Hubungan Karakteristik dengan Tindakan Ibu dalam Pencegahan Penyakit Malaria di Desa Sorik Kecamatan Batang Angkola Kabupaten Tapanuli Selatan Tahun 2012

(1)

HUBUNGAN KARAKTERISTIK DENGAN TINDAKAN IBU DALAM PENCEGAHAN PENYAKIT MALARIA DI DESA SORIK

KECAMATAN BATANG ANGKOLA KABUPATEN TAPANULI SELATAN

TAHUN 2012

SKRIPSI

OLEH :

NIM. 101000322 SERI ASTUTI HASIBUAN

FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2013


(2)

HUBUNGAN KARAKTERISTIK DENGAN TINDAKAN IBU DALAM PENCEGAHAN PENYAKIT MALARIA DI DESA SORIK

KECAMATAN BATANG ANGKOLA KABUPATEN TAPANULI SELATAN

TAHUN 2012

SKRIPSI

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Kesehatan Masyarakat

OLEH :

NIM. 101000322 SERI ASTUTI HASIBUAN

FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2013


(3)

HALAMAN PENGESAHAN

Judul Tesis : HUBUNGAN KARAKTERISTIK DENGAN

TINDAKAN IBU DALAM PENCEGAHAN PENYAKIT MALARIA DI DESA SORIK

KECAMATAN BATANG ANGKOLA KABUPATEN TAPANULI SELATAN TAHUN

2012

Nama Mahasiswa : Seri Astuti Hasibuan Nomor Induk Mahasiswa : 101000322

Program Studi : Ilmu Kesehatan Masyarakat

Peminatan : Pendidikan Kesehatan dan Ilmu Perilaku Tanggal Lulus : 31 Januari 2013

Disahkan Oleh Komisi Pembimbing

NIP. 19590713 198703 1 001 Drs. Eddy Syahrial, MS

NIP. 19620604 199203 1 001 Drs. Alam Bakti Keloko, M.Kes

Medan, Februari 2013 Fakultas Kesehatan Masyarakat

Universitas Sumatera Utara Dekan,

NIP. 196108311989031001 Dr. Drs. Surya Utama, M.S


(4)

ABSTRAK

Malaria merupakan salah satu penyakit menular yang menjadi masalah kesehatan masyarakat. Pencegahan penyakit malaria yang paling efektif adalah dengan melibatkan peran serta masyarakat melalui perubahan perilaku yang berhubungan dengan pemberantasan malaria. Namun permasalahan yang sering dihadapi adalah rendahnya partisipasi masyarakat dalam pelaksanaan kegiatan penanggulangan malaria.

Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui hubungan karakteristik dengan tindakan ibu dalam pencegahan penyakit malaria di Desa Sorik Kecamatan Batang Angkola Kabupaten Tapanuli Selatan. Jenis penelitian adalah analitik dengan pendekatan cross sectional. Populasi adalah seluruh ibu rumah tangga yang bertempat tinggal di Desa Sorik Kecamatan Batang Angkola yaitu berjumlah 390 orang, dan dijadikan sampel sebanyak 77 orang. Data karakteristik (umur, pendidikan, pekerjaan), pengetahuan, sikap, dan tindakan diperoleh melalui wawancara dengan menggunakan kuesioner. Data yang sudah dikumpulkan dianalisis dengan uji Chi-Square,pada α=0.05.

Hasil penelitian diketahui bahwa secara statistik variable pendidikan (p value= 0,032), pengetahuan (p values = 0,000), dan sikap (p value = 0,000) memiliki hubungan secara signifikan dengan tindakan dalam pencegahan penyakit malaria. Sementara variable umur dan status pekerjaan tidak berhubungan secara signifikan dengan tindakan dalam pencegahan penyakit malaria.

Disarankan bagi petugas puskesmas agar sering dilakukan pemberian informasi kepada masyarakat. Informasi tersebut sebaiknya tidak hanya dilakukan melalui ceramah (penyuluhan) atau pembagian leaflet/ pamplet/ media lain tetapi juga dengan tindakan nyata/ praktek seperti kerja bakti bersama agar masyarakat semakin memahami informasi yang di dapat.


(5)

ABSTRACT

Malaria is one of transmitted diseases and as the problem for the society. The most effective prevention to malaria is by involving the society through the found is regarding lack of participation of the society in the implementation of malaria management activity.

The objective of this research is to know the relationship of the characteristics with action of the mothers in the prevention of malaria in Sorik Village, Batang Angkol sub-district, South Tapanuli regency. This research was analytic with cross sectional approach. The population was all household women residing in Sorik Village, Batang Angkol sub-district for 77 persons. The data of the characteristis (age, education, accupation), knowledge, attitude and action were obtained through interview using questionnaire. The collected data was then analyzed with Chi-Square

with α = 0.05.

The results of research showed that statistically, the variable of education (p value = 0.032), knowledge (p value = 0.000) and attitude (p value = 0.000) had significant influence to age and status did not have significant influence to the action in the prevention of malaria disease.

It is suggested for health providers in Community Health Centre to give information about malaria for the society. The information should not be given only through interview or leaflet distribution, but also in real action such as mutually working to get real advantages form the information.


(6)

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Nama : Seri Astuti Hasibuan

Tempat / Tanggal Lahir : Padangsidimpuan, 20 Februari 1985

Agama : Islam

Status Perkawinan : Belum Kawin

Alamat : Jln. Imambonjol Gg. Bengkel No. 19 Padangsidimpuan

Riwayat Pendidikan

1. SD Negeri 13 Padangsidimpuan : Tahun 1991 – 1997 2. SMP Negeri 5 Padangsidimpuan : Tahun 1997 – 2000 3. SMA Negeri 3 Padangsidimpuan : Tahun 2000 – 2003 4. AKBID Sentral Padangsidimpuan : Tahun 2003 – 2006 5. FKM USU Medan : Tahun 2010 – sekarang

Riwayat Pekerjaan

Tahun 2007 – 2010 : Bekerja Sebagai Bidan Pegawai Tidak Tetap (PTT) di Kecamatan Batang Angkola Kabupaten Tapanuli Selatan


(7)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur saya ucapkan kepada Allah SWT atas segala rahmat dan ridho-Nya, sehingga saya dapat menyelesaikan penelitian dan penyusunan skripsi ini . Penulis menyadari sepenuhnya bahwa apa yang disajikan dalam skripsi masih terdapat kekurangan. Oleh sebab itu penulis mengharapkan saran dan kritikan yang sifatnya membangun yang bermanfaat bagi skripsi ini. Adapun judul skripsi ini adalah “Hubungan Karakteristik dengan Tindakan Ibu dalam Pencegahan Penyakit Malaria di Desa Sorik Kecamatan Batang Angkola Kabupaten Tapanuli Selatan Tahun 2012”.

Pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan terimakasih kepada Drs. Eddy Syahrial, M.S., selaku Ketua Penguji dan Drs. Alam Bakti Keloko, M.Kes selaku Penguji I, yang telah banyak meluangkan waktu dan pikiranya dalam memberikan petunjuk, saran dan bimbingan kepada penulis sehingga skripsi ini dapat diselesaikan.

Penyusunan skripsi ini tidak terlepas dari bantuan dan dukungan dari berbagai pihak. Untuk itu, penulis dengan rasa hormat menyampaikan terimakasih kepada : 1. Bapak Dr. Drs. Surya Utama, MS, selaku Dekan Fakultas Kesehatan Masyarakat

Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Drs. Tukiman, MKM, selaku Ketua Departemen Pendidikan Kesehatan Dan Ilmu Perilaku Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara. 3. Bapak Dr. Drs. R. Kintoko Rochadi, MKM selaku penguji II dan Bapak dr. Surya


(8)

4. Seluruh dosen dan pegawai administrasi di Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara, khususnya dosen pada Departemen Pendidikan Kesehatan dan Ilmu Perilaku yang telah banyak memberikan masukan dan motivasi serta membantu dalam segala urusan administrasi.

5. Bapak Marzuki Harahap sebagai Kepala Desa Sorik Kecamatan Batang Angkola Kabupaten Tapanuli Selatan yang telah memberikan izin untuk memperoleh data dalam penelitian ini.

6. Sahabat-sahabatku di FKM USU terutama di Departemen Pendidikan Kesehatan dan Ilmu Perilaku stambuk 2010 yang selalu mendukungku, sehingga menambah semangat bagi saya dalam menyelesaikan skripsi ini.

Akhirnya pada semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu yang telah banyak memberikan bantuan dan dorongan semangat. Semoga Allah SWT senantiasa memenuhi kehidupan Bapak, Ibu, dan teman-teman sekalian. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi para pembaca sekalian.

Medan, Februari 2013 Penulis


(9)

DAFTAR ISI Halaman Pengesahan

Abstrak ... i

Abstract ... ii

Daftar Riwayat Hidup ... iii

Kata Pengantar ... iv

Daftar Isi ... vi

Daftar Tabel ... viii

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Permasalahan ... 6

1.3. Tujuan Penelitian ... 6

1.3.1. Tujuan Umum ... 6

1.3.2. Tujuan Khusus ... 6

1.4. Manfaat Penelitian ... 7

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Perilaku ... 8

2.1.1. Pengetahuan (Knowledge) ... 9

2.1.2. Sikap (attitude) ... 10

2.1.3. Praktik atau Tindakan (Practice) ... 10

2.1.4. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Perilaku ... 11

2.2. Penyakit Malaria ... 13

2.2.1. Faktor Host (Penjamu) ... 14

2.2.2. Faktor Agent (Penyebab) ... 16

2.2.3. Faktor Environment (Lingkungan) ... 18

2.2.4. Parasitologi ... 21

2.2.5. Epidemiologi ... 28

2.2.6. Patogenesis ... 29

2.2.7. Gejala Klinis ... 31

2.2.8. Lingkungan ... 32

2.2.9. Diagnosis ... 35

2.2.10. Penilaian Situasi Malaria ... 36

2.3. Tindakan dalam Pencegahan Penyakit Malaria ... 38

2.4. Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Tindakan dalam Pencegahan Penyakit Malaria ... 39

2.5. Landasan Teori ... 44

2.6. Kerangka Konsep Penelitian ... 44

BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Jenis Penelitian ... 45


(10)

3.3. Populasi dan Sampel ... 45

3.3.1 Populasi ... 45

3.3.2Sampel ... 46

3.4. Pengumpulan Data ... 47

3.5. Defenisi Operasional ... 47

3.6 Aspek Pengukuran ... 48

3.7 Teknik Analisis Data ... 50

BAB IV HASIL PENELITIAN 4.1. Gambaran Umum Lokasi Penelitian ... 51

4.2. Karakteristik responden ... 52

4.3. Pengetahuan ... 53

4.4. Sikap ... 61

4.5. Tindakan ... 63

4.6. Hubungan Status Pekerjaan dengan Tindakan ... 64

4.7. Hubungan Pengetahuan dengan Tindakan ... 66

4.8. Hubungan Sikap dengan Tindakan ... 66

BAB V PEMBAHASAN 5.1. Hubungan Karakteristik dengan Tindakan dalam Pencegahan Penyakit Malaria ... 68

5.1.1. ... H ubungan Umur dengan Tindakan dalam Pencegahan Penyakit Malaria ... 68

5.1.2. ... H ubungan Pendidikan dengan Tindakan dalam Pencegahan Penyakit Malaria ... 69

5.1.3. ... H ubungan Pekerjaan dengan Tindakan dalam Pencegahan Penyakit Malaria ... 70

5.2. Hubungan Pengetahuan dengan Tindakan dalam Pencegahan Penyakit Malaria………. 71

5.3. Hubungan Sikap dengan Tindakan dalam Pencegahan Penyakit Malaria ... 73

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN 6.1 Kesimpulan ... 75

6.2. Saran ... 75 DAFTAR PUSTAKA


(11)

DAFTAR TABEL

Tabel 4.1. Distribusi Responden Berdasarkan Karakteristik di Desa Sorik

Kecamatan Batang Angkola Kabupaten Tapanuli Selatan ... 52

Tabel 4.2. Distribusi Responden Berdasarkan Pengetahuan tentang Penyakit Malaria di Desa Sorik Kecamatan Batang Angkola Kabupaten Tapanuli Selatan ... 53

Tabel 4.3. Rincian Jawaban tentang Cara penularan penyakit malaria ... 53

Tabel 4.4. Rincian Jawaban tentang Tempat Perindukan Nyamuk Malaria ... 54

Tabel 4.5. Rincian Jawaban tentang Yang Bisa Terkena Penyakit Malaria ... 54

Tabel 4.6. Rincian Jawaban tentang Gejala Penyakit Malaria ... 55

Tabel 4.7. Rincian Jawaban tentang Waktu Nyamuk Malaria Bisa Menggigit Manusia ... 55

