2.1.4 Kategori Pengetahuan
Untuk mengetahui secara kualitas tingkat pengetahuan yang di miliki oleh seseorang dapat dibagi menjadi tiga tingkat, yaitu :
1. Tingkat Pengetahuan baik bila skor atau nilai 76-100
2. Tingkat Pengetahuan cukup bila skor atau nilai 56-75
3. TingkatPengetahuan kurang bila skor atau nilai 56
Nursalam, 2008
2.1.5 Pengukuran Pengetahuan
Pengukuran pengetahuan dapat dilakukan dengan wawancara atau angket yang menanyakan tentang isi materi yang akan di ukur dari subjek penelitian atau
responden. Kedalaman pengetahuan yang ingin kita ketahui atau kita ukur dapat disesuaikan dengan tingkatan-tingkatan di atas Notoatmodjo, 2007.
2.2 Perawat 2.2.1 Perawat
Perawat adalah seseorang yang sudah menyelesaikan program pendidikan keperawatan, berwenang di negara bersangkutan untuk memberikan pelayanan,
dan penanggung jawaban dalam peningkatan kesehatan, pencegahan penyakit serta pelayanan terhadap pasien Ali, 2001.
Perawat adalah seseorang yang telah lulus pendidikan perawat baik didalam maupun diluar negeri sesuai dengan ketentuan peraturan undang-undang
yang berlaku mejalankan praktek keperawatan harus santiasa meningkatkan mutu pelayanan profesional, dengan mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi melalui pendidikan dan pelatihan sesuai dengan bidangnya Kustanto, 2004.
2.2.2 Fungsi Perawat
Fungsi merupakan suatu pekerjaan yang dilakukan sesuai dengan perannya, fungsi perawat tersebut dapat diubah disesuaikan dengan keadaan yang
ada. Dalam menjalankan perannya perawat akan melaksanakan berbagai fungsi diantaranya adalah fungsi Indenpenden, fungsi Dependen dan fungsi
Interdependen .
1. Fungsi Independen
Merupakan fungsi mandiri dan tidak tergantung pada orang merupakan fungsi dalam melaksanakan tugasnya dilakukan secara sendiri dengan keputusan
sendiri dalam melakukan dalam rangka memenuhi kebutuhan dasar manusia. 2.
Fungsi Dependen Merupakan fungsi perawat dalam melaksanakan kegiatannya atau pesan
intruksi dari perawat lain, sehingga sebagai tindakan pelimpahan tugas yang diberikan. Hal ini biasanya di lakukan perawat umum.
3. Fungsi Interdependen
Fungsi ini dilakukan dalam kelompok tim yang bersifat saling ketergantungan diantara tim yang lain. Fungsi ini dapat terjadi apabila bentuk pelayanan
membutuhkan kerjasama tim dalam pemberian pelayanan seperti dalam memberikan asuhan keperawatan pada penderita yang mempunyai penyakit
kompleks Hidayat, 2007.
2.3 Halusinasi 2.3.1 Defenisi
Halusinasi adalah hilangnya kemampuan manusia dalam membedakan rangsangan internal pikiran dan rangsangan eksternal dunia luar. Klien
memberi persepsi atau pendapat tentang lingkungan tanpa ada objek atau rangsangan yang nyata. Sebagai contoh klien mengatakan mendengar suara
padahal tidak ada orang yang berbicara Kusumawati Hartono, 2010. Halusinasi adalah salah satu gejala gangguan jiwa pada individu yang
ditandai dengan perubahan sensori persepsi; merasakan sensasi palsu berupa suara, penglihatan, pengecapan perabaan atau penghiduan. Pasien merasakan
stimulus yang sebenarnya tidak ada Keliat Akemat, 2009. Halusinasi termasuk gologan dari skizofrenia yang merupakan suatu
deskripsi sindrom dengan variasi penyebab banyak belum diketahui dan penyakit tak selalu bersifat kronis atau “deteriorating” yang luas serta sejumlah
akibat yang tergantung pada perimbangan pengaruh genetik, fisik, dan sosial budaya PPGDJ-III, 2001.
