Tujuan Penelitian Penelitian yang Relevan

10 5. Mengetahui model pembelajaran matematika yang efektif antara model PBL atau model pembelajaran dengan pendekatan saintifik dengan settinng kelas kooperatif tipe Jigsaw apabila ditinjau dari prestasi belajar matematika peserta didik. 6. Mengetahui model pembelajaran matematika yang efektif antara model PBL atau model pembelajaran dengan pendekatan saintifik dengan settinng kelas kooperatif tipe Jigsaw apabila ditinjau dari kemampuan komunikasi matematis peserta didik.

F. Manfaat Penelitian

Hasil dari penelitian ini diharapkan mampu memberikan manfaat bagi :

1. Guru

a. Guru dapat menggunakan model pembelajaran yang efektif dalam materi segitiga dan segiempat. b. Guru dapat mengembangkan model pembelajaran yang mampu meningkatkan prestasi belajar peserta didik c. Guru dapat mengembangkan model pembelajaran yang mampu meningkatkan kemampuan komunikasi matematis peserta didik.

2. Peserta didik

a. Peserta didik dapat mengetahui model pembelajaran yang efektif dalam meningkatkan prestasi belajar peserta didik. b. Peserta didik dapat mengetahui model pembelajaran yang efektif dalam meningkatkan kemampuan komunikasi matematis peserta didik.

3. Peneliti

11 a. Peneliti dapat mengetahui model pembelajaran yang efektif dalam meningkatkan prestasi belajar peserta didik. b. Peneliti dapat mengetahui model pembelajaran yang efektif dalam meningkatkan kemampuan komunikasi matematis peserta didik. 12 BAB II BAB II KAJIAN TEORI A. Deskripsi Teoritis 1. Belajar Belajar adalah suatu aktivitas atau suatu proses untuk memperoleh pengetahuan, meningkatkan ketrampilan, memperbaiki perilaku, sikap, dan mengokohkan kepribadian Suyono, 2014 : 9. Belajar tidak pula hanya sebatas mengenai suatu mata pelajaaran. Dijelaskan lebih lanjut menurut Suyono bahwa belajar adalah suatu usaha atau proses untuk memperoleh pengetahuan, meningkatkan ketrampilan, memperbaiki perilaku, sikap, dan mengokohkan kepribadian. Belajar dapat mempengaruhi mental peserta didik. Misalkan dari sesuatu yang belum diketahui atau dikuasai menjadi tahu dan dapat memanfaatkannya. Peserta didik adalah penentu ada atau tidaknya kegiatan belajar. Proses belajar terjadi apabila peserta didik memperoleh sesuatu yang ada di lingkungan sekitar. Pada lingkungan sekitar terdapat keadaan alam, benda – benda, hewan, tumbuh – tumbuhan, manusia, atau hal – hal lain yang dapat dijadikan bahan belajar. Berdasarkan data dari Kemendikbud, bahan ajar merupakan informasi, alat, teks yang diperlukan guru atau instruktur untuk perencanaan dan penelaahan implementasi pembelajaran. Segala hal yang ada di dunia ini dapat digunakan sebagai bahan belajar. Bahan belajar dapat berupa bahan belajar tertulis maupun tidak tertulis. Bahan belajar tertulis yaitu bahan belajar dalam bentuk tercetak seperti buku teks, modul, Lembar Kerja siswa LKS, bahan penyerta, dan belajar 13 dan sebagainya. Sedangkan bahan belajar dalam bentuk tidak tertulis berarti non cetak, dapat berupa kaset, keadaan lingkungan sekitar, program dalam komputer, masalah – masalah yang timbul di lingkungan sekitar, dan sebagainya. Belajar dapat berlangsung apabila terdapat interaksi. Dalam Dimyati dan Mudjiono 2009: 23 , belajar merupakan interaksi antara “keadaan internal dan proses kognitif siswa” dengan “stimulus dari lingkungan”. Proses kognitif adalah suatu tindakan mengenal atau memikirkan situasi dimana tingkah laku terjadi. Sedangkan pada saat yang sama lingkungan memberikan rangsangan atau stimulus – stimulus berupa kejadian – kejadian alamiah maupun yang berkaitan dengan manusia. Interaksi dalam hal ini dapat berlangsunng secara langsung maupun secara tidak langsung. Dengan adanya interaksi tersebut maka peserta didik akan mendapatkan suatu pengalaman. Sejalan dengan definisi tersebut, Paul Chance 2003 juga berpendapat bahwa belajar adalah perubahan perilaku karena pengalaman. Kata perubahan lebih disukai daripada akuisisi karena belajar tidak selalu memperoleh sesuatu tetapi selalu melibatkan beberapa jenis perubahan. Beberapa psikolog mendefinisikan belajar sebagai perubahan dalam struktur kognitif atau sebagai penyimpanan informasi. Dalam pandangan ini, perubahan perilaku hanyalah gejala atau berkorelasi pembelajaran. Beberapa orang berpendapat bahwa belajar lebih tepat didefinisikan sebagai perubahan dalam sistem saraf yang membuat perubahan dalam perilaku. Perubahan –perubahan perilaku tersebut akan menimbulkan suatu pengalaman –pengalaman baru pada peserta didik. Pengalaman yang terjadi 14 berulang kali dapat melahirkan suatu pengetahuan dalam diri peserta didik. Pengetahuan dapat pula dibangun dengan mengumpulkan fakta –fakta. Sebuah pendapat yang menyatakan bahwa pengalaman adalah guru yang terbaik tidaklah berlebihan karena dengan pengalaman –pengalaman yang dimiliki peserta didik, maka peserta didik dapat membangun pengetahuannya sendiri. Belajar dapat dipengaruhi oleh beberapa hal. Pengaruh dalam belajar dapat berasal dari diri peserta didik misalnya motivasi belajar, kecerdasan, ketekunan, atau kondisi fisik dan kesehatan. Pengaruh lainnya berasal dari luar diri peserta didik seperti keluarga, sekolah, atau masyarakat. Pengaruh –pengaruh tersebut dapat mempengaruhi hasil belajar peserta didik Menurut Susanto 2014, hasil belajar dibagi menjadi tiga aspek yaitu pemahaman konsep aspek kognitif, ketrampilan proses aspek psikomotor, dan sikap siswa aspek afektif. Untuk melihat hasil belajar peserta didik dilihat dari pemahaman konsep, guru dapat melakukan evaluasi terhadap suatu materi. Evaluasi ini dapat berupa suatu tes, baik secara lisan maupun tertulis. Seperti yang biasa ada pada sekolah –sekolah evaluasi ini dapat berbentuk ulangan harian, ulangan semesteran, atau ujian praktek. Dalam pengukuran hasil belajar pada ketrampilan proses, hal yang dinilai meliputi kemampuan menggunakan pikiran, nalar, dan perbuatan secara efektif dan efisien untuk mencapai suatu hasil tertentu, termasuk kreativitas peserta didik. Sedangkan dalam hal mengukur sikap peserta didik, hal –hal yang diukur berupa aspek mental peserta didik dan aspek respon fisik. Peserta didik dapat dinilai berdasarkan observasi dalam hal perkataan, tindakan –tindakan, atau gerakan–gerakan badan peserta didik. Hasil–hasil baik 15 dari belajar didapatkan apabila aktivitas belajar selalu diigiatkan. Penggiatan – penggiatan aktivitas belajar ini muncul karena adanya motivasi belajar yang tinggi serta proses belajar yang memacu keaktifan peserta didik.