Tabel 4.8. Rincian Jawaban tentang Jalan Masuk Kuman Malaria Ke Dalam Tubuh Manusia ... 56

Tabel 4.9. Rincian Jawaban tentang Cara Mencegah Gigitan Nyamuk Penular Penyakit Malaria ... 56

Tabel 4.10. Rincian Jawaban tentang Pada Saat Dimana Manusia Bisa Digigit Oleh Nyamuk Malaria ... 57

Tabel 4.11. Rincian Jawaban tentang Tempat Hinggap Yang Disukai Oleh Nyamuk Malaria... 57

Tabel 4.12. Rincian Jawaban tentang Tempat Berkembang Biak Nyamuk Malaria ... 58

Tabel 4.13. Rincian Jawaban tentang Pada musim Apa Biasanya Penyakit Malaria Paling Banyak Terjadi ... 59

Tabel 4.14. Rincian Jawaban tentang Cara Pencegahan Malaria ... 59

Tabel 4.15. Cara Memberantas Sarang Nyamuk Malaria ... 60

Tabel 4.16. Jenis Ikan Pemakan Jentik Nyamuk Malaria ... 60

Tabel 4.17. Rincian Jawaban tentang Anggota Keluarga Yang Seharusnya Lebih Berperan Dalam Melakukan Pencegahan Malaria ... 61


(12)

Tabel 4.18. Distribusi Responden Berdasarkan Sikap di Desa Sorik Kecamatan Batang Angkola Kabupaten Tapanuli Selatan ... 61 Tabel 4.19. Distribusi Responden Berdasarkan Sikap terhadap Pengelolaan

Sampah di Desa Sorik Kecamatan Batang Angkola Kabupaten Tapanuli Selatan ... 62 Tabel 4.20. Distribusi Responden Berdasarkan Tindakan di Desa Sorik

Kecamatan Batang Angkola Kabupaten Tapanuli Selatan ... 63 Tabel 4.21. Distribusi Responden Berdasarkan Tindakan dalam Pengelolaan

Sampah di Desa Sorik Kecamatan Batang Angkola Kabupaten Tapanuli Selatan ... 64 Tabel 4.22. Hubungan Umur dengan Tindakan dalam Pencegahan Penyakit

Malaria ... 65 Tabel 4.23. Hubungan Pendidikan dengan Tindakan dalam Pencegahan

Penyakit Malaria ... 65 Tabel 4.24. Hubungan Status Pekerjaan dengan Tindakan dalam Pencegahan

Penyakit Malaria ... 66 Tabel 4.25. Hubungan Pengetahuan dengan Tindakan dalam Pencegahan

Penyakit Malaria ... 66 Tabel 4.26. Hubungan Sikap dengan Tindakan dalam Pencegahan Penyakit


(13)

ABSTRAK

Malaria merupakan salah satu penyakit menular yang menjadi masalah kesehatan masyarakat. Pencegahan penyakit malaria yang paling efektif adalah dengan melibatkan peran serta masyarakat melalui perubahan perilaku yang berhubungan dengan pemberantasan malaria. Namun permasalahan yang sering dihadapi adalah rendahnya partisipasi masyarakat dalam pelaksanaan kegiatan penanggulangan malaria.

Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui hubungan karakteristik dengan tindakan ibu dalam pencegahan penyakit malaria di Desa Sorik Kecamatan Batang Angkola Kabupaten Tapanuli Selatan. Jenis penelitian adalah analitik dengan pendekatan cross sectional. Populasi adalah seluruh ibu rumah tangga yang bertempat tinggal di Desa Sorik Kecamatan Batang Angkola yaitu berjumlah 390 orang, dan dijadikan sampel sebanyak 77 orang. Data karakteristik (umur, pendidikan, pekerjaan), pengetahuan, sikap, dan tindakan diperoleh melalui wawancara dengan menggunakan kuesioner. Data yang sudah dikumpulkan dianalisis dengan uji Chi-Square,pada α=0.05.

Hasil penelitian diketahui bahwa secara statistik variable pendidikan (p value= 0,032), pengetahuan (p values = 0,000), dan sikap (p value = 0,000) memiliki hubungan secara signifikan dengan tindakan dalam pencegahan penyakit malaria. Sementara variable umur dan status pekerjaan tidak berhubungan secara signifikan dengan tindakan dalam pencegahan penyakit malaria.

Disarankan bagi petugas puskesmas agar sering dilakukan pemberian informasi kepada masyarakat. Informasi tersebut sebaiknya tidak hanya dilakukan melalui ceramah (penyuluhan) atau pembagian leaflet/ pamplet/ media lain tetapi juga dengan tindakan nyata/ praktek seperti kerja bakti bersama agar masyarakat semakin memahami informasi yang di dapat.


(14)

ABSTRACT

Malaria is one of transmitted diseases and as the problem for the society. The most effective prevention to malaria is by involving the society through the found is regarding lack of participation of the society in the implementation of malaria management activity.

The objective of this research is to know the relationship of the characteristics with action of the mothers in the prevention of malaria in Sorik Village, Batang Angkol sub-district, South Tapanuli regency. This research was analytic with cross sectional approach. The population was all household women residing in Sorik Village, Batang Angkol sub-district for 77 persons. The data of the characteristis (age, education, accupation), knowledge, attitude and action were obtained through interview using questionnaire. The collected data was then analyzed with Chi-Square

with α = 0.05.

The results of research showed that statistically, the variable of education (p value = 0.032), knowledge (p value = 0.000) and attitude (p value = 0.000) had significant influence to age and status did not have significant influence to the action in the prevention of malaria disease.

It is suggested for health providers in Community Health Centre to give information about malaria for the society. The information should not be given only through interview or leaflet distribution, but also in real action such as mutually working to get real advantages form the information.


(15)

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

Malaria merupakan salah satu penyakit menular yang menjadi masalah kesehatan masyarakat utama di dunia termasuk Indonesia. Penyakit malaria menjadi salah satu perhatian global karena kasus malaria yang tinggi dapat berdampak luas terhadap kualitas hidup dan ekonomi bahkan mengancam keselamatan jiwa manusia. Penyebaran penyakit malaria di dunia sangat luas yakni meliputi lebih dari 100 negara beriklim tropis dan subtropis (Erdinal, 2006). Menurut World Health Organization (WHO) tahun 2010, penyakit malaria menyerang 108 negara dan kepulauan di dunia pada tahun 2008. Penduduk dunia yang berisiko terkena penyakit malaria hampir setengah dari keseluruhan penduduk di dunia, terutama negara-negara berpenghasilan rendah.

Berdasarkan data WHO (2010), terdapat sebanyak 247 juta kasus malaria di seluruh dunia dan menyebabkan lebih dari 1 juta kematian pada tahun 2008. Sebagian besar kasus dan kematian malaria ditemukan di Afrika dan beberapa negara di Asia, Amerika Latin, Timur Tengah serta Eropa. Setiap 45 detik seorang anak di Afrika meninggal dunia akibat penyakit malaria.

Penyakit malaria merupakan salah satu penyakit menular yang upaya pengendalian dan penurunan kasusnya merupakan komitmen internasional dalam

Millenium Development Goals (MDGs) (Depkes RI, 2008). Target yang disepakati secara internasional oleh 189 negara adalah mengusahakan terkendalinya penyakit


(16)

malaria dan mulai menurunnya jumlah kasus malaria pada tahun 2015 dengan indikator prevalensi malaria per 1.000 penduduk.

Penyakit malaria juga dapat membawa dampak kerusakan ekonomi yang signifikan. Penyakit malaria dapat menghabiskan sekitar 40% biaya anggaran belanja kesehatan masyarakat dan menurunkan sebesar 1,3% Produk Domestik Bruto (PDB) khususnya di negara-negara dengan tingkat penularan tinggi (WHO, 2010).

Indonesia juga merupakan salah satu negara yang masih berisiko terhadap penyakit malaria. Daerah endemis malaria sebanyak 73,6% dari keseluruhan daerah di Indonesia. Kabupaten endemis malaria di Indonesia pada tahun 2007 sebanyak 396 kabupaten dari 495 kabupaten yang ada. Penduduk Indonesia yang berdomisili di daerah berisiko tertular malaria sekitar 45%. Jumlah kasus malaria pada tahun 2006 sebanyak 2 juta kasus dan pada tahun 2007 menurun menjadi 1.774.845 kasus (Depkes RI, 2008).

Menurut perhitungan para ahli berdasarkan teori ekonomi kesehatan, dengan jumlah kasus malaria tersebut di atas, dapat menimbulkan kerugian ekonomi yang sangat besar mencapai sekitar 3 triliun rupiah lebih. Kerugian tersebut sangat berpengaruh terhadap pendapatan daerah (Depkes RI, 2008). Penyakit malaria sering menimbulkan Kejadian Luar Biasa (KLB) di Indonesia. Pada tahun 2006 terjadi KLB malaria di beberapa daerah di Indonesia. Beberapa KLB disebabkan terjadinya perubahan lingkungan oleh bencana alam, migrasi penduduk dan pembangunan yang tidak berwawasan lingkungan sehingga tempat perindukan potensial nyamuk malaria semakin meluas (Harijanto, 2010).


(17)

Kasus malaria yang tinggi berdampak terhadap beban ekonomis yang besar baik bagi keluarga yang bersangkutan dan bagi pemerintah melalui hilangnya produktivitas kerja, hilangnya kesempatan rumah tangga untuk membiayai pendidikan serta beban biaya kesehatan yang tinggi. Dalam jangka panjang, akan menimbulkan efek menurunnya mutu Sumber Daya Manusia (SDM) masyarakat Indonesia (Trihono, 2009).

Berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar Republik Indonesia (Riskesdas RI) tahun 2007, diketahui bahwa penyakit malaria tersebar merata di semua kelompok umur. Prevalensi malaria klinis di pedesaan dua kali lebih besar bila dibandingkan prevalensi di perkotaan. Prevalensi malaria klinis juga cenderung tinggi pada masyarakat dengan pendidikan rendah, kelompok petani, nelayan, buruh dan kelompok dengan tingkat pengeluaran rumah tangga per kapita rendah (Depkes RI, 2007).

Prevalensi nasional malaria berdasarkan hasil Riskesdas RI (2007) adalah sebesar 2,85%. Provinsi Sumatera Utara merupakan salah satu dari 15 provinsi dengan prevalensi malaria di atas prevalensi nasional. Berdasarkan data yang diperoleh dari Dinas Kesehatan Sumatera Utara (Dinkes Sumut) tahun 2008, beberapa kabupaten endemis malaria di Sumatera Utara di antaranya: Kabupaten Tapanuli Selatan, Kabupaten Mandaling Natal, Kabupaten Asahan, Labuhan Batu, Nias dan Kabupaten Karo. Pada bulan Maret 1992 di Kecamatan Batang Angkola Tapanuli Selatan dilaporkan terjadi kejadian luar biasa karena ditemukan sebanyak 38 kasus malaria yang meninggal dalam waktu 1 minggu dari 3000 kasus malaria,


(18)

artinya tingkat tingkat kematian penyakit malaria sebesar 1,27% (Dinkes Prop. Sumatera Utara, 2008).

Di samping itu program pengobatan penderita klinis malaria juga belum menunjukkan hasil yang memuaskan, hal ini dapat dilihat dari tingkat kesembuhan penderita malaria masih rendah (45,7%). Permasalahan yang dihadapi pengelola program malaria, khususnya petugas lapangan adalah rendahnya partisipasi masyarakat dalam pelaksanaan kegiatan penanggulangan malaria, padahal sebagian besar program tersebut sangat membutuhkan peran serta masyarakat untuk dapat terlaksana dengan baik.

Pencegahan penyakit malaria yang paling efektif adalah dengan melibatkan peran serta masyarakat melalui perubahan perilaku yang berhubungan dengan pemberantasan malaria. Perilaku manusia pada hakekatnya adalah semua aktifitas dari manusia itu sendiri dalam menghadapi stimulus baik dari lingkungan sekitarnya maupun dari hasrat yang timbul dari apa yang dirasakan patut untuk dilakukan. Tingkat pengetahuan tentang pencegahan, cara penularan serta upaya pengobatan sesuatu terhadap penyakit, sangat berpengaruh terhadap perilaku yang selanjutnya terhadap terjadinya manifestasi malaria.

Dasril (2005) menyatakan bahwa ada hubungan perilaku masyarakat terhadap angka kejadian malaria. Rumah dengan ventilasi yang tidak memakai kawat kasa memiliki resiko terkena malaria sebesar 5,2 kali dibandingkan dengan rumah yang berventilasi dengan kawat kasa. Selanjutnya diketahui bahwa orang yang tidak menggunakan obat nyamuk oles (repellent) memiliki resiko sebesar 3,2 kali untuk


(19)

terkena malaria dibandingkan dengan orang yang memakai jika keluar rumah pada malam hari.

