untuk diperiksa, diadili dan diputus di pengadilan tentang kesalahannya secara hukum. Bahkan adanya SP-3 tidak menjamin adanya kepastian hukum terhadap
tersangka sebagai orang yang tidak bersalah, karena sewaktu-waktu apabila dikemudian hari ditemukan bukti baru, maka SP-3 dapat dicabut dan perkaranya
akan dibuka kembali.
B. Latar Belakang Penetapan Pasal 40 Undang-Undang No. 30 Tahun
2002 tentang KPK
Dilihat dari aspek sosiologis, bahwa pengaturan pasal 40 Undang- Undang No. 30 Tahun 2002 tentang KPK ini merupakan bentuk dari upaya
maksimal yang dilakukan pemerintah dalam rangka pemberantasan tindak pidana korupsi. Tujuannya adalah tidak bukan selain penegakan hukum.
Bahwa penegakan hukum merupakan kewajiban dari pemerintah dalam hal ini aparat penegak hukum. Penegakan hukum tersebut harus dilengkapi dengan
kewenangan yang sesuai agar permasalahan yang ditangani terselesaikan tanpa menimbulkan permasalahan yang baru.
Dalam hal ini penegakan hukum dalam tindak pidana korupsi di masyarakat memang merupakan sasaran utama, oleh karena itu pengawasan
terhadap pelaksanaan penegakan hukum tindak pidana korupsi oleh aparat penegak hukum menjadi perhatian banyak kalangan masyarakat, baik
Universitas Sumatera Utara
masyarakat dalam ruang lingkup bidang hukum, maupun masyarakat pada umumnya. Namun tentunya pelaksanaan penegakan hukum tersebut harus
sesuai dengan hukum positif yang berlaku di negara ini. Keberlakuan Pasal 40 Undang-Undang No. 30 Tahun 2002 tentang
KPK terhadap proses penyidikan suatu tindak pidana korupsi merupakan suatu senjata yang dapat digunakan oleh Penyidik KPK dalam setiap proses
penyidikan agar mereka dapat bekerja dan melaksanakan tugasnya secara efisien dan profesional.
Ditinjau dari aspek yuridis, bahwa pada dasarnya Undang-Undang No.30 tahun 2002 tentang KPK merupakan pelaksanaan dari Undang-Undang
No. 30 tahun 2002 tentang KPK merupakan pelaksanaan dari Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidaan Korupsi
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No. 20 tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi. Dalam menjalankan tugasnya, selain berpedoman pada undang-undang tentang KPK dan pemberantasan tindak pidana korupsi, KPK
juga berdasar pada peraturan perundang-undangan mengenai hukum acara pidana yang berlaku di Indonesia, termasuk KUHAP. Pasal 40 tidak dapat
dikatakan bertentangan dengan KUHAP karena hukum kita menganut asas lex specialis derogat lex generalis, di mana KUHAP adalah lex generalis
ketentuan yang bersifat umum dan Undang-Undang No. 30 Tahun 2002 tentang KPK merupakan lex specialis ketentuan yang bersifat lebih khusus.
Universitas Sumatera Utara
Sedangkan ditinjau dari aspek filosofis, pengaturan Pasal 40 ini dilatarbelakangi dari ketidakmampuan institusi penegak hukum yang ada
sebelumnya, yaitu kepolisian dan kejaksaan dalam melakukan upaya pemberantasan korupsi. Persepsi publik terhadap kejaksaan dan kepolisian
dipandang belum berfungsi secara efektif dan efisien dalam penanganan perkara tindak pidana korupsi, sehingga masyarakat kehilangan kepercayaan
atas kedua lembaga tersebut. Untuk itu diperlukan suatu badan khusus yang mempunyai kewenangan luas, serta bebas dari kekuasaan manapun dalam
upaya pemberantasan korupsi. Pemerintah mengakomodir hal tersebut dengan membuat sebuah undang-undang sebagai payung hukum bagi lembaga yang
khusus menangani tindak pidana korupsi yakni UU No. 30 Tahun 2002 tentang KPK. Seperti yang telah dibahas Penulis pada bab sebelumnya, pemberian SP3
pada beberapa kasus korupsi besar di Indonesia seperti telah menjadi pola yang dilakukan oleh penyidik kejaksaan dengan alasan yang hampir sama pada
setiap kasus, yaitu tidak ditemukannya cukup bukti untuk menaikkan perkara ke tahapan selanjutnya yaitu penuntutan. Berdasarkan data dalam bentuk tabel
yang ada pada Bab sebelumnya dapat dilihat daftar perkara tindak pidana korupsi yang diberikan SP3 oleh Penyidik Kejaksaan, bahkan dari seluruh
perkara yang diberikan SP3 tersebut tidak ada satu pun yang akhirnya dibuka kembali oleh kejaksaan, walaupun telah ada bukti-bukti baru mendukung. Hal
ini tentu saja menunjukkan bahwa penyidik kejaksaan kurang cermat dan berhati-hati ketika melakukan penyelidikan kemudian menaikkan perkara
tesebut ke tingkat penyidikan, karena sudah seharusnya sudah ditemukan bukti
Universitas Sumatera Utara
yang cukup untuk sampai ke tahap penyidikan. Status tersangka yang dimiliki seseorang di dapat dari hasil proses penyelidikan dan penyidikan, artinya
menurut Pasal 1 ayat 1 dan 5 KUHAP, telah ditemukan alat bukti yang cukup menyatakan suatu peristiwa sebagai tindak pidana. Jadi merupakan
suatu kejanggalan ketika dikeluarkan SP3 dengan alasan tidak ditemukan cukup bukti terhadap suatu perkara pidana.
Universitas Sumatera Utara
BAB IV PENERAPAN PASAL 40 UNDANG-UNDANG NOMOR 30 TAHUN 2002