2. Pembelajaran

Pembelajaran merupakan perubahan yang bertahan lama dalam perilaku atau dalam kapasitas berperilaku dengan cara tertentu yang dihasilkan dari praktik atau bentuk –bentuk pengalaman lainnya Schunk, 2012 : 5. Sedangkan dalam Pasal 1 Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 103 tahun 2014 dijelaskan bahwa pembelajaran adalah proses interaksi antar peserta didik dan antara peserta didik dengan pendidik dan sumber belajar pada suatu lingkungan belajar. Interaksi yang dimaksud pada penjelasan tersebut adalah interaksi langsung yang berlangsung pada lingkungan belajar. Menurut Dale H. Schunk 2012 terdapat beberapa kriteria dalam pembelajaran antara lain : a. Pembelajaran melibatkan perubahan Perubahan dalam perilaku atau dalam kapasitas berperilaku. Orang dikatakan belajar ketika mereka menjadi mampu melakukan suatu hal dengan cara yang berbeda. b. Pembelajaran bertahan lama seiring dengan waktu Perubahan –perubahan sementara yang terjadi apabila terdapat perubahan perilaku pada diri pembelajar namun ketika pemicunya hilang maka perilaku pembelajar akan kembali seperti keadaan semula. Hal tersebut belum bisa disebut sebagai hasil pembelajaran. Namun, pembelajaran bisa juga tidak bertahan selamanya karena terjadinya lupa. Terdapat beberapa pendapat 16 tentang berapa lama perubahan harus bertahan untuk dapat disebut sebagai hasil pembelajaran, tetapi kebanyakan orang sepakat bahwa perubahan yang durasinya singkat misalnya: terjadi beberapa detik tidak dapat dikualifikasikan sebagai pembelajaran. c. Pembelajaran terjadi melalui pengalaman Kriteria ini misalnya pembelajaran dari praktik atau dari mengamati orang lain. Namun kriteria ini tidak mencakup perubahan – perubahan perilaku yang terutama terbentuk karena faktor keturunan seperti perubahan – perubahan kematangan pada anak – anak. Meski demikian, perbedaan antara proses kematangan dan pembelajaran sering tidak bisa dipastikan secara jelas. Pembelajaran adalah upaya mengorganisasi lingkungan untuk menciptakan kondisi belajar bagi peserta didik Hamalik, 2005 : 70. Kondisi belajar yang menyenangkan dapat menumbuhkan kegairahan belajar, namun sebaliknya kondisi yang kacau, ramai, tak tenang, dan banyak gangguan sudah dapat dipastikan tidak dapat menunjang kegiatan belajar yang efektif. Belajar dapat dilakukan dimana saja. Tanpa disadari seseorang setiap harinya telah belajar walaupun ia tidak bersekolah. Namun, sebagian orang masih berpendapat bahwa belajar hanya ada di sekolah. Dalam pembelajaran di sekolah, pelaku utama pembelajaran adalah guru dan peserta didik. Guru dalam menjalankan pembelajaran harus dapat memilih dan menggunakan metode pembelajaran yang tepat. Metode pembelajaran berarti cara yang dilakukan dalam proses pembelajaran sehingga dapat diperoleh hasil yang optimal. Terdapat berbagai macam metode pembelajaran. Beberapa 17 diantaranya adalah metode ceramah, metode tanya jawab, metode bermain peran, metode diskusi, metode eksperimen, metode proyek, dan lain sebagainya. Guru dapat memilih metode pembelajaran yang dipandang tepat dalam kegiatan pembelajarannya. Faktor – faktor yang menentukan dipilihnya suatu metode dalam pembelajaran antara lain tujuan pembelajaran, tingkat kematangan anak didik, dan situasi dan kondisi yang ada dalam proses pembelajaran. Apabila metode pembelajaran yang dipilih telah sesuai maka akan menimbulkan suatu pembelajaran yang efektif. Dalam Reid 2006, sebelum pembelajaran efektif dilaksanakan peserta didik perlu untuk : a. Membaca kebutuhan dari pembelajaran b. Memahami tugas atau informasi yang disajikan c. Mengenali apa tugas atau informasi yang diberikan d. Mengidentifikasi poin – poin penting dalam tugas atau informasi e. Melaksanakan tugas atau menggunakan informasi f. Menjadi „efisien‟ dalam mengakses informasi dan melaksanakan tugas g. Dapat menransfer pembelajaran baru ke pembelajaran yang lain. Reid 2006 berpendapat bahwa pembelajaran berkaitan dengan berpikir dan menyelesaikan masalah, sementara kinerja berkaitan dengan prestasi. Sejalan dengan hal tersebut, Hergenhahn 1997 berpendapat bahwa pembelajaran mengacu pada perubahan potensial perilaku dan kinerja mengacu pada perubahan kemampuan menjadi perilaku. Namun kemampuan yang dibutuhkan untuk kemudahan dalam belajar dan menyelesaikan masalah baru tidak selalu menjadi bukti untuk prestasi belajar, walaupun peserta didik telah melaksanakan 18 pembelajaran dengan baik. Dengan kata lain, pembelajaran yang efektif akan membentuk peserta didik untuk memiliki kemampuan menyelesaikan masalah dalam pembelajaran baru dan pembelajaran yang akan datang berdasarkan pengalaman belajar mereka sebelumnya. Selain pembelajaran efektif terdapat beberapa kualifikasi proses pembelajaran yang baik lainnya. Pemerintah sebagai pelaku sekaligus pengawas pendidikan nasional memiliki harapan bahwa proses pembelajaran pada satuan pendidikan diselenggarakan secara interaktif, inspiratif, menyenangkan, menantang, memotivasi peserta didik untuk berpartisipasi aktif serta memberikan ruang yang cukup bagi prakarsa, kreativitas, dan kemandirian sesuai dengan bakat, minat, dan perkembangan fisik serta psikologis peserta didik. Dalam penyelenggaraan pembelajaran, unsur minimal yang harus ada adalah seorang peserta didik, suatu tujuan, dan suatu prosedur kerja untuk mencapai tujuan. Tujuan belajar adalah sejumlah hasil belajar yang menunjukkan bahwa peserta didik telah melakukan perbuatan belajar. Apabila ketiga unsur tersebut belum terpenuhi maka suatu pembelajaran belum bisa dikatakan dapat berjalan dengan baik. Setelahnya, selain ketiga unsur tersebut Hamalik 2014 menyebutkan dua unsur pembelajaran pada diri guru, yaitu : a. Motivasi membelajarkan peserta didik Motivasi yang dimiliki guru harus timbul dari kesadaran tinggi untuk mendidik peserta didik menjadi warga negara yang baik. Jadi, guru memiliki hasrat untuk menyiapkan peserta didik menjadi pribadi yang memiliki 19 pengetahuan dan kemampuan tertentu. Namun, pada kenyataannya motivasi membelajarkan ini kadang kurang terlihat pada guru. b. Kondisi guru siap membelajarkan peserta didik Guru perlu memiliki kemampuan profesional dan harus dapat berupaya untuk senantiasa meningkatkan kemampuan tersebut agar selalu berada dalam kondisi siap untuk membelajarkan peserta didik. Dalam Hanafiah 2012 pengajar yang profesional harus memiliki : 1 Kompetensi pendagogik; 2 Kompetensi sosial; 3 Komoetensi personal; 4 Kompetensi profesional; 5 Kualifikasi pendidikan yang memadai; 6 Kesejahteraan yang memadai. Sehingga dapat disimpulkan bahwa pembelajaran merupakan proses interaksi yang dapat memberikan pengalaman belajar dengan menggunakan metode yang tepat atau efektif sehingga tercipta suatu pengetahuan baru pada diri peserta didik.