Kabupaten Tapanuli Selatan merupakan Kabupaten endemis malaria. Annual Malaria Insiden (AMI) dari tahun 2006 sebesar 5%, tahun 2008 sebesar 6,19%, dan tahun 2009 turun menjadi 4,55%. Kecamatan endemis malaria yang pada tahun 2009 mencakup wilayah kerja Puskesmas Batang Angkola, Sayurmatinggi, Batu Horpak, Simarpinggan, Sitinjak, Huta Raja, dan Batang Toru. Pada tahun 2009 jumlah klinis malaria mencapai 1.249 penderita mencakup 13 puskesmas, sementara pada tahun 2010 cakupan penderita malaria sebesar 7.381 orang, dimana Desa Sorik Kecamatan Batang Angkola memiliki jumlah penderita malaria tertinggi pada tahun 2010, yaitu sebanyak 42 orang. Oleh karena itu, program pemberantasan malaria harus lebih diintensifkan termasuk upaya dalam pengandalian vektor untuk memutuskan rantai penularan malaria. Mengingat bahwa malaria ditularkan melalui nyamuk, dan nyamuk erat kaitannya dengan faktor lingkungan sehingga sangat dibutuhkan peran serta masyarakat dalam memberantas perkembangbiakannya.

Pentingnya partisipasi dalam pembangunan kesehatan bukan semata-mata karena ketidakmampuan pemerintah dalam upaya pembangunan, melainkan memang disadari bahwa masyarakat mempunyai hak dan potensi untuk mengenal dan memecahkan masalah kesehatan yang dihadapinya, mengingat sebagian besar masalah kesehatan disebabkan oleh perilaku masyarakat itu sendiri (Ndiye, dkk, 2001).


(20)

1.2. Permasalahan

Berdasarkan latar belakang di atas, maka permasalahan dalam penelitian ini adalah: bagaimana hubungan karakteristik dengan tindakan ibu dalam pencegahan penyakit malaria di Desa Sorik Kecamatan Batang Angkola Kabupaten Tapanuli Selatan.

1.3. Tujuan Penelitian 1.3.1. Tujuan Umum

Untuk mengetahui hubungan karakteristik dengan tindakan ibu dalam pencegahan penyakit malaria di Desa Sorik Kecamatan Batang Angkola Kabupaten Tapanuli Selatan.

1.3.2. Tujuan Khusus

1. Mengetahui hubungan umur dengan tindakan ibu dalam pencegahan penyakit malaria di Desa Sorik Kecamatan Batang Angkola Kabupaten Tapanuli Selatan. 2. Mengetahui hubungan pendidikan dengan tindakan ibu dalam pencegahan

penyakit malaria di Desa Sorik Kecamatan Batang Angkola Kabupaten Tapanuli Selatan

3. Mengetahui hubungan status pekerjaan dengan tindakan ibu dalam pencegahan penyakit malaria di Desa Sorik Kecamatan Batang Angkola Kabupaten Tapanuli Selatan

4. Mengetahui hubungan tingkat penghasilan dengan tindakan ibu dalam pencegahan penyakit malaria di Desa Sorik Kecamatan Batang Angkola Kabupaten Tapanuli Selatan


(21)

5. Mengetahui hubungan tingkat pengetahuan dengan tindakan ibu dalam pencegahan penyakit malaria di Desa Sorik Kecamatan Batang Angkola Kabupaten Tapanuli Selatan

6. Mengetahui hubungan sikap dengan tindakan ibu dalam pencegahan penyakit malaria di Desa Sorik Kecamatan Batang Angkola Kabupaten Tapanuli Selatan 1.4. Manfaat Penelitian

1. Menjadi masukan model perbaikan untuk pencegahan penyakit malaria pada Puskesmas di Kecamatan Batang Angkola Kabupaten Tapanuli Selatan.

2. Menjadi bahan bacaan/referensi bagi Petugas Kesehatan Puskesmas di Kecamatan Batang Angkola Kabupaten Tapanuli Selatan dalam menyusun rencana strategis dan kebijakan serta tindakan intervensi khususnya dalam program pemberantasan penyakit malaria, khususnya di Desa Sorik yang merupakan daerah endemis malaria, sehingga dapat menekan angka kesakitan dan kematian akibat penyakit malaria.


(22)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Perilaku

Meskipun perilaku adalah bentuk respons atau reaksi terhadap stimulus atau rangsangan dari luar organisme (orang), namun dalam memberikan respons sangat tergantung pada karakteristik atau faktor-faktor lain dari orang yang bersangkutan. Hal ini berarti meskipun stimulusnya sama bagi beberapa orang, namun respons tiap-tiap orang berbeda. Faktor-faktor yang membedakan respons terhadap stimulus yang berbeda disebut determinan perilaku. Determinan perilaku ini dapat dibedakan menjadi dua, yakni: 1) Determinan atau faktor internal, yakni karakteristik orang yang bersangkutan, yang bersifat given atau bawaan, misalnya: tingkat kecerdasan, tingkat emosional, jenis kelamin, dan sebagainya; dan 2) Determinan atau faktor eksternal, yakni lingkungan, baik lingkungan fisik, sosial, budaya, ekonomi, politik, dan sebagainya. Faktor lingkungan ini sering merupakan faktor yang dominan yang mewarnai perilaku seseorang (Notoatmodjo, 2003).

Dari uraian di atas dapat dirumuskan bahwa perilaku adalah merupakan totalitas penghayatan dan aktivitas seseorang, yang merupakan hasil bersama atau resultante antara berbagai faktor, baik faktor internal maupun faktor eksternal. Dengan perkataan lain perilaku manusia sangatlah kompleks, dan mempunyai bentangan yang sangat luas. Benyamin Bloom (1908) seorang ahli psikologi pendidikan membagi perilaku manusia itu ke dalam 3 (tiga) domain, ranah, atau kawasan, yakni: kognitif (cognitive), afektif (affective), dan psikomotor


(23)

(psychomotor). Dalam perkembangannya, teori Bloom ini dimodifikasi untuk pengukuran hasil pendidikan kesehatan, yakni (Notoatmodjo, 2003) :

2.1.1. Pengetahuan (Knowledge)

Pengetahuan merupakan hasil dari tahu, dan ini terjadi setelah orang melakukan pengindraan terhadap suatu objek tertentu. Pengindraan terjadi melalui pancaindra manusia, yakni indra penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa, dan raba. Sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan telinga. Pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat penting dalam membentuk tindakan seseorang (overt behavior).

Pengetahuan yang tercakup dalam domain kognitif mempunyai 6 tingkatan: 1) Tahu (know), tahu diartikan sebagai mengingat suatu materi yang telah dipelajari sebelumnya. Termasuk ke dalam pengetahuan tingkat ini adalah mengingat kembali (recall) sesuatu yang spesifik dari seluruh bahan yang dipelajari atau rangsangan yang diterima; 2) Memahami (comprehension), memahami diartikan sebagai suatu kemampuan untuk menjelaskan secara benar tentang objek yang diketahui dan dapat mengintrepretasikannya materi tersebut secara benar; 3) Aplikasi (application), aplikasi diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan materi yang telah dipelajari pada situasi atau kondisi sebenarnya; 4) Analisis (analysis), analisis adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan materi atau suatu objek ke dalam komponen-komponen, tetapi masih di dalam satu struktur organisasi, dan masih ada kaitannya satu sama lain; 5) Sintesis (synthesis), sintesis menunjuk kepada suatu kemampuan untuk meletakkan atau menghubungkan bagian-bagian dalam suatu bentuk keseluruhan yang baru; dan 6) Evaluasi (evaluation), evaluasi ini berkaitan dengan


(24)

kemampuan untuk melakukan justifikasi atau penilaian terhadap suatu materi atau objek (Notoatmodjo, 2003).

2.1.2. Sikap (attitude)

Sikap merupakan reaksi atau respons yang masih tertutup dari seseorang terhadap suatu stimulus atau objek. Allport dalam Notoatmodjo, (2003) menjelaskan bahwa sikap itu mempunyai 3 komponen pokok: 1) Kepercayaan (keyakinan), ide, dan konsep terhadap suatu objek; 2) Kehidupan emosional atau evaluasi terhadap suatu objek; dan 3) Kecenderungan untuk bertindak.

Seperti halnya dengan pengetahuan, sikap ini terdiri dari berbagai tingkatan: 1) Menerima (receiving), menerima diartikan bahwa orang (subjek) mau dan memperhatikan stimulus yang diberikan (objek); 2) Merespon (responding), memberikan jawaban apabila ditanya, mengerjakan, dan menyelesaikan tugas yang diberikan adalah suatu indikasi dari sikap; 3) Menghargai (valuing), mengajak orang lain untuk mengerjakan atau mendiskusikan suatu masalah adalah suatu indikasi sikap ketiga; 4) Bertanggung jawab (responsible), bertanggung jawab atas segala sesuatu yang telah dipilihnya dengan segala risiko merupakan sikap yang paling tinggi.

2.1.3. Praktik atau Tindakan (Practice)

Praktik mempunyai beberapa tingkatan: 1) Persepsi (perception), mengenal dan memilih berbagai objek sehubungan dengan tindakan yang akan diambil adalah merupakan praktik tingkat pertama; 2) Respons terpimpin (guided response), dapat melakukan sesuatu sesuai dengan urutan yang benar dan sesuai dengan contoh adalah


(25)

merupakan indikator praktik tingkat dua; 3) Mekanisme (mecanism), apabila seseorang telah dapat melakukan sesuatu dengan benar secara otomatis, atau sesuatu itu sudah merupakan kebiasaan, maka ia sudah mencapai praktik tingkat tiga; dan 4) Adopsi (adoption), adaptasi adalah suatu praktik atau tindakan yang mudah berkembang dengan baik.

2.1.4. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Perilaku

Green (1980), menjelaskan berdasarkan penelitian kumulatif mengenai perilaku kesehatan, telah diidentifikasi tiga kelas faktor yang mempunyai potensi dalam mempengaruhi kesehatan. Tiga faktor tersebut adalah faktor-faktor predisposisi (predisposing factors), faktor-faktor yang mendukung (enabling factors) dan faktor-faktor yang memperkuat atau mendorong (reinforcing factors). Masing-masing faktor ini mempunyai pengaruh yang berbeda atas perilaku. Model ini dikembangkan untuk keperluan diagnosis, perencanaan dan intervensi pendidikan kesehatan, dan dikenal sebagai kerangka kerja PRECEDE yang merupakan singkatan dari “Predisposing, Reinforcing and Enabling Causes of Educational Diagnosis and Evaluation”.

a. Faktor-faktor predisposisi (predisposing factors)

Setiap karakteristik konsumen atau komuniti yang memotivasi perilaku yang berkaitan dengan kesehatan. Yang termasuk dalam faktor ini adalah pengetahuan, sikap, keyakinan, nilai dan persepsi berkenaan dengan motivasi seseorang atau kelompok, dapat memudahkan atau merintangi tindakan, faktor sosio demografis juga termasuk umur, jenis kelamin, pendidikan.


(26)

b. Faktor-faktor pemungkin (enabling factors)

Setiap karakteristik lingkungan yang memudahkan perilaku dan setiap keterampilan atau sumber daya diperlukan untuk melaksanakan perilaku. Tidak adanya karakteristik atau keterampilan tersebut menghambat perilaku kesehatan. Hal ini terwujud dalam bentuk lingkungan fisik, tersedianya fasilitas atau sarana dan prasarana untuk berperilaku, serta keterampilan yang berhubungan dengan kesehatan. Keterampilan sendiri berarti kemampuan seseorang melakukan upaya yang menyangkut perilaku yang diharapkan.

c. Faktor-faktor penguat (reinforcing factors)

Setiap ganjaran, insentif atau hukuman yang mengikuti atau diperkirakan sebagai akibat dari suatu perilaku kesehatan dan berperan bagi menetap atau lenyapnya perilaku itu. Hal ini terwujud dalam sikap dan perilaku seseorang yang merupakan kelompok referensi dari perilaku masyarakat. Referensi ini dapat berasal dari guru, dosen, famili, tokoh masyarakat, supervisior, majikan, teman sebaya dan lain sebagainya.

Menurut Morgan et. al. sebagimana yang dikutip oleh Sudrajat (1992), pengukuran perilaku dapat dilakukan dengan dua cara yaitu dengan menggunakan

checklist dan pengamatan langsung terhadap perilaku. Sedangkan menurut Backstorm dalam Sudrajat (1992), melalui pengamatan langsung dapat dipelajari lebih banyak perilaku seseorang dibandingkan dengan pertanyaan, karena orang tidak selalu menyatakan secara benar apa yang ditanyakan.


