b. Untuk kepentingan penyidikan, penyidik POLRT memberikan petunjuk
kepada PPNS tertentu dan memberikan bantuan penyidikan yang diperlukan.
c. PPNS harus melaporkan kepada penyidik POLRI tentang adanya suatu
tindak pidana yang sedang disidik jika dari penyidikan tersebut ditemukan bukti yang kuat untuk mengajukan tindak pidananya kepada
penuntut umum. d.
Apabila PPNS telah selesai melakukan penyidikan, hasil penyidikan harus diserahkan kepada penuntut umum melalui POLRI
e. Apabila PPNS menghentikan penyidikan yang telah dilaporkan kepada
penyidik POLRI, penghentian penyidikan itu harus diberitahukan kepada penyidik POLRI dan penuntut umum.
c. Penyidik Kejaksaan
Kewenangan institusi Kejaksaan untuk melakukan penyidikan sebenarnya tidak di atur KUHAP, namun Penulis menggolongkan Kejaksaan
sebagai salah satu institusi yang berwenang melakukan penyidikan ke dalam sub bab ini agar terlihat pembedaan berdasarkan kewenangan yang dimiliki
antara penyidik Polri dan Kejaksaan serta penyidik KPK . Undang–undang yang mengatur mengenai kewenangan Kejaksaan
sebagai penyidik sudah berganti sebanyak 3 kali yaitu : yang pertama Undang- Undang No.15 Tahun 1961 yang mengatur secara implisit kewenangan
Universitas Sumatera Utara
Kejaksaan untuk melakukan penyidikan segala tindak pidana.
97
Kemudian undang- undang tersebut dicabut dan diganti denagan Undang-Undang No. 5
Tahun 1991. Alasannya karena sudah tidak selaras dengan pembaruan hukum nasional yaitu pemberlakuan KUHAP dan lebih mengkonsentrasikan perannya
di bidang penuntutan. Undang-undang ini kemudian dicabut dan diganti dengan Undang-Undang No.16 Tahun 2004. Undang-undang ini memberi
wewenang penyidikan lagi pada Kejaksaan namun hanya tidak pidana khusus.
98
Tindak pidana khusus yan g di maksud adalah perkara pidana korupsi
99
dan hak asasi manusia.
100
Berdasarkan ketentuan pasal 53 dan 54 Statuta Roma, penuntut umum mempunyai kewenangan untuk menyidik.
101
Statuta Roma atau Rome Statute of The International Criminal Court adalah persetujuan yang di sepakati pada
tahun 1998 oleh United Nations Diplomats Conference of Plenipotentiaries on Establishment of an International Criminal Court untuk membentuk
International Criminal Court ICC atau Pengadilan Pidana Internasional. ICC adalah Pengadilan Internasional yang permanen dan independen untuk
melakukan penyidikan dan mengadili pelaku kejahatan internasional seperti
97
Indonesia d, Undang-Undang No. 15 Tahun 1961 tentang Ketentuan–Ketentuan Pokok Kejaksaan Republik Indonesia.
98
Indonesia b, Op. cit., pasal 30 ayat 1 huruf d
99
Ibid.
100
Indonesia e, Undang-Undang No.26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia, LN. No.191 Tahun 2000 TLN No.3911.
101
http:www.legalitas.orgincl-phpbuka.php?d+lain+1f=statuta20Roma.htm, diakses pada Jumat, 17 September 2010, pukul 19:08:30 WIB.
Universitas Sumatera Utara
genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan , dan kejahatan perang.
102
ICC sifatnya melengkapi keberadaan sistem peradilan nasional sebuah negara. ICC
hanya akan memproses suatu perkara apabila suatu negara tidak memiliki kemauan atau kemampuan untuk menyidik dan menuntut perkara tersebut.
103
Meskipun Indonesia belum meratifikasi Statuta Roma, namun ketentuan- ketentuan dalam Statuta Roma telah diadopsi ke dalam hukum nasional. Antara
lain dengan menyempurnakan hukum acara pidana yang merupakan hukum acara untuk perkara pelanggaran hak asasi manusia dengan mengundangkan
Undang-Undang No.39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dan Undang- Undang No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia.
104
Berdasarkan uraian tersebut, KUHAP menegaskan instansi Kejaksaan sebagai lembaga penuntut umum saja, namun pada pengaturan undang-undang
yang lebih khusus instansi Kejaksaan dapat berfungsi menjadi dua, yaitu sebagai penyidik dan penuntut umum.
F. Surat Perintah Penghentian Penyidikan SP3