3. Pembelajaran Matematika

Matematika berasal dari bahasa Latin mathematika yang sebelumnya dari bahasa Yunani mathematike yang berarti mempelajari. Asal kata dari matematike adalah mathema yang berarti pengetahuan atau ilmu knowledge, science. Kata mathematike juga berhubungan dengan kata lainnya yang hampir sama, yaitu mathein atau mathenein yang artinya belajar berpikir. Jika dianalisis dari asal katanya, maka matematika berarti ilmu pengetahuan yang didapat dengan berpikir 20 atau bernalar. Matematika lebih menekankan kegiatan dalam penalaran rasio, bukan menekankan dari hasil eksperimen maupun percobaan. Matematika adalah ilmu pasti yang terdapat banyak manipulasi bilangan dan simbol di dalamnya. Matematika berisi mengenai teorema, rumus, hitungan, dan lain sebagainya. Meskipun demikian, matematika memiliki hubungan yang sangat erat dengan kehidupan kita setiap harinya. Matematika digunakan sebagai bahasa, dimana matematika digunakan untuk mengomunikasikan pola dan hubungan konsep dan prinsip. Sehingga penting bagi manusia untuk belajar matematika. Tujuan dari belajar matematika tentunya beragam. Salah satu tujuannya adalah agar apa yang dipelajari memiliki keterarahan, terutama dalam proses pembelajaran di kelas. Tujuan pembelajaran matematika di sekolah menurut Depdiknas 2004 adalah: a. Melatih cara berpikir dan bernalar dalam menarik kesimpulan. b. Mengembangkan aktivitas kreatif yang melibatkan imajinasi, intuisi, dan penemuan dengan mengembangkan pemikiran divergen, orisinil, rasa ingin tahu, membuat prediksi dan dugaan, serta mencoba-coba. c. Mengembangkan kemampuan memecahkan masalah. d. Mengembangkan kemampuan menyampaikan informasi dan mengkomunikasikan gagasan. Dalam pembelajaran matematika, sejatinya guru tidak hanya di depan menjelaskan materi dari awal pembelajaran sampai berakhirnya pembelajaran. Pembelajaran matematika dapat dilaksanakan dengan pembelajaran yang berpusat 21 pada peserta didik. Van De Walle dan kawan – kawan 2014 menjelaskan bahwa dalam pembelajaran matematika yang berpusat pada peserta didik, guru dapat memulai pembelajaran dengan mencari tahu dimana peserta didik berada. Dengan maksud guru mencari sampai dimana pengetahuan peserta didik untuk selanjutnya dapat menerima pengetahuan baru. Kemudian peserta didik membangun pemahaman mereka mengenai matematika karena posisi peserta didik berada pada pusat untuk dapat menjelaskan, memberikan bukti atau pembenaran, menemukan atau menciptakan contoh, menggeneralisasi, menganalisis, membuat prediksi, menerapkan konsep, menggambarkan ide-ide dalam cara yang berbeda, dan mengartikulasikan koneksi atau hubungan antara topik tertentu dan ide lainnya. Dengan membangun pengetahuannya sendiri maka peserta didik dapat dengan mudah memanggil kembali pengetahuan yang telah dimilikinya. Peserta didik yang demikian itulah yang telah melaksanakan suatu pembelajaran bermakna. Dalam Kennedy 2008:48, meaning theory menurut Brownell menjelaskan bahwa peserta didik harus mengerti apa yang sedang mereka pelajari jika pembelajaran yang diinginkan bersifat permanen. Ketika peserta didik membangun sendiri solusi dari suatu permasalahan ketika mereka menyelidiki arti dari suatu konsep matematika dengan memanipulasi materi dan bantuan pembelajaran lain, mereka sedang menunjukkan the meaning theory. Belajar matematika sangat erat pula dengan hubungannya pada pemecahan masalah. Pembelajaran matematika dengan pemecahan masalah dapat membantu pesera didik untuk membangun hubungan dari pemahaman Van De Walle, 2014 : 13. Dalam pembelajaran matematika yang berbasis pemecahan masalah, dibutuhkan 22 pemikiran guru mengenai tipe dari tugas yang diajukan kepada peserta didik, bagaimana guru melakukan ceramah dalam kelas, dan bagaimana guru membantu peserta didik untuk menggunakan bermacam –macam cara sebagai alat untuk memecahkan persoalan, memberikan alasan, dan mengkomunikasikan. Sehingga dapat diambil kesimpulan bahwa pembelajaran matematika adalah pembelajaran mengenai berpikir dan bernalar yang dibangun dari pengetahuan yang telah dimiliki peserta didik hingga peserta didik dapat membangun solusi dari suatu permasalahan.

