Dari Sirup Alginat Pada Lambung Tikus Yang Diinduksi Dengan HCl

(1)

UJI STABILITAS DAN EFEK PENCEGAHAN ULKUS

DARI SIRUP ALGINAT PADA LAMBUNG TIKUS YANG DIINDUKSI

DENGAN HCl

SKRIPSI

OLEH: ELLA FRANSISKA

NIM 091501002

PROGRAM STUDI SARJANA FARMASI FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

2013


(2)

DARI SIRUP ALGINAT PADA LAMBUNG TIKUS YANG DIINDUKSI

DENGAN HCl

SKRIPSI

Diajukan untuk Melengkapi Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi pada Fakultas Farmasi

Universitas Sumatera Utara

OLEH: ELLA FRANSISKA

NIM 091501002

PROGRAM STUDI SARJANA FARMASI FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

2013

PENGESAHAN SKRIPSI


(3)

DARI SIRUP ALGINAT PADA LAMBUNG TIKUS YANG DIINDUKSI

DENGAN HCl

OLEH: ELLA FRANSISKA

NIM 091501002

Dipertahankan di Hadapan Panitia Penguji Skripsi Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara

Pada Tanggal: Mei 2013

Pembimbing I, Panitia Penguji,

Prof. Dr. Hakim Bangun, Apt. Prof. Dr. Sumadio Hadisahputra, Apt. NIP 195201171980031002 NIP 195311281983031002

Pembimbing II, Prof. Dr. Hakim Bangun, Apt.

NIP 195201171980031002

dr. Alya Amila Fitrie, M.Kes., Sp.PA Drs. Edy Suwarso, S.U., Apt.

NIP 197610042001122002 NIP 130935857

Drs. Saiful Bahri, M.S., Apt. NIP 195208241983031001

Medan, April 2013 Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara

Dekan,

Prof. Dr. Sumadio Hadisahputra, Apt. NIP 195311281983031002


(4)

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL ... i

LEMBAR PENGESAHAN ... iii

KATA PENGANTAR ... iv

ABSTRAK ... vi

ABSTRACT ... vii

DAFTAR ISI ... viii

DAFTAR TABEL ... xii

DAFTAR GAMBAR ... xiii

DAFTAR DIAGRAM ... xiv

DAFTAR LAMPIRAN ... xv

BAB 1 PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Kerangka Pikir Penelitian ... 3

1.3 Perumusan Masalah ... 3

1.4 Hipotesis ... 4

1.5 Tujuan Penelitian ... 4

1.6 Manfaat Penelitian ... 4

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 5

2.1 Stabilitas Produk Farmasi ... 5

2.2 Sirup ... 7

2.3 Alginat ... 7

2.4 Lambung ... 9


(5)

2.4.2 Histologi Lambung ... 11

2.4.2.1 Mukosa ... 11

2.4.2.2 Submukosa ... 11

2.4.2.3 Tunika Muskularis ... 13

2.4.2.4 Serosa ... 13

2.4.3 Fisiologi Lambung ... 13

2.4.4 Pertahanan Mukosa Lambung ... 14

2.4.5 Patologi Lambung ... 16

2.5 Efek Samping HCl terhadap Lambung ... 17

BAB III METODE PENELITIAN ... 19

3.1 Alat-alat ... 19

3.2 Bahan-bahan ... 19

3.3 Prosedur ... 19

3.3.1 Pembuatan Sirup Simpleks ... 19

3.3.2 Pembuatan Sirup Alginat ... 20

3.3.3 Pengujian Stabilitas Sirup Alginat ... 20

3.3.3.1 Pengujian Organoleptis ... 20

3.3.3.2 Pengujian Viskositas ... 20

3.3.3.3 Pengujian pH ... 21

3.3.3.4 Pengujian Berat Jenis ... 21

3.3.4 Pengujian Berat Molekul Natrium Alginat ... 21

3.3.4.1 Pembuatan Larutan NaCl 0,1 M ... 21

3.3.4.2 Pembuatan LIB Larutan Natrium Alginat ... 22

3.3.4.3 Pembuatan Larutan Uji ... 22


(6)

3.3.4.4.1 Penentuan Waktu Alir Larutan NaCl 0,1 M ... 22

3.3.4.4.2 Penentuan Waktu Alir Larutan Natrium Alginat ... 22

3.3.4.5 Penentuan Berat Molekul ... 23

3.3.5 Pencagahan Ulkus Lambung ... 23

3.3.5.1 Hewan Percobaan ... 23

3.3.5.2 Prosedur pencegahan Ulkus ... 24

3.3.5.3 Pembuatan Preparat Mikroskopis ... 24

BAB VI HASIL DAN PEMBAHASAN ... 27

4.1 Spesifikasi Sirup Alginat ... 27

4.1.1 Viskositas Sirup Alginat ... 27

4.1.2 pH Sirup Alginat ... 27

4.1.3 Berat Jenis Sirup Alginat ... 27

4.1.4 Organoleptis Sirup Alginat ... . 27

4.2 Uji Stabilitas Sirup Alginat ... 27

4.2.1 Stabilitas Sirup Alginat pada Suhu Kamar (28°C) ... 27

4.2.2 Stabilitas Sirup Alginat di Dalam Lemari Pendingin (15°C) ... 29

4.2.3 Perbandingan Stabilitas Sirup Alginat pada Penyimpanan Suhu Kamar (28°C) dan di Dalam Lemari Pendingin (15°C) ... 31

4.2.3.1 Perbandingan Stabilitas Sirup Alginat pada Penyimpanan Suhu Kamar (28°C) dan di Dalam Lemari Pendingin (15°C) ... 31

4.2.3.2 Perbandingan pH Sirup Alginat pada Penyimpanan Suhu Kamar (28°C) dan di Dalam Lemari Pendingin (15°C) ... 32


(7)

4.2.3.3 Perbandingan Berat Jenis Sirup Alginat pada

Penyimpanan

Suhu Kamar (28°C) dan di Dalam

Lemari Pendingin (15°C) ... 33

4.3 Pengaruh Penyimpanan Terhadap Berat Molekul Natrium Alginat ... 34

4.4 Efek Mukoprotektif Sirup Alginat ... 37

4.4.1 Pengamatan Makroskopis Lambung Tikus ... 37

4.4.1.1 Lambung Tampak Luar ... 37

4.4.1.2 Lambung Tampak Dalam (Mukosa Lambung) ... 38

4.4.2 Pengamatan Mikroskopis Lambung Tikus ... 39

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 42

5.1 Kesimpulan ... 42

5.2 Saran ... 42

DAFTAR PUSTAKA ... 43


(8)

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 4.1 Perubahan Viskositas, pH, Berat Jenis, dan Organoleptis

Sirup Alginat Penyimpanan Suhu Kamar (28°C) ... 28

Tabel 4.2 Perubahan Viskositas, pH, Berat Jenis, dan Organoleptis

Sirup Alginat Penyimpanan di Dalam Lemari Pendingin (15°C) ... 30

Tabel 4.3 Pengaruh Penyimpanan Terhadap Berat Molekul Natrium Alginat ... 20

Tabel 4.4 Perbandingan Jumlah Ulkus yang Terbentuk pada Lambung Tikus Antara Kontrol, Pemberian HCl Dengan dan Tanpa Pemberian


(9)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 2.1 Rumus Bangun β-D-mannuronat dan α-L-guluronat ... 3

Gambar 2.2 Anatomi Eksternal dan Internal Lambung Mamalia ... 10

Gambar 4.1 Perbandingan Viskositas Sirup Alginat Penyimpanan Suhu Kamar (28°C) dan di Dalam Lemari Pendingin 15°C ... 31

Gambar 4.2 Perbandingan pH Sirup Alginat Penyimpanan Suhu Kamar (28°C) dan di Dalam Lemari Pendingin 15°C ... 32

Gambar 4.3 Perbandingan Viskositas Sirup Alginat Penyimpanan Suhu Kamar (28°C) dan di Dalam Lemari Pendingin 15°C ... 33

Gambar 4.4 Grafik untuk Menentukan Berat Molekul Natrium Alginat ... 34

Gambar 4.5 Pengaruh Penyimpanan Terhadap Berat Molekul Natrium Alginat ... 35

Gambar 4.6 Reaksi Pemutusan Rantai Alginat (Pawar and Edgar, 2012) ... 36

Gambar 4.7 Makroskopis Lambung Tikus (Tampak Luar) ... 37

Gambar 4.8 Mukosa Lambung Tikus ... 38

Gambar 4.9 Gambaran Histopatologi Jarinagan Lambung Tikus dengan Pewarnaan HE, Perbesaran 10x10 ... 40

Gambar 4.10 Gambaran Histopatologi Jarinagan Lambung Tikus dengan Pewarnaan HE, Perbesaran 10x40 ... . 41


(10)

DAFTAR DIAGRAM


(11)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

Lampiran 1 Pengukuran Viskositas Sirup Alginat 1% ... 46

Lampiran 2 Pengukuran pH Sirup Alginat 1% ... 48

Lampiran 3 Pengukuran Berat Jenis Sirup Alginat 1% ... 50

Lampiran 4 Pengukuran Berat Molekul ... 52

Lampiran 5 Alat Uji Viskositas ... 101

Lampiran 6 Alat Uji pH ... 102

Lampiran 7 Alat Uji Berat Jenis ... 103

Lampiran 8 Alat Uji Berat Molekul ... 104

Lampiran 9 Pengujian Statistik (Independent Sample t-Test) ... 105

Lampiran 10 Gambar Mukosa Lambung ... 109


(12)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan, atas segala berkat dan

rahmat-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penyusunan skripsi yang berjudul

“Uji Stabilitas dan Efek Pencegahan Ulkus dari Sirup Alginat pada Lambung Tikus yang

Diinduksi dengan HCl”. Skripsi ini diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh

gelar sarjana farmasi pada Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara.

Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang tulus dan ikhlas kepada

Prof. Dr. Sumadio Hadisahputra, Apt., selaku Dekan Fakultas Farmasi USU Medan yang

telah memberikan fasilitas sehingga penulis dapat menyelesaikan pendidikan. Prof. Dr.

Hakim Bangun, Apt., dan dr. Alya Amila Fitrie, M.Kes., Sp.PA, selaku pembimbing yang

memberikan waktu, bimbingan, dan nasehat selama penelitian hingga selesainya penyusunan

skripsi ini. Prof. Dr. Sumadio Hadisahputra, Apt., Prof. Dr. Hakim Bangun, Apt., Drs. Edy

Suwarso, S.U., Apt., dan Drs. Saiful Bahri, M.S., Apt., selaku dosen penguji yang

memberikan kritik, saran, dan arahan kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. Dra.

Salbiah, M.Si., Apt. selaku penasehat akademis yang telah memberikan bimbingan kepada

penulis. Bapak dan Ibu staff pengajar Fakultas Farmasi USU Medan yang telah mendidik

selama perkuliahan. Bapak kepala Laboratorium Farmasi Fisik yang telah memberikan

bantuan dan fasilitas selama penulis melakukan penelitian.

Penulis juga mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang tiada terhingga kepada

Ibunda Amelia dan Ayahanda Filipus yang tiada hentinya mendoakan, memberikan

semangat, dukungan dan berkorban dengan tulus ikhlas bagi kesuksesan penulis. Penulis juga

berterima kasih kepada Vina Stevani, dan Willson, Triputriana D.S., teman-teman di

Laboratorium Farmasi Fisik, dan sahabat-sahabatku yang selalu memberikan dorongan, dan


(13)

Penulis menyadari bahwa penulisan skripsi ini masih belum sempurna, sehingga

penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun untuk penyempurnaannya. Harapan

penulis semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi ilmu pengetahuan kefarmasian dan berguna

bagi alam semesta.

Medan, April 2013

Penulis,


(14)

Stabilitas Fisik dan Efek Pencegahan Ulkus dari Sirup Alginat pada Lambung Tikus yang Diinduksi Dengan HCl

Abstrak

Hiperasiditas lambung merupakan masalah global yang umum terjadi. Patofisiologi dari kelainan ini berfokus pada ketidakseimbangan antara faktor perusak dan pelindung mukosa lambung. Natrium alginat merupakan bahan yang dapat diisolasi deri alam yang dapat membentuk lapisan pada mukosa lambung.

