Upaya Hukum Terhadap Putusan Arbitrase

faktor, menurut kenyataan merupakan salah satu sebab mengapa dalam perkara perdata seringkali putusannya tidak dapat dieksekusi. Seringkalinya putusan tidak dapat dieksekusi atau sangat lambatnya eksekusi ini hanya karena menetapkan secarik kertas belaka. Jangka waktu yang telah ditentukan dalam eksekusi pelaksanaan putusan arbitrase adalah salah satu kemajuan yang besar dan patut dihargai tetapi melihat struktur keadaan pada waktu sekarang ini hal itu sangat sulit untuk dicapai dalam prakteknya.

C. Upaya Hukum Terhadap Putusan Arbitrase

36 “Dengan berlokasi di dataran tinggi yang asri dan hijau, dimana anda dapat merasakan kesejukan alam perbukitan, semarak kicauan burung dikerimbunan pohon di udara yang bebas polusi, gemercik air terdengar sayup dan tawa ceria yang terdengar di alam yang jauh dari hingar bingar adalah harapan sejahtera bagi keluarga bahagia”. Demikianlah kira-kira, hampir semua brosur perumahan menawarkan keasrian, kemegahan dan berbagai impian indah lainnya. Tak banyak orang tahu bahwa brosur-brosur perumahan yang dibagikan dalam berbagai pameran atau expo perumahan itu memiliki dimensi hukum atau bagi mereka yang tahu, lebih baik memanfaatkan ketidaktahuan ignorance pihak lain. Yang penting target penjualan, minimal break event point tercapai. Pada umumnya, pemasaran rumah dan rumah susun menggunakan sarana 36 Ibid, h. 69. Universitas Sumatera Utara iklan atau brosur sebagai sarana untuk mengkomunikasikan produk-produk yang dibuat danatau dipasarkan pengembang kepada konsumen. Tak jarang informasi yang disampaikan itu ternyata menyesatkan misleading information atau tidak benar, padahal konsumen sudah terlanjur menandatangani perjanjian pengikatan jual beli PPJB dengan pengembang, atau bahkan sudah akad kredit dengan bank pemberi kredit pemilikan rumah atau satuan rumah susun. Dalam perspektif konsumen, berbagai iklan atau brosur perumahan merupakan sarana informasi minimal bagi seorang konsumen untuk menjatuhkan pilihannya. Sebaliknya dari sisi kepentingan sebagian pengembang untaian kata-kata indah dan pemandangan asri dalam brosur yang diterbitkannya tidak punya makna apa-apa, kecuali sebatas memberikan selling effect saja, untuk menembak sisi psikologis konsumen. Belum lagi janji-janji pelayanan fasilitas yang diumbar sedemikian menariknya, sedangkan persoalan informasi yang dikemasnya benar atau tidak itu menjadi resiko konsumen. Selanjutnya karena PPJB dibuat oleh pengembang, faktor subjektifitas pengembang sangat mempengaruhi didalam memasukkan kepentingan- kepentingannya di dalam PPJB, sebaliknya sulit bagi konsumen untuk memperjuangkan kepentingan-kepentingannya di dalam PPJB itu. Dari berbagai informasi yang penulis dapatkan, baik melalui kepustakaan maupun informasi dari praktek sehari-hari, ditemui beberapa sengketa yang sering terjadi antara konsumen dengan pengembang sebagai akibat masing-masing atau salah satu pihak tidak menjalankan kesepakatan yang dicapai melalui perjanjian, Universitas Sumatera Utara maupun melalui informasi brosuriklan yang disampaikan kepada konsumen, antara lain : 1. Sengketa yang timbul akibat promosi melalui brosur, iklan atau pameran expo perumahan yang disampaikan secara berlebihan kepada konsumen. Biasanya lewat brosur tersebut disampaikan beberapa fasilitas dan sarana lainnya yang turut dibangun, seperti tempat rekreasi, pemancingan, sarana olah raga, taman bermain, dan fasilitas lainnya. Sebagaimana diketahui bahwa lewat promosi tersebut memberikan harapan-harapan kepada calon konsumen dan pada akhirnya akan menjatuhkan pilihannya pada salah satu rumah tersebut. Namun kenyataannya pengembang tidak konsisten dengan brosur yang diterbitkannya. Dalam brosurnya pengembang mencantumkan berbagai fasilitas, tetapi ternyata di atas lokasi dimana akan dibangun fasilitas itu telah dibangun rumah-rumah yang akan dipasarkan dan dijual kepada konsumen pembeli rumah tahap berikutnya. Pengembang berargumentasi bahwa lahan untuk fasilitas itu merupakan miliknya dan menurut pengembang brosur tersebut sudah tidak berlaku lagi. Tetapi konsumen yang sudah terlanjur membeli rumah tersebut mempertanyakan janji- janji pengembang yang dicantumkan dalam brosurnya. Oleh karena itulah timbul sengketa, dimana sejumlah konsumen menuntut pengembang untuk memberikan ganti rugi sebagai kompensasi biaya akibat tidak dipenuhinya pembangunan fasilitas-fasilitas yang dijanjikan tersebut. 2. Sengketa yang timbul akibat adanya suatu paksaan dari pihak pengembang kepada konsumen untuk membeli sejumlah ukuran tanah lebih disekitar ukuran Universitas Sumatera Utara rumah yang dibeli tersebut. Sedangkan sebagaimana diketahui hal ini tidak ada dijumpai dalam klausula-klausula PPJB dan ini merupakan suatu beban yang memberatkan konsumen untuk membeli ukuran tanah lebih tersebut. Pada kondisi yang demikian ini konsumen berada pada keadaan yang sangat sulit karena upaya untuk menolak paksaan pengembang tidak mungkin dilakukan karena akan merugikan konsumen. Hal ini disebabkan apabila konsumen menolak, dengan sendirinya pembatalan perjanjian akan dilakukan oleh pengembang dan uang muka yang telah dibayar oleh konsumen sebagian atau bahkan keseluruhannya tidak akan dikembalikan. Sedangkan apabila paksaan untuk membeli ukuran tanah lebih itu diterima akan menambah beban konsumen dalam melaksanakan pembayaran cicilan berikutnya. 