4. Model Pembelajaran Berbasis Masalah

Pembelajaran berbasis masalah atau sering disebut dengan problem based learning PBL termasuk dalam teori konstrustivisme. Dalam konstruktivisme peserta didik diharapkan dapat membangun sendiri pengetahuan mereka. Proses belajar mengajar lebih fokus pada student centered daripada teacher centered. Sebagian besar waktu proses belajar mengajar berlangsung dengan berbasis pada aktivitas peserta didik. Dengan melihat keadaan bahwa guru tidak akan mampu memberikan semua pengetahuan kepada peserta didik. Meskipun terdapat pembelajaran ceramah dimana menurut Arends 2003, pengajaran langsung dan ceramah lebih cocok untuk menyampaikan informasi dalam jumlah besar. Oleh karena itu, peserta didik perlu dibiasakan untuk memecahkan masalah, menemukan sesuatu yang berguna bagi dirinya, dan bergelut dengan ide – ide yang dimiliki. Selain itu, teori kontruktivisme banyak menekankan pada hakikat sosial dari pembelajaran. 23 Teori kontruktivisme juga banyak berlandaskan pada teori Vygotsky yang telah digunakan untuk menunjang metode pengajaran yang menekankan pada pembelajaran kooperatif, pembelajaran berbasis kegiatan, dan penemuan. Teori Vygotsky yang lain menyatakan bahwa peserta didik belajar konsep paling baik apabila konsep itu berada dalam daerah perkembangan terdekat atau zone of proximal development peserta didik. Berdasarkan teori tersebut, peserta didik lebih mudah menemukan dan memahami konsep –konsep yang sulit apabila mereka saling berdiskusi masalah tersebut dengan temannya. Dalam Arends 2008 para pengembang PBL mendeskripsikan bahwa PBL memiliki fitur –fitur antara lain : a. Pertanyaan atau masalah perangsang. PBL mngorganisasikan pengajaran di seputar pertanyaan dan masalah yang penting secara sosial dan bermakna secara personal bagi siswa. b. Fokus interdisipliner Meskipun PBL dapat dipusatkan pada subjek tertentu sains, matematika sejarah, tetapi masalah yang diinvestigasikan dipilih karena solusinya menuntut siswa untuk menggali banyak subjek. c. Investigasi autentik PBL mengharuskan peserta didik untuk melakukan investigasi autentik yang berusaha menemukan solusi riil untuk masalah riil. d. Produksi artefak dan exhibit PBL menuntut peserta didik untuk mengonstruksi produk dalam bentuk artefak dan exhibit yang menjelaskan atau merepresentasikan produk mereka. 24 e. Kolaborasi PBL ditandai oleh peserta didik yang bekerja besama peserta didik yang lain, paling serimg secara berpasangan atau dalam bentuk kelompok – kelompok kecil. Dalam pembelajaran ini peserta didik dituntut untuk dapat menyelesaikan masalah yang disajikan menggunakan pengetahuan yang telah mereka miliki secara bersama –sama. PBL juga mendukung peserta didik untuk berpikir kritis dalam memecahkan persoalan matematika. PBL menuntut keaktifan peserta didik di dalam proses pembelajarannya. Di awal pembelajaran peserta didik diberi suatu masalah dalam kehidupan sehari –hari yang berkaitan dengan materi yang akan dipelajari pada hari itu. Kemudian peserta didik melakukan penyelidikan bagaimana menyelesaikan permasalahan tersebut hingga ditemukan sebuah solusi. Guru dalam pembelajaran PBL hanya sebagai fasilitator dan bukan merupakan aktor tunggal dalam pembelajaran. Peserta didiklah yang sebagai pemeran utama dalam pembelajaran tersebut. Peran guru dalam PBL adalah menyodorkan masalah autentik, memfasilitasi penyelidikan peserta didik, dan mendukung pembelajaran peserta didik Arends, 2008 :41. Oleh karena itu, setelah mengikuti pembelajaran dengan model PBL, peserta didik diharapkan dapat memperoleh ketrampilan penyelidikan dan ketrampilan mengatasi masalah, perilaku dan ketrampilan sosial sesuai peran orang dewasa, dan ketrampilan untuk belajar secara mandiri. Peserta didik sangat dituntut untuk berlatih mandiri dalam pembelajaran ini. Ketrampilan berpikir dan ketrampilan mengatasi masalah sangat diperlukan 25 untuk menunjang keberhasilan pembelajaran PBL. Berpikir adalah sebuah proses yang melibatkan operasi –operasi mental. Menurut Raths dalam Isjoni dan Arif 2008, berpikir adalah salah satu cara menemukan fakta –fakta untuk suatu tujuan. Ketrampillan berpikir disini melingkupi empat macam, antara lain : penyelesaian masalah problem solving, membuat keputusan decision making, berpikir kritis, dan berpikir kreativitas Isjoni, 2008 : 164. La Cosia dalam Isjoni 2008 mengemukakan bahwa, semua macam ketrampilan berpikir yang ada tersebut bermuara pada ketrampilan berpikir tingkat tinggi yang meliputi aktivitas seperti analisa, sintesa, dan evaluasi. Sebelum melaksanakan PBL, guru harus sudah memutuskan sasaran dan tujuan yang akan ditempuh serta merancang situasi bermasalah yang tepat. Rencana terakhir sebelum pelaksanaan PBL adalah mengorganisasikan sumber daya dan merencanakan logistik. Hal tersebut merupakan perencanaan utama para guru PBL. Setelah rencana tersebut maka dilaksanakan PBL dengan sintakis seperti pada tabel di bawa ini : Tabel 1. Sintaksis Pembelajaran berbasis masalah. Fase Perilaku Guru Fase 1 Memberikan