Halusinasi adalah persepsi sensori yang palsu yang tidak disertai dengan stimuli eksternal yang nyata, mungkin terdapat atau tidak terdapat interpretasi
waham tentang pengalaman halusinasi Kaplan-Sadock, 2010
2.3.2 Klasifikasi Halusinasi
Menurut Stuart 2007, jenis halusinasi antara lain :
1. Halusinasi Pendengaran Auditorik
Karakteristik ditandai dengan mendengar suara, tertama suara-suara orang, bisanya klien mendengar suara orang yang sedang membicarakan apa yang
sedang dipikirkannya dan memerintahkan untuk melakukan sesuatu. 2.
Halusinasi Penglihatan Visual Karakteristik dengan adanya stimulus penglihatan dalam bentuk pencaran
cahaya, gambaran geometrik, gambar kartun danatau panorama yang luas dan kompleks. Penglihatan bisa menyenangkan atau menakutkan.
3. Halusinasi Penghidu Olfactory
Karakteristik ditandai dengan adanya bau busuk, amis, dan bau yang menjijikkan seperti : darah, urine, atau feses. Kadang-kadang terhidu bau
harum. Biasanya berhubungan dengan stroke, tumor, kejang dan dementia. 4.
Halusinasi Peraba Tactile Karakteristik ditandai dengan adanya rasa sakit atau tidak enak tanpa stimulus
yang terlihat. Contoh : mersakan sensai listrik datang dari tanah, benda mati atau orang lain.
5. Halusinasi Pengecap Gustatory
Karakteristik ditandai dengan merasakan sesuatu yang busuk, amis dan menjijikkan, merasa mengecap rasa seprti rasa darah, urine atau feses.
6. Halusinasi Sinestetik
Karakteristik ditandai dengan merasakan fungsi tubuh seperti darah mengalir melalui vena atau arteri, makanan dicerna atau pembentukan urine.
7. Halusinasi Kinesthetic
Merasakan pergerakan sementara berdiri tanpa bergerak.
2.3.3 Proses Terjadinya Halusinasi
Fase halusinasi ada 4, yaitu Stuart dan Laraia, 2001 : 1.
Comforting Klien mengalami perasaan mendalam seperti ansietas sedang, kesepian, rasa
bersalah dan takut serta mencoba untuk berfokus pada pikiran yang menyenangkan untuk meredakan ansietas. Disini klien tersenyum dan tertawa
yang tidak sesuai, menggerakkan lidah tanpa suara, pergerakan mata yang cepat, diam dan asyik.
2. Condemning
Pada ansietas berat pengalaman sensori yang menjijikkan dan menakutkan. Klien mulai lepas kendali dan mungkin mencoba untuk emngambil jarak
dirinya dengan sumber yang dipersepsikan. Disini terjadi peningkatan tanda- tanda vital denyut jantung, pernafasan dan tekanan darah, asyik dengan
pengalaman sensori dan kehilangan kemampuan untuk membedakan halusinasi dengan realita.
3. Controlling
Pada ansietas berat, klien berhenti menghentikan perlawanan terhadap halusinasi dan menyerah pada halusinasi tersebut. Disini klien sukar
berhubungan dengan orang lain,berkeringat, tremor, tidak mampu mematuhi perintah dari orang lain dan berada dalam kondisi yang sangat menegangkan
terutama jika akan berhubungan dengan orang lain. 4.
Consquering Terjadi pada panik pengalaman sensori menjadi mengancam jika klien
mengikuti perintah halusinasi. Disini terjadi perilaku kekerasan, agitasi, menarik diri, tidak mampu berespon terhadap perintah yang kompleks dan
tidak mampu berespon lebih dari 1 orang. kondisi klien sangat membahayakan.
2.3.4 Faktor Penyebab Halusinasi
1. Faktor predisposisi
a. Faktor Perkembangan
Tugas perkembangan klien yang terganggu misalnya rendahnya kontrol dan kehangatan keluarga menyebabkan klien tidak mampu mandiri sejak
kecil, mudah frustasi, hilang percaya diri dan lebih rentan terhadap stress. b.
Faktor Sosiokultural Seseorang yang merasa tidak diterima lingkungannya sejak bayi
unwanted child akan merasa disingkirkan, kesepian, dan tidak percaya pada lingkungannya.