Tujuan Penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh suhu penyimpanan terhadap stabilitas sirup alginat dan mengetahui efek pencegahan ulkus dari sirup alginat.

Uji stabilitas fisik dilakukan selama 24 minggu. Sirup alginat disimpan pada suhu kamar dan dalam lemari pendingin. Setiap 1 minggu sirup alginat diukur viskositas, pH, berat jenis dan pemeriksaan organoleptis (warna, bau, dan rasa). Penentuan berat molekul natrium alginat dilakukan pada larutan natrium alginat yang disimpan pada suhu kamar dan di dalam kulkas dengan menggunakan viskometer oswalt setiap 1 minggu selama 12 minggu. Hewan yang digunakan dalam pengujian efek pencegahan ulkus adalah tikus jantan yang sehat dengan berat 150-200 mg. Sebelum pengujian tikus dipuasakan selama 36 jam kemudian dibagi kedalam 4 kelompok masing–masing 6 ekor, kelompok 1 hanya diberi aquades, kelompok 2 diberikan akuades, kelompok 3 diberikan sirup alginat r.p., kelompok 4 diberikan sirup alginat yang telah disimpan selama 12 minggu pada suhu kamar secara oral. Setelah 30 menit, tikus pada kelompok 2, 3, dan 4 diberikan 1 ml HCl 0,6 N secara oral. Setelah 1 jam tikus dibunuh dengan menggunakan eter yang berlebihan secara inhalasi, lalu dibedah untuk mengambil lambungnya. Selanjutnya lambung dicuci dengan menggunakan NaCl 0,9% dan diamati secara makroskopis jumlah ulkus yang terjadi. Setelah diamati, lambung direndam dalam larutan formalin 10% dan kemudian diamati secara mikroskopis.

Hasil penelitian menunjukkan adanya penurunan viskositas, pH, dan berat jenis pada sirup alginat yang disimpan pada suhu kamar dan di dalam kulkas, tetapi penurunan tersebut lebih besar terjadi pada sirup yang disimpan pada suhu kamar. Berat molekul natrium alginat sebelum penyimpanan adalah sebesar 580.900. Setelah 12 minggu berat molekul natrium alginat yang disimpan pada suhu kamar adalah sebesar 328.700, dan berat molekul sirup alginat yang disimpan di dalam kulkas adalah sebesar 420.650. Dari segi organoleptis, sirup alginat yang disimpan pada suhu kamar memiliki bau dan rasa asam setelah penyimpanan 15 minggu, sedangkan pada sirup alginat yang disimpan di dalam kulkas tidak terjadi perubahan dari segi organoleptisnya. Pemberian HCl 0,6 N secara per oral pada tikus akan menyebabkan terbentuknya ulkus pada mukosa lambung tikus. Pemberian sirup alginat rec.par. dan sirup alginat penyimpanan 12 minggu pada suhu kamar dapat mencegah terbentukknya ulkus yang diinduksi oleh asam.

Dapat disimpulkan bahwa sirup alginat lebih stabil pada penyimpanan di dalam kulkas dan sirup alginat, baik yang rec.par maupun sirup alginat penyimpanan 12 minggu pada suhu kamar keduanya memberikan efek pencegahan ulkus yang diinduksi dengan HCl 0,6 N.


(15)

PHYSICAL STABILITY AND PROTECTIVE EFFECT OF ALGINATE SYRUP ON HCl INDUCED GASTRIC ULCER IN RATS

Abstact

Hiperacidity of gastric is a common global problem. The pathophysiology of this disorder focuses on the imbalance between destructive and protective factors of gastric mucose. Sodium alginate is a material that can be isolated naturally and can form a layer on the gastric mucose.

The purpose of this study was to determine the effect of storage temperature on the stability of alginate syrup and to determine the prottective effect of alginate syrup on HCl induced gastric ulcer.

Physical stability test was conducted for 24 weeks. Alginate syrups were stored at room temperature (28°C) and in the refrigerator (15°C). Every 1 week the viscosity, pH, specific gravity and organoleptic inspection (color, smell, and taste) of alginate syrup were observed. Determination of molecular weight of sodium alginate was performed using Oswalt viscometer. Male rat weighing 150-200 g were selected for gastric ulcer prevention model. Rats were devided into four groups, each groups consisting six animals. Animals were fasted for 36 hours before the test. One group recived destilated water only (negative control), the second group received destilated water, the third group recived alginate syrup that was newly made (r.p.), the fourth group recived alginate syrup that was stored at room temperature for 12 weeks. Thirty minuted after, 1 ml of 0.6 N hidrocloric acid solution was administrated orally to the second, third, and fourth group. Animals were sacrificed by excessive inhaled of ether one hour after the HCl administation, stomachs were isolated and washed using 0.9% of NaCl solution, then observed macroscopically for the occured ulcer. Once observed, the stomatchs were immersed in 10% of formalin solution for the microscopic observation.

The result shown that there was a decreassing in viscosity, pH, and spesific gravity of the alginate syrup that stored at room temperature and in the refrigerator, but the decreasing was greater occurred in alginate syrup that was stored at room temperature than that in refrigerator. The molecular weight of sodium alginate before storage was 580.900. After 12 weeks,the molecular weight of sodium alginate that was stored at room temperature was 328.700, and the molecular weight alginate syrup stored in the refrigerator was 420.650. The organoleptic of alginate syrups that were stored at room temperature have a alcohol smell and sour taste after 15 weeks of storage but the alginate syrups that were stored in the refrigerator has no changes in the organoleptic. The orally adminstrating of 0.6 N HCl solution caused the formation of ulcers in the gastric mucosa. Both of alginate syrup that newly made and alginate syrup that was stored at room temperature for 12 weeks can prevent gastric ulcer.

The results indicate that alginate syrup is more stable on storage in the refrigerator that that in room temperature.Both alginate syrup rec.par and alginate syirup that was stored at room temperature can prevent the gastric ulcer that induced by HCl.


(16)

Stabilitas Fisik dan Efek Pencegahan Ulkus dari Sirup Alginat pada Lambung Tikus yang Diinduksi Dengan HCl

Abstrak

Hiperasiditas lambung merupakan masalah global yang umum terjadi. Patofisiologi dari kelainan ini berfokus pada ketidakseimbangan antara faktor perusak dan pelindung mukosa lambung. Natrium alginat merupakan bahan yang dapat diisolasi deri alam yang dapat membentuk lapisan pada mukosa lambung.

Tujuan Penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh suhu penyimpanan terhadap stabilitas sirup alginat dan mengetahui efek pencegahan ulkus dari sirup alginat.

Uji stabilitas fisik dilakukan selama 24 minggu. Sirup alginat disimpan pada suhu kamar dan dalam lemari pendingin. Setiap 1 minggu sirup alginat diukur viskositas, pH, berat jenis dan pemeriksaan organoleptis (warna, bau, dan rasa). Penentuan berat molekul natrium alginat dilakukan pada larutan natrium alginat yang disimpan pada suhu kamar dan di dalam kulkas dengan menggunakan viskometer oswalt setiap 1 minggu selama 12 minggu. Hewan yang digunakan dalam pengujian efek pencegahan ulkus adalah tikus jantan yang sehat dengan berat 150-200 mg. Sebelum pengujian tikus dipuasakan selama 36 jam kemudian dibagi kedalam 4 kelompok masing–masing 6 ekor, kelompok 1 hanya diberi aquades, kelompok 2 diberikan akuades, kelompok 3 diberikan sirup alginat r.p., kelompok 4 diberikan sirup alginat yang telah disimpan selama 12 minggu pada suhu kamar secara oral. Setelah 30 menit, tikus pada kelompok 2, 3, dan 4 diberikan 1 ml HCl 0,6 N secara oral. Setelah 1 jam tikus dibunuh dengan menggunakan eter yang berlebihan secara inhalasi, lalu dibedah untuk mengambil lambungnya. Selanjutnya lambung dicuci dengan menggunakan NaCl 0,9% dan diamati secara makroskopis jumlah ulkus yang terjadi. Setelah diamati, lambung direndam dalam larutan formalin 10% dan kemudian diamati secara mikroskopis.

Hasil penelitian menunjukkan adanya penurunan viskositas, pH, dan berat jenis pada sirup alginat yang disimpan pada suhu kamar dan di dalam kulkas, tetapi penurunan tersebut lebih besar terjadi pada sirup yang disimpan pada suhu kamar. Berat molekul natrium alginat sebelum penyimpanan adalah sebesar 580.900. Setelah 12 minggu berat molekul natrium alginat yang disimpan pada suhu kamar adalah sebesar 328.700, dan berat molekul sirup alginat yang disimpan di dalam kulkas adalah sebesar 420.650. Dari segi organoleptis, sirup alginat yang disimpan pada suhu kamar memiliki bau dan rasa asam setelah penyimpanan 15 minggu, sedangkan pada sirup alginat yang disimpan di dalam kulkas tidak terjadi perubahan dari segi organoleptisnya. Pemberian HCl 0,6 N secara per oral pada tikus akan menyebabkan terbentuknya ulkus pada mukosa lambung tikus. Pemberian sirup alginat rec.par. dan sirup alginat penyimpanan 12 minggu pada suhu kamar dapat mencegah terbentukknya ulkus yang diinduksi oleh asam.

Dapat disimpulkan bahwa sirup alginat lebih stabil pada penyimpanan di dalam kulkas dan sirup alginat, baik yang rec.par maupun sirup alginat penyimpanan 12 minggu pada suhu kamar keduanya memberikan efek pencegahan ulkus yang diinduksi dengan HCl 0,6 N.


(17)

PHYSICAL STABILITY AND PROTECTIVE EFFECT OF ALGINATE SYRUP ON HCl INDUCED GASTRIC ULCER IN RATS

Abstact

Hiperacidity of gastric is a common global problem. The pathophysiology of this disorder focuses on the imbalance between destructive and protective factors of gastric mucose. Sodium alginate is a material that can be isolated naturally and can form a layer on the gastric mucose.

The purpose of this study was to determine the effect of storage temperature on the stability of alginate syrup and to determine the prottective effect of alginate syrup on HCl induced gastric ulcer.

Physical stability test was conducted for 24 weeks. Alginate syrups were stored at room temperature (28°C) and in the refrigerator (15°C). Every 1 week the viscosity, pH, specific gravity and organoleptic inspection (color, smell, and taste) of alginate syrup were observed. Determination of molecular weight of sodium alginate was performed using Oswalt viscometer. Male rat weighing 150-200 g were selected for gastric ulcer prevention model. Rats were devided into four groups, each groups consisting six animals. Animals were fasted for 36 hours before the test. One group recived destilated water only (negative control), the second group received destilated water, the third group recived alginate syrup that was newly made (r.p.), the fourth group recived alginate syrup that was stored at room temperature for 12 weeks. Thirty minuted after, 1 ml of 0.6 N hidrocloric acid solution was administrated orally to the second, third, and fourth group. Animals were sacrificed by excessive inhaled of ether one hour after the HCl administation, stomachs were isolated and washed using 0.9% of NaCl solution, then observed macroscopically for the occured ulcer. Once observed, the stomatchs were immersed in 10% of formalin solution for the microscopic observation.

The result shown that there was a decreassing in viscosity, pH, and spesific gravity of the alginate syrup that stored at room temperature and in the refrigerator, but the decreasing was greater occurred in alginate syrup that was stored at room temperature than that in refrigerator. The molecular weight of sodium alginate before storage was 580.900. After 12 weeks,the molecular weight of sodium alginate that was stored at room temperature was 328.700, and the molecular weight alginate syrup stored in the refrigerator was 420.650. The organoleptic of alginate syrups that were stored at room temperature have a alcohol smell and sour taste after 15 weeks of storage but the alginate syrups that were stored in the refrigerator has no changes in the organoleptic. The orally adminstrating of 0.6 N HCl solution caused the formation of ulcers in the gastric mucosa. Both of alginate syrup that newly made and alginate syrup that was stored at room temperature for 12 weeks can prevent gastric ulcer.

