Riwayat Hidup Hadis kemiskinan menurut ibnu qutaibah dalam kitab ta’wil mukhtaliful hadis

Di samping itu beliau juga mampu menempatkan dirinya sejajar dengan tokoh-tokoh ensiklopedik besar, sehingga tidak heran bila beliau menjadi rujukan bagi Ibnu Atsîr dalam mengupas lafazh-lafazh hadis yang janggal dan sulit dipahami dalam karyanya al-Nihâyah fî Ghorîb al-Hadîts dan ulama lain dalam permasalahan yang sama. 5 Dalam bidang fiqh, beliau senantiasa berada di barisan madzhab-madzhab ulama yang teguh memegang sunnah yang berkembang pada waktu itu, meskipun secara pribadi beliau mengikuti madzhab Imam Ahmad dan Imam Ishâq. 6 Ibnu Qutaibah Wafat tahun 276 H pada usia 63 tahun menggunakan perhitungan tahun hijriyah

2. Karya-Karya Ibnu Qutaibah

Ibnu Qutaibah adalah salah seorang ulama yang gemar menulis. Hasil karyanya tidak kurang dari 300 buah. Beliau banyak menerima pujian dan pengakuan dari para ulama hadis maupun ulama lainnya. Bahkan penduduk kota Maghrib memberikan penghargaan yang tinggi kepadanya seraya mengatakan, “Barang siapa sengaja menentang Ibnu Qutaibah maka dicurigai sebagai seorang zindiq atheis.” Mereka juga mengelu-elukan Ibnu Qutaibah dengan mengatakan, “Setiap rumah yang tidak terdapat karya Ibnu Qutaibah, maka tidak ada kebaikan di dalamnya.” 7 5 ‘Abd al-Qadîr Ahmad ‘Athâ, Muqaddimah al-Thab’ah al-Ûlâ, dalam ‘Abdullah bin Muslim bin Qutaibah, Tawîl Mukhtalif al-Hadîts, Muassasah al-Kutub al-Tsaqâfiah, Beirut, 1988, Cet. I, hlm. 12-13 6 Muhammad Abû Zahw, Al-Hadîts Wa al-Muhadditsûn, , Beirut, Dâr al-Fikr t.th.1995, hlm 362 7 ‘Abd al-Qadîr Ahmad ‘Athâ, Muqaddimah al-Thab’ah al-Ûlâ, dalam ‘Abdullah bin Muslim bin Qutaibah, Tawîl Mukhtalif al-Hadîts, Muassasah al-Kutub al-Tsaqâfiah, Beirut, 1988, Cet. I, hlm.7 Di antara karya-karya Ibnu Qutaibah dalam berbagai disiplin ilmu pengetahuan adalah: 1 Al-Ibil, 2 Adab al-Qâdlî, 3 Adab al-Kâtib, 4 Al- Isytiqâq, 5 Al-Asyribah, 6 Ishlâh al-Ghalâth, 7 I’râb al-Quran, 8 A’lâm al- Nubuwwah, 9 Al-Alfâzh al-Muqribah bi al-Alqâb al- Mu’ribah, 10 Al- Imâmah wa al-Siyâsah, 11 Al-Anwâ, 12 Al-Taswiyah bain al- ‘Arab wa al- ‘Ajam, 13 Jâmi’ al-Nahwî, 14 Al-Ruyâ, 15 Al-Rajul wa al-Manzil, 16 Al-Râ d ‘alâ al-Syu’ûbiyah, 17 Al- Râd ‘ala Man Yaqûlu bi Khalq al-Quran, 18 Al-Syi’ru wa al-Syu’arâ, 19 Al-Shiyâm, 20 Thabaqât al- Syu’arâ, 21 Al-Arab wa ‘Ulûmuha, 22 ‘Uyûn al- Akhbâr, 23 Gharîb al-Hadîts, 24 Gharîb al-Quran, 25 Al-Faras, 26 Fadllu al- ‘Arab ‘alâ al-Ajam, 27 Al- Fiqh, 28 Al-Qirâât, 29 Al-Masâil wa al-Ajwibah, 30 Al-Musytabih min al-Hadîts wa al-Quran, 31 Musykil al-Hadîts, 32 Al- Ma’ârif, 33 Ma’âni al-Syi’r, 34 Al-Nabât, 35 Al-Hajwu, dan karya-karya yang lain. Seluruh hasil karya tersebut beliau ajarkan di kota kelahirannya, Baghdad. Di antara para muridnya yang mampu menyerap pengetahuan yang diajarkan oleh Ibnu Qutaibah adalah anaknya sendiri, Abû Ja’far bin ‘Abdillah yang pernah menjabat sebagai Qâdli di Mesir sekitar tahun 320 H. 8 Akhirnya pada usia 63 tahun bulan Rajab tahun 276 H889 M beliau dipanggil oleh Allah SWT. Seluruh hidupnya beliau pergunakan untuk mengembangkan pemikiran keislaman serta memajukan bidang pendidikan dan kebudayaan. Tetapi 8 Muhammad ‘Abd al-Rahîm, Al-Muqaddimah, dalam ‘Abdullah bin Muslim bin Qutaibah, Tawil Mukhtalif al-hadis, Beirut, Dâr al-Fikr 1995, hlm. 7 perhatian yang lebih besar beliau tujukan untuk membela sunnah dan ulama ahli hadis di hadapan musuh-musuh Islam. 9