2. Faktor Biokimia
Mempunyai pengaruh terhadap terjadinya gangguan jiwa. Adanya stress yang berlebihan dialami seseorang maka didalam tubuh akan dihasilkan suatu zat
yang dapat bersifat halusinogenik neurokimia seperti Buffofenon dan
Dimetytranferase DMP. Akibat stress berkepanjangan menyebabkan
teraktivasinya neurotransmitter otak. Misalnya terjadi ketidakseimbangan acetylcholine
dan dopamine. 3.
Faktor Psikologis Tipe kepribadian lemah dan tidak bertanggung jawab mudah terjerumus pada
penyalahgunaan zat adiktif. Hal ini berpengaruh pada ketidakmampuan klien dalam mengambil keputusan yang tepat demi masa depannya. Klien lebih
memilih kesenangan sesaat dan lari dari alam nyata menuju alam hayal. 4.
Faktor Genetik Penelitian menunjukkan bahwa anak sehat yang diasuh oleh orangtua
skizofrenia cenderung mengalami skizofrenia. Hasil studi menunjukkan bahwa faktor keluarga menunjukkan hubungan yang sangat berpengaruh pada
penyakit ini Yosep, 2011. 5.
Faktor Presipitasi a.
Perilaku Respons klien terhadap halusinasi dapat berupa curiga, ketakutan,
perasaan tidak aman, gelisah, dan bingung, perilaku merusak diri, kurang perhatian, tidak mampu mengambil keputusan serta tidak dapat
membedakan keadaan nyata dan tidak nyata. Menurut Rawlins dan Heacock 1993, memecahkan masalah halusinasi berlandaskan atas
hakikat keberadaan seorang individu sebagai makhluk yang dibangun atas dasar unsur-unsur bio-psiko-sosio-spiritual sehingga halusinasi
dalam dilihat dari lima dimensi yaitu:
1 Dimensi Fisik
Halusinasi dapat ditimbulkan oleh beberapa kondisi fisik seperti kelelahan yang luar biasa, penggunaan obat-obatan, demam hingga
delirium, intoksikasi alkohol dan kesulitan untuk tidur dalam waktu yang lama.
2 Dimensi Emosional
Perasaan cemas yang berlebihan atas dasar problem yang tidak dapat diatasi merupakan penyebab halusinasi itu terjadi. Isi dari halusinasi
dapat berupa perintah memaksa dan menakutkan. Klien tidak sanggup lagi menentang perintah tersebut hingga dengan kondisi
tersebut klien berbuat sesuatu terhadap ketakutan tersebut. 3
Dimensi Intelektual Dalam dimensi intelektual ini menerangkan bahwa individu dengan
halusinasi akan memperlihatkan adanya penurunan fungsi ego. Pada awalnya halusinasi merupakan usaha dari ego sendiri untuk melawan
impuls yang menekan, namun merupakan suatu hal yang menimbulkan kewaspadaan yang dapat mengambil seluruh perhatian
klien dan tak jarang akan mengontrol semua perilaku klien. 4
Dimensi Sosial Klien mengalami gangguan interaksi sosial dalam fase awal dan
comforting, klien menganggap bahwa hidup bersosialisasi di dunia
nyata sangat membahayakan. Klien asyik dengan halusinasinya, seolah-olah ia merupakan tempat untuk memenuhi akan interaksi
sosial, kontrol diri dan haga diri yang tidak didapatkan dalam dunia nyata. Isi halusinasi dijadikan sistem kontrol oleh individu tersebut,
sehingga jika perintah halusinasi berupa ancaman, dirinya atau orang lain individu cenderung untuk itu. Oleh karena itu, aspek penting
dalam melaksanakan intervensi keperawatan klien dengan mengupayakan suatu proses interaksi yang menimbulkan
pengalaman interpersonal yang memuaskan, serta mengusahakan klien tidak menyendiri sehingga klien selalu berinteraksi dengan
lingkungannya dan halusinasi tidak berlangsung. 5
Dimensi Spiritual Secara spiritual klien halusinasi mulai dengan kehampaan hidup,
rutinitas tidak bemakna, hilangnya aktivitas ibadah dan jarang berupaya secara spiritual untuk menyucikan diri. Irama
sirkardiannya terganggu, karena ia sering tidur larut malam dan bangun sangat siang. Saat terbangun merasa hampa dan tidak jelas
tujuan hidupnya. Ia sering memaki takdir tetapi lemah dalam upaya menjemput rejeki, menyalahkan lingkungan dan orang lain yang
menyebabkan takdirnya memburuk Yosep, 2011.