(27)

2.2. Malaria

2.2.1. Pengertian Malaria

Malaria adalah penyakit yang menyerang manusia, burung, kera dan primata lainnya, hewan melata dan hewan pengerat yang disebabkan oleh infeksi protozoa dari genus plasmodium. Penyakit malaria pada manusia ada empat jenis dan masing-masing disebabkan spesies parasit yang berbeda. Jenis malaria itu adalah (Silalahi, L., 2004):

1. Malaria tertiana (paling ringan), yang disebabkan oleh Plasmodium vivax dengan gejala demam dapat terjadi setiap dua hari sekali setelah gejala pertama terjadi, ini dapat terjadi selama dua minggu setelah infeksi.

2. Demam rimba (jungle fever), malaria aestivo-autumnal atau disebut juga malaria tropika, disebabkan oleh P. falciparum. Plasmodium ini merupakan sebagian besar penyebab kematian akibat malaria. Organisme bentuk ini sering menghalangi jalan darah ke otak, menyebabkan koma, mengigau, dan kematian. 3. Malaria kuartana yang disebabkan P. malariae, memiliki masa inkubasi lebih

lama dari pada penyakit malaria tertiana atau tropika. Gejala pertama biasanya antara 18 sampai 40 hari setelah infeksi terjadi. Gejala itu kemudian akan terulang lagi tiap tiga hari.

4. Malaria yang mirip malaria tertiana, malaria ini paling jarang ditemukan, dan disebabkan oleh P. ovale. Pada masa inkubasi malaria, protozoa tumbuh di dalam sel hati, beberapa hari sebelum gejala pertama terjadi. Organisme tersebut menyerang dan menghancurkan sel darah merah sehingga menyebabkan demam.


(28)

Parasit malaria yang terbanyak di Indonesia adalah Plasmodium falciparum

dan Plasmodium vivax atau campuran keduanya, sedangkan P. ovale dan malariae

pernah ditemukan di Sulawesi, Irian Jaya dan Negara Timor Leste. Proses penularannya adalah dimulai nyamuk malaria yang mengandung parasit malaria, menggigit manusia sampai pecahnya sizon darah atau timbulnya gejala demam. Proses penularan ini akan berbeda dari setiap jenis parasit malaria, yaitu antara 9-40 hari (Anies, 2005).

Penyakit malaria telah diketahui sejak zaman Yunani. Gejala penyakit malaria adalah khas, mudah dikenal, karena demam yang naik turun dan teratur disertai menggigil, maka pada waktu itu sudah dikenal febris tersiana dan febris kuartana. Disamping itu terdapat kelainan pada limpa, yaitu splenomegali: limpa membesar dan menjadi keras, sehingga dahulu penyakit malaria disebut demam kura (Gandahusada, S., 2006).

Dahulu diduga bahwa penyakit malaria disebabkan oleh hukuman dari dewa-dewa karena waktu itu ada wabah di sekitar Kota Roma. Ternyata penyakit ini banyak terdapat di daerah rawa-rawa yang mengeluarkan bau busuk di sekitarnya. Pada abad ke 19, Laveran melihat bentuk pisang dalam darah seorang penderita malaria. Kemudian diketahui bahwa malaria ditularkan oleh nyamuk yang banyak terdapat di rawa-rawa. Malaria adalah suatu istilah yang diperkenalkan oleh Dr. Francisco Torti pada abad ke 17, malaria berasal dari bahasa Itali Mal = kotor, sedangkan Aria = udara ”udara yang kotor” (Prasetyo, A. 2006)

Malaria disebabkan oleh sporozoa dari genus plasmodium yang ditularkan ke manusia oleh nyamuk Anopheles dengan gejala demam yang sering/periodik, anemia,


(29)

pembesaran limpha, dan berbagai kumpulan gejala lain karena pengaruhnya pada beberapa organ, misalnya: otak, hati, dan ginjal. Malaria dijumpai hampir di seluruh pulau di Indonesia, disamping menyebabkan kesakitan dan kematian juga dapat menurunkan produktivitas kerja penderita (Rahmati, V. , 2006).

Nyamuk malaria mengeluarkan ludah sewaktu menggigit manusia, apabila nyamuk mengandung Plasmodium, bersamaan dengan ludah tersebut Plasmodium

masuk ke dalam tubuh manusia. Dalam tubuh manusia Plasmodium berkembang biak dan menyebabkan penyakit malaria. Apabila penderita malaria digigit oleh nyamuk

Anopheles parasit itu akan terhisap oleh nyamuk malaria tersebut dan nyamuk tersebut akan menularkan kepada orang lain di lingkungannya. Dalam lingkungan terdapat pula keseimbangan antara manusia, nyamuk malaria dan parasit manusia. Penangulangannya dengan mengubah keseimbangan yaitu dengan cara mematikan parasit dalam tubuh dan memberantas nyamuk malaria (Soemirat, J., 2002).

Ketika nyamuk Anopheles betina (yang mengandung parasit malaria) menggigit manusia, akan keluar sporozoit dari kelenjar ludah nyamuk masuk ke dalam darah dan jaringan hati. Dalam siklus hidupnya parasit malaria membentuk stadium sizon jaringan dalam sel hati (stadium ekso-eritrositer). Setelah sel hati pecah, akan keluar merozoit atau kriptozoit yang masuk ke eritrosit membentuk stadium sizon dalam eritrosit (stadium eritrositer). Disitu mulai bentuk troposit muda sampai sizon tua atau matang sehingga eritrosit pecah dan keluar merozoit. Sebagian besar Merozoit masuk kembali ke eritrosit dan sebagian kecil membentuk gametosit jantan dan betina yang siap untuk diisap nyamuk malaria betina dan melanjutkan


(30)

siklus hidupnya di tubuh nyamuk (stadium sporogoni) (Harijanto, 2000; Anies, 2005).

Di dalam lambung nyamuk, terjadi perkawinan antara gamet jantan (mikrogamet) dan gamet betina (makrogamet) yang disebut zigot. Zigot berubah menjadi ookinet, kemudian masuk ke dinding lambung nyamuk dan berubah menjadi ookista. Setelah ookista matang akan pecah dan keluar sporozoit yang berpindah ke kelenjar liur nyamuk, dan siap untuk ditularkan ke manusia (Anies, 2005)

2.2.2. Vektor Malaria

Nyamuk Anopheles di seluruh dunia terdapat kira-kira 2000 spesies, sedangkan yang dapat menularkan malaria kira-kira 60 spesies. Di Indonesia, menurut pengamatan terakhir ditemukan 80 spesies Anopheles, sedangkan yang menjadi vektor malaria adalah 22 spesies dengan tempat perindukan yang berbeda-beda (Gandahusada, S., 2006; Harijanto, P.N., 2000; Prabowo, A., 2004).

Nyamuk yang menjadi vektor di Jawa dan Bali An. sundaicus, An. aconitus, An. balabacencis dan An. maculatus. Di daerah pantai banyak terdapat An. sundaicus

dan An. subpictus, sedangkan An. balabacencis dan An. maculatus ditemukan di daerah non persawahan. Anopheles aconitus, An. barbirostrosis, An. tessellatus, An. nigerrimus dan An. sinensis di Jawa dan Sumatera tempat perindukan di sawah kadang di genangan-genangan air yang ada di sekitar persawahan. Di Kalimantan yang dinyatakan sebagai vektor adalah An. balabacensis, An. letifer. Di Irian Jaya adalah An. farauti, An. punctulatus An. bancrofti, An. karwair dan An.koliensis. Di Nusa Tenggara Timur (NTT) yang pernah ditemukan sebagai vektor adalah An. sundaicus, An.subpictus, dan An.barbirostris (Anies, 2005).


(31)

Di Sumatera spesies nyamuk Anopheles yang sudah dinyatakan sebagai vektor adalah An. sundaicus, An. maculatus, An. nigerrimus, An. sinensis, An. tessellatus dan An. letifer. Di Pripinsi Bengkulu nyamuk yang sudah dinyatakan sebagai vektor malaria adalah An. Maculates, An. sundaicus, dan An. Nigerrimus. Seseorang dapat terjangkit malaria karena terinfeksi oleh plasmodium yang masuk ke dalam tubuh manusia melalui gigitan nyamuk Anopheles betina. Tubuh manusia bertindak sebagai inang, ada interaksi yang menyebabkan nyamuk Anopheles betina dapat mengenali inangnya. Selain itu terdapat senyawa tertentu yang menuntun nyamuk Anopheles betina dalam interaksi ini. Keringat manusia dinilai lebih spesifik dikenali oleh nyamuk Anopheles betina, ditemukan juga bahwa terdapat suatu sel dalam antena nyamuk Anopheles betina yang secara spesifik dapat mengenali salah satu komponen manusia (4 methyl phenol) (Prabowo, A., 2004).

Plasmodium bermula bersembunyi di sel hati, di sini parasit berkembang biak secara a-seksual, tanpa menimbulkan gejala sakit, kemudian menyerang sel-sel darah merah. Pada stadium ini baru muncul gejala penyakit malaria yang khas. Sebagian parasit tumbuh di dalam sel darah merah yang berkembang biak secara seksual. Jika sel darah merah yang mengandung parasit malaria itu dihisap oleh nyamuk Anopheles

betina, maka selanjutnya terjadi perkembangbiakan seksual di dalam tubuh nyamuk. Disinilah terbentuk partikel yang menimbulkan penyakit infeksi malaria, yakni sporozoit yang berbentuk seperti sabit. Untuk meredam wabah malaria, siklus inilah yang harus diputuskan. Caranya, dapat dengan pemberantasan nyamuk inang perantara, atau juga menghilangkan Plasmodium di dalam tubuh manusia, dengan menggunakan obat-obatan (Anies, 2005)


(32)

Penyakit malaria berkaitan erat dengan keadaan wilayah, di kawasan tropika seperti Indonesia penularan penyakit ini sangat rentan, karena keadaan cuaca yang mempunyai kelembaban tinggi akan memberikan habitat yang sesuai untuk pembiakan nyamuk yang menjadi vektor penularan kepada penyakit ini. Selain itu, peningkatan suhu dunia juga menjadi salah satu faktor penyebab meningkatnya penyakit malaria (Prasetyo, A., 2006).

Tingginya penularan malaria tergantung dari densitas vektor, frekuensi gigitan, lamanya hidup vektor, lamanya siklus sporogoni, angka sporozoit (parasit yang terdapat pada kelenjar liur nyamuk) dan adanya reservoir parasit (manusia yang mempunyai parasit dalam darah) (Anies, 2005).

2.2.3. Bionomik Nyamuk Malaria 1. Tempat Perindukan

Keberadaan nyamuk malaria di suatu daerah sangat tergantung pada lingkungan, keadaan wilayah seperti perkebunan, keberadaan pantai, curah hujan, kecepatan angin, suhu, sinar matahari, ketinggian tempat dan bentuk perairan yang ada. Nyamuk Anopheles aconitus dijumpai di daerah-daerah persawahan, tempat perkembangbiakan nyamuk ini terutama di sawah yang bertingkat-tingkat dan di saluran irigasi (Barodji dan Suwasono, 2001).

Kepadatan populasi nyamuk ini sangat dipengaruhi oleh musim tanam padi. Jentik-jentik nyamuk ini mulai ditemukan di sawah kira-kira pada padi berumur 2-3 minggu setelah tanam dan paling banyak ditemukan pada saat tanaman padi mulai berbunga sampai menjelang panen. Di daerah yang musim tanamnya tidak serempak dan sepanjang tahun ditemukan tanaman padi pada berbagai umur, maka nyamuk ini


(33)

ditemukan sepanjang tahun dengan dua puncak kepadatan yang terjadi sekitar bulan Pebruari-April dan sekitar bulan Juli-Agustus (Barodji, 1997).

Anopheles balabacencis dan An. maculatus adalah dua spesies nyamuk yang banyak ditemukan di daerah-daerah pegunungan non persawahan dekat hutan. Kedua spesies ini banyak dijumpai pada peralihan musim hujan ke musim kemarau dan sepanjang musim kemarau. Tempat perkembangbiakannya di genangan-genangan air yang terkena sinar matahari langsung seperti genangan air di sepanjang sungai, di mata air-mata air dan alirannya, dan pada air di lubang batu-batu (Barodji, 1997).

