakah suatu pilihan hukum telah
dilakukan secara patut atau tidak. Tempat arbitrase akan ditentukan oleh arbiter atau majelis arbitrase, kecuali
Universitas Sumatera Utara
para pihak ingin menentukan sendiri tempat arbitrase yang telah ditentukan dan akan menjadi pusat dan tempat penyelenggaraan proses pemeriksaan sengketa. Walaupun
demikian Undang-undang No. 30 Tahun 1999 membuka kemungkinan bagi arbiter atau majelis arbitrase dapat mendengar keterangan saksi atau mengadakan pertemuan
yang dianggap perlu pada tempat tertentu diluar tempat arbitrase diadakan. Pemeriksaan saksi dan saksi ahli dihadapan arbiter atau majelis arbitrase,
diselenggarakan menurut ketentuan dalam hukum acara perdata.
Seperti halnya jalannya proses pemeriksaan persidangan dalam pranata peradilan, jalannya proses pemeriksaan sengketa dalam pranata arbitrase juga diawali
dengan pemasukan surat permohonan oleh pemohon, yang selanjutnya diikuti dengan
31
Arbiter atau majelis arbitrase diperkenankan untuk mengadakan pemeriksaan tempat atau barang yang dipersengketakan atau hak lain yang
berhubungan dengan sengketa yang sedang diperiksa, dan dalam hal dianggap perlu, para pihak akan dipanggil secara sah agar juga hadir dalam pemeriksaan tersebut.
Undang-undang No. 30 Tahun 1999 memberikan kelonggaran bagi para pihak, termasuk dalam hal para arbiter untuk menentukan sendiri jalannya proses
pemeriksaan arbiter tersebut, selama dan sepanjang hal tersebut relevan dan dianggap perlu untuk menunjuk jalannya proses pemeriksaan serta dalam kerangka waktu yang
ditentukan, dengan tidak mengurangi makna esensial dari lembaga arbitrase yang bersifat cepat disamping terjaga kerahasiaannya.
30
Ibid, h. 126.
31
Gunawan Widjaya dan Ahmad Yani, Op.Cit, h. 86.
Universitas Sumatera Utara
proses penjawaban surat permohonan tersebut oleh pihak termohon, sebagai bagian dari hak para pihak untuk didengar selama proses pemeriksaan berlangsung.
Surat tuntutan yang diajukan tersebut harus memuat sekurang-kurangnya : 1.
Nama lengkap dan tempat tinggal atau tempat kedudukan para pihak. 2.
Uraian singkat tentang sengketa disertai dengan lampiran bukti-bukti. 3.
Isi tuntutan harus yang jelas. Setelah menerima surat tuntutan dari pemohon, arbiter atau ketua majelis arbiter akan
menyampaikan jawabannya, satu salinan tuntutan tersebut kepada pemohon. Penyampaian surat berisikan tuntutan wajib disertai perintah bahwa termohon harus
meanggapi dan memberikan jawabannya secara tertulis dalam waktu paling lama 14 hari terhitung sejak diterimanya salinan tuntutan, oleh termohon. Apabila lewatnya
jangka waktu 14 hari tidak menyampaikan jawabannya maka arbiter atau ketua majelis arbitrase wajib memanggil termohon atau kuasanya untuk hadir dalam sidang
arbitrase dalam jangka waktu 14 hari terhitung sejak surat perintah menghadap dikeluarkan.
Universitas Sumatera Utara
BAB IV PROSES PENYELESAIAN SENGKETA PERUMAHAN