The results indicate that alginate syrup is more stable on storage in the refrigerator that that in room temperature.Both alginate syrup rec.par and alginate syirup that was stored at room temperature can prevent the gastric ulcer that induced by HCl.


(18)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Ulkus peptikum merupakan lesi yang dalam yang terjadi pada mukosa dan muskularis

mukosa saluran cerna. Ulkus peptikum yang sering terjadi adalah ulkus gastritis dan ulkus

duodenum. Ulkus terjadi akibat ketidakseimbangan antara faktor agresif (asam hidroklorida,

pepsin, Helicobacter pylori, NSAIDs,) dengan faktor protektif (antioksidan enzimatis,

antioksidan non enzimatis, aliran darah, proses regenerasi sel, musin, bikarbonat,

prostaglandin), yang akhirnya menyebabkan kerusakan mukosa (Amandeep, 2012). Ulkus

peptikum merupakan penyakit yang sering terjadi secara klinis dan terjadi pada semua usia.

Diperkirakan penyakit ini akan mempunyai pengaruh global yang signifikan terhadap kualitas

hidup pasien (Radhika, 2012).

Faktor resiko besar penyebab ulkus meliputi: infeksi bakteri (Helicobacter pylori),

obat-obatan tertentu (NSAIDs), bahan-bahan kimia (HCl/etanol), kanker lambung dan faktor

resiko kecil meliputi: keadaan stres, merokok, makanan pedas dan defisiensi nutrisi

(Amandeep, 2012).

Penulis memilih salah satu bahan alam yang diharapkan dapat mencegah terjadinya

ulkus lambung. Penulis mencoba menggunakan natrium alginat yang diformulasikan menjadi

sirup sebagai sediaan untuk mencegah ulkus lambung yang diinduksi dengan HCl.

Sirup adalah sediaan pekat dalam air dari gula atau pengganti gula dengan atau tanpa

bahan penambahan bahan pewangi, dan zat obat. Sirup merupakan sediaan yang

menyenangkan untuk pemberian suatu bentuk cairan dari suatu obat yang rasanya tidak enak,

sirup efektif dalam pemberian obat untuk anak-anak, karena rasanya yang enak biasanya


(19)

terdapat pada ganggang coklat (Laminaria sp., Macrocystis sp., Lessonia sp., dan lainnya), di

mana alginat telah diproduksi secara industri. Produksi tahunan alginat diperkirakan

mencapai 38.000 ton di seluruh belahan dunia (Andersen, 2012). Alginat merupakan

penyusun utama pada dinding sel alginofit, yang terdiri atas asam alginat, manuronat dan

galuronat dengan ikatan β-D-1.4-manuronat dan α-L-galuronat (Draget, 2005; Andersen, 2012).

Berdasarkan penelitian sebelumnya, larutan alginat 1% sebanyak 10 ml yang diberikan

1 jam sebelum pemberian asetosal terbukti secara makroskopis dan mikroskopis dapat

mencegah ulkus saluran cerna kelinci yang disebabkan asetosal (Meilani, 2010).

Berdasarkan data–data tersebut penulis ingin lebih lanjut membuktikan secara

makroskopik dan mikroskopik apakah alginat dapat mencegah ulkus lambung. Diharapkan

natrium alginat tersebut nantinya dapat memecahkan masalah ulkus pada lambung akibat

kelebihan asam lambung. Pemberian 1 ml HCl 0,6 N secara per oral dapat menyebabkan

terjadinya ulkus lambung (Deshpande, 2002). Penulis memilih untuk menggunakan HCl 0,6


(20)

1.2 Kerangka Pikir

Kerangka pikir atau road map penelitian ini adalah sebagai tertera pada Diagram 1.

Variabel Variabel

Bebas terikat

Diagram 1. Kerangka Pikir Penelitian 1.3 Perumusan masalah

Berdasarkan uraian diatas, maka rumusan permasalahan penelitian ini adalah sebagai

berikut:

a. Apakah suhu penyimpanan mempengaruhi stabilitas fisik dari sirup alginat?

b. Apakah suhu penyimpanan mempengaruhi berat molekul natrium alginat?

c. Apakah pemberian 1 ml HCl 0,6 M dapat menginduksi terjadinya ulkus pada lambung

tikus? Asam Lambung Sirup Alginat Iritasi Lambung Uji Stabilitas Fisik Uji Efek Pencegahan Ulkus Suhu Kamar (28°C) Suhu Lemari Pendingin (15°C) Sirup Alginat r.p. Sirup Alginat setelah 12 minggu pada suhu kamar - pH - viskositas - berat molekul -berat jenis -organoleptis - pH

- viskositas - berat molekul -berat jenis -organoleptis - makroskopis Jumlah ulkus - mikroskopis Kohesi sel mukosa - makroskopis Jumlah ulkus - mikroskopis Kohesi sel mukosa


(21)

d. Apakah pemberian sirup alginat r.p. dan sirup alginat yang telah disimpan selama 12

minggu pada suhu kamar 30 menit sebelum pemberian HCl dapat mencegah ulkus

lambung?

1.4 Hipotesis

Berdasarkan perumusan masalah diatas maka hipotesis penelitian adalah sebagai berikut:

a. Suhu penyimpanan mempengaruhi stabilitas sirup alginat, dimana sirup alginat akan

lebih stabil pada penyimpanan di dalam lemari pendingin dibandingkan dengan

penyimpanan pada suhu kamar.

b. Suhu penyimpanan mempengaruhi berat molekul natrium alginat, dimana natrium

alginat akan lebih stabil pada penyimpanan di dalam lemari pendingin dibandingkan

dengan penyimpanan pada suhu kamar.

c. Pemberian 1 ml HCl 0,6 M dapat menginduksi terjadinya ulkus pada lambung tikus?

d. Pemberian sirup alginat r.p. dan sirup alginat yang telah disimpan selama 12 minggu

pada suhu kamar 30 jam sebelum pemberian asam dapat mencegah terjadinya ulkus

lambung.

1.5 Tujuan Penelitian

a. Mengetahui stabilitas fisik sirup alginat dalam suhu kamar dan di dalam lemari

pendingin.

b. Mengetahui berat molekul sirup alginat sebelum dan setelah penyimpanan selama 12

minggu pada suhu kamar dan di dalam lemari pendingin.

c. Mengetahui pengaruh HCl terhadap pembentukan ulkus pada lambung tikus.

d. Mengetahui efek pencegahan ulkus dari sirup alginat r.p. dan sirup alginat yang telah


(22)

1.6 Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian ini adalah untuk pemanfaatan natrium alginat sebagai obat untuk


(23)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Stabilitas Produk Farmasi

Stabilitas produk farmasi dapat didefinisikan sebagai kemampuan suatu produk untuk

bertahan dalam batas yang ditetapkan sepanjang periode penyimpanan dan penggunaan, sifat

dan karakteristiknya sama dengan yang dimilikinya pada saat dibuat (Vadas, 2000).

Banyak faktor yang mempengaruhi stabilitas produk farmasi, seperti stabilitas dari

bahan aktif, interaksi antara bahan aktif dan bahan tambahan, proses pembuatan, proses

pengemasan, dan kondisi lingkungan selama pengangkutan, penyimpanan, dan penanganan,

dan jangka waktu produk antara pembuatan hingga pemakaian (Vadas, 2000).

Stabilitas produk obat dibagi menjadi stabilitas secara kimia dan stabilitas secara fisika.

Faktor-faktor fisika seperti panas, cahaya, dan kelembapan, mungkin akan menyebabkan atau

mempercepat reaksi kimia, maka setiap menentukan stabilitas kimia, stabilitas fisika juga

harus ditentukan (Vadas, 2000).

Stabilitas fisika adalah mengevaluasi perubahan sifat fisika dari suatu produk yang

tergantung waktu (periode penyimpanan). Contoh dari perubahan fisika antara lain migrasi

(perubahan) warna, perubahan rasa, perubahan bau, perubahan tekstur atau penampilan.

Evaluasi dari uji stabilitas fisika meliputi: pemeriksaan organoleptis, homogenitas, pH, bobot

jenis (Vadas, 2000).

Stabilitas kimia suatu obat adalah lamanya waktu suatu obat untuk mempertahanakan

integritas kimia dan potensinya seperti yang tercantum pada etiket dalam batas waktu yang

ditentukan. Pengumpulan dan pengolahan data merupakan langkah menentukan baik

buruknya sediaan yang dihasilkan, meskipun tidak menutup kemungkinan adanya parameter


(24)

tidak sama, begitu juga untuk jenis sediaan sama tetapi cara pemberiannya lain. Jadi sangat

bervariasi tergantung pada jenis sediaan, cara pemberian, stabilitas zat aktif dan lain-lain

(Attwood dan Florence, 1988).

Data yang paling dibutuhkan adalah data sifat, kimia, kimia fisik, dan kerja

farmakologi zat aktif (data primer), didukung sifat zat pembantu (data sekunder). Secara

reaksi kimia zat aktif dapat terurai karena beberapa faktor diantaranya ialah oksigen

(oksidasi), air (hidrolisa), suhu (oksidasi), cahaya (fotolisis), karbondioksida (turunnya pH

larutan), sesepora ion logam sebagai katalisator reaksi oksidasi. Jadi jelasnya faktor luar juga

mempengaruhi ketidakstabilan kimia seperti, suhu, kelembaban udara dan cahaya (Attwood

dan Florence, 1988).

Stabilitas mikrobiologi suatu sediaan adalah keadaan tetap di mana sediaan bebas dari

mikroorganisme atau memenuhi syarat batas miroorganisme hingga batas waktu tertentu.

Terdapat berbagai macam zat aktif obat, zat tambahan serta berbagai bentuk sediaan dan cara

pemberian obat. Tiap zat, cara pemberian dan bentuk sediaan memiliki karakteristik

fisika-kimia tersendiri dan umumnya rentan terhadap kontaminasi mikroorganisme dan/atau

memang sudah mengandung mikroorganisme yang dapat mempengaruhi mutu sediaan karena

berpotensi menyebabkan penyakit, efek yang tidak diharapkan pada terapi atau penggunaan

obat dan kosmetik. Stabilitas mikrobiologi diperlukan oleh suatu sediaan farmasi untuk

menjaga atau mempertahankan jumlah dan menekan pertumbuhan mikroorgansme yang

terdapat dalam sediaan tersebut hingga jangka waktu tertentu yang diinginkan (WHO, 1977).

2.2 Sirup

Sirup adalah sediaan pekat dalam air dari gula atau pengganti gula dengan atau tanpa

bahan penambahan bahan pewangi, dan zat obat. Sirup merupakan sediaan yang

menyenangkan untuk pemberian suatu bentuk cairan dari suatu obat yang rasanya tidak enak,


(25)

Menurut Nairn, J.G. (2000), sirup merupakan larutan pekat dari gula seperti larupan

sukrosa dalam air ataupun dalam larutan pembawa lainnya. Ketika pembuatatan sirup hanya

menggunakan air maka dinamakan sirup sederharna. Selain penggunaan sukrosa sukrosa,

dapat ditambahkan poliol yang lainnya seperti: gliserin atau sorbitol yang dapat

meningkatkan stabilitas sirup. Sirup yang mengandung obat disebut juga dengan sirup obat.

Pembuatan sirup dapat menggunakan gliserin, metil paraben, asam benzoat, dan sodium

benzoat untuk mencegah pertumbuhan bakteri dan jamur (Nairn, J.G., 2000).

2.3 Alginat

Asam alginat diekstraksi dari ganggang coklat dan dinetralisasikan dengan natrium

bikarbonat untuk membentuk natrium alginat. Karakteristik natrium alginat adalah sebagai

berikut :

Pemerian : Serbuk tidak berbau dan berasa, putih sampai coklat kekuningan pucat.

Kelarutan : Larut dalam air, praktis tidak larut dalam etanol, eter, pelarut organik dan

asam.