Kepadatan jentik nyamuk An. balabacencis bisa ditemukan baik pada musim penghujan maupun pada musim kemarau. Jentik-jentik An. balabacencis ditemukan di genangan air yang berasal dari mata air, seperti penampungan air yang dibuat untuk mengairi kolam, untuk merendam bambu/kayu, mata air, bekas telapak kaki kerbau dan kebun salak. Dari gambaran di atas tempat perindukan An. balabacencis

tidak spesifik seperti An. maculatus dan An. aconitus, karena jentik An. Balabacencis

dapat hidup di beberapa jenis genganan air, baik genangan air hujan maupun mata air, pada umumnya kehidupan jentik An. balabacencis dapat hidup secara optimal pada genangan air yang terlindung dari sinar matahari langsung, diantara tanaman/vegetasi yang homogen seperti kebun salak, kebun kapulaga dan lain-lain (Barodji dan Suwasono, 2001).

Anopheles maculatus yang umum ditemukan di daerah pegunungan, ditemukan pula di daerah persawahan dan daerah pantai yang ada sungai kecil-kecil dan berbatu-batu. Puncak kepadatan An. maculatus dipengaruhi oleh musim, pada musim kemarau kepadatan meningkat, hal ini disebabkan banyak terbentuk tempat


(34)

perindukan berupa genangan air di pinggir sungai dengan aliran lambat atau tergenang. Perkembangbiakan nyamuk An. maculatus cenderung menurun bila aliran sungai menjadi deras yang tidak memungkinkan adanya genangan di pinggir sungai sebagai tempat perindukan (Barodji dan Suwasono, 2001).

Anopheles sundaicus dijumpai di daerah pantai, tempat perindukannnya adalah di air payau dengan salinitas antara 0-25 per mil, seperti rawa-rawa berair payau, tambak-tambak ikan tidak terurus yang banyak ditumbuhi lumut, lagun, muara-muara sungai yang banyak ditumbuhi tanaman air dan genangan air di bawah hutan bakau yang kena sinar matahari dan berlumut. An. sundaicus ditemukan sepanjang tahun dan paling banyak ditemukan pada pertengahan sampai akhir musim kemarau (September-Desember) (Barodji dan Suwasono, 2001).

2. Tempat Istirahat

Menurut Barodji dan Suwasono, (2001) tempat istirahat An. aconitus pada umumnya ditempat yang mempunyai kelembaban tinggi dan intensitas cahaya rendah, serta di lubang tanah bersemak. An. aconitus hinggap di tempat-tempat dekat tanah. Nyamuk ini biasanya hinggap di daerah-daerah yang lembab, seperti di pinggir-pinggir parit, tebing sungai, dekat air yang selalu basah dan lembab.

Di luar rumah tempat istirahat An. maculatus adalah di pinggiran sungai-sungai kecil dan di tanah yang lembab. Menurut Damar (2002) tempat istirahat An. maculatus adalah semak-semak dan bebatuan. Anopheles sundaicus, perilaku istirahat nyamuk ini biasanya hinggap di dinding-dinding rumah penduduk. Sedangkan menurut Sundararaman (1997) tempat istirahat nyamuk di dalam rumah yaitu: pakaian tergantung, kelambu, di bawah-bawah almari, dan langit-langit rumah.


(35)

3. Aktivitas Menghisap Darah

Pola aktivitas nyamuk Anopheles mencari pakan darah berbeda menurut sepesiesnya. An. aconitus sebagian besar menghisap darah sebelum jam 22.00, setelah itu kepadatan nyamuk yang menghisap darah menurun. Vektor An. aconitus biasanya aktif menghisap darah antara jam 18.00-22.00 dengan puncak aktivitasnya terjadi pukul 20.00, sedangkan menurut Damar (2002) Aktifitas menghisap darah An. aconitus sekitar pukul 19.00-21.00 di dalam dan luar rumah. Aktifitas menghisap darah An. balabacencis cenderung sepanjang malam, tetapi puncaknya sekitar pukul 01.00-03.00, baik di dalam rumah, di luar rumah maupun di kandang hewan. Puncak aktivitas menghisap darah An. balabacencis yaitu setelah tengah malam pukul 01.00 (Barodji dan Suwasono, 2001).

Aktivitas menghisap darah An. maculatus cenderung meningkat pada malam hari sekitar pukul 22.00-24.00 (Damar (2002). Sedangkan Barodji dan Suwasono, (2001), menyatakan bahwa An. maculatus sebagian besar mencari pakan darah pada tengah malam sekitar pukul 23.00-02.00. Pada vektor An. sundaicus lebih sering menghisap darah manusia dari pada darah binatang. Biasanya Nyamuk hinggap di dinding baik sebelum maupun sesudah menghisap darah, aktif menghisap darah sepanjang malam, tetapi puncaknya antara pukul 22.00-01.00 dini hari.

2.2.4. Parasitologi 1. Etiologi

Malaria disebabkan oleh parasit (protozoa) dari genus Plasmodium, yang ditularkan melalui gigitan nyamuk Anopheles. pada manusia terdapat 4 spesies


(36)

menyebabkan infeksi paling berat dan angka kematian tertinggi. Parasit malaria merupakan Genus Plasmodium dari anggota Phyllum Protozoa Apicomplexa, kelas:

Sporozoa, subkelas: Coccidiida, ordo: Eucoccidides, sub-ordo: Haemosporina

(Prabowo, A., 2004).

Lebih dari 100 spesies genus Plasmodium ditemukan pada darah reptil, burung, dan manusia. Pada hampir semua kasus, malaria ditransmisi melalui gigitan nyamuk Anopheles betina yang terinfeksi. Tetapi parasit dapat juga ditransmisi secara kongenital, melalui transfusi darah atau melalui jarum terkontaminasi (Harijanto, 2000).

2. Morfologi dan Daur Hidup

Daur hidup semua species parasit malaria pada manusia adalah sama, yaitu mengalami stadium-stadium yang berpindah dari vektor nyamuk ke manusia dan kembali ke nyamuk lagi. Terdiri dari siklus seksual (sporogoni) yang berlangsung pada nyamuk Anopheles, dan siklus aseksual yang berlangsung pada manusia yang terdiri dari fase eritrosit (erythrosytic schizogony) dan fase yang berlangsung di dalam parenkim sel hepar (exo - erythrosytic schizogony) (Harijanto, 2000).

Plasmodium falciparum, parasit ini merupakan spesies yang paling berbahaya karena penyakit yang ditimbulkannya dapat menjadi berat. Perkembangan aseksual dalam hati hanya menyangkut fase praeritrosit saja, tidak ada fase eksoeritrosit yang dapat menimbulkan relaps jangka panjang (rekurens). Jumlah merozoit pada skizon matang kira-kira 40.000 buah. Bentuk awal yang terlihat dalam hati adalah skizon yang berukuran kira-kira 30 mikron pada hari keempat setelah infeksi. Dalam darah, bentuk cincin stadium trofozoit muda P. falciparum sangat


(37)

kecil dan halus dengan ukuran kira-kira 1/6 diameter eritrosit. Pada bentuk cincin dapat dilihat dua butir kromatin (bentuk pinggir dan bentuk accole). Beberapa bentuk cincin dapat ditemukan dalam satu eritrosit (infeksi multipel), walaupun bentuk marginal, accole, cincin dengan kromatin ganda dan infeksi multipel dapat juga ditemukan dalam eritrosit yang diinfeksi oleh spesies Plasmodium lain pada manusia. Bentuk cincin P. falciparum kemudian menjadi lebih besar, berukuran ¼ dan kadang-kadang hampir ½ diameter eritrosit. Sitoplasma dapat mengandung satu atau dua butir pigmen. Stadium perkembangan daur aseksual berikutnya pada umumnya tidak berlangsung dalam darah tepi, kecuali pada kasus berat (pernisiosa). Adanya skizon muda dan skizon matang P. falciparum dalam sedian darah tepi berarti keadaan infeksi yang berat, bentuk skizon muda P. falciparum dapat dikenal dengan mudah oleh adanya satu atau dua butir pigmen yang menggumpal (Harijanto, 2000).

Bentuk cincin dan trofozoit tua menghilang dari darah tepi setelah 24 jam dan tertahan di kapiler alat-alat dalam, sperti otak, jantung, plasenta, usus atau sumsum tulang, di tempat-tempat ini parasit berkembang lebih lanjut. Dalam waktu 24 jam parasit di dalam kapiler berkembang biak secara skizogoni, bila skizon sudah matang akan mengisi kira-kira du per tiga eritrosit dan membentuk 8 sampai 24 buah merozoit, dengan jumlah rata-rata 16 buah merozoit. Derajat infeksi pada jenis malaria ini lebih tinggi dari spesies lainnya, kadang-kadang melebihi 500.000/mm3 darah. Sebagian besar kasus berat dan fatal disebabkan oleh karena eritrosit yang dihinggapi parasit ini menggumpal dan menyumbat kapiler (Harijanto, 2000).

Pembentukan gametosis berlangsung di kapiler alat-alat dalam, tetapi kadang-kadang stadium muda dapat ditemukan di daerah tepi. Gametosis muda mempunyai


(38)

bentuk agak lonjong, kemudian menjadi lebih panjang atau berbentuk elips, akhirnya mencapai bentuk khas seperti sabit atau pisang sebagai gametosis matang. Gametosis untuk pertama kali tampak di darah tepi setelah beberapa generasi mengalami skizogoni, biasanya kira-kira 10 hari setelah parasit pertama kali tampak dalam darah. Gametosis betina atau makrogametosit biasanya lebih langsing dan lebih panjang dari gametosis jantan atau mikrogametosit dan sitoplasmanya lebih biru dengan pulasan

Romanowsky/Giems. Intinya lebih kecil dan padat, berwarna merah tua dan butir-butir pigmen tersebar di sekitar inti. Mikrogametosit berbentuk lebih lebar dan seperti sosis. Sitoplasmanya biru pucat atau agak kemerah-merahan dan intinya berwarna merah muda, besar dan tidak padat; butir-butir pigmen tersebar di sitoplasma sekitar inti (Harijanto, 2000).

Walaupun skizogoni eritrosit pada P. falciparum selesai dalam waktu 48 jam dan periodesitasnya khas tersiana, seringkali pada spesies ini terdapat dua atau lebih kelompok-kelompok parasit, dengan sporulasi yang tidak sinkron, sehingga periodesitas gejala pada penderita ini menjadi tidak teratur, terutama pada stadium permulaan serangan malaria. Siklus seksual P. falciparum dalam nyamuk umumnya sama seperti pada Plasmodium yang lain. Siklus berlangsung 22 hari pada suhu 200C; 15 sampai 17 hari pada suhu 230C dan 10 sampai 11 hari pada suhu 250C-280C. Pigmen pada ookista berwarna agak hitam dan butir-butirnya relatif besar, membentuk pola pada kista sebagai lingkaran ganda sekitar tepinya, tetapi dapat tersusun sebagai lingkaran kecil di pusat atau sebagai garis lurus ganda. Pada hari ke delapan hanya beberapa butir pigmen yang bisa dilihat (Harijanto, 2000).


(39)

Plasmodium malariae, inokulasi sporozoit P. malariae manusia pada simpanse dengan gigitan nyamuk Anopheles membuktikan adanya stadium praeritrosit P. malariae. Parasit ini dapat hidup pada simpanse yang merupakan hospes reservoir yang potensial. Skizon praeritrosit menjadi matang 13 hari setelah infeksi, bila skizon matang, merozoit dilepaskan ke aliran darah tepi, siklus eritrositaseksual dimulai dengan periodesitas 72 jam. Sel darah merah yang dihinggapi P. malariae tidak membesar, dengan pulasan khusus pada sel darah merah dapat terlihat titik-titik yang disebut titik Zieman. Trofozoit yang lebih tua bila membulat besarnya kira-kira ½ eritrosit. Pada sediaan darah tipis, stadium trofozoit dapat melintang sepanjang sel darah merah, merupakan bentuk pita, yaitu bentuk yang khas pada P. malariae. Butir-butir pigmen jumlahnya besar, kasar dan berwarna gelap. Skizon muda membagi intinya dan akhirnya terbentuk skizon matang yang mengandung rata-rata 8 buah merozoit. Skizon matang mengisi hampir seluruh eritrosit dan merozoit biasanya mempunyai susunan yang teratur sehingga merupakan bentuk bunga ”daisy” atau disebut juga ”roset” (Harijanto, 2000).

Derajat parasitemia pada malaria ini lebih rendah dari pada malaria yang disebabkan oleh spesies lain dan hitung parasitnya (parasite count) jarang melampaui 10.000/mm3 darah. Siklus aseksual dengan periodesitas 72 jam biasanya berlangsung sinkron dengan bentuk-bentuk parasit di dalam darah. Gametosit P. malariae

mungkin dibentuk dalam alat-alat dalam dan tampak dalam darah tepi bila sudah tumbuh sempurna. Makrogametosit mempunyai sitoplasma yang berwarna biru tua berinti kecil dan padat; mikrogametosit, sitoplasma berwarna biru pucat, berinti difus dan lebih besar. Pigmen tersebar pada sitoplasma. Daur sporogoni dalam nyamuk


(40)

Anopheles memerlukan waktu rata-rata 26-28 hari. Pigmen di dalam ookista berbentuk granula kasar, berwarna tengguli tua dan tersebar di tepi (Harijanto, 2000).