B. Mengenal Kitab Tawîl Mukhtalif al-Hadîts

1. Latar Belakang Penulisan Kitab

Imam Ibnu Qutaibah hidup pada masa Daulah ‘Abbâsiyah yang pusat kekuasaannya di kota Bahgdad. Beliau hidup pada masa ‘Abbâsiyah II, yaitu masa Khalifah al-Mutawakkil sejak tahun 232 H847 M. Pada masa ini keadaan politik dan militer mulai mengalami kemerosotan, namun dalam bidang ilmu pengetahuan semakin mengalami kemajuan, tidak terkecuali dalam bidang hadis. Keadaan itu antara lain karena negara-negara bagian dari kerajaan Islam berlomba-lomba dalam memberi penghargaan atau kedudukan terhormat kepada para ulama dan para pujangga. 10 Seiring dengan bertambah majunya ilmu pengetahuan, banyak pula bermunculan gerakan-gerakan politik yang berselimutkan agama, sebagai kelanjutan dari masa sebelumnya, baik yang mendukung pemerintah maupun yang melakukan oposisi, seperti revolusi Khawarij di Afrika Utara, gerakan Zindik di Persia, gerakan Syi’ah, Murjiah, Ahl al-Sunnah dan Mu’tazilah. 11 Akan tetapi perkembangan pemikirannya masih terbatas. Teologi rasional Mu’tazilah mulai berkembang di ujung pemerintahan Bani Umayyah. Namun pemikirannya yang lebih kompleks dan 9 Muhammad Abû Zahw, Al-Hadîts Wa al-Muhadditsûn, Beirut, Dâr al-Fikr t.th.1995, hlm 363 10 A. Hasjmy, Pengantar Sejarah Kebudayaan Islam, Banda Aceh, Badri Yatim 1973, Bagian I, hlm.190., op. cit., hlm. 53 11 A. Hasjmy, Pengantar Sejarah Kebudayaan Islam, Banda Aceh, Badri Yatim 1973 hlm. 199. sempurna baru dirumuskan pada masa pemerintahan Bani ‘Abbas periode pertama, yaitu sekitar awal abad ke-9 Masehi setelah terjadi kontak dengan pemikiran Yunani. Tokoh perumus pemikiran Mu’tazilah yang terbesar adalah Abû al-Hudzail al-‘Allâf 135-235 H752-849 M dan al-Nazhâm 185-221 H801-835 M. 12 Pada periode ini, bahkan sejak abad ke-2 Hijriah, telah lahir para mujtahid di bidang ilmu fiqh dan ilmu kalam. Kemajuan ilmu pengetahuan Islam pun sangat pesat. Pada masa ini pula bentrokan pendapat telah mulai memanas baik antar madzhab fiqh maupun antar madzhab ilmu Kalam. Ulama ahli hadis pada masa ini juga menghadapi tantangan dari madzhab ilmu Kalam khususnya kaum Mu’tazilah. Ketegangan ini semakin memuncak ketika kaum Mu’tazilah mendapat angin segar dari penguasa pada waktu itu yaitu ketika pemerintahan dipegang oleh Khalifah al- Mamûn wafat 218 H833 M yang dengan tegas