Tak tercampurkan : Dengan turunan acridine, kristal violet, fenilmerkuri asetat dan nitrat,

garam kalsium, logam berat (Rowe, dkk., 2003)

Natrium alginat adalah kopolimer biner yang terdiri dari residu β-D-mannuronat (M) dan α-L-guluronat (G) yang tersusun dalam blok-blok yang membentuk rantai linier.


(26)

Kedua unit tersebut berikatan pada atom C1 dan atom C2 dengan susunan

homopolimer dari masing – masing residu (MM dan GG) ataupun dalam blok – blok

heteropolimer (MG) (Rees dan Welsh,1977).

Natrium alginat telah digunakan secara luas dalam formulasi obat oral dan topikal

yaitu sebagai pengikat dan penghancur dalam formulasi tablet, sebagai pelincir dalam

formulasi kapsul, sebagai zat pensuspensi dalam formulasi krim, dan sebagai zat penstabil

dalam formulasi emulsi minyak dalam air (Rowe, et al., 2003).

2.4 Lambung

Menurut Bringman et al. (1995); Gartner dan Hiatt (2001), lambung adalah bagian

dari saluran yang dapat berdilatasi, berstruktur seperti kantung yang berfungsi mencairkan

makanan dilanjutkan dengan proses pencernaan yang dibantu oleh asam hidroklorida (HCl) Gambar 2.1. Rumus bangun β-D-mannuronat dan α-L-guluronat (Rees dan


(27)

dan enzim-enzim seperti pepsin, renin, lipase dan hormon parakrin. Bolus makanan melewati

saluran gastro-eksofagus menuju lambung kemudian dicampur dengan cairan lambung yang

terdiri atas mukus, air, HCl dan enzim-enzim pencernaan.

2.4.1 Anatomi Lambung

Morfologi organ tubuh tikus analog dengan morfologi organ manusia. Oleh karena itu,

sering digunakan sebagai hewan pengujian obat sebelum diberikan pada manusia. Salah satu

organ tikus yang analogis dengan organ manusia adalah lambung (Malole, et al., 1989).

Lambung tikus terletak di sebelah kiri ruang abdomen yang berkontak langsung dengan

hati. Menurut Miller (1996), tepi bagian tengah yang berbentuk cekung dari lambung disebut

kurvatora minor atau lekukan kecil. Tepi bagian lateral yang berbentuk cembung disebut

kurvatora mayor atau lekukan besar. Menurut Brown dan Hardisty (1990) serta Frappier

(1998), lambung tikus dibedakan menjadi dua bagian yaitu lambung depan (bagian tipis di

sebelah kiri) dan lambung kelenjar. Lambung depan umumnya dikenal dengan lambung

nonkelenjar.

Bringman et al. (1995); Miller (1996) menyatakan bahwa secara anatomis lambung

mamalia dibagi atas 4 regio, yaitu cardia, fundus, badan atau corpus dan pilorus. Cardia,

merupakan bagian dengan luas kecil dan zona pembatas dekat saluran gastro-eksofagus.

Fundus, pada mamalia merupakan regio yang berbentuk kubah terletak sebelah kiri dari

esofagus dan banyak terdapat sel kelenjar. Badanatau corpus, merupakan bagian terluas dari

lambung (kurang lebih 2/3 bagian lambung) yang membentang dari fundus inferior sampai ke

pilorus. Pilorus merupakan bagian yang paling akhir. Pilorus berbentuk corong dengan

perluasan kerucut, pada sambungan dengan badan disebut pyloric antrum dan batang

corongnya disebut pyloric canal. Bagian akhir pylorus terdapat sphinter yang berfungsi

mengatur pelepasan kimus ke dalam duodenum. Berikut merupakan gambaran bentuk


(28)

Gambar 2.2 Anatomi Eksternal dan Internal Lambung Mamalia. (Tortora dan Grabowski, 1996)

2.4.2 Histologi Lambung

Lambung merupakan organ yang mencerna makanan dan mensekresikan hormon.

Pemeriksaan secara kasar menunjukkan bahwa lambung tersusun atas empat lapisan, yaitu

kardia, fundus, badan, dan pilorus (Junqueira, et al. 1995).

Berdasarkan histologi, dinding saluran pencernaan terdiri dari empat lapisan yaitu

sebelah dalam sekali lapisan mukosa, lalu berturut-turut ke arah luar lapisan submukosa,

lapisan muskularis (otot) dan lapisan yang paling luar sekali adalah lapisan serosa atau

adventisia. Setiap lapisan terdiri atas beberapa komponen yang mempunyai struktur dan

fungsi yang berbeda-beda. (Beveleander, et al., 1988).

2.4.2.1 Mukosa

Membran mukosa lambung berbentuk irreguler seperti tiang, membentuk lipatan

longitudinal yang disebut rugae dan jumlahnya tergantung pada tinggi rendahnya rentangan

organnya. Membran mukosa terdiri dari tiga komponen yaitu epitelium, lamina propia dan


(29)

terletak rapat satu dengan yang lain dan dilapisi epitel sejenis. Bentuk dan kedalaman dari

sumuran ini serta sifat kelenjarnya berbeda pada tiap bagian lambung.

Kelenjar lambung berbentuk simpel dan tipe tubular yang meluas hingga basal lubang

sumuran. Kelenjar lambung dibagi menjadi tiga daerah yaitu isthmus, leher dan basal. Pada

masing-masing daerah mengandung beberapa jenis sel yang berbeda. Tiap kelenjar lambung

terbentuk dari empat jenis sel yaitu: sel-sel lendir leher, sel-sel utama (Chief cell/peptic cells),

sel-sel parietal (sel oksintik) dan sel-sel enteroendokrin.

Sel-sel lendir leher berukuran lebih kecil dari sel permukaan, bersifat basofil,

jumlahnya relatif sedikit, mempunyai dasar yang lebar dan menyempit di bagian daerah

puncaknya. Sel lendir leher berfungsi mensekresikan mukus. Sel-sel utama (Chief cell/peptic

cells) melapisi bagian bawah kelenjar lambung dan mempunyai bentuk sel serosa yang khas.

Sel ini mengandung bahan basofil, sebagian besar mitokondria dan granula sekresi yang

mengandung pepsinogen, zat pemula pepsin. Eksositosi pepsinogen dipengaruhi rangsangan

saraf dan hormon. Sel-sel parietal memproduksi pendahulu dari asam hidroklorat (HCl) dan

faktor intrinsik lambung. Letaknya tersebar pada lumen dipisahkan oleh sel-sel utama (Chief

cell).

Sel-sel enteroendokrin berjumlah lebih sedikit dan letaknya tersebar di antara

membran dasar dan sel-sel utama (Chief cell). Sel-sel ini berfungsi mengatur komposisi

sekresi lambung (air, enzim dan kadar elektrolit), motilitas dinding usus, proses penyerapan

dan penggunaan makanan (Beveleander, et al. 1988; Bringman, et al. 1995; Gartner dan

Hiatt, 2001).

2.4.2.2 Submukosa

Di bawah lapisan mukosa terdapat lapisan submukosa. Lapisan submukosa umumnya lebih

luas, bersifat fibroelastis dan terdiri dari kelenjar, pembuluh darah, pembuluh limfatika dan


(30)

dikenal dengan pleksus Heller dan juga meliputi sebagian besar pembuluh limfatika dan

pleksus saraf (pleksus Meissner) (Beveleander, et al., 1988).

2.4.2.3 Tunika muskularis

Tunika muskularis terdiri dari tiga lapis otot. Lapisan dalam berupa lapisan oblique,

lapisan tengah berupa lapisan otot sirkuler dan lapisan luar berupa lapis otot longitudinal.

Antara lapis sirkuler dan lapisan longitudinal dipisahkan oleh pleksus saraf mesenterium dan

sel ganglion parasimpatis (pleksus Auerbach’s) yang menginervasi kedua lapis otot (Gartner

dan Hiatt,2001).

2.4.2.4 Serosa

Lapisan paling luar yang melapisi saluran pencernaan adalah adventisia atau serosa.

Adventisia atau serosa tersusun dari jaringan longgar yang sering mengandung lemak,

pembuluh darah dan saraf (Beveleander, 1988).

2.4.3 Fisiologi Lambung

Lambung memiliki dua fungsi utama yaitu, fungsi pencernaan dan fungsi motorik.

Fungsi pencernaan dan sekresi lambung berkaitan dengan pencernaan protein, sintesis dan

sekresi enzim-enzim pencernaan. Selain mengandung sel-sel yang mensekresi mukus,

mukosa lambung juga mengandung dua tipe kelenjar tubular yang penting yaitu kelenjar

oksintik (gastrik) dan kelenjar pilorik. Kelenjar oksintik terletak pada bagian corpus dan

fundus lambung, meliputi 80% bagian proksimal lambung. Kelenjar pilorik terletak pada

bagian antral lambung. Kelenjar oksintik bertanggung jawab membentuk asam dengan

mensekresikan mukus, asam hidroklorida (HCl), faktor intrinsik dan pepsinogen. Kelenjar

pilorik berfungsi mensekresikan mukus untuk melindungi mukosa pilorus, juga beberapa

pepsinogen, renin, lipase lambung dan hormon gastrin (Guyton dan Hall, 1997).

Fungsi motorik lambung terdiri atas (1) penyimpanan sejumlah besar makanan sampai


(31)

lambung hingga membentuk suatu campuran setengah cair yang disebut kimus (chyme) dan

(3) pengosongan makanan dari lambung ke dalam usus dengan lambat pada kecepatan yang

sesuai untuk pencernaan dan absorbsi dalam usus halus (Wilson dan Lester, 1994; Guyton

dan Hall, 1997).

2.4.4 Pertahanan Mukosa Lambung

Menurut Malik (1992), mukosa lambung merupakan sawar antara tubuh dengan

berbagai bahan, termasuk makanan, produk-produk pencernaan, toksin, obat-obatan dan

mikroorganisme yang masuk lewat saluran pencernaan. Bahan-bahan yang berasal dari luar

tubuh maupun produk-produk pencernaan berupa asam dan enzim proteolitik yang dapat

merusak jaringan mukosa lambung. Oleh karena itu, lambung memiliki sistem protektif yang

berlapis-lapis dan sangat efektif untuk mempertahankan keutuhan mukosa lambung. Proteksi

(faktor pertahanan) tersebut dilakukan oleh adanya beberapa faktor:

1. Faktor pre-epitelial

Faktor pre-epitel merupakan faktor proteksi paling depan saluran pencernaan yang

letaknya meliputi secara merata lapisan permukaan sel epitel mukosa saluran pencernaan.

Cairan mukus dan bikarbonat yang disekresikan oleh kelenjar-kelenjar dalam mukosa

lambung berfungsi sebagai faktor preepitelial untuk proteksi lapisan epitel terhadap

enzim-enzim proteolitik dan asam lambung. Bikarbonat berfungsi menetralisir keasaman

di sekitar lapisan sel epitel. Suasana netral dibutuhkan agar enzim-enzim dan transpor aktif

di sekeliling dan dalam lapisan sel epitel mukosa dapat bekerja dengan baik (Guyton dan

Hall, 1997).

Menurut Guyton dan Hall (1997), mukus adalah sekresi kental yang terutama terdiri

dari air, elektrolit dan campuran beberapa glikoprotein, yang terdiri dari sejumlah besar

polisakarida yang berikatan dengan protein dalam jumlah yang lebih sedikit. Menurut teori


(32)

merupakan garis depan pertahanan terhadap autodigesti. Lapisan ini memberikan

perlindungan terhadap trauma mekanis dan kimia (Wilson dan Lester 1994). Mukus

menutupi lumen saluran pencernaan yang berfungsi sebagai proteksi mukosa. Fungsi

mukus sebagai proteksi mukosa: (a) pelicin yang menghambat kerusakan mekanis (cairan

dan benda keras), (b) sawar terhadap asam, (c) sawar terhadap enzim proteolitik (pepsin)

dan (d) pertahanan terhadap organisme patogen (Julius 1992).

2. Faktor epitelial

Integritas dan regenerasi lapisan sel epitel berperan penting dalam fungsi sekresi dan

absorbsi dalam saluran pencernaan. Kerusakan sedikit pada mukosa (gastritis/duodenitis)

dapat diperbaiki dengan mempercepat penggantian sel-sel yang rusak. Sel-sel epitel

saluran pencernaan terus menerus mengalami pergantian dan regenerasi setiap 1-3 hari

dipengaruhi oleh banyak faktor (Malik, 1992).