orientasi tentang permasalahannya kepada peserta didik Guru membahas tujuan pelajaran, mendeskripsikan berbagai kebutuhan logistik penting, dan memotivasi peserta didik untuk terlibat dalam kegiatan mengatasi-masalah Fase 2 Mengorganisasikan peserta didik untuk meneliti Guru membantu peserta didik untuk mendefinisikan dan mengorganisasikan tugas –tugas belajar yang terkait dengan 26 permasalahannya. Fase 3 Membantu investigasi mandiri dan kelompok Guru mendorong peserta didik untuk mendapatkan informasi yang tepat, melaksanakan eksperimen, dan mencari penjelasan dan solusi. Fase 4 Mengembangkan dan mempresentasikan artefak dan exihibit Guru membantu peserta didik dalam merencanakan dan menyiapkan alat-alat yang tepat seperti laporan, rekaman video, dan model –model, dan membantu mereka untuk menyampaikan kepada orang lain. Fase 5 Menganalisis dan mengevaluasi proses mengatasi-masalah Guru membantu peserta didik untuk melakukan refleksi terhadap investigasinya dan proses –proses yang mereka gunakan. Sumber : Arends 2008 : 57 Fase pertama mengenai memberikan orientasi tentang permasalahannya kepada peserta didik. Perilaku guru yang diinginkan dari fase pertama ini tidak berbeda dengan tipe pelajaran lainnya. Guru mengomunikasikan dengan jelas maksud pelajarannya, membangun sikap positif terhadap pelajaran tersebut, dan mendeskripsikan sesuatu yang diharapkan untuk dilakukan oleh peserta didik. Maksud atau tujuan pembelajaran bukan untuk mempelajari sejumlah informasi baru dalam jumlah yang besar, tetapi untuk melakukan investigasi trhadap berbagai permasalahan penting. Peserta didik dalam hal ini diharapkan mampu untuk dapat menemukan sendiri makna dari permasalahan –permasalahan yang akan diinvestigasi. Permasalahan yang akan diinvestigasi bukanlah permasalahan yang memiliki jawaban yang mutlak benar dan sebagian besar permasalahan kompleks memiliki banyak solusi atau memiliki banyak cara menuju penemuan solusi. 27 Selama menginvestigasi, peserta didik akan didorong untuk memberikan beberapa pertanyaan dan mencari informasi yang relevan. Meskipun peserta didik bekerja secara mandiri atau dengan teman –temannya, guru akan memberi sedikit bantuan dalam fase ini. Permasalahan yang diajukan guru terhadap peserta didik merupakan permasalahan yang memiliki prosedur jelas untuk melibatkan peserta didik dalam mengidentifikasi permasalahan. Dalam mempresentasikan masalah terhadap peserta didik, guru harus dapat bertindak semenarik dan seakurat mungkin. Sehingga akan membangkitkan ketertarikan dan memotivasi penyelidikan. Hal penting dari fase ini adalah orientasi tentang situasi bermasalah itu menyiapkan panggung untuk investigasi selanjutnya. Oleh karena itu, presentasi harus dapat memikat peserta didik dan membangkitkan rasa ingin tahu dan gairah untuk menyelidiki. Fase kedua yaitu mengorganisasikan peserta didik untuk meneliti. Guru harus dapat mengorganisasi kelas sedemikian sehingga peserta didik dapat mengembangkan ketrampilan kolaborassi di antara mereka dan membantu peserta didik untuk menginvestigasi masalah secara bersama –sama. Guru juga harus membantu siswa dalam merencanakan tugas investigatif dan pelaporannya. Ketika guru mengorganisasikan peserta didik ke dalam kelompok –kelompok belajar kooperatif, guru perlu untuk memperhatikan komposisi peserta didik sehingga dapat sesuai dengan tujuan yang dimiliki guru. Guru dapat memperhatikan perbedaan gender dari setiap peserta didik. Di lain pihak guru mungkin memutuskan untuk mengorganisasikan peserta didik menurut minat yang sama atau memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk membentuk kelompok – 28 kelompok di seputar pola pertemanan yang sudah ada. Guru semestinya memberikan alasan yang kuat untuk pengorganisasian tim –tim itu. Setelah peserta didik menerima orientasi tentang permasalahan dan telah membentuk kelompok, guru dan peserta didik harus menetapkan sub –subtopik, tugas –tugas investigatif, dan jadwal yang spesifik. Permasalahan dibagi menjadi lebih umum menjadi sub –subtopik yang tepat dan kemudian membantu peserta didik unntuk memutuskan sub –subtopik mana yang akan diselidiki. Fase ketiga adalah membantu investigasi mandiri dan kelompok. Investigasi yang dilakukan peserta didik dalam PBL dapat dilakukan secara mandiri, berpasangan, atau dalam tim –tim studi kecil. Kegiatan ini merupakan inti dari PBL. Setiap masalah membutuhkan teknik investigatif yang agak berbeda. Namun, kebanyakan masalah tersebut melibatkan proses pengumpulan data dan eksperimentasi, pembuatan hipotesis, dan penjelasan serta yang terakhir memberikan solusi. Dalam mengumpulkan data dan melaksanakan eksperimen mental atau aktual, peserta didik harus dapat memahami sepenuhnya dimensi –dimensi dari permasalahan tersebut. Hal ini dimaksudkan agar peserta didik mengumpulkan informasi yang cukup untuk menciptakan dan mengonstruksikan ide – idenya sendiri. Perilaku guru dalam fase ini adalah mendorong peserta didik untuk mendapatkan informasi yang tepat dari berbagai sumber, melaksanakan