2.3.5 Tahapan Halusinasi
Gangguan persepsi yang utama pada pasien skizoprenia adalah halusinasi, sehingga halusinasi menjadi bagian hidup klien. Biasanya dirangsang oleh
kecemasan, gangguan harga diri, kritis diri atau mengingkari rangsangan terhadap
kenyataan. Halusinasi pendengaran adalah paling utama pada pasien skizoprenia, suara-suara biasanya berasal dari tuhan, setan, tiruan atau relatif.
Ada empat tahapan halusinasi, karakteristik dan perilaku yang ditampilkan.
Tabel 2 Tahapan, Karakteristik dan Perilaku Klien.
Tahap Karakteristik Perilaku Klien
Tahap I -
Memberi rasa nyaman, tingkat
ansietas sedang secara umum,
halusinasi merupakan
suatu kesenangan.
- Mengalami ansietas,
kesepian, rasa bersalah dan ketakutan.
- Mencoba berfokus pada
pikiran yang dapat menghilangkan ansietas
- Fikiran dan pengalaman
sensori masih ada dalam kontol kesadaran,
nonpsikotik. -
Tersenyum, tertawa sendiri
- Menggerakkan bibir
tanpa suara -
Pergerakkan mata yang cepat
- Respon verbal yang
lambat -
Diam dan berkonsentrasi
Tahap II -
Menyalahkan -
Tingkat kecemasan berat
secara umum halusinasi
menyebabkan perasaan
antipati -
Pengalaman sensori menakutkan
- Merasa dilecehkan oleh
pengalaman sensori tersebut
- Mulai merasa
kehilangan kontrol -
Menarik diri dari orang lain non psikotik
- Terjadi peningkatan
denyut jantung, pernafasan dan tekanan
darah
- Perhatian dengan
lingkungan berkurang -
Konsentrasi terhadap pengalaman sensori kerja
- Kehilangan kemampuan
membedakan halusinasi dengan realitas
Tahap III -
Mengontrol -
Tingkat kecemasan berat
- Pengalaman
halusinasi tidak dapat ditolak
lagi -
Klien menyerah dan menerima pengalaman
sensori halusinasi -
Isi halusinasi menjadi atraktif
- Kesepian bila
pengalaman sensori berakhir psikotik
- Perintah halusinasi ditaati
- Sulit berhubungan dengan
orang lain -
Perhatian terhadap lingkungan berkurang
hanya beberapa detik -
Tidak mampu mengikuti perintah dari perawat,
tremor dan berkeringat.
Tahap IV -
Klien sudah dikuasai oleh
halusinasi -
Klien panik Pengalaman sensori
mungkin menakutkan jika individu tidak mengikuti
perintah halusinasi, bisa berlangsung dalam
beberapa jam atau hari apabila tidak ada
intervensi terapeutik. -
Perilaku panik -
Resiko tinggi mencederai -
Agitasi atau kataton -
Tidak mampu berespon terhadap lingkungan
Erlinafsiah, 2010.
2.3.6 Penatalaksanaan pada Pasien Halusinasi
Penatalaksanaan klien skizoprenia adalah dengan pemberian obat-obatan dan tindakan lain, yaitu :
2.3.6.1 Penatalaksanaan Medis
1. Psikofarmakologis
Gejala halusinasi sebagai salah satu gejala psikotikskizofrenia biasanya diatasi dengan menggunakan obat-obatan anti psikotik antara lain golongan
butirofenon: Haloperidol, Haldol, Serenace, Ludomer. Pada kondisi akut biasanya diberikan dalam bentuk injeksi 3 x 5 mg via
im. Pemberian injeksi biasanya cukup 3 x 24 jam. Setelahnya klien biasanya diberikan obat per oral 3 x 1,5 mg atau 3 x 5 mg. Golongan fenotiazine:
ChlorpromazineLargactilePromactile. Biasanya diberikan per oral. Kondisi akut
biasanya diberikan 3 x 100 mg. Apabila kondisi sudah stabil dosis dapat dikurangi 1 x 100 mg pada malam hari saja Yosep, 2011.
a. Terapi kejang listrikelectro compulsive therapy ECT
b. Terapi Aktivitas Kelompok TAK
Purba, 2012.