mendukung pendapat-pendapat Mu’tazilah. Pada masa ini ulama fiqh dan ulama hadis menghadapi ujian yang sangat berat terutama ketika dipaksa oleh para penguasa untuk mengikuti paham Mu’tazilah, khususnya tentang kemakhlukan al-Quran.Keadaan yang sangat tidak menguntungkan bagi ulama hadis ini tetap berlanjut pada masa Khalifah al- Mu’tashim wafat 227 H842 M dan al- Watsîq wafat 232 H846 M. Barulah pada waktu Khalifah al-Mutawakkil mulai memerintah 232 H846 M, ulama hadis mulai mendapat kelonggaran, sebab khalifah ini memiliki kepedulian terhadap sunnah. 13 12 A. Hasjmy, Pengantar Sejarah Kebudayaan Islam, Banda Aceh, Badri Yatim 1973 hlm. 57 13 Muhammad Abû Zahrah, Aliran Politik dan Aqidah dalam Islam, , Jakarta, Logos 1996, Cet. I, hlm. 158 Keadaan tersebut sangat berpengaruh sekali terhadap perkembangan hadis. Pada masa ini hadis-hadis Nabi semakin tersebar luas ke berbagai wilayah. Sementara itu golongan-golongan yang memusuhi ulama hadis semakin gencar memperuncing permusuhan, akibatnya pemalsuan hadis dengan motivasi yang berbeda-beda pun kian merajalela. Di samping itu mereka juga meragukan validitas metodologi yang dipakai oleh ulama hadis dalam mengkodifikasikan sunnah, sehingga berakibat lahirnya sikap pengingkaran terhadap sunnah. 14 Lebih jauh sebelum itu, mereka juga meragukan kejujuran para sahabat Nabi semenjak terjadinya fitnah pada masa ‘Ali bin Abî Thâlib. Mereka mencerca sebagian besar tokoh-tokoh sahabat dan menuduh mereka berbuat bohong, bodoh dan munafik. Penilaian ini membuat musuh-musuh Islam menolak hadis-hadis yang diriwayatkan dari para sahabat tersebut. Selain itu mereka juga mengingkari kehujjahan qiyas, ijma’ dan kepastian hadis mutawattir, sebagaimana yang dilakukan oleh sebagian kaum Mu’tazilah. Pendirian golongan ini mengenai sunnah yang ekstrim dan menyalahi akidah umumnya kaum muslimin itu berpengaruh besar terhadap pertentangan antara tokoh-tokoh mereka dengan para ulama hadis serta membawa mereka kepada sikap saling menuduh. Mereka menuduh ulama hadis sebagai pembawa kebohongan, kepalsuan dan pengumpul berita tanpa memahami apa isi berita itu. Sementara itu ulama hadis menuduh mereka sebagai fasik, jahat, pembuat 14 Mushthafâ al- Sibâ’i, Sunnah Dan Peranannya Dalam Penetapan Syari’at Islam, Terj. Nur kholish Madjid, Jakarta, Pustaka Firdaus 1991 Cet. I, hlm. 116