eksperimen dengan baik dan mencari penjelasan serta solusi yang dapat dipertahankan. Peserta didik perlu diajari untuk dapat menjadi investigator aktif dan cara menggunakan metode – metode yang sesuai dengan permasalahan yang 29 akan mereka cari solusinya. Oleh karena itu, penting bagi peserta didik untuk diajari etika investigasi yang baik. Investigasi yang baik akan membawa peserta didik untuk dapat memiliki data yang cukup. Setelah melaksanakan eksperimen terhadap apa yang mereka selidiki, peserta didik akan menawarkan hipotesis, penjelasan, dan solusi. Ide –ide dari peserta didik akan muncul bervariasi. Dukungan guru atas pertukaran ide secara bebas dan penerimaan penuh terhadap berbagai ide merupakan suatu keharusan dalam fase ini. Guru terus memberikan berbagai pertanyaan yang membuat peserta didik memikirkan tentang keakuratan dari hipotesis dan solusi mereka serta tentang kualitas informasi yang telah peserta didik kumpulkan. Fase setelah membantu investigasi mandiri dan kelompok adalah mengembangkan dan mempresentasikan artefak dna exhibit. Perilaku guru dalam fase ini adalah membantu peserta didik dalam merencanakan dan menyiapkan alat-alat yang tepat, seperti laporan, rekaman video, dan model –model. Setelah artefak –artefak tersebut dikembangkan, guru mengorganisasikan exihiibit untuk memamerkan hasil karya peserta didik di depan umum atau dengan kata lain guru membantu peserta didik untuk menyampaikan apa yang telah mereka peroleh kepada orang lain. Dalam pelaksanaan PBL yang memiliki proyek yang besar, exihibit dapat berupa pekan ilmu pengetahuan tradisional dimana masing –masing peserta didik memamerkan hasil karyanya di depan audiensi seperti peserta didik lain, orang tua, guru, atau pihak lainnya. Fase terakhir dalam pelaksanaan PBL ini adalah menganalisis dan mengevaluasi proses mengatasi masalah. Dalam fase ini kegiatan –kegiatan 30 bertanya pada diri sendiri lebih banyak dilakukan, seperti kapan mereka mulai paham mengenai masalah yang mereka hadapi. Fase ini dapat membantu peserta didik untuk menganalisis dan mengevaluasi proses berpikirnya sendiri maupun ketrampilan investigatif maupun ketrampilan intelektual yang mereka gunakan. Dengan melaksanakan fase – fase yang telah disebutkan dengan baik maka diharapkan ilmu pengetahuan dapat terserap baik oleh peserta didik. PBL melatih peserta didik untuk dapat belajar mandiri dan meningkatkan kemampuan analisis peserta didik. Ilmu pengetahuan yang diperoleh peserta didik dari model PBL bersifat nyata dan aplikatif serta cenderung bersifat permanen dalam arti melekat pada ingatan peserta didik. Selain itu, model PBL akan menumbuhkan kebanggaan dalam diri peserta didik ketika ia berhasil memecahkan masalah yang dihadapi. Namun terdapat pula beberapa kekurangan dari model PBL ini, diantaranya guru yang kesulitan menemukan masalah yang sesuai dengan materi yang akan diajarkan, diperlukannya waktu dan proses yang lebih lama dibanding dengan pembelajaran konvensional, serta terdapat biaya tambahan untuk beberapa jenis materi seperti untuk penyediaan barang atau peralatan praktik. Westwood 2008 : 31 menyatakan beberapa kelebihan dan kekurangan dalam PBL. Kelebihan dari PBL antara lain : a. Mendorong pengarahan diri peserta didik dalam pembelajaran b. Mempersiapkan peserta didik untuk berpikir kritis dan analitis c. Memberdayakan peserta didik untuk mengidentifikasi, menemukan, dan menggunnakan sumber yang sesuai 31 d. Masalah belajar sangat erat kaitannya dengan dunia nyata sehingga dapat memotivasi peserta didik e. Keterlibatan aktif dalam mengintegrasikan informasi dan ketrampilan dari berbagai materi pelajaran f. Pengetahuan dan strategi yang diperoleh kemungkinan akan dipertahankan dan ditransfer ke situasi belajar lainnya g. Meningkatkan kemampuan komunikasi dan kemampuan sosial yang merupakan kebutuhan untuk kerjasama dan kerjasama sekelompok Sedangkan kekurangan dari PBL menurut Westwood 2008 antara lain : a. Beberapa peserta didik mengalami kesulitan dalam memilah informasi yang tidak relevan dari apa yang relevan untuk mengatasi masalah b. Beberapa peserta didik kurang fleksibel dalam melakukan pendekatan masalah dari wawasan yang sangat sempit c. Peserta didik sering memutuskan solusi terlalu dini dalam proses dan nantinya menolak adanya perubahan d. Untuk beberapa masalah yang sangat kompleks, peserta didik tidak memiliki pengetahuan dan pengalaman sehingga akan meningkatkan beban kognitif yang terkait dengan tugas yang diberikan e. Guru mengalami kesulitan dalam perubahan perannya sebagai fasilitator dari peran yang lebih banyak memerintah dan mengarahkan peserta didik. f. Kelompok tidak bekerja efektif g. Sumber daya yang tidak dimiliki sekolah yang diperlukan untuk mengatasi permasalahan. 32 Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa pembelajaran berbasis masalah merupakan pembelajaran yang berpusat pada peserta didik dimana peserta didik dituntuk untuk berpikir kritis dalam mencari solusi dari masalah yang disajikan oleh guru.