2.3.6.2 Asuhan Keperawatan Pasien Halusinasi
Gangguan persepsi sensori : halusinasi merupakan salah satu masalah keperawatan yang dapat ditemukan pada pasien gangguan jiwa. Bagian ini berisi
pedoman agar perawat dapat memberikan asuhan keperawatan kepada pasien
yang mengalami halusinasi. 1.
Pengkajian
Halusinasi adalah salah satu gejala gangguan jiwa pada individu yang ditandai dengan perubahan sensori persepsi, merasakan sensasi palsu berupa
suara, penglihatan, pengecapan perabaan atau penghiduan. Pasien merasakan stimulus yang sebenarnya tidak ada.
Pada proses pengkajian, data penting yang perlu anda dapatkan adalah sebagai berikut :
a. Jenis dan isi halusinasi
Berikut ini adalah jenis halusinasi menurut data objektif dan subjektifnya. Data subjektif dapat dikaji dengan cara mengobservasi perilaku pasien,
sedangkan data subjektif dapat dikaji dengan melakukan wawancara dengan pasien. Melalui data ini, perawat dapat mengetahui isi halusinasi
pasien. b.
Waktu, frekuensi dan situasi yang menyebabkan halusinasi Perawat juga perlu mengkaji waktu, frekuensi, dan situasi munculnya
halusinasi yang dialami oleh pasien. Kapan halusinasi terjadi? Jika mungkin jam berapa? Frekuensi terjadinya apakah terus-menerus atau
hanya sesekali? Situasi terjadinya, apakah jika sedang sendiri, atau setelah
terjadi kejadian tertentu? Hal ini dilakukan untuk menentukan intervensi khusus pada waktu terjadinya halusinasi sehingga pasien tidak larut
dengan halusinasinya. Dengan mengetahui frekuensi terjadinya halusinasi, tindakan untuk mencegah terjadinya halusinasi dapat direncanakan.
c. Respons Halusinasi
Untuk mengetahui apa yang dilakukan pasien ketika halusinasi itu muncul, perawat dapat menanyakan kepada pasien tentang perasaan atau tindakan
pasien saat halusinasi terjadi. Perawat dapat juga menanyakan kepada keluarga atau orang terdekat dengan pasien atau dengan mengobservasi
perilaku pasien saat halusinasi muncul. Pendokumentasian asuhan keperawatan dilakukan pada setiap tahap proses
keperawatan. Oleh karena itu, dokumentasi asuhan keperawatan jiwa harus mencantumkan dokumentasi pengkajian, diagnosis keperawatan,
perencanaan, implementasi dan evaluasi Deden,2013
2. Diagnosis Keperawatan
Dengan menggunakan istilah “Diagnosis Keperawatan” jelas bahwa perawat adalah penegak diagnosis. Sebelum masa ini, penilaian klinia digunakan
dalam praktik klinik untuk menetapkan fokus asuhan keperawatan yang tidak jelas atau belum memiliki istilah. Akan tetapi,, dengan diawalinya klasifikasi diagnosis
keperawatan yang formal ini, perawat telah menerima secara luas sebagai penegak diagnosis yang harus menggunakan proses diagnostik dan berkolaborasi dengan
individu yang mereka asuh guna mengidentifikasi diagnosis yang tepat untuk mengarahkan asuhan keperawatan yang dilakukan. Hal ini karena fokus asuhan
keperawatan adalah individu yang seutuhnya atau pencapaian kesejahteraan dan aktualisasi diri individu. Pengalaman dan respon individu terhadap masalah
kesehatan dan proses kehidupan memiliki makna khusus bagi mereka, dan makna tersebut diidentifikasi dengan bantuan perawat NANDA- I, 2012
3. Tindakan Keperawatan
Dalam tindakan keperawatan ada beberapa hal yang dilakukan dalam implementasi yang bisa dilakukan oleh perawat terdiri dari:
a. Do melakukan, implementasi pelaksanaan kegiatan dibagi dalam
beberapa kriteria, yaitu: 1
Dependent interventions : dilaksanakan dengan mengikuti order dari pemberi perawatan kesehatan lain.