Plasmodium ovale, morfologi P. ovale mempunyai persamaan dengan P. malariae, tetapi pada eritrosit yang dihinggapi parasit mirip dengan P. vivax.

Trofozoit muda berukuran kira-kira 2 mikron (1/3 eritrosit). Titik-titik Schuffner

terbentuk sangat cepat dan tampak jelas. Stadium trofozoit berbentuk bulat dan kompak dengan granula pigmen yang lebih kasar tetapi tidak sekasar pigmen P. malariae. Pada stadium ini eritrosit agak membesar dan sebagian besar berbentuk lonjong (oval) dan pinggir eritrosit bergerigi pada salah satu ujungnya dengan titik-titik Schuffner yang menjadi lebih banyak (Harijanto, 2000).

Stadium praeritrosit mempunyai periode prepaten 9 hari, skizon hati besarnya 70 mikron dan mengandung 15.000 merozoit. Perkembangan siklus eritrosit aseksual pada P. ovale hampir sama dengan P. vivax dan berlangsung 50 jam. Stadium skizon berbentuk bulat dan bila matang mengandung 8-10 merozoit yang letaknya teratur di tepi mengelilingi granula pigmen yang berkelompok di tengah (Harijanto, 2000).

Stadium gametosit betina bentuknya bulat, mempunyai inti kecil, kompak dan sitoplasma berwarna biru, sedangkan yang jantan mempunyai inti difus, sitoplasma berwarna pucat kemerah-merahan, berbentuk bulat. Pigmen dalam ookista berwarna coklat dan garnulanya mirip dengan yang tampak pada P. malariae. Siklus sporogoni dalam nyamuk Anopheles memerlukan waktu 12-14 hari pada suhu 270C (Harijanto, 2000)..

Plasmodium vivax, setelah sporozoit masuk melalui kulit ke peredaran darah perifer manusia oleh gigitan nyamuk Anopheles betina, kira-kira ½ jam sporozoit


(41)

akan masuk ke dalam sel hati dan tumbuh menjadi skizon hati dan sebagian menjadi hipnozoit. Skizon hati berukuran 45 mikron dan membentuk kira-kira 10.000 merozoit. Skizon hati ini masih dalam daur praeritrosit atau daur eksoeritrosit primer yang berkembang biaknya secara aseksual dan disebut skizogoni hati (Harijanto, 2000).

Hipnozoit tetap istirahat dalam sel hati selama 3 bulan sampai aktif kembali dan mulai dengan daur eksoeritrosit sekundeer. Merozoit dari skizon hati masuk ke peredaran darah menghinggapi eritrosit dan mulai dengan daur eritrosit untuk pembiakan aseksual, merozoit dalam eritrosit tumbuh menjadi trofozoit muda yang berbentuk cincin, besarnya 1/3 eritrosit, dengan pulasan Giemsa sitoplasma berwarna biru, inti merah dan mempunyai vakuol yang besar. Eritrosit yang dihinggapi parasit

P. vivax mengalami perubahan yaitu menjadi besar, berwarna pucat dan tampak titik-titik halus berwarna merah, yang bentuk dan besarnya sama dan disebut titik-titik

Schuffner. Kemudian trofozoit muda menjadi trofozoit stadium lanjut yang sangat aktif sehingga sitoplasmanya tampak berbentuk ameboid. Pigmen dari parasit ini menjadi makin nyata dan berwarna kuning tengguli. Skizon matang dari daur eritrosit mengandung 12-18 buah merozoit dan mengisi seluruh eritrosit dengan pigmen berkumpul di bagian tengah atau pinggir. Daur eritrosit pada P. vivax berlangsung 48 jam dan terjadi secara sinkron. Walaupun demikian, dalam darah tepi dapat ditemukan semua stadium parasit dari daur eritrosit, sehingga gambaran dalam sediaan darah tidak uniform, kecuali pada hari-hari permulaan serangan pertama (Harijanto, 2000).


(42)

Setelah daur eritrosit berlangsung beberapa kali, sebagian merozoit yang tumbuh menjadi trofozoit dapat membentuk sel kelamin betina dan jantan yang bentuknya bulat atau lonjong, mengisi hampir seluruh eritrosit dan masih tampak titik

Schuffneer disekitarnya. Makrogametosit mempunyai sitoplasma berwarna biru dengan inti kecil, padat dan berwarna merah, sedangkan mikrogametosit biasanya bulat, berwarna pucat, biru kelabu dengan inti yang besar, pucat dan difus. Inti biasanya terletak di tengah. Butir-butir pigmen, baik betina mapun jantan jelas dan tersebar pada sitoplasma (Harijanto, 2000).

Dalam nyamuk terjadi daur seksual (sporogoni) yang berlangsung selama 16 hari; pada suhu 200C dan 8-9 hari pada suhu 270C. Dibawah 150C perkembangbiakannya secara seksual tidak mungkin berlangsung. Ookista muda dalam nyamuk mempunyai 30-40 butir pigmen berwarna kuning tengguli dalam bentuk granula halus tanpa susunan khas (Harijanto, 2000).

2.2.5. Epidemiologi

Epidemiologi malaria adalah ilmu yang mempelajari faktor-faktor yang menentukan distribusi malaria pada masyarakat dan memanfaatkan pengetahuan tersebut untuk menanggulangi penyakit tersebut. Di Indonesia malaria ditemukan tersebar luas di semua pulau dengan derajat dan berat infeksi yang bervariasi. Malaria di Indonesia dapat berjangkit di daerah dengan ketinggian sampai 1.800 m di atas permukaan laut. Spesies yang paling banyak dijumpai adalah P. falciparum, dan P. vivax. P. malariae, ditemukan di Indonesia bagian timur, sedangkan P. ovale pernah ditemukan di Papua dan Nusa Tenggara Timur. Penyakit malaria ditularkan melalui dua cara, yaitu alamiah dan nonalamiah. Penularan secara alamiah adalah melalui


(43)

gigitan nyamuk Anopheles betina yang mengandung parasit malaria dan nonalamiah jika bukan melalui gigitan nyamuk, seperti malaria bawaan (kongenital dan penularan mekanik (transfusion malaria) (Prabowo, A., 2004).

Istilah-istilah yang digunakan dalam epidemiologi malaria adalah sebagai berikut: angka parasit (parasite rate) ditentukan dengan persentase orang yang sediaan darahnya positif pada saat tertentu dan angka ini merupakan pengukuran malariometrik, sedang slide positif rate (SPR) adalah persentase sediaan darah positif dalam periode kegiatan penemuan kasus (case detection activities) yang dapat dilakukan secara aktif (active case detection) atau secara pasif (passife case detection) (Gandahusada, S., 2006).

Berat ringannya infeksi malaria pada suatu masyarakat diukur dengan densitas parasit (parasite density), yaitu jumlah rata-rata parasit dalam sediaan darah positif. Berat ringannya infeksi malaria pada seseorang diukur dengan hitung parasit

(parasite count) yaitu jumlah parasit dalam 1mm3 darah (Gandahusada, S., 2006). 2.2.6. Patogenesis

Perubahan patologik pada malaria dimungkinkan berhubungan dengan gangguan aliran darah sebagai akibat melekatnya eritrosit yang mengandung parasit pada endotelium kapiler. Peran beberapa mediator humoral dimungkinkan menyebabkan patogenesis demam dan peradangan. Skizogoni eksoeritrositik dapat menyebabkan reaksi leukosit dan fagosit, sedangkan sporozoit dan gametosit tidak menimbulkan perubahan patofisiologik. Patofisologi malaria adalah multifaktorial dan mungkin berhubungan dengan hal-hal sebagai berikut (Gandahusada, S., 2006):


(44)

1. Penghancuran eritrosit, eritrosit dihancurkan tidak saja oleh pecahnya eritrosit yang mengandung parasit, tetapi juga oleh fagositosit eritrosit yang mengandung parasit dan yang tidak mengandung parasit, sehingga menyebabkan anemia dan anoksia jaringan. Dengan hemolisis intravaskuler yang berat dapat terjadi hemoglobinuria (blackwater fever) dan dapat mengakibatkan gagal ginjal.

2. Mediator endotoksin-makrofag, pada saat skizogoni, eritrosit yang mengandung parasit memicu makrofog yang sensitif endotoksin untuk melepaskan berbagai mediator yang menyebabkan perubahan patofisiologi yang berhubungan dengan malaria. TNF adalah suatu monokin, ditemukan dalam peredaran darah manusia dan hewan yang terinfeksi parasit malaria. TNF dan sitokin lain yang berhubungan menimbulkan demam, hipoglikemia dan sindrom penyakit pernapasan pada orang dewasa (ARDS= adult respiratory disease syndrome)

dengan sekuestrasi sel neutrofil dalam pembuluh darah paru.

3. Sekuestrasi eritrosit yang terinfeksi, eritrosit yang terinfeksi dengan stadium lanjut P. falciparum dapat membentuk tonjolan-tonjolan (knob) pada permukaannya. Tonjolan tersebut mengandung antigen malaria dan bereaksi dengan antibodi malaria dan berhubungan dengan afinitas eritrosit yang mengandung P. falciparum terhadap endotelium kapiler darah dalam alat dalam, sehingga skizogoni berlangsung di sirkulasi alat dalam, bukan di sirkulasi perifer. Eritrosit yang terinfeksi menempel pada endothelium kapiler darah dan membentuk gumpalan (sludge) yang membendung kapiler alat-alat dalam. Protein dan cairan merembes melalui membrane kapiler yang bocor (menjadi permeabel) dan menimbulkan anoksia dan endema jaringan, anoksia jaringan yang cukup


(45)

meluas dapat menyebabkan kematian. Protein kaya histidin P. falciparum

ditemukan pada tonjolantonjolan tersebut. 2.2.7. Gejala Klinis

Gejala klinis malaria yang meliputi keluhan dan tanda klinis merupakan petunjuk yang penting dalam diagnosa malaria. Gejala klinis ini dipengaruhi oleh jenis/strain plasmodium, imunitas tubuh dan jumlah parasit yang menginfeksi. Waktu mulai terjadinya infeksi sampai timbulnya gejala klinis dikenal sebagai waktu inkubasi, sedangkan waktu antara terjadinya infeksi sampai ditemukannya parasit dalam darah disebut periode prepatent. Baik waktu inkubasi dan periode prepatent dipengaruhi oleh jenis plasmodium. Infeksi yang terjadi melalui transfusi darah biasanya lebih pendek, akan tetapi tetap dipengaruhi oleh jumlah parasit dan imunitas tubuh. Pada beberapa daerah mempunyai gejala spesifik, seperti di Irian banyak terjadi diare sebagai gejala malaria. Pada anak-anak lebih banyak dijumpai batuk dibandingkan pada orang dewasa. Gejala dari P. falciparum umumnya lebih berat dan lebih akut dibandingkan jenis iainnya, sedangkan gejala P. malariae, P. ovale

merupakan yang paling ringan (Gandahusada, S., 2006).

Malaria sebagai penyakit infeksi yang disebabkan oleh plasmodium

mempnyai gejala utama ialah demam. Diduga terjadinya demam berhubungan dengan proses skizogoni (pecahnya merozoit/skizon), atau akhir-akhir ini dihubungkan dengan pengaruh GPI (glycosyl phosphatdylinositol) atau terbentuknya sitokin dan atau toksin lainnya. Pada beberapa penderita, bias tidak terjadi demam misalnya pada daerah hiperendemik, banyak orang dengan parasitemia tanpa gejala. Gambaran karakteristik dari malaria ialah demam periodik, anemia dan splenomegali. Berat


(46)

ringannya manifestasi malaria tergantung jenis plasmodium yang menyebabkan infeksi. Dikenal 4 jenis plasmodium yaitu (Harijanto, P. N, 2000) :

1. P. vivax merupakan infeksi yang paling ringan dan menyebabkan malaria tertiana / vivax (demamnya tiap hari ke - 3).

2. P. falciparum, memberikan banyak komplikasi dan mempunyai periangsungan yang cukup ganas/mudah resisten dengan pengobatan dan menyebabkan malaria tropika / falciparum (demam tiap 24 - 48 jam).

3. P. malariae, jarang dan dapat menimbulkan sindroma nefrotik dan menyebabkan malaria quartana / malariae (demam tiap hari ke - 4).