3. Sengketa yang juga terjadi akibat tenggang waktu yang diberikan pengembang kepada konsumen untuk mengajukan klaim atas kondisimutu bangunan dan hal- hal lainnya dalam Perjanjian Pengikatan Jual Beli PPJB dicantumkan klausula- klausula bahwa konsumen dapat mengajukan klaim kepada pengembang dalam waktu 90 atau 100 hari setelah serah terima bangunan, termasuk dalam hal ini masalah cacat tersembunyi. Lewat dari waktu yang ditetapkan secara sepihak itu, tuntuan apapun tidak akan dilayani. Pembatasan tenggang waktu ini tidak adil bagi konsumen karena waktu yang ditetapkan itu hanya cukup untuk meneliti kondisikualitas bangunan yang terlihat kasat mata sedangkan untuk mengetahui cacat tersembunyi, seperti : konstruksi bangunan, penggunaan semen yang tidak sesuai dengan perbandingan, dan sebagainya tidak cukup dalam waktu itu. Klaim Universitas Sumatera Utara konsumen terhadap beberapa hal tersebut tidak dilayani pengembang setelah melampaui jangka waktu itu. 4. Sengketa juga biasanya muncul pada saat jual beli dengan pembayaran lunas kontan maupun setelah pelunasan angsuran atas rumah kepada pengembang. Walaupun rumah berikut tanah telah dibayar lunas dan telah dilakukan penyerahan bangunan, namun tidak diikuti dengan penyerahan dokumen- dokumen pemilikan rumah dan tanah, seperti sertifikat Hak Guna Bangunan Pecahan dan surat izin mendirikan bangunan dengan alasan masih dalam proses pengurusan danakan diserahkan pada waktu berikutnya. Namun setelah tiba waktu yang dijanjikan, dokumen sertifikat belum juga diserahkan, bahkan oleh pengembang kewajiban untuk mengurus dokumen diserahkan kepada konsumen. Padahal sesuai ketentuan yang berlaku, bahwa dokumen diserahkan sesaat setelah bangunan rumah dan tanah diserahkan, akan tetapi tidak demikian halnya dilakukan oleh beberapa pengembang dan hal ini membuat konsumen merasa sangat kecewa atas tidak dipenuhinya kewajiban tersebut. Dari sejumlah sengketa yang penulis temukan tersebut merupakan sebagian dari beberapa sengketa yang pada umumnya sering terjadi disamping sengketa- sengketa lain yang terjadi akibat salah satu pihak wanprestasi terhadap ketentuan- ketentuan yang diatur dalam peraturan tentang hak-hak dan kewajiban-kewajiban masing-masing pihak. Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa meskipun undang-undang menetapkan bahwa putusan arbitrase bersifat final dan mengikat, tidak ada upaya Universitas Sumatera Utara hukum banding maupun kasasi. Akan tetapi UU No. 30 Tahun 1999 juga mengatur adanya upaya hukum yang luar biasa terhadap putusan yang dihasilan oleh lembaga arbitrase yaitu berupa upaya perlawanan ke Pengadilan Negeri. Upaya perlawanan tersebut hanya dapat dilakukan kepada Ketua Pengadilan Negeri, itupun sangat terbatas yaitu sebagai berikut : 1. Surat atas dokumen yang diajukan dalam pemeriksaan, setelah putusan dijatuhkan, diakui palsu atau dinyatakan palsu. 2. Setelah putuan diambil, ditemukan semacam ”novum” yakni ditemukan dokumen yang bersifat menentukan yang disembunyikan oleh pihak lawan. 3. Putusan arbitrase diambil dari tipu muslihat yang dilakukan oleh salah satu pihak dalam pemeriksaan sengketa. Upaya-upaya perlawanan yang diajukan ke Pengadilan Negeri itu bukanlah merupakan upaya hukum banding biasa tetapi upaya hukum di dalam putusan arbitrase adalah merupakan upaya hukum yang luar biasa di mana terhadap putusan arbitrase tersebut dimohonkan untuk dilakukan pembatalan. Tanpa alasan-alasan yang spesifik sebagaimana disebutkan di atas tidak akan bisa dilakukan perlawanan, namun demikian apabila putusan arbitrase tersebut memang benar ada mengandung salah satu dari unsur tersebut maka tentunya dapat dilakukan perlawanan untuk segera dilakukan pembatalan. Menurut Pasal 71 UU No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa bahwa permohonan pembatalan putusan arbitrase harus Universitas Sumatera Utara diajukan secara tertulis dalam waktu paling lama 30 tiga puluh hari terhitung sejak hari penyerahan dan pendaftaran putusan arbitrase ke Panitera Pengadilan Negeri. Menurut UU No. 30 Tahun 1999 pada Pasal 72 ayat 1, bahwa permohonan pembatalan terhadap suatu putusan arbitrase haruslah diajukan kepada Ketua Pengadilan Negeri. Yang menjadi pertanyaan adalah Pengadilan Negeri mana yang berkompeten untuk itu, karena undang-undang tidak mengatur dan mengindikasikan Pengadilan Negeri yang berkompeten tersebut. Baha apabila permohonan pembatalan tersebut diterima dan dikabulkan oleh Pengadilan Negeri maka Ketua Pengadilan Negeri akan menentukan lebih lanjut akibat dari pembatalan tersebut, apakah untuk sebahagian atau seluruhnya. Putusan pembatalan itupun baru bisa diputuskan oleh Ketua Pengadilan Negeri paling lama 30 tiga puluh hari setelah diterimanya permohonan pembatalan tersebut. Terhadap putusan Pengadilan Negeri ini dapat diajukan permohonan banding ke Mahkamah Agung di mana Mahkamah Agung akan memutus untuk tingkat pertama dan terakhir dalam permasalahan ini. Untuk memutuskan permohonan banding inipun Mahkamah Agung memerlukan waktu untuk mempertimbangkannya paling lama 30 tiga puluh hari sejak diterima permohonan banding tersebut. Oleh karena itu sangat jelas sekali bahwa tidak semudah itu mencari temuan dalam rangka melakukan perlawanan terhadap putusan arbitrase tersebut, karena sesungguhnya putusan arbitrase tersebut telah bersifat final sehingga seharusnya sedini mungkin disadari benar-benar akan konsekuensi logis dari pada putusan yang bersifat final tersebut. Perlawanan yang Universitas Sumatera Utara dilakukan terhadap putusan arbitrase bukanlah terhadap hal-hal yang dicari-cari tetapi karena memang benar-benar mengandung persoalan-persoalan sebagaimana telah disebutkan di atas.