2 Collaborative interdependent : intervensi yang dilaksanakan dengan
profesional lain. 3
Independent autonomus intervention : intervensi dilakukan dengan melakukan nursing orders dan sering juga digabungkan dengan order
dari medis. 4
Delegate mendelegasikan : pelaksanaan order bisa didelegasikan hanya saja ada beberapa tanggung jawab yang perlu dicermati oleh
pemberi delegasi yaitu apakah tugas tersebut tepat untuk didelegasikan, apakah komunikasi tepat dilakukan dan apakah ada
supervisi atau pengecekan kerja. 5
Record mencatat, pencatatan bisa dilakukan dengan berbagai format tergantung pilihan dari setiap institusi Wilkinson, 2007
Tindakan keperawatan pada pasien halusinasi, yaitu sebagai berikut : a.
Tindakan keperawatan pada pasien 1
Tujuan keperawatan a
Pasien dapat mengenali halusinasi yang dialaminya. b
Pasien dapat mengontrol halusinasinya. c
Pasien mengikuti program pengobatan secara optimal. 2
Tindakan Keperawatan a
Membantu pasien mengenali halusinasi Untuk membantu pasien mengenali halusinasi, perawat dapat
berdiskusi dengan pasien tentang isi halusinasi apa yang didengar,dilihat,atau dirasa, waktu terjadi halusinasi, frekuensi
terjadinya halusinasi, situasi yang menyebabkan halusinasi muncul dan respons pasien pada saat halusnasi muncul.
b Melatih pasien mengontrol halusinasi
Untuk membantu pasien agar mampu mengontrol halusinasi, perawat dapat melatih pasien empat cara yang sudah terbukti
dapat mengendalikan halusinasi. Keempat cara mengontrol halusinasi adalah sebagai berikut :
1. Menghardik Halusinasi
Menghardik halusinasi adalah cara mengendalikan diri terhadap halusinasi dengan cara menolak halusinasi yang
muncul. Pasien dilatih untuk mengatakan tidak terhadap halusinasi yang muncul atau tidak mempedulikan
halusinasinya. Jika ini dapat dilakukan, pasien akan mampu mengendalikan diri dan tidak mengikuti halusinasi yang
muncul. Mungkin halusinasi tetap ada, tetapi dengan kemampuan ini pasien, tidak akan larut untuk menuruti
halusinasinya. Berikut ini tahapan intervensi yang dilakukan perawat dalam mengajarkan pasien.
a. Menjelaskan cara menghardik halusinasi
b. Memperagakan cara menghardik
c. Meminta pasien memperagakan ulang
d. Memantau penerapan cara, menguatkan perilaku pasien.
2. Bercakap-cakap dengan orang lain
Bercakap-cakap dengan orang lain dapat memebantu mengontrol halusinasi. Ketika pasien bercakap-cakap dengan
orang lain, terjadi distraksi, fokus perhatian pasien akan beralih dari halusinasi ke percakapan yang dilakukan dengan
orang lain Deden, 2013. 3.
Melakukan aktivitas yang terjadwal Untuk mengurangi risiko halusinasi muncul lagi adalah
dengan menyibukkan diri melakukan aktivitas yang teratur. Dengan beraktivitas secara terjadwal, pasien tidak akan
mengalami banyak waktu luang sendiri yang sering kali mencetuskan halusinasi. Oleh karena itu, halusinasi dapat
dikontrol dengan cara beraktivitas secara teratur dari bangun
pagi sampai tidur malam. Tahapan intervensi perawat dalam memberikan aktivitas yang terjadwal, yaitu :
a. Menjelaskan pentingnya aktivitas yang teratur untuk
mengatasi halusinasi. b.
Mendiskusikan aktivitas yang biasa dilakukan pasien. c.
Melatih pasien melakukan aktivitas. d.
Menyusun jadwal aktivitas sehari-hari sesuai dengan aktivitas yang telah dilatih. Upayakan pasien mempunyai
aktivitas mulai dari bangun pagi sampai tidur malan. e.
Memantau pelaksanaan jadwal kegiatan, memberikan penguatan terhadap perilaku pasien yang positif
Deden,2013 4.
Minum obat secara teratur Minum obat secara teratur dapat mengontrol halusinasi.