3. Faktor sub-epitelial

Integritas mukosa lambung terjadi akibat penyediaan glukosa dan oksigen secara terus

menerus. Aliran darah mukosa mempertahankan mukosa lambung melalui oksigenasi

jaringan yang memadai dan sebagai sumber energi. Selain itu, fungsi aliran darah mukosa

adalah untuk membuang atau sebagai buffer difusi balik ion H+.

Sistem pencernaan juga diproteksi oleh sistem imun baik lokal maupun sistemik serta

sistem limfe terhadap berbagai toksin, obat dan bahan lainnya. Sistem imun lokal terdapat

dalam saluran pencernaan, sedangkan sistem imun sistemik terdapat dalam sistem peredaran

darah. Komponen dari sistem imun dalam saluran cerna adalah sel-sel radang lokal saluran

cerna (sel plasma, limfosit, monosit) dan jaringan limpoid yang bersifat sistemik (Malik,

1992).

Selain beberapa faktor pertahanan di atas, pada selaput lendir saluran pencernaan juga


(33)

merupakan kelompok senyawa turunan asam lemak arakhidonat yang dihasilkan melaui jalur

siklooksigenase (COX). Prostaglandin meningkatkan resistensi selaput lendir terhadap iritasi

mekanis, osmotik, termis atau kimiawi dengan cara regulasi sekresi asam lambung, sekresi

mukus, bikarbonat dan aliran darah mukosa. Dalam suatu telah telah ditunjukkan, bahwa

pengurangan prostaglandin pada selaput lendir lambung memicu terjadinya ulkus. Hal ini

membuktikan salah satu peranan penting prostaglandin untuk memelihara fungsi sawar

selaput lendir (Kartasasmita, 2002).

2.4.5 Patologi Lambung

Menurut Guyton dan Hall (1997), beberapa gangguan lambung yang sering terjadi

antara lain ulkus lambung dan gastritis. Menurut Julius (1992), adanya gangguan-gangguan

pada lambung seperti gastritis, erosi dan ulkus turut dipengaruhi oleh faktor perimbangan

antara faktor agresif (asam dan pepsin) dan faktor pertahanan (defensif) dari mukosa. Faktor

pertahanan ini antara lain adalah pembentukan dan sekresi mukus, sekresi bikarbonat, aliran

darah mukosa dan regenerasi epitel. Kejadian ulkus lambung lebih dipengaruhi oleh

gangguan faktor pertahanan mukosa (defensif) saluran cerna dibandingkan faktor agresif

(asam dan pepsin). Apabila pertahanan mukosa terganggu maka baru timbul ulkus peptik.

Di samping faktor agresif dan faktor pertahanan, ada faktor lain yang termasuk faktor

predisposisi (kontribusi) untuk terjadinya ulkus peptik antara lain daerah geografis, jenis

kelamin, faktor stress, herediter, merokok, obat-obatan dan infeksi bakteria (Julius, 1992).

Gangguan lambung yang juga sering terjadi adalah gastritis. Gastritis adalah

inflammasi (peradangan) dari mukosa lambung termasuk gastritis erosif yang disebabkan

oleh iritasi, refluks cairan kandung empedu dan pankreas, hemorrhagic gastritis, infectious

gastritis dan atrofi mukosa lambung (Guyton dan Hall 1997). Mekanisme kerusakan mukosa


(34)

asam lambung dan pepsin dengan produksi mukus, bikarbonat dan aliran darah (Julius,

1992).

Gastritis dapat hanya superfisial atau dapat menembus lebih dalam ke mukosa

lambung. Beberapa bahan yang dimakan seperti alkohol dan aspirin dapat sangat merusak

sawar pertahanan lambung. Bahan-bahan tersebut dapat merusak mukosa kelenjar dan

sambungan epitel yang rapat (tight epithelial junctions) di antara sel pelapis lambung hingga

sering menyebabkan gastritis akut atau kronis berat (Guyton dan Hall, 1997).

2.5 Efek Samping HCl pada Lambung

Meningkatnya asam lambung akan mengakibatkan perubahan pepsinogen menjadi

pepsin yang akan menurunkan fungsi sawar lambung. Sawar lambung yang kehilangan

fungsinya tersebut akan mengakibatkan penghancuran kapiler dan vena darah sehingga akan

terjadi pendarahan. Asam yang tinggi tersebut juga mencetuskan terlepasnya histamin


(35)

BAB III

METODE PENELITIAN 3.1 Alat–alat

Alat-alat yang digunakan adalah Neraca listrik (Boeco), mikroskop (Olympus), pH

meter (Hanna), penunjuk waktu (stopwatch), Viskometer Brookfield, Viskometer Oswalt,

statif, klem, termometer 110°C, pipet volume (Pyrex), gelas ukur (Pyrex), pipet tetes, bola

karet, labu tentukur (Pyrex), kamera digital (canon ixus 8 mpixel), sonde tikus, spuit,

lumpang, stamper, alat bedah, mikrotom (Leica), penangas air, oven, kaca objek, kaca

penutup dan alat–alat gelas lainnya.

3.2 Bahan-bahan

Bahan–bahan yang digunakan adalah natrium alginat 300 – 400 cps (Wako Pure

Chemical Industries, Ltd Japan), gula pasir, nipagin (Merck), asam klorida (Merck), NaCl

(Merck), akuades, larutan formaldehid 10%, aseton (Merck), etanol 96% (Merck), etanol

90% (Merck), etanol 80% (Merck), etanol 70% (Merck), parafin cair (Merck), xylol (Merck),

xilena (Merck), larutan hematosilin 0,2% (Merck), larutan eosin 1% (Merck), canada balsem

(Merck).

3.3 Prosedur

3.3.1 Pembuatan Sirup Simpleks

Ditara gelas beker, kemudian ditimbang 65 g sukrosa. Ditambahkan 30 ml akuades ke

dalam gelas beker kemudian diaduk. Dipanaskan hingga larut dan berwarna jernih.


(36)

3.3.2 Pembuatan Sirup Alginat

R/ Natrium Alginat     1% (b/v) 

  Nipagin    0,025% (b/v) 

  Sirup Simpleks    20% (v/v) 

  Akuades    ad 100 ml 

  Dilarutkan natrium alginat dalam  sebagian akuades kemudian didiamkan selama 24  jam. Diaduk  hingga homogen,  lalu  ditambahkan  sirup  simpleks. Setelah  itu  dilarutkan  nipagin dengan menggunakan air panas, didinginkan lalu dicampurkan ke dalam sirup.  Diaduk hingga homogen lalu tambahkan akuades hingga 100 ml.  

3.3.3 Pengujian Stabilitas Sirup Alginat

Pengujian stabilitas sirup alginat dilakukan selama 24 minggudengan selang

pengujian 1 minggu dimana sirup alginat disimpan di dua suhu yang berbeda, yaitu: suhu

kamar (28°C) dan lemari pendingin (15°C). Pengujian-pengujian yang dilakukan meliputi:

pengujian organoleptis, viskositas, pH, dan berat jenis dari sirup alginat.

3.3.3.1 Pengujian Organoleptis

Sirup alginat diamati warna dan baunya, kemudian diminum untuk mengetahui rasa

sirup.

3.3.3.2 Pengujian Viskositas

Pengujian menggunakan Viskometer Brokfield (Lampiran 5). Viskometer diletakkan

ditempat yang datar kemudian diatur bulatan pada waterpass. Dipasang spindel nomor 62 dan

speed 12 (faktor koreksi = 25). Masukkan sirup alginat ke dalam gelas beker sebanyak 300

ml. Celupkan spindel ke dalam sirup alginat sampai batas pencelupan. Jalankan viskometer

kemudian baca skala yang ditunjukkan oleh jarum. Viskositas sirup alginat didapat dengan

mengalikan skala yang terbaca dengan faktor koreksi.


(37)

Pengujian pH menggunakan pH meter Hanna (Lampiran 6). Sebelum digunakan pH

meter terlebih dahulu dikalibrasi dengan larutan buffer netral (pH = 7,01) kemudian

dikalibrasi lagi dengan buffer asam (pH = 4,01). Sirup alginat dimasukkan ke dalam gelas

beker 100 ml sebanyak 50 ml. Celupkan pH meter ke dalam sirup, biarkan hingga pH yang

ditunjukkan pada layar stabil. Dicatat pH yang tertera pada layar.

3.3.3.4 Pengujian Berat Jenis

Menggunakan metode gravimetri (Lampiran 7). Timbang cawan porselin dengan

menggunakan neraca analitik sebanyak 3 kali. Sebanyak 5 ml sirup alginat diambil dengan

menggunakan pipet volume lalu dimasukkan ke dalam cawan porselin. Ditimbang cawan

yang berisi sirup. Berat jenis sirup alginat didapat dengan membagikan selisih dari cawan

berisi sirup dan cawan yang kosong dengan volume sirup yang diambil.

3.3.4 Pengujian Berat Molekul Natrium Alginat

Berat molekul natrium alginat ditentukan dengan menggunakan viskometer kapiler

(Viskometer Oswalt) (Lampiran 8) mengikuti metode Smidsrod, et.al., 1968; Bangun, 1990).

3.3.4.1 Pembuatan Larutan NaCl 0,1 N

Ditimbang 5,884 g NaCl kemudian dilarutkan ke dalam akuades. Cukupkan dengan

akuades hingga 1000 ml.

3.3.4.2 Pembuatam Larutan Induk Baku (LIB I) Larutan Natrium Alginat

Dilarutkan 100 mg natrium alginat dengan larutan NaCl 0,1 N. Dicukupkan dengan

larutan NaCl 0,1 N hingga 1000 ml (1000 ppm).

3.3.4.3 Pembuatan Larutan uji

Dibuat larutan natrium alginat dengan konsentrasi 10 ppm, 20 ppm, 30 ppm, 40 ppm,

80 ppm, dan 120 ppm dengan cara mencampurkan masing-masing 0,25 ml; 0,5 ml; 0,75 ml; 1


(38)

konsentrasi dikerjakan 2 kali untuk kemudiaan disimpan pada suhu yang berbeda, yaitu: pada

suhu kamar (28°C) dan di dalam lemari pendingin (15°C). Untuk larutan natrium alginat

yang disimpan pada suhu 15°C, sebelum dilakukan penentuan waktu alir maka larutan

terlebih dulu dibiarkan hingga suhu larutan sama dengan suhu kamar (28°C).

3.3.4.3 Penentuan Waktu Alir

3.3.4.3.1 Penentuan Waktu Alir Larutan NaCl 0,1 N

Larutan NaCl 0,1 N dimasukkan ke dalam Viskometer Oswalt sampai bola sampel

terisi penuh. Dipasang bola karet pada pipa kapiler sebelah kanan lalu sedot larutan hingga

melewati garis batas 1. Dicatat waktu yang diperlukan oleh larutan NaCl 0,1 N untuk

mengalir dari garis batas 1 ke garis batas 2. Lakukan pengukuran sebanyak 3 kali.

3.3.4.3.2 Penentuan Waktu Alir Larutan Natrium Alginat

Larutan natrium alginat 10 ppm dimasukkan ke dalam Viskometer Oswalt sampai

bola sampel terisi penuh. Dipasang bola karet pada pipa kapiler sebelah kanan lalu sedot

larutan hingga melewati garis batas 1. Dicatat waktu yang diperlukan oleh larutan natrium

alginat 10 ppm untuk mengalir dari garis batas 1 ke garis batas 2. Lakukan pengukuran

sebanyak 3 kali. Ulangi prosedur di atas dengan menggunakan larutan natrium alginat 20

ppm, 30 ppm, 40 ppm, 80 ppm, dan 80 ppm.