D. Berakhirnya Tugas Arbitrase

Dokumen yang terkait

EMBATALAN PUTUSAN ARBITRASE OLEH PENGADILAN NEGERI MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 30 TAHUN 1999 TENTANG ARBITRASE DAN ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA

0 7 17

Pengakuan Dan Pelaksanaan Putusan Sengketa Kepemilikan Nama Domain Dikaitkan Dengan Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase Dan Alternatif Penyelesaian Sengketa Di Indonesia.

0 0 13

IMPLEMENTASI ASAS KERAHASIAAN DALAM PENYELESAIAN SENGKETA MELALUI ARBITRASE TERKAIT PEMBATALAN PUTUSAN ARBITRASE DIHUBUNGAKAN DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 30 TAHUN 1999 TENTANG ARBITRASE DAN.

0 1 2

KLASIFIKASI PUTUSAN ARBITRASE INTERNASIONAL DALAM UNDANG-UNDANG NO. 30 TAHUN 1999 TENTANG ARBITRASE DAN ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA DITINJAU DARI HUKUM INTERNASIONAL.

0 0 2

PRINSIP KERAHASIAN PENYELESAIAN SENGKETA MELALUI ARBITRASE MENURUT UNDANG-UNDANG NO. 30 TAHUN 1999.

0 0 9

APBI-ICMA Undang-Undang No.30 Tahun 1999 TENTANG ARBITRASE DAN ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA

0 0 51

A. Pendahuluan - PENYELESAIAN SENGKETA PERDAGANGAN MELALUI ARBITRASE SECARA ELEKTRONIK (ARBITRASE ON LINE) BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 30 TAHUN 1999 TENTANG ARBITRASE DAN ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA

0 0 18

PEMBATALAN PUTUSAN ARBITRASE BERDASARKAN UNDANG- UNDANG NOMOR 30 TAHUN 1999 TENTANG ARBITRASE DAN ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA

0 0 11

Undang-undang No. 30 Tahun 1999 Tentang : Arbitrase Dan Penyelesaian Masalah

0 0 36

KEDUDUKAN PERJANJIAN ARBITRASE DALAM PENYELESAIAN SENGKETA BISNIS MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 30 TAHUN 1999 TENTANG ARBITRASE

0 0 63