5. Model Pembelajaran Saintifik

Berdasarkan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan nomor 103 tahun 2014 memaparkan bahwa pembelajaran dilaksanakan berbasis aktivitas dengan karakteristik : a. Interaktif dan inspiratif b. Menyenangkan, menantang, dan memotivasi peserta didik untuk berpartisipasi aktif c. Kontekstual dan kolaboratif d. Memberikan ruang yang cukup bagi prakarsa, kreativitas, dan kemandirian peserta didik e. Sesuai dengan bakat, minat, kemampuan, dan perkembangan fisik serta psikologis peserta didik Setiap pembelajaran diharapkan menggunakan pendekatan, metode, strategi, dan model berdasarkan pada karakteristik tersebut. Pendekatan tersebut merupakan cara pandang pendidik yang digunakan untuk menciptakan lingkungan pembelajaran yang memungkinkan terjadinya proses pembelajaran dan tercapainya kompetensi yang ditentukan. Dalam permendikbud nomor 103 tahun 2014 tersebut dijelaskan juga bahwa pendekatan saintifik merupakan 33 pengorganisasian pengalaman belajar dengan urutan logis meliputi proses pembelajaran a. Mengamati b. Menanya c. Mengumpulkan informasi atau mencoba d. Menalar atau mengasosiasi e. Mengomunikasikan. Menghadirkan pendekatan saintifik dalam pembelajaran diharapkan mampu membiasakan peserta didik untuk melakukan hipotesis dan mengeksperimen segala sesuatu. Namun sebagian guru masih kurang sesuai dalam melaksanakan pendekatan tersebut. Kebingungan yang dialami oleh guru tersebut tentunya berakibat pada ketidak sesuaian penerapan pembelajaran saintifik di dalam kelas. Kurnik 2008 berpendapat bahwa jika prosedur saintifik diaplikasikan dengan tepat dan benar, terhadap kesulitan dalam konten matematika dan cara berpikir matematis, akan membawa ke dalam kemampuan matematis dari setiap siswa. Sehingga diharapkan bahwa pembelajaran matematika akan berhasil. Menurut Lazim 2014, pembelajaran dengan pendekatan saintifik adalah proses pembelajaran yang dirancang sedemikian rupa agar peserta didik secara aktif mengonstruk konsep, hukum atau prinsip melalui tahapan-tahapan mengamati untuk mengidentifikasi atau menemukan masalah, merumuskan masalah, mengajukan atau merumuskan hipotesis, mengumpulkan data dengan berbagai teknik, menganalisis data, menarik kesimpulan dan mengomunikasikan konsep, hukum 34 atau prinsip yang ditemukan. Peserta didik sangat dituntut untuk aktif selama proses pembelajaran. Guru diharapkan bertindak hanya sebagai fasilitator pembelajaran dan peran guru sangat dikurangi dalam model pembelajaran ini. “In the teaching process, a math teacher helps students to discover and learn new mathematical truth. That knowledge can be obtained in various ways and bases of all those methods are also concepts and theorems ” Kurnik, 2008 : 421. Menurut Kurnik 2008, dalam proses pembelajaran guru membantu peserta didik untuk menemukan dan belajar mengenai konsep baru matematika. Pengetahuan yang diperoleh peserta didik dengan menggunakan berbagai cara dan dasar dari semua metode juga konsep dan teori. Sehingga diharapkan dalam proses pembelajaran saintifik ini peserta didik terdorong untuk mencari tahu dari berbagai sumber melalui observasi dan bukan hanya diberitahu. Dalam Permendikbud nomor 103 tahun 2014 juga dijelaskan bahwa pendekatan saintifik dilaksanakan menggunakan modus pembelajaran langsung atau tidak langsung. Hal ini berarti proses pemmbelajaran dapat dilakukan diluar kelas. Keaktifan peserta didik menjadi titik penting dalam keberhasilan proses pembelajaran dengan pendekatan saintifik. Kemampuan dan kemauan peserta didik untuk bertanya menjadi langkah awal dalam proses pembelajaran aktif. Panhuizen 2005, meneliti mengenai bagaimana pertanyaan apa dapat digunakan untuk membuat keputusan konten dalam cara ilmiah. Ketika peserta didik sudah berani bertanya maka dengan rasa ingin tahu yang mereka miliki maka mereka akan segera melakukan tindakan untuk mencari jawaban dari pertanyaan yang 35 mereka buat. Tentunya sebelum melakukan kegiatan menanya, peserta didik haruslah sudah mengamati mengenai apa yang akan mereka cari jawabannya. Menurut Kazilek dan Pearson pada langkah mengamati, peserta didik dapat melihat, mendengar bahkan menyentuh objek yang digunakan dalam pembelajaran. Selanjutnya dalam langkah menanya, terdapat beberapa pertanyaan yang sering muncul adalah mengapa dan bagaimana. Ketika memiliki pertanyaan, timbul rasa ingin tahu dari peserta didik sehingga mereka akan terpacu untuk mengumpulkan informasi dalam rangka menjawab pertanyaan yang mereka miliki. Langkah keempat yaitu menalar atau mengasosiasi dimana informasi yang didapat dicari kebenarannya dan kesesuaiannya dengan materi pembelajaran. Tahap terakhir yaitu peserta didik mengomunikasikan apa yang telah mereka dapat. Komunikasi disini dapat berupa menuliskan, mempresentasikan secara lisan di depan kelas, atau mempresentasikan dalam bentuk media. Dapat diambil kesimpulan bahwa pembelajaran dengan pendekatan saintifik adalah pembelajaran yang berpusat pada peserta didik dimana peserta didik dalam melaksanakan proses pembelajaran dengan mengikuti lima tahapan yaitu mengamati, menanya, mengumpulkan informasi, mengasosiasi, dan mengomunikasi.