3.3.4.5 Penentuan Berat Molekul

Viskositas Relatif (ɳrel) natrium alginat didapatkan dengan membagikan waktu alir larutan sodium alginat dengan waktu alir larutan NaCl 0,1 M. Viskositas Spesifik (ɳsp) diperoleh dengan menggunakan rumus:

ɳsp = ɳnrel – 1

Bila ɳsp diplot dengan konsentrasi (konsentrasi natrium alginat) maka akan didapatkan suatu garis lurus. Jika garis tersebut diektrapolarisasikan hingga menyinggung sumbu Y maka akan


(39)

Berat molekul didapatkan dengan menggunakan persamaan berikut:

[ɳ] = 2.0 x 10-5 M di mana:

ɳ = viskositas intrinsik M = berat molekul

3.3.5 Pencegahan ulkus lambung

Uji ini dilakukan untuk mengetahui apakah 2,5 ml sirup alginat yang diberikan 30

menit sebelum pemberian 1 ml asam klorida 0,6 N dapat mencegah terjadinya ulkus lambung

pada tikus yang diinduksi dengan asam.

3.3.5.1 Hewan percobaan

Hewan yang digunakan adalah tikus jantan sehat dengan berat badan 150-200 mg

sebanyak 30 ekor dipelihara dalam kandang yang sesuai, diberi makanan dan minuman yang

sesuai, dipuasakan dari semua pemberian obat minimal 2 minggu sebelum diberi perlakuan.

3.3.5.2 Prosedur pecegahan ulkus

Prosedur pencegahan ulkus menggunakan metode yang dilakukan oleh Deshpande,

et,al., 2003. Tikus dipuasakan selama 36 jam dengan tujuan mendapatkan lambung yang

relatif bersih dari makanan. Tikus dibagi 4 kelompok masing – masing 6 ekor, kelompok 1

diberi 2,5 ml aquades secara per oral, kelompok 2 diberikan 2,5 ml akuades setelah 30 menit

diberikan 1 ml asam klorida 0,6 N secara per oral, kelompok 3 diberikan 2,5 ml sirup alginat

r.p. setelah 30 menit diberikan 1 ml asam klorida 0,6 N secara per oral, kelompok 4 diberikan

2,5 ml sirup alginat yang telah disimpan selama 12 minggu pada suhu kamar setelah 30

menit diberikan 1 ml asam klorida 0,6 N secara per oral. Setelah 1 jam pemberiaan HCl 0,6

N, tikus dibunuh dengan menggunakan eter. Lambung diambil kemudian dicuci dengan

menggunakan larutan NaCl 0,9% setelah itu diamati mukosa lambung (makroskopis)


(40)

dengan pewarnaan haematoxylin-eosin dan diamati secara mikroskopis dengan menggunakan

mikroskop cahaya dengan perbesaran 10x10 dan 10x40.

3.3.5.3 Pembuatan Preparat Mikroskopik

Pembuatan preparat mikroskopik sampai siap untuk dilihat secara mikroskopik terdiri

dari tahap-tahap sebagai berikut:

1. Spesimen dipotong sesuai dengan yang diinginkan setebal 1‐2 mm.  2. Difiksasi dengan menggunakan larutan formalin 10% minimal 6‐7 jam. 

3. Difiksasi kembali dengan menggunakan larutan formalin 10% (1) dan (2) masing‐ masing selama 1 jam. 

4. Dehidrasi dengan merendam spesimen ke dalam alkohol 70%, 80%, dan 96% masing‐ masing selama 90 menit. Tahap dehidrasi bertujuan untuk mengeluarkan air dari  jaringan yang telah difiksasi agar nantinya mudah dilakukan parafinisasi. 

5. Penjernihan dengan merendam spesimen kedalam xilena (1), (2), dan (3) masing‐ masing selama 2 jam. Tahap penjernihan bertujuan untuk mengeluarkan alkohol dari  jaringan. 

6. Embending  dengan  menggunakan  paraffin  cair  56°C  (1) dan  (2) masing‐masing  selama 2 jam. 

7. Blocking pada cassete dan didinginkan pada suhu 4°C beberapa saat. 

8. Spesimen  dipotong  dengan  menggunakan  mikrotom  (Leica)  setebal  2‐3  µm  kemudian diletakkan di atas kaca objek yang telah diolesi gliserin. 

9. Dilakukan deparafinisasi dengan menggunakan xylol (1), (2), dan (3) masing‐masing  selama 15 menit. 

10. Direhidrasi dengan menggunakan alkohol 96%, 80%, dan 50% masing‐masing selama  15 menit. 


(41)

11. Dibersihkan  dengan  menggunakan  air  mengalir  kemudian  diwarnai  dengan  pewarnaan haematoxyline‐eosin (rendam ke dalam zat warna Haematoxyline mayers  selama 5 menit kemudian cuci dengan air mengalir, setelah itu direndam ke dalam  larutan eosin 1% selama 1 menit). 

12. Dihidrasi  dengan  etanol  80%,  96%,  dan  absolut  masing‐masing  1  menit  lalu  dikeringkan. 

13. Direndam dalam larutan xilena selama 1 menit, kemudian ditutup dengan kaca objek  yang telah diberi Canada balsem (Entellan®). 


(42)

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1Spesifikasi Sirup Alginat 4.1.1 Viskositas Sirup Alginat

Viskositas sirup alginat diukur dengan menggunakan Viskometer Brookfield. Dari hasil

pengukuran viskositas sirup alginat diperoleh viskositas sebesar 150 cp.

4.1.2 pH Sirup Alginat

pH sirup alginat diukur dengan menggunakan pH meter Hanna. Dari hasil pengukuran

pH diperoleh pH sirup alginat sebesar 6. Hal ini menunjukkan bahwa sirup alginat bersifat

sedikit asam.

4.1.3 Berat Jenis Sirup Alginat

Berat jenis sirup alginat diukur dengan menggunakan metode gravimetri. Dari hasil  pengukuran diperoleh berat jenis sirup alginat sebesar 1,2 g/ml.  

4.1.4 Organoleptis Sirup Alginat  

Organoleptis sirup alginat dilihat dari pengujian warna, bau dan rasa sirup alginat.

Sirup alginat memiliki warna bening kekuningan, berbau alginat dan memiliki rasa manis.

4.2 Uji Stabilitas Sirup Alginat

4.2.1 Stabilitas Sirup Alginat pada Suhu Kamar (28°C)

Pada pengujian stabilitas sirup alginat ditentukan setiap 1 minggu selama 24 minggu

dengan melakukan pengujian viskositas, pH, berat jenis dan organoleptis diperoleh perubahan

yang terjadi selama 24 minggu pengujian.

Hasil pengujian tersebut dapat dilihat dalam Lampiran 1 dan Tabel 4.1 sebagai berikut.

Tabel 4.1 Perubahan Viskositas, pH, Berat Jenis, dan Organoleptis Sirup Alginat pada Penyimpanan Suhu Kamar (28°C)


(43)

No. Hari (minggu) Viskositas (cp) pH Berat Jenis

(g/ml) Warna Bau Rasa

1 0 150 6 1,200 bening kekuningan

berbau

alginat manis

2 1 150 6 1,200 bening kekuningan

berbau

alginat manis

3 2 100 5 1,010 bening kekuningan

berbau

alginat manis

4 3 87,5 4,6 1,010 bening kekuningan

berbau

alginat manis

5 4 37,5 4,3 1,010 bening kekuningan

berbau

alginat manis

6 5 37,5 4,3 1,010 bening kekuningan

berbau

alginat manis

7 6 37,5 4,3 1,010 bening kekuningan

berbau

alginat manis

8 7 37,5 4,3 1,010 bening kekuningan

berbau

alginat manis

9 8 37,5 4,3 1,000 bening kekuningan

berbau

alginat manis

10 9 37,5 4,3 0,990 bening kekuningan

berbau

alginat manis

11 10 37,5 4,3 0,980

bening kekuningan

berbau

alginat manis

12 11 37,5 4,3 0,970

bening kekuningan

berbau

alginat manis

13 12 37,5 4,3 0,970

bening kekuningan

berbau

alginat manis

14 13 37,5 4,3 0,966

bening kekuningan

berbau

alginat manis

15 14 37,5 4,3 0,965

bening kekuningan

berbau

alginat manis

16 15 37,5 4,1 0,965

bening kekuningan

bau

alkohol asam

17 16 37,5 3,8 0,964

bening kekuningan

bau

alkohol asam

18 17 37,5 3,5 0,966

bening kekuningan

bau

alkohol asam

19 18 37,5 3,5 0,964

bening kekuningan

bau

alkohol asam

20 19 37,5 3,5 0,964

bening kekuningan

bau

alkohol asam

21 20 37,5 3,5 0,967

bening kekuningan

bau

alkohol asam

22 24 37,5 3,5 0,965

bening kekuningan

bau

alkohol asam

Dari Tabel 4.1 dapat dilihat bahwa terjadi penurunan viskositas, pH, dan berat jenis dari

sirup alginat setelah penyimpanan 24 minggu pada suhu kamar. Perubahan dari segi

organoleptis mulai terlihat pada minggu ke-15, dimana sirup berbau alkohol dan berasa asam.

Penurunan viskositas yang terjadi disebabkan oleh penurunan berat molekul dari


(44)

Penurunan berat jenis sirup alginat disebabkan karena penurunan viskositas dari sirup,

dimana sirup menjadi lebih encer. Penurunan pH disebabkan karena bertambahanya

konsentrasi H+ pada sirup. Bertambahnya konsentrasi H+ disebabkan oleh karena

terbentuknya asam asetat yang diperoleh dari hasil oksidasi senyawa alkohol yang didapat

dari hasil fermentasi sukrosa. Pembentukan asam asetat tersebut juga menyebabkan

perubahan rasa sirup menjadi asam.

Dari Tabel 4.1 dapat disimpulkan bahwa sirup alginat tidak stabil secara fisika dan

kimia apabila disimpan pada suhu kamar.

4.2.2 Stabilitas Sirup Alginat di Dalam Lemari Pendingin (15°C)

Pada pengujian stabilitas sirup alginat ditentukan setiap 1 minggu selama 24 minggu.

Hasil pengujian tersebut dapat dilihat dalam Lampiran 2 dan Tabel 4.2.

Dapat dilihat dari Tabel 4.2 bahwa terjadi penurunan viskositas, pH, dan berat jenis dari

sirup alginat setelah penyimpanan 24 minggu pada suhu kamar. Penurunan viskositas yang

terjadi disebabkan oleh penurunan berat molekul dari sodium alginat yang terkandung dalam

sirup, seperti yang dapat dilihat pada gambar 4.6, dimana terjadi pemutusan ikatan glikosida

dari rantai penyusun alginat. Penurunan berat jenis sirup alginat disebabkan karena

penurunan viskositas dari sirup, dimana sirup menjadi lebih encer. Penurunan pH disebabkan

karena bertambahanya konsentrasi H+ pada sirup. Bertambahnya konsentrasi H+ disebabkan

oleh karena terbentuknya asam asetat. Pembentukan asam asetat tersebut juga menyebabkan

perubahan rasa sirup menjadi asam. Sedangkan dari segi organoleptis (warna, bau, dan rasa)

dari sirup alginat penyimpanan 24 minggu di dalam lemari pendingin adalah sama dengan

organoleptis sirup alginat r.p.