Pasien juga harus dilatih untuk minum obat secara teratur sesuai dengan program terapi dokter. Pasien gangguan jiwa
yang dirawat dirumah sering mengalami putus obat sehingga pasien mengalami kekambuhan. Jika kekambuhan terjadi,
untuk mencapai kondisi seperti semula akan membutuhkan waktu. Oleh karena itu, pasien harus dilatih minum obat
sesuai program dan berkelanjutan. Berikut ini intervensi yang dapat dilakukan perawat agar pasien mau minum obat secara
teratur :
a Jelaskan kegunaan obat.
b Jelaskan akibat jika putus obat.
c Jelaskan cara mendapatkan obat berobat.
d Jelaskan cara minum obat denga prinsip 5 benar benar
obat, benar pasien, benar cara, benar waktu, dan benar dosis
2.4 Strategi Pertemuan pada Pasien Halusinasi SP 1 Strategi Pertemuan 1
: membantu pasien mengenal halusinasi, menjelaskan cara mengontrol halusinasi, mengajarkan pasien mengontrol
halusinasi dengar menghardik halusinasi. 1.
Mengidentifikasi jenis halusinasi. Respon perilaku klien terhadap halusinasi dapat berupa curiga, ketakutan,
rasa tidak aman, gelisah, bingung, perilaku merusak diri, kurang perhatian, tidak mampu mengambil keputusan, bicara inkoheren, bicara sendiri, tidak
membedakan yang nyata dengan yang tidak nyata. Perilaku klien yang mengalami halusinasi sangat tergantung pada jenis halusinasinya. Apabila
perawat mengidentifikasi adanya tanda-tanda dan perilaku halusinasi maka pengkajian selanjutnya harus dilakukan tidak hanya sekedar mengetahui jenis
halusinasi saja Keliat, 2006. 2.
Mengidentifikasi isi halusinasi Perawat dapat mengkaji dengan menanyakan suara siapa yang didengar, apa
yang dikatakan suara itu,jika halusinasi auditorik. Apa bentuk bayangan yang dilihat oleh klien,jika halusinasi visual. Bau apa yang tercium, jika halusinasi
penghidu. Rasa apa yang dikecap jika halusinasi pengecapan. Apa yang dirasakan permukaan tubuh jika halusinasi perabaan Keliat, 2006.
3. Mengidentifikasi waktu dan frekuensi halusinasi.
Perawat juga perlu mengkaji serta menanyakan kepada klien kapan pengalaman halusinasi muncul, berapa kali sehari, seminggu atau sebulan
pengalaman halusinasi itu muncul. Informasi ini sangat penting untuk mengidentifikasi pencetus halusinasi dana menentukan bilamana klien perlu
perhatiaan saat mengalami halusinasi Keliat, 2006. 4.
Mengidentifikasi situasi pencetus halusinasi. 5.
Perawat perlu mengidentifikasi situasi yang dialami sebelum halusinasi muncul. Selain itu, perawat juga bisa mengobservasi apa yang dialami klien
menjelang munculnya halusinasi untuk memvalidasi penyataan klien Keliat, 2006.
6. Mengidentifikasi Respon
Untuk menentukan sejauhmana halusinasi telah mempengaruhi klien bisa dikaji dengan apa yang dilakukan oleh klien saat mengalami pengalaman
halusinasi. Apakah klien masih bisa mengontrol stimulus halusinasinya atau sudah tidak berdaya terhadap halusinasinya.
7. Mengajarkan pasien menghardik halusinasi.
Menghardik halusinasi adalah cara mengendalikan diri terhadap halusinasi dengan cara menolak halusinasi yang muncul. Pasien dilatih untuk
mengatakan tidak terhadap halusinasi yang muncul atau tidak memedulikan halusinasinya. Jika ini dapat dilakukan, pasien akan mampu mengendalikan
diri dan tidak mengikuti halusinasi yang muncul. Mungkin halusinasi tetap ada, tetapi dengan kemampuan ini, pasien tidak akan larut untuk menuruti
halusinasinya. Berikut ini tahapan intervensi yang dilakukan perawat dalam mengajarkan pasien.
a. Menjelaskan cara menghardik halusinasi.
b. Memperagakan cara menghardik.
c. Meminta pasien memperagakan ulang.
d. Memantau penerapan cara, menguatkan perilaku pasien.