4. P. ovale, di jumpai pada daerah Afrika dan Pasifik Barat, di Indonesia di jumpai di Nusa Tenggara dan Irian, memberikan infeksi yang paling ringan dan sering sembuh spontan tanpa pengobatan, menyebabkan malaria ovale

2.2.8. Lingkungan 1. Lingkungan Fisik

Faktor geografi dan meterorologi di Indonesia sangat menguntungkan transmisi malaria di Indonesia, seperti (Harijanto, P. N, 2000) :

a. Suhu

Suhu mempengaruhi perkembangan parasit dalam nyamuk. Suhu yang optimum berkisar antara 20 – 30 °C. Makin tinggi suhu (sampai batas tertentu) makin pendek masa inkubasi ekstrinsik (sporogoni) dan sebaliknya makin rendah suhu makin panjang masa inkubasi ekstrinsik. Pengaruh suhu ini berbeda bagi setiap spesies, pada suhu 26,7 °C masa inkubasi ekstrinsik adalah 10-12 hari untuk P.


(47)

falciparum dan 8-11 hari untuk P. vivax, 14-15 hari untuk P. malariae dan P. ovale.

b. Kelembaban

Kelembaban yang rendah memperpendek umur nyamuk, meskipun tidak berpengaruh pada parasit. Tingkat kelembaban 60% merupakan batas paling rendah untuk memungkinkan hidupnya nyamuk. Pada kelembaban yang lebih tinggi nyamuk menjadi lebih aktif dan lebih sering menggigit, sehingga meningkatkan penularan malaria.

c. Hujan

Pada umumnya hujan akan memudahkan perkembangan nyamuk dan terjadinya epidemi malaria. Besar kecilnya pengaruh tergantung pada jenis dan deras hujan, jenis vektor dan jenis tempat perindukan. Hujan yang diselingi panas akan memperbesar kemungkinan berkembang biaknya nyamuk Anopheles.

d. Ketinggian

Secara umum malaria berkurang pada ketinggian yang semakin bertambah, hal ini berkaitan dengan menurunya suhu rata-rata. Pada ketinggian di atas 2000 m jarang ada transmisi malaria. Hal ini bias berubah bila terjadi pemanasan bumi dan pengaruh dari El-nino. Di pegunungan Irian Jaya yang dulu jarang ditemukan malaria kini lebih sering ditemukan malaria. Ketinggian paling tinggi masih memungkinkan transmisi malaria ialah 2500 m diatas permukaan laut.

e. Angin

Kecepatan angin saat matahari terbit dan terbenam yang merupakan saat terbangnya nyamuk ke dalam atau keluar rumah adalah salah satu faktor yang ikut


(48)

mempengaruhi jarak terbang nyamuk dan ikut menentukan jumlah kontak antara nyamuk dan manusia.

f. Sinar matahari

Pengaruh sinar matahari terhadap pertumbuhan larva nyamuk berbeda-beda

Anopheles sundaicus lebih suka tempat yang terkena sinar matahari langsung, An. hyrcanus spp dan An. pinctutatus spp lebih menyukai tempat terbuka sedangkan

An. barbirostris dapat hidup baik di tempat teduh maupun kena sinar matahari. g. Arus air

Anopheles barbirostris menyukai perindukan yang airnya statis/mengalir lambat, sedangkan An. minimus menyukai aliran air yang deras dan An. letifer menyukai air tergenang.

2. Lingkungan Biologik

Keadaan lingkungan sekitar penduduk seperti adanya tumbuhan salak, bakau, lumut, ganggang dapat mempengaruhi kehidupan larva, karena ia dapat menghalangi sinar matahari atau melindungi dari serangan mahluk hidup lainnya. Adanya berbagai jenis ikan pemangsa larva seperti ikan kepala timah (Panchax spp), gambusia, nila, mujair dan lain-lain akan mengurangi populasi nyamuk di suatu daerah. Begitu pula adanya hewan piaraan seperti sapi, kerbau dan babi dapat mempengaruhi jumlah gigitan nyamuk pada manusia, bila ternak tersebut kandangnya tidak jauh dari rumah. 3. Lingkungan Sosial Budaya

Sosial budaya juga berpengaruh terhadap kejadian malaria seperti: kebiasaan keluar rumah sampai larut malam, dimana vektornya bersifat eksofilik dan eksofagik akan memudahkan kontak dengan nyamuk. Tingkat kesadaran masyarakat tentang


(49)

bahaya malaria akan mempengaruhi kesediaan masyarakat untuk memberantas malaria seperti penyehatan lingkungan, menggunakan kelambu, memasang kawat kasa pada rumah dan menggunakan obat nyamuk. Berbagai kegiatan manusia seperti pembuatan bendungan, pembuatan jalan, pertambangan dan pembangunan pemukiman baru/transmigrasi sering mengakibatkan perubahan lingkungan yang menguntungkan penularan malaria

Konflik antar penduduk yang menimbulkan peperangan dan perpindahan penduduk, serta peningkatan pariwisata dan perjalanan dari daerah endemik dapat menjadi faktor meningkatnya kasus malaria (Harijanto, P. N, 2000).

2.2.9. Diagnosis

Diagnosis malaria sebagaimana penyakit pada umumnya didasarkan pada manifestasi klinis (termasuk anamnesis), uji imunoserologis dan ditemukannya parasit (Plasmodium) di dalalm darah penderita. Manifestasi klinis demam malaria seringkali tidak khas dan menyerupai penyakit infeksi lain (demam dengue dan demam tifoid) sehingga menyulitkan para klinisi untuk mendiagnosis malaria dengan mengandalkan pengamatan manifestasi klinis saja, untuk itu diperlukan pemeriksaan laboratorium untuk menunjang diagnosis malaria sedini mungkin. Hal ini penting mengingat infeksi oleh parasit Plasmodium terutama P. falciparum dapat berkembang dengan cepat dan dapat menimbulkan kematian (Harijanto, P. N. 2000).

Cara satu-satunya untuk melakukan diagnosis infeksi malaria adalah menemukan parasit Plasmodium dengan pemeriksaan darah secara mikroskopis. Pemeriksaan ini seharusnya dilakukan secara rutin, tidak saja didaerah malaria, tetapi juga didaerah non malaria, apapun gejala atau diagnosisnya, bila penderita pernah ke


(50)

daerah endemi malaria dalam waktu satu tahun. Hal ini karena gambaran klinis malaria dapat sangat bervariasi, infeksi malaria dapat juga terjadi sebagai akibat tranfusi darah dari donor yang terinfeksi atau merupakan faktor komplikasi penyakit lain. Pemeriksaan darah untuk parasit malaria dapat dilakukan dengan mengambil darah dari jari tangan dan membuat sediaan darah kemudian dipulas dengan giemsa. Pemeriksaan darah tebal dilakukan untuk memeriksa dengan cepat adanya parasit malaria. Pemeriksaan sediaan darah tipis dilakukan untuk menentukan spesiesnya yaitu P. vivax, P. falciparum, P. malariae atau P. ovale. Kadang-kadang ditemukan infeksi campur P. vivax dan P. falciparum (Gandahusada, S., 2006)

2.2.10. Penilaian Situasi Malaria

Situasi malaria di suatu daerah dapat ditentukan melalui kegiatan surveilans (pengamatan) epidemiologi, yaitu pengamatan yang terus menerus atas distribusi dan kecenderungan suatu penyakit melalui pengumpulan data yang sistematis agar dapat ditentukan penanggulangan sedini mungkin. Pengamatan dapat dilakukan secara rutin melalui PCD (Passive Case Detection) oleh fasilitas kesehatan seperti Puskesmas dan Rumah Sakit atau ACD (Active Case Ditection) oleh petugas khusus seperti PMD (Pembantu Malaria Desa) di Jawa dan Bali. Di daerah luar Jawa dan Bali yang tidak memiiiki program pembasmian malaria dan tidak memiliki PMD, maka pengamatan rutin tidak bisa dilaksanakan. Untuk daerah tersebut pengamatan malaria dilakukan melalui survei malariometrik (MS), Mass Blood Survei (MBS) dan Mass Fever Survei (MFS). Parameter yang digunakan pada pengamatan rutin malaria adalah (Harijanto, P. N., 2000):


(51)

1. Annual Parasite Incidence (API)

Indikator insidens merupakan peninggalan masa eradikasi/pembasmian dengan pencarian, baik secara aktif (ACD) maupun pasif (PCD) diperhitungkan dapat menjangkau seluruh penduduk, sehingga penderita baru dapat diketahui melalui sediaan darah. Karena kasus malaria yang ditemukan baik melalui pencarian aktif (ACD) maupun pasif (PCD) akan dikonfirmasikan dengan pemeriksaan darah secara mikroskopis.

2. Annual Blood Examination Rate (ABER)

Annual Blood Examination Rate (ABER) adalah jumlah sediaan darah yang diperiksa dari penduduk yang diperiksa dalam waktu satu tahun dan dinyatakan dalam prosen (%). ABER diperlukan untuk menilai API karena penurunan API disertai penurunan ABER belum berarti penurunan insidens, penurunan API berarti penurunan insidens bila ABER meningkat.

3. Slide Positivity Rate (SPR)

Slide Positivity Rate (SPR) adalah persen sediaan darah positip malaria dari seluruh sediaan darah diperiksa. Seperti penilaian API nilai SPR baru bermakna bila nilai ABER meningkat.

4. Parasite Formula (PF)

Parasit formula adalah proporsi dari tiap parasit di suatu daerah, spesies yang mempunyai parasite formula tertinggi disebut spesies yang dominan. interpretasi dari dominanansi adalah sebagi berikut:


(52)

a. P. vivax dominan :

Transmisi penularan tinggi, gametosit P. vivax timbul pada hari 2-3 parasitemia.

b. Penderita demam / malaria klinis.

Pengamatan terhadap penderita demam atau gejala klinis malaria yang dilakukan pada unit-unit kesehatan yang belum mempunyai fasilitas laboratorium dan miskropis. Nilai data akan meningkat bila disertai pemeriksaan sediaan darah, hasil pengamatan dinyatakan dengan proporsi pengunjung ke unit kesehatan tersebut (Pukesmas atau Puskesmas pembantu) yang menderita demam atau malaria klinis. Meskipun hasilnya kurang baik tapi dari proporsi yang sudah bisa menunjukkan adanya wabah atau kejadian luar biasa di suatu daerah sehingga bisa untuk mengambil tindakan yang tepat. 2.3. Tindakan dalam Pencegahan Penyakit Malaria

Keikutsertaan masyarakat dalam masalah kesehatan sangat diperlukan sebagaimana masyarakat tersebut ikut menjadi peserta yang efektif. Bentuk keikutsertaan masyarakat dapat diwujudkan dalam bentuk suatu kelompok yang mempunyai tujuan khusus dan bertanggung jawab sebesar-besarnya pada kelompok atau organisasi tertentu. Partisipasi masyarakat yang efektif terdapat dalam suatu gambaran penting yaitu adanya komitmen dan keterlibatan anggota masyarakat yang lebih penting dari sekedar partisipasi, termasuk pengambilan keputusan dalam membuat tujuan dan rencana implemenatsi (Ndiye, dkk, 2001).


(53)

Pentingnya partisipasi dalam pembangunan kesehatan bukan semata-mata karena ketidakmampuan pemerintah dalam upaya pembangunan, melainkan memang disadari bahwa masyarakat mempunyai hak dan potensi untuk mengenal dan memecahkan masalah kesehatan yang dihadapinya, mengingat sebagian besar masalah kesehatan disebabkan oleh perilaku masyarakat itu sendiri (Ndiye, dkk, 2001).

Dengan melihat beberapa hal di atas maka dalam suatu upaya penanggulangan masalah penyakit sangatlah diperlukan partisipasi masyarakat. Di satu sisi masyarakat memandang bahwa kebijakan yang dibuat oleh pemerintah selalu memberatkan dan tidak menguntungkan masyarakat. Hal ini sering mengakibatkan timbulnya pertentangan dalam persepsi pelibatan masyarakat dalam suatu kegiatan pembangunan (Mitchell et al., 2000).

2.4. Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Tindakan dalam Pencegahan Penyakit Malaria

1. Umur

Depkes RI (2001), menyatakan bahwa dalam menurunkan angka kejadian penyakit malaria, sangat dibutuhkan partisipasi masyarakat untuk mendukung program yang dilaksanakan pemerintah. Partisipasi masyarakat dalam bidang kesehatan adalah keadaan dimana individu, keluarga, maupun masyarakat umum ikut bertanggung jawab terhadap kesehatan diri, keluarga maupun kesehatan masyarakat dan lingkungannya. Selanjutnya menurut Dasri (2005), bahwa sebagian besar penderita malaria adalah penduduk pada kelompok produktif, sehingga perlu


(54)

dilakukan penanggulangan secara insentif sebagai bagian dari pembangunan kesehatan khususnya peningkatan derajat kesehatan pada kelompok usia produktif.