(45)

Penyimpanan di Dalam Lemari Pendingin (15°C)

No Hari (minggu)

Viskositas (Cp) pH

Berat Jenis

(g/ml) Warna Bau Rasa 1 0 150 6 1,2 bening

kekuningan

berbau

alginat manis 2 1 150 5,4 1,2 bening

kekuningan

berbau

alginat manis 3 2 137,5 5,4 1,11 bening

kekuningan

berbau

alginat manis 4 3 137,5 5,4 1,11 bening

kekuningan

berbau

alginat manis 5 4 137,5 5,4 1,11 bening

kekuningan

berbau

alginat manis 6 5 137,5 5,4 1,11 bening

kekuningan

berbau

alginat manis 7 6 137,5 5,4 1,11 bening

kekuningan

berbau

alginat manis 8 7 137,5 5,4 1,11 bening

kekuningan

berbau

alginat manis 9 8 137,5 5,4 1,11 bening

kekuningan

berbau

alginat manis 10 9 137,5 5,4 1,11 bening

kekuningan

berbau

alginat manis 11 10 137,5 5,4 1,11 bening

kekuningan

berbau

alginat manis 12 11 137,5 5,4 1,11 bening

kekuningan

berbau

alginat manis 13 12 137,5 5,4 1,11 kekuningan bening berbau alginat manis 14 13 137,5 5,4 1,11 bening

kekuningan

berbau

alginat manis 15 14 137,5 5,4 1,11 bening

kekuningan

bau

alginat manis 16 15 137,5 5,4 1,11 kekuningan bening alginat bau manis 17 16 137,5 5,4 1,11 bening

kekuningan

bau

alginat manis 18 17 137,5 5,4 1,11 bening

kekuningan

bau

alginat manis 19 18 137,5 5,4 1,11 kekuningan bening alginat bau manis 20 19 137,5 5,4 1,11 bening

kekuningan

bau

alginat manis 21 20 137,5 5,4 1,11 bening

kekuningan

bau

alginat manis 22 24 137,5 5,4 1,11 bening

kekuningan

bau

alginat manis

4.2.3 Perbandingan Stabilitas Sirup Alginat pada Penyimpanan Suhu Kamar (28°C) dan di Dalam Lemari Pendingin (15°C)

4.2.3.1Perbandingan Viskositas Sirup Alginat pada Penyimpanan Suhu Kamar (28°C) dan di Dalam Lemari Pendingin (15°C)

Viskositas sirup alginat yang disimpan pada suhu kamar dan suhu di dalam lemari

pendingin terlihat adanya perbedaan dalam penurunan viskositas. Perbedaan tersebut dapat


(46)

Gambar 4.1 Perbandingan Viskositas Sirup Alginat Penyimpanan Suhu Kamar (28°C ) dan di Dalam Lemari Pendingin (15°C)

Dari Gambar 4.1 dapat dilihat bahwa penurunan viskositas sirup alginat lebih cepat

terjadi apabila sirup alginat disimpan pada suhu kamar. Pada penyimpanan suhu kamar,

terjadi penurunan viskositas sebesar 113,5 cP dalam kurun waktu 4 minggu sedangkan pada

sirup alginat yang disimpan di dalam lemari pendingin hanya terjadi penurunan viskositas

sebesar 13,5 cP.

Penurunan ini terjadi karena proses degradasi natrium alginat yang terdapat dalam

sirup. Degradasi yang terjadi berupa proses β-eliminasi dari alginat sehingga terjadi pemutusan ikatan glikosida pada rantai penyusun polimer alginat yang menyebabkan rantai

bertambah pendek (Andersen, 2012).

Setelah dilakukan uji statistik dari viskositas sirup alginat pada penyimpanan suhu

kamar dan suhu 15°C menggunakan metode Independent sample t-test dengan tingkat

kepercayaan 95% (α = 0,05) menunjukkan ada perbedaan signifikan antara viskositas sirup alginat pada penyimpanan suhu kamar dan di dalam lemari pendingin. Sehingga diketahui


(47)

4.2.3.2Perbandingan pH Sirup Alginat pada Penyimpanan Suhu Kamar (28°C) dan di Dalam Lemari Pendingin (15°C)

pH sirup alginat yang disimpan pada suhu kamar dan di dalam lemari pendingin

terlihat adanya perbedaan dalam penurunan pH. Perbedaan tersebut dapat dilihat pada

Gambar 4.2 berikut ini.

Gambar 4.2 Perbandingan pH Sirup Alginat Penyimpanan Suhu Kamar (28°C) dan di Dalam Lemari Pendingin (15°C)

Dari Gambar 4.2 dapat dilihat bahwa sirup alginat lebih stabil disimpan di dalam lemari

pendingin dari pada disimpan pada suhu kamar. Hal ini dapat dilihat dari besarnya

penurunan pH yang terjadi. Pada penyimpanan sirup alginat di dalam lemari pendingin hanya

mengalami penurunan pH sebesar 0,6, sedangkan pada suhu kamar terjadi penurunan pH

sebesar 2,5.

Setelah dilakukan uji statistik pH sirup alginat pada penyimpanan suhu kamar dan suhu

15°C menggunakan metode Independent sample t-test dengan tingkat kepercayaan 95% (α = 0,05) menunjukkan ada perbedaan signifikan antara pH sirup alginat pada penyimpanan suhu

kamar dan di dalam lemari pendingin. Sehingga diketahui bahwa suhu penyimpanan

mempengaruhi pH sirup alginat.

4.2.3.3Perbandingan Berat Jenis Sirup Alginat pada Penyimpanan Suhu Kamar (28°C ) dan di Dalam Lemari Pendingin (15°C)


(48)

Berat jenis sirup alginat yang disimpan pada suhu kamar dan di dalam lemari

pendingin terlihat adanya perbedaan dalam penurunan berat jenis. Perbedaan tersebut dapat

dilihat pada Lampiran 3 dan Gambar 4.3 berikut ini.

Gambar 4.3 Perbandingan Berat Jenis Sirup Alginat Penyimpanan Suhu Kamar (28°C) Dan Suhu 15°C

Pada Gambar 4.3 dapat dilihat bahwa besarnya penurunan berat jenis sirup alginat

pada penyimpanan suhu kamar dan di dalam lemari pendingin berbeda. Terlihat bahwa

penurunan berat jenis sirup alginat lebih besar terjadi pada sirup alginat yang disimpan pada

suhu kamar dibandingkan dengan sirup alginat yang disimpan di dalam lemari pendingin.

Sirup alginat yang disimpan pada suhu kamar setelah 24 minggu mempunyai berat jenis

sebesar 0,97 g/ml (penurunan sebesar 0,25 g/ml) ,sedangkan sirup alginat yang disimpan

didalam lemari pendingin mempunyai berat jenis sebesar 1,11 g/ml (penurunan sebesar 0,09

g/ml).

Setelah dilakukan uji statistik berat jenis sirup alginat pada penyimpanan suhu kamar

dan suhu 15°C menggunakan metode Independent sample t-test dengan tingkat kepercayaan

95% (α = 0,05) menunjukkan ada perbedaan signifikan antara berat jenis sirup alginat pada penyimpanan suhu kamar dan di dalam lemari pendingin. Sehingga diketahui bahwa suhu


(49)

4.3 Pengaruh Penyimpanan Terhadap Berat Molekul Natrium Alginat

Salah satu faktor penyebab penurunan viskositas sirup alginat adalah karena

menurunnya berat molekul dari natrium alginat yang terkandung dalam sirup alginat, oleh

sebab itu dilakukan pengukuran berat molekul sodium alginat selama 24 minggu dengan

selang waktu pengukuran 1 minggu. Contoh hasil epengukuran berat molekul natrium alginat

dapat dilihat pada Gambar 4.4 berikut ini.

Gambar 4.4 Grafik untuk Menentukan Berat Molekul Natrium Alginat Tabel 4.3. Pengaruh Penyimpanan Terhadap Berat Molekul Natrium Alginat

No Hari (minggu)

Berat Molekul Natrium Alginat Penyimpanan Suhu Kamar

Penyimpanan di Dalam Lemari Pendingin 1 0 580900 580900 2 1 502150 544650 3 2 487050 494400 4 3 391000 491250 5 4 340850 465300 6 5 339800 449100 7 6 339500 438700 8 7 332450 435200 9 8 330750 434300 10 9 330400 434200 11 10 330350 425400 12 11 329300 423800 13 12 328700 420650 14 20 291765 383027


(50)

Gambar 4.5 Pengaruh Penyimpanan Terhadap Berat Molekul Natrium Alginat

Dari Lampiran 4, Tabel 4.3, dan Gambar 4.5 tersebut dapat dilihat bahwa terdapat

penurunan berat molekul sodium alginat selama penyimpanan. Penurunan tersebut terjadi

lebih besar pada penyimpanan suhu kamar dibandingkan dengan suhu 15°C. Oleh sebab itu,

sodium alginat lebih stabil pada penyimpanan suhu 15°C. Data tersebut mendukung

penurunan viskositas sirup alginat yang terjadi. Penurunan berat molekul natrium alginat

disebabkan oleh pemutuusan ikatan glikosida dari rantai alginat sehingga rantainya menjadi

lebih pendek. Proses pemutusan rantai depat dilihat pada Gambar 4.6 berikut ini.

Gambar 4.6 Reaksi Pemutusan Rantai Alginat (Pawar and Edgar, 2012)

Serbuk natrium alginat yang murni akan mempunyai waktu paruh hingga beberapa


(51)

matahari. Apabila disimpan pada lemari pembeku, natrium alginat akan dapat disimpan

dalam waktu beberapa tahun tanpa adanya penurunan berat molekul yang signifikan. Akan

tetapi, apabila disimpan pada temperatur biasa natrium alginat menjadi tidak stabil karena

terjadinya proses degradasi (Draget, 2005).

Setelah dilakukan uji statistik berat molekul sodium alginat pada penyimpanan suhu

kamar dan suhu 15°C menggunakan metode Independent sample t-test dengan tingkat

kepercayaan 95% (α = 0,05) menunjukkan ada perbedaan signifikan antara berat molekul sodium alginat pada penyimpanan suhu kamar dan di dalam lemari pendingin. Sehingga

diketahui bahwa suhu penyimpanan mempengaruhi berat molekul sirup alginat.

4.4 Efek Mukoprotektif Sirup Alginat

Efek mukoprotektif ditunjukkan dengan kemampuan sirup alginat yang diberikan

setengah jam sebelum pemberian asam untuk mencegah terjadinya ulkus yang diinduksi oleh

asam. Efek mukoprotektif sirup alginat diuji dengan menggunakan sirup alginat r.p. dan sirup

alginat penyimpanan 12 minggu pada suhu kamar.

4.4.1 Pengamatan Makroskopis Lambung Tikus 4.4.1.1 Lambung Tampak Luar

Dari Gambar 4.7 dapat kita lihat bahwa lambung dengan pemberiaan asam terdapat

akumulasi gas yang berlebih sehingga lambung terlihat lebih besar dari lambung normal..

Sedangkan pada tikus yang diberikan sirup alginat 30 menit sebelum pemberian asam

akumulasi gas hanya sedikit.


(52)

Gambar 4.7 Makroskopis Lambung Tikus (Tampak Luar). A: Kontrol menunjukkan tidak adanya akumulasi gas (normal). B: HCl 0,6 M menunjukkan adanya akumulasi gas ( ). C: Sirup alginat r.p. menunjukkan adanya akumulasi gas (sedikit) ( ). D: Sirup alginat penyimpanan 12 minggu menunjukkan adanya akumulasi gas (sedikit) ( ).

4.4.1.2 Lambung Tampak Dalam (Mukosa Lambung)

Dari Tabel 4.4 dan Gambar 4.8 dapat dilihat pengaruh asam dan efek sirup alginat pada

mukosa lambung.

Tabel 4.4 Perbandingan Jumlah Ulkus yang Terbentuk pada lambung Tikus antara Kontrol, Pemberian HCl Dengan dan Tanpa Pemberian Sirup Alginat

No

Perlakuan

Kontrol (akuades) 1ml HCl 0,6 M

Sirup alginat r.p. + 1ml HCl 0,6 M

Sirup alginat 12 minggu pada suhu kamar + 1ml HCl 0,6

M

1 0 5 0 0

2 0 4 0 0

3 0 3 0 0

4 0 4 0 0

5 0 4 0 0

6 0 3 0 0

C D

A B

D


(53)

Gambar 4.8 Mukosa Lambung Tikus. A: Kontrol. B: Sirup Alginat r.p. C: Sirup alginat penyimpanan 12 minggu. D: HCl 0,6 N menunjukkan terjadinya luka ( : luka).

Dari Gambar 4.8 dapat kita lihat bahwa pada mukosa lambung tikus yang hanya hanya

diberikan akuades saja tidak terjadi pendarahan, tetapi dengan pemberian asam klorida 0,6 N

terdapat ulkus pada lambung tikus. Menurut Price and Wilson (1995), meningkatnya asam

lambung akan mengakibatkan perubahan pepsinogen menjadi pepsin yang akan menurunkan

fungsi sawar lambung. Sawar lambug yang kehilangan fungsinya tersebut akan

mengakibatkan penghancuran kapiler dan vena darah sehingga akan terjadi pendarahan.