Keliat, 2006
SP 2 Strategi Pertemuan 2 : melatih pasien mengontrol halusinasinya dengan
bercakap-cakap bersama orang lain. 1.
Mengidentifikasi respons pasien terhadap halusinasi. Untuk mengetahui dampak halusinasi pada pasien dan apa respons pasien
ketika halusinasi itu muncul perawat dapat menanyakan pada pasien hal yang dirasakan atau dilakukan saat halusinasi timbul. Perawat juga dapat
menanyakan kepada keluarga atau orang terdekat dengan pasien. Selain itu dapat juga dengan mengobservasi dampak halusinasi pada pasien jika
halusinasi muncul Deden, 2013.
SP 3 Strategi Pertemuan 3 : melatih pasien mengontrol halusinasi dengan
melaksanakan aktivitas terjadwal : 1.
Mengevaluasi jadwal kegiatan harian pasien. Perawat bersama-sama dengan pasien mengevaluasi latihan yang sudah
dilakukan perawat.
2. Menganjurkan pasien memasukkan cara menghardik halusinasi dalam jadwal
kegiatan harian Pasien di ajak membuat jadwal latihannya, pada jam-jam berapa saja pasien
mempraktekkan latihan menghardik halusinasinya. 3.
Melatih pasien mengendalikan halusinasi dengan melakukan kegiatan yang biasa dilakukan di rumah sakit.
Untuk mengurangi risiko halusinasi muncul lagi adalah dengan menyibukkan diri melakukan aktivitas yang teratur. Dengan beraktivitas secara terjadwal,
pasien tidak akan mengalami banyak luang waktu sendiri dan sering kali mencetuskan halusinasi. Oleh karena itu halusinasi dapat dikontrol dengan
cara beraktivitas secara teratur dari bangun pagi sampai tidur malam. 4.
Menganjurkan pasien memasukkan dalam jadwal kegiatan harian. Pasien di ajak membuat jadwal latihannya, pada jam-jam berapa saja pasien
mempraktekkan latihan menghardik halusinasinya.
SP 4 Strategi Pertemuan 4
: melatih pasien minum obat secara teratur 1.
Mengevaluasi jadwal kegiatan harian pasien. Perawat bersama-sama dengan pasien mengevaluasi latihan yang sudah
dilakukan perawat. 2.
Memberikan pendidikan kesehatan tentang penggunaan obat secara teratur. Minum obat secara teratur dapat mengontrol halusinasi. Pasien juga harus
dilatih untuk minum obat secara teratur sesuai dengan program terapi dokter. Pasien gangguan jiwa yang dirawat di rumah sering mengalami putus obat
sehingga pasien mengalami kekambuhan. Jika kekambuhan terjadi, untuk
mencapai kondisi seperti semula akan membutuhkan waktu. Oleh karena itu pasien dilatih minum obat sesuai program dan berkelanjutan. Purba, 2009.
35
BAB 3 KERANGKA KONSEP
3.1 Kerangka Konsep Penelitian
Kerangka konsep penelitian pada dasarnya adalah kerangka hubungan antara konsep-konsep yang ingin diamatidiukur melalui penelitian yang akan
dilakukan. Adapun yang menjadi kerangka konsep dalam penelitian ini dibuat berdasarkan teorikonsep dalam Depkes RI 1994.
Adapun kerangka dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : Variabel
Independent Variabel
Dependent
Skema 3.1 : Hubungan Tingkat Pengetahuan Perawat Dengan Penerapan Strategi Pelaksanaan Pada Pasien Halusinasi
di RSJD PROVSU Medan.
3.2. Defenisi Operasional
Menurut Setiadi 2007, defenisi operasional merupakan penjelasan semua variabel dan istilah yang akan digunakan dalam penelitian operasional sehingga
akhirnya mempermudah pembaca dalam mengartikan makna penelitian sebagai berikut, untuk mengetahui tingkat pengetahuan tentang strategi pelaksanaan
Penerapan Strategi Pelaksanaan SP Pada
Pasien Halusinasi : -
Sp I -
Sp II -
Sp III -
Sp IV Tingkat Pengetahuan
perawat : -
Baik
- Cukup
- Kurang