Gunarsa (1991), menyatakan bahwa usia mempengaruhi terhadap daya tangkap dan pola pikir seseorang. Semakin bertambah usia akan semakin berkembang pula daya tangkap dan pola pikirnya, sehingga pengetahuan yang diperolehnya semakin membaik, karena usia yang semakin tua, maka semakin banyak informasi yang dijumpai dan semakin banyak hal yang dikerjakan sehingga menambah pengetahuannya.

2. Pendidikan

Menurut Purwoko (2000), pendidikan merupakan salah satu faktor yang dapat memengaruhi pengetahuan dan sikap tentang pelayanan kesehatan. Orang yang berpendidikan tinggi akan memberikan respon yang lebih rasional daripada mereka yang berpendidikan rendah, lebih kreatif dan lebih terbuka terhadap usaha-usaha pembaharuan. Ia juga lebih dapat menyesuaikan diri terhadap perubahan-perubahan sosial.

Budarja (2001), menyatakan bahwa sebesar 85,2% masyarakat yang berpendidikan rendah mempengaruhi perilaku dalam kejadian malaria. Dengan demikian faktor pendidikan yang rendah menyebabkan masyarakat berperilaku yang buruk dalam kehidupannya sehingga lebih banyak menderita malaria dibandingkan yang berpendidikan tinggi.


(55)

3. Pekerjaan

Masyarakat yang bekerja umumnya merasakan pentingnya menjaga kesehatan individu maupun keluarga untuk tetap dapat hidup secara sehat dan dapat melaksanakan aktivitas sesuai pekerjaan yang dimilikinya. Dalam kondisi demikian kepedulian mereka terhadap program yang dikembangkan atau dilaksanakan pemerintah di lingkungan tempat tinggalnya lebih baik dibandingkan kelompok masyarakat yang tidak bekerja. Yoga (1999) menyatakan bahwa 44% dari kasus malaria yang diteliti merupakan penduduk yang bekerja sebagai petani, artinya pekerjaan sebagai petani merupakan factor risiko menderita penyakit malaria. Perbedaan tingkat partisipasi responden yang tidak bekerja juga terkait dengan spek psikologis, artinya masyarakat yang tidak bekerja mengkondisikan dirinya dalam posisi yang tidak memerlukan atau merasa tidak penting berpartisipasi dalam kegiatan pembangunan kesehatan seperti program pencegahan penyakit malaria. Sedangkan Suroso (2003) menyatakan karakteristik masyarakat dengan jenis mata pencaharian atau pekerjaan yang beragam termasuk wilayah yang persentase masyarakat tidak bekerja cukup tinggi implementasi program gebrak malaria di Indonesia tidak bisa disamaratakan antara satu daerah dengan daerah lain, namun didasarkan pada spesifikasi daerah masing-masing dan memerlukan evaluasi dan perencanaan kegiatan yang lebih spesifik sehingga seluruh masyarakat sebagai sasaran program dapat ditingkatkan.

4. Penghasilan

Sesuai dengan munculnya kembali kasus malaria menjadi ancaman di sejumlah tempat sejak terjadinya krisis ekonomi tahun 1997. penyakit malaria yang


(56)

semula sudah dianggap tidak berbahaya setelah krisis tersebut mengakibatkan meningkatnya penderita malaria khususnya di daerah yang endemis. Keterkaitan secara langsung terjadinya krisis dengan meningkatkan penderita malaria tidak begitu nyata, namun apabila kita kaitkan dengan aspek ekonomi bahwa akibat krisis ekonomi banyak penduduk yang mengalami masalah dalam hal penghasilan, pekerjaan, akibatnya partisipasinya dalam program pencegahan penyakit malaria juga menurun, karena dalam kondisi perekonomian keluarga yang tidak mendukung sangat sulit untuk mengharapkan masyarakat ikut berpartisipasi secara aktif dalam program kesehatan. Hal ini sesuai dengan pendapat Leihad (2005) bahwa salah satu bentuk upaya penanggulangan malaria melalui pendekatan partnership adalah dengan penyediaan dana kemanusiaan untuk penanggulangan penyakit malaria khususnya di daerah endemis. Penghasilan merupakan faktor yang terkait dengan program penanggulangan penyakit malaria, artinya penduduk yang mempunyai penghasilan yang memadai mempunyai kemungkinan berpartisipasi secara aktif dalam program penanggulangan malaria. Selanjutnya Khairurahmi (2005) menyatakan bahwa dalam pendekatan partisipasi melalui kelompok sasaran diklasifikasikan atas dasar karakteristik masing-masing kelompok ekonomi masyarakat, salah satunya berdasarkan kelompok ekonomi, dengan demikian pengembangan dan peningkatan partisipasi masyarakat dalam pelaksanaan program malaria didukung oleh masyarakat yang mempunyai penghasilan yang cukup atau yang mampu secara ekonomi.

5. Pengetahuan

Tingkat pengetahuan sangat berpengaruh terhadap proses menerima atau menolak inovasi. Menurut Roger (1983) dalam Notoatmodjo (2007), prilaku yang


(1)

8. Pada saat dimana manusia bisa digigit oleh nyamuk malaria? Jawaban Saudara :

... ... ...

9. Tempat hinggap yang disukai oleh nyamuk malaria. Jawaban Saudara :

... ... ...

10. Tempat berkembang biak nyamuk malaria. Jawaban Saudara :

... ... ...

11. Pada musim apa biasanya penyakit malaria paling banyak terjadi. Jawaban Saudara :

... ... ...

12. Cara pencegahan malaria. Jawaban Saudara :

... ... ...

13. Cara memberantas sarang nyamuk malaria. Jawaban Saudara :

... ... ...

14. Jenis ikan pemakan jentik nyamuk malaria: Jawaban Saudara :

... ... ...


(2)

15. Anggota keluarga yang seharusnya lebih berperan dalam melakukan pencegahan malaria, adalah :

Jawaban Saudara :

... ... ...


(3)

S I K A P

SS = Sangat Setuju; S = Setuju ; TS = Tidak Setuju; STS = Sangat Tidak Setuju

No. Pernyataan Jawaban

SS S TS STS

1. Menjaga dan memelihara kebersihan lingkungan untuk mencegah perkembangbiakan nyamuk penular penyakit malaria

2. Memeriksakan kesehatan tidak perlu segera dilakukan bila hanya merasakan gejala penyakit malaria

3. Penyakit malaria dapat dicegah dengan menjaga kebersihan rumah dan lingkungan sekitar

4. Melakukan tindakan pencegahan untuk menghindari penyakit malaria lebih baik daripada mengobati setelah sakit

5. Genangan air di sekitar rumah tidak akan dapat meningkatkan risiko terjadinya penyakit malaria

6. Memasang kelambu perlu saat tidur malam hari untuk menghindari gigitan nyamuk malaria

7. Menghilangkan jentik nyamuk dengan penyemprotan adalah salah satu pencegahan penyakit malaria.

8. Penyemprotan tidak perlu dilakukan apabila ditemukan hanya ada satu atau dua kasus penderita malaria di lingkungan tempat tinggal.

9. Penyemprotan seharusnya tetap dilakukan meskipun diharuskan untuk membayar

10. Menebarkan ikan pemakan jentik di rawa, kolam atau di saluran air merupakan upaya pencegahan penyakit malaria 11. Anggota keluarga yang bekerja atau ke luar rumah malam hari

tidak perlu menggunakan pakaian tertutup, karena tidak akan melindunginya dari gigitan nyamuk

12. Kegiatan penyuluhan tentang penyakit malaria tidak harus


(4)

diikuti, karena hanya akan membuang waktu saja.

13. Kebiasaan berada di luar rumah sampai larut malam akan memudahkan untuk digigit nyamuk malaria.

14. Mengikuti kegiatan penyuluhan tentang penyakit malaria tidak akan dapat menambah pengetahuan tentang pencegahan penyakit malaria.

15. Penderita malaria tidak harus mendapatkan pengobatan malaria dari tenaga kesehatan, karena perawatan di rumah saja sudah cukup.


(5)

TINDAKAN

Pilihlah salah satu jawaban sesuai dengan apa yang anda rasakan atau yang telah anda lakukan berhubungan dengan pencegahan penyakit malaria, dengan memberikan tanda silang (X) pada kolom jawaban yang telah disediakan :

No. Pernyataan Ya Tidak Jawaban

1. Keluarga setiap malam menggunakan obat nyamuk bakar/semprot/oles malam hari.

2. Agar tidak digigit nyamuk saat keluar rumah pada malam hari, maka setiap anggota keluarga menggunakan pakaian lengan panjang/tertutup yang dapat melindungi diri dari gigitan nyamuk. 3. Agar tidak digigit nyamuk, maka setiap malam seluruh anggota

keluarga menggunakan kelambu pada saat tidur.

4. Jika ada air tergenang di sekitar rumah, maka saya akan mencoba mengalirkan air itu atau menimbun genangan air itu dengan tanah. 5. Saya selalu membersihkan saluran pembuangan air atau parit di

sekitar rumah setiap minggu.

6. Saya selalu membersihkan halaman sekitar rumah dari semak dan sampah secara teratur untuk mengurangi sarang dan tempat perkembangbiakan nyamuk.

7. Saya sering melibatkan anggota keluarga lainnya pada saat membersihkan lingkungan rumah.

8. Saya sebagai ibu rumah tangga lebih banyak berperan untuk melakukan pencegahan penyakit malaria di dalam keluarga.

9. Saya sebagai ibu rumah tangga selalu membatasi waktu berkumpul setiap anggota keluarga dengan teman-temannya di luar rumah pada malam hari.

10. Saya selalu mengusahakan/mengupayakan agar tidak ada kain bergelantungan di tempat gelap dalam rumah.

11. Jika ada gotong royong dalam membersihkan lingkungan yang


(6)

dilakukan aparat desa, maka saya selalu turut serta.

12. Ketika ada kegiatan penyuluhan tentang pencegahan penyakit malaria di desa, maka saya selalu mengikutinya.

13. Saya selalu memberi makanan yang bergizi kepada seluruh anggota keluarga terutama anak balita agar lebih dapat mengatasi penyakit malaria jika suatu saat terkena.

14. Apabila ada anggota keluarga mengalami demam, menggigil dan sakit kepala, maka saya langsung membawanya untuk berobat tempat pelayanan kesehatan.

15. Saya memelihara ikan kepala timah, gambus, nila, atau mujair untuk mencegah munculnya nyamuk penyebab penyakit malaria.


Dokumen yang terkait

Tradisi Masyarakat Desa Janji Mauli Kecamatan Sipirok Kabupaten Tapanuli Selatan (1900-1980)

3 83 104

Beberapa Faktor Yang Berhubungan Dengan Tingginya Kasus Malaria Di Desa Aek Badak Jae Kec. Batang Angkola Jae Kabupaten Tapanuli Selatan Tahun 1999-2001

0 37 81

Pengaruh Karakteristik Masyarakat Petani Terhadap Tindakan Pencegahan Penyakit Malaria di Desa Alue Drien Kecamatan Birem Bayeun Kabupaten Aceh Timur Tahun 2005

1 35 79

Hubungan Karakteristik Individu dengan Tindakan Ibu dalam Pencegahan Penyakit Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) pada Balita di Puskesmas Amplas Tahun 2005

6 50 96

Gambaran Pengetahuan Keluarga Tentang Pencegahan Penyakit Malaria Di Desa Tolang Jae Kecamatan Sayur Matinggi Kabupaten Tapanuli Selatan

2 87 83

Hubungan Penyuluhan Dengan Perilaku Pencegahan Penyakit Malaria Pada Masyarakat Di Wilayah Kerja Puskesmas Lamteuba Kecamatan Seulimum Kabupaten Aceh Besar

1 54 118

Hubungan pengetahuan dan sikap masyarakat dengan pencegahan penyakit malaria Di Desa Lubuk Batang Wilayah Kerja Lubuk Batang Kecamatan Lubuk Batang Kabupaten Ogan Komering Ulu Tahun 2015.

0 0 12

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Perilaku - Hubungan Karakteristik dengan Tindakan Ibu dalam Pencegahan Penyakit Malaria di Desa Sorik Kecamatan Batang Angkola Kabupaten Tapanuli Selatan Tahun 2012

0 0 37

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang - Hubungan Karakteristik dengan Tindakan Ibu dalam Pencegahan Penyakit Malaria di Desa Sorik Kecamatan Batang Angkola Kabupaten Tapanuli Selatan Tahun 2012

0 0 7

HUBUNGAN KARAKTERISTIK DENGAN TINDAKAN IBU DALAM PENCEGAHAN PENYAKIT MALARIA DI DESA SORIK KECAMATAN BATANG ANGKOLA KABUPATEN TAPANULI SELATAN TAHUN 2012 SKRIPSI Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat

0 0 12