Asam yang tinggi tersebut juga mencetuskan terlepasnya histamin sehingga terjadi

vasodilatasi yang meningkatkan pendarahan.

Efek gastroprotektif dari sirup alginat terhadap ulkus pada lambung tikus yang

diinduksi dengan asam ditunjukkan dengan tidak terdapatnya ulkus pada mukosa lambung

tikus dengan pemberian sirup alginat baik yang disimpan pada suhu kamar dan sirup alginat

r.p. 30 menit sebelum pemberian HCl 0,6 N. Efek gastroprotektif diuji secara makroskopis

yang dilihat dari ada tidaknya ulkus dan secara mikroskopis yang dilihat dengan metode

histopatologi jaringan lambung tikus. Pemberian sirup alginat akan meningkatkan efek

pertahanan mukosa lambung terhadap asam sehingga asam tidak dapat menembus dalam

mukosa lambung.

Dapat disimpulkan bahwa pemberian sirup alginat setengah jam sebelum pemberian

asam dapat mencegah terjadinya ulkus pada lambung tikus. Sirup alginat r.p. dan

C


(54)

4.4.2 Pengamatan Mikroskopis Lambung Tikus

Selain pengamatan secara makroskopis juga dilakukan pengamatan secara mikroskopis

yaitu dengan melakukan uji histologi pada jaringan lambung tikus. Uji histologi dilakukan

terhadap tiga ekor tikus dari masing-masing kelompok. Hasil histologi juga menunjukkan

adanya efek gastroprotektif dari sirup alginat. Dari Gambar 4.9(a) dapat kita lihat bahwa pada

tikus dengan pemberian akuades (kontrol), kohesi antar sel masih bagus. Sedangkan pada

tikus yang diberikan 1 ml HCl 0,6 N (per oral) tanpa pemberian sirup alginat terjadi

kerusakan pada sel lambung. Hal ini kita lihat dari struktur permukaan epitel mukosa

lambung yang mengalami kerusakan berupa kohesi antar sel yang rusak dan terjadi erosi pada

sel epitel. Sedangkan, baik pada tikus yang diberikan sirup alginat r.p. dan sirup alginat

penyimpanan pada suhu kamar (12 minggu) kohesi antar sel mukosa masih bagus dan tidak

terjadi erosi pada sel epitel. Dari hal tersebut dapat kita simpulkan bahwa sirup alginat baik

r.p. maupun yang telah disimpan selama 12 minggu pada suhu kamar dapat mencegah

terjadinya ulkus lambung yang disebabkan oleh asam.

A B


(55)

Gambar 4.9 Gambaran Histologis Jaringan Lambung Tikus dengan Pewarnaan HE, Perbesaran 10x10. A: Kontrol. B: Sirup Alginat r.p. menunjukkan sel-sel epitel normal ( ) C: Alginat penyimpanan 12 minggu menunjukkan sel-sel epitel norma l ( ). D: HCl 0,6 N menunjukkan sel-sel epitel yang mengalami erosi ( ).

Pada Gambar 4.10 dapat dilihat dengan lebih jelas kohesi antara sel pada sel-sel lambung.

Pada gambar (a), (b), dan (c) dapat dilihat bahwa kohesi antar sel masih bagus, sedangkan

pada gambar (d) kohesi antar sel telah rusak. Kerusakan tersebut disebabkan oleh karena

pemberian 1 ml asam klorida 0,6 M. Dari gambar dapat disimpulkan bahwa baik sirup alginat

r.p. maupun sirup alginat yang telah dimpanan selama 12 minggu pada suhu kamar dapat

mencegah luka pada lambung.

`

Gambar 4.10 Gambaran Histologis Jaringan Mukosa Lambung Tikus dengan Pewarnaan HE, Perbesaran 10x40. A: Kontrol. B: Sirup Alginat r.p. menunjukkan kohesi antar sel yang bagus C: Alginat penyimpanan 12 minggu menunjukkan kohesi antar sel yang bagus. D: HCl 0,6 N menunjukkan kohesi antar sel epitel yang rusak.

A B


(56)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN 5.1Kesimpulan

1. Penyimpanan mempengaruhi stabilitas sirup alginat, dimana sirup alginat yang

disimpan pada suhu kamar mengalami penurunan viskositas, pH, dan berat jenis

yang lebih besar dibandingkan dengan sirup alginat yang disimpan didalam

lemari pendingin (15°C).

2. Penyimpanan mempengaruhi berat molekul natrium alginat, dimana natrium

alginat yang disimpan pada suhu kamar mengalami penurunan berat molekul

yang lebih besar dibandingkan dengan natrium alginat yang disimpan di dalam

lemari pendingin (15°C).

3. HCl dapat menyebabkan terjadinya ulkus pada lambung tikus.

4. Baik sirup alginat r.p. maupun sirup alginat yang telah disimpan selama 12

minggu pada suhu kamar yang diberikan sebanyak 2,5 ml 30 menit sebelum

pemberian asam dapat mencegah terjadinya ulkus yang diinduksi oleh asam.

5.2Saran

Sebaiknya digunakan larutan buffer supaya pH sediaan tetap terjaga, dilakukan

pengujian lebih lanjut mengenai waktu kadaluarsa, dan dilakukan pengujian volume


(57)

DAFTAR PUSTAKA

Amandeep, K., et al. (2012). Peptic Ulcer: A Review on Etiologi and Pathogenesis. International Research Journal of Pharmacy. 3(1): 86-90.

Ansel, H.C. (1989). Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi. Edisi keempat. Jakarta: UI-Press. Halaman: 326-342.

Andersen, I., Smidsrod, O., dan Hammer, P.C. (2012). Some biological Function of Matrix Components in Benthic Algae in Relation to Their Chemistry and The Composition of Seawater. ASC Symp. 48(1): 361-381.

Attwood, D., dan Florence, A.T. (1988). Dasar-dasar Fisikokimia Farmasi. London: Chapman and Hall, Inc. Halaman 81-153.

Bangun,H. (1990). Sweeling and Shrinking Properties of Alginate Gel. Dissertation. Halaman: 37-41.

Beveleander, G., dan Ramaley, J.A. (1988). Dasar-dasar Histologi. Edisi kedelapan. Alih bahasa Dr. Ir. Wisnu Gunarso. Jakarta: Penerbit Erlangga. Halaman 245-253.

Bringman, T., dan Brigman, C.F. (1995). Introduction to Functional Telford Brigman Histology. Edisi kedua. Philadelphia: Harper Collins College Publisher. Halaman 313-316.

Brown, R.H., dan Hardisty, J.F. (1990). Pathology of The Fischer Rat: Reffence and Atlas.

San Diego: Academic Press, Inc. Halaman 9-14.

Deshpande, S.S., Shah, G.B., dan Parmar, N.S. (2002). Antiulcer Activity of Thephrosia purpurea in Rats.Indian Journal of Pharmacology. 35(1):168-172.

Draget, K.I., Smidsrod, O., dan Sjak-Braek, G. (2005). Alginate from Algae. Weinheim: WILEY-CVH Verlag GmbH & Co. KgaA. Halaman 1-25.

Frappier, B. (1998). Textbook of Veterinary Histology. Edisi kelima. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins. Halaman 179-183.

Gartner, L., dan Hiatt, J.L. (2001). Colour Textbook of Histology. Edisi kedua. Philadelphia: W.B. Saunders Company. Halaman 383-396.

Guyton, A.C., dan Hall, J.E. (1997). Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi kesembilan. Jakarta: EGC. Halaman 589-608.

Junqueira, L.C., Carneiro, J., dan Kelley, R.O. (1995). Basic Histology. Edisi kedelapan. London: Prentice Hall International. Halaman 281-285.

Julius. (1992). Patogenesis Tukak Peptik. Cermin Dunia Kedokteran. 79(1): 9-13.

Kartasasmita, R.E. (2002). Perkembangan Obat Anti Radang Bukan Steroid. Acta Pharmaceutica Indonesia. 27(1): 75-91.


(58)

Malik, A. (1992). Mekanisme Proteksi Saluran Cerna. Cermin Dunia Kedokteran. 79(1): 5-8.

Malole, M.B.M., dan Pramono, C.S.U. (1989). Penggunaan Hewan-hewan Percobaan di Laboratorium. Bogor: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi Pusat Antar Universitas Bioteknologi Intitut Pertanian Bogor. Halaman 104-112.

Meilani, D. (2010). Pencegahan dan Pengobatan Ulkus Saluran Cerna Kelinci pada Penggunaan Asetosal dengan Menggunakan Alginat. Tesis. Medan: Fakultas Farmasi. Halaman 1-55.

Miller, G.K.L. (1996). Comparative Anatomy of The Vertebrates. Edisi kedelapan. Newyork: Brown Publisher. Halaman 279-281.

Nairin, J.G. (2000). Solutions, Emultions, Suspensions, and Extracts. dalam Remington: The Science and Practice of Pharmacy. Volume 1. Editor: Alfonso Gennaro. London: Lippincott Williams & Wilkins. Halaman 730-734.

Pawar, S.N., dan Edgar, K. (2012). Alginate Derivation: A Review of Chemistry, Properties, and Applications. Biomaterials. 33(1): 3279-3305.

Price, S.A., dan Wilson, L.M. (1995). Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-proses Penyakit. Edisi Keempat. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. Halaman 246-274.

Radhika, J., dan Ganesh, K. (2012). Protective Effect of Annona Squamosa Linn. Leaf Extract on HCl-Ethonal Induced Gastric Ulcer in Albino Rats. International Journal of Pharmacy and Pharmaceutical Science. 4(2): 83-85.

Rees, D.A., dan Welsh, E.J. (1977). Secondary and Tertiary Structure of Polysaccharidas in Solutions and Gel. Angew.Chem.Int.Edit. 16(1): 214-224.

Smidsrod, O., dan Haug, A. (1969). The Influence of Reducing Substance on The Rate of Degradation of Alginate. Atta Chem. Scand. 22(1): 769.

Vadas, E.B. (2010). Stability of Pharmaceutical Products. dalam Remington: The Science and Practice of Pharmacy. Volume 1. Editor: Alfonso Gennaro. London: Lippincott Williams & Wilkins. Halaman 988-989.

WHO. (1997). Quality Assurance of Pharmaceuticals: A Compendium Guidelines and Related Materials. Volume 1. Geneva: World Health Organization. Halaman 45-65.

Wilson, L.M., dan Lester, L. (1994). Lambung dan Duodenum: Patofisiologi Konsep Klinis Proses-proses Penyakit. Edisi keempat. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. Halaman 371-386.


(1)

Sirup alginat penyimpanan 3 bulan (1) Sirup alginat penyimpanan 3 bulan (2)

Sirup alginat penyimpanan 3 bulan (3) Sirup alginat penyimpanan 3 bulan (4)


(2)

HCl 0,6 M (1) HCl 0,6 M (2)


(3)

Lampiran 11. Gambar Histologi Jaringan Lambung Tikus

kontrol (1) 10 x 10 kontrol (1) 10 x 40

kontrol (2) 10 x 10 kontrol (2) 10 x 40


(4)

HCl 0,6 M (1) 10 x 10 HCl 0,6 M (1) 10 x 40

HCl 0,6 M (2) 10 x 10 HCl 0,6 M (2) 10 x 40


(5)

Alginat penyimpanan 0 minggu (1) Alginat penyimpanan 0 minggu (1)

10 x 10 10 x 40

Alginat penyimpanan 0 minggu (2) Alginat penyimpanan 0 minggu (2)

10 x 10 10 x 40

Alginat penyimpanan 0 minggu (3) Alginat penyimpanan 0 minggu (3)


(6)

Alginat penyimpanan 12 minggu (1) Alginat penyimpanan 12 minggu (1)

10 x 10 10 x 40

Alginat penyimpanan 12 minggu (2) Alginat penyimpanan 12 minggu (2)

10 x 10 10 x 40

Alginat penyimpanan 12 minggu (3) Alginat penyimpanan 12 minggu (3)