6. Setting Kelas Kooperatif Tipe Jigsaw

Coorperative learning Pembelajaran kooperatif dikembangkan pertama kali oleh Robert Slavin. Pembelajaran kooperatif bernaung dalam teori konstruktivis. Menurut Dymoke dan Harrison 2009, teori konstruktivis bersangkutan dengan sifat sosial dari pembelajaran, bagaimana peserta didik menciptakan konsep yang terstruktur dalam me mbuat pengetahuan menjadi 36 bermakna. Sosial konstruktivistime fokus pada proses kognitif yang terjadi pada seorang pembelajar melalui interaksi sosial seperti mendengarkan dan bekerja sama dengan orang lain. Dalam Johnson, Pembelajaran kooperatif merupakan penggunaan intruksional dari kelompok –kelompok kecil yang memungkinkan peserta didik untuk bekerja sama dalam memaksimalkan kemampuan diri mereka sendiri dan belajar satu sama lain. Namun menurut Dell‟Olio 2007, tidak semua kelompok kecil yang ada di dalam kelas dapat dianggap sebagai pembelajaran kooperatif yang sebenarnya. Pembelajaran kooperatif adalah model yang unik diantara model –model pengajaran lainnya karena menggunakan struktur tujuan, tugas, reward yang berbeda untuk mendukung pembelajaran peserta didik Arends, 2008: 37. Westwood 2008 : 68 juga menyatakan, “working in groups not only increase students‟s active participation, it also encourage social skill development, enhances communication, and increase independence. ” yang berarti bahwa belajar dalam kelompok tidak hanya menambah partisipasi aktif peserta didik, namun juga mendorong pertumbuhan ketrampilan sosial, meningkatkan kemampuan komunikasi, dan meningkatkan kebebasan peserta didik. Sedangkan dalam Kennedy 2008, pembelajaran kooperatif adalah suatu strategi kelompok yang dirancang untuk meningkatkan partisipasi dengan memanfaatkan aspek – aspek sosial dari pembelajaran. Isjoni dan Ismail 2008 berpendapat bahwa pembelajaran kooperatif bagaikan dua orang yang memikul balok. Balok akan dapat dipikul bersama –sama jika dan hanya jika kedua orang tersebut berhasil memikulnya. Kegagalan salah satu saja dari kedua orang itu berarti kegagalan 37 keduanya. Demikian pula halnya dengan tujuan yang akan dicapai suatu kelompok tertentu. Tujuan kelompok akan tercapai apabila semua anggota kelompok mencapai tujuannya secara bersama –sama. Menurut Cohen 2004, bekerja sama dalam kelompok agar dapat menjadi adil dan produktif, peserta didik perlu memastikan bahwa semua anggota kelompok memahami tugas belajar, berpartisipasi secara aktif, dan memberikan kontribusi yang sama untuk keberhasilan kelompok mereka. Dalam rangka untuk mencapai keberhasilan kelompok dalam pembelajaran kooperatif peserta didik dituntut untuk cakap dalam akademik sekaligus sosial. Peserta didik didorong untuk mengerjakan tugas yang sama secara bersama –sama, dan mereka harus mengordinasikan usahanya untuk menyelesaikan tugas itu. Gillies 1949 berpendapat bahwa tidak ada keraguan ketika peserta didik berkerja secara kooperatif bersama –sama, peserta didik belajar untuk mendengarkan apa yang dikatakan orang lain dan bagaimana mereka mengatakannya, berbagi ide dan perspektif, memberi dan menerima bantuan, mencari cara menyelesaikan suatu permasalahan, dan secara aktif bekerja sama untuk membangun pemahaman baru. Menurut Arends 2010, lingkungan belajar untuk coorperative learning ditandai oleh proses yang demokratis dan peran aktif peserta didik dalam memutuskan segala yang seharusnya dipelajari dan bagaimana caranya. Guru dapat menentukan strukturnya dalam membentuk kelompok –kelompok dan menentukan prosedur secara keseluruhan, tetapi peserta didik dibiarkan mengontrol interaksi dari menit ke menit dalam kelompoknya. 38 Terdapat enam tahapan yang harus diperhatikan guru dalam merencanakan pembelajaran kooperatif dalam Arends 2008. Tahap –tahap tersebut adalah sebagai berikut : a. Memilih Pendekatan Terdapat beberapa variasi dalam model pembelajaran kooperatif. Meskipun ada beberapa variasi namun hal tersebut tidak merubah prinsip – prinsip dasar pembelajaran kooperatif. Beberapa pendekatan yang menjadi bagian repetoar guru pemula adalah Student Teams Achievement Divisions STAD, Jigsaw, Think-Pair-Share, dan Numbered Heads Together. Dalam memilih pendekatan, guru harus mempertimbangkan bagaimana kondisi peserta didik dan bagaimana materi yang akan diajarkan. b. Memilih Isi yang Tepat Pelajaran apapun salah satu tugas perencanaan utama guru adalah memilih isi yang tepat bagi peserta didik dengan memperhatikan minat dan pembelajaran sebelumnya. Guru dituntut untuk memilih isi yang menarik dan cukup menantang. Hal tersebut dikarenakan model pembelajaran kooperatif menuntut banyak self-directioni dan inisiatif di pihak peserta didik. Guru –guru yang telah memiliki banyak pengalaman dalam mengajar, akan paham topik – topik yang sesuai dengan pembelajaran kooperatif. Mereka seperti sudah tahu bagaimana tingkat perkembangan dan minat para peserta didik di kelasnya. Sedangkan, bagi guru pemula harus lebih mengandalkan kerangka kerja kurikulum dan textbooks untuk subjek yang sesuai. 39 c. Membentuk Tim – Tim Siswa Tugas perencanaan penting ketiga untuk pembelajaran kooperatif adalah memutuskan bagaimana tim –tim belajar peserta didik akan dibentuk. Tugas ini akan bervariasi menurut tujuan pembelajaran yang ditentukan guru. Pembagian tim –tim peserta didik dapat berdasarkan komposisi etnis atau rasial, tingkat prestasi peserta didik, minat tiap peserta didik terhadap pembelajaran, kemampuan peserta didik, dan kondisi lainnya. d. Mengembangkan Materi Meskipun guru memberikan informasi verbal kepada peserta didik dalam pelajaran yang menggunakan pembelajaran kooperatif, informasi tersebut biasanya disertai dengan teks, worksheets, dan pedoman belajar. Apabila guru memberikan teks kepada peserta didik, perlu menjadi perhatian agar teks yang diberikan menarik dan sesuai dengan tingkat kemampuan membaca peserta didik. Apabila guru mengembangkan pedoman belajar, pedoman tersebut seharusnya dirancang untuk menyoroti isi yang dianggap paling penting. Waktu yang dibutuhkan untuk mengembangkan pedoman ini tidak cukup hanya semalam sebelum pelajaran itu dimulai. e. Merencanakan untuk Memberikan Orientasi tentang Berbagai Tugas dan Peran kepada Siswa. Guru – guru yang ada dalam suatu sekolah banyak yang menggunakan model pembelajaran kooperatif, tugas guru dalam tahap ini akan lebih mudah karena peserta didik sudah mengetahui tentang model pembelajaran 40 kooperatif dan peran mereka di dalamnya. Namun apabila di sekolah yang gurunya hanya sedikit yang menggunakan pendekatan pembelajaran kooperatif, guru –guru pemula harus meluangkan waktu untuk mendeskripsikan mengenai model pembelajaran tersebut. f. Merencanakan Penggunaan Waktu Pembelajaran kooperatif membutuhkan waktu lebih banyak dibanding kebanyakan model pengajaran lainnya karena menyandarkan diri pada pengajaran kelompok kecil Arends, 2008 : 19. Perencanaan waktu yang cermat dapat membantu guru untuk menjadi lebih realistis tentang persyaratan waktu. Sehingga dapat meminimalkan waktu. Selain itu, pembelajaran kooperatif membutuhkan perhatian khusus pada penggunaan ruang kelas. Dalam pembelajran kooperatif terdapat beberapa penataan tempat duduk salah satunya, Cluster-Seating Arrangement dimana kelas yang dibagi ke dalam beberapa klaster tempat duduk dan semua peserta didik menghadap ke arah guru. Setelah merencanakan pembelajaran kooperatif, guru selanjutnya mengeksekusi perencanaan tersebut. Berikut merupakan sintaksis model pembelajaran kooperatif. Tabel 2 Sintaksis Model Pembelajaran Kooperatif Fase Perilaku guru Fase 1 Mengklarifikasi tujuan dan establishing set Guru menjelaskan tujuan –tujuan pelajaran dan establishing set Fase 2 Guru mempresentasikan informasi 41 Mempresentasikan informasi kepada peserta didik secara verbal atau dengan teks. Fase 3 Mengorganisasikan peserta didik ke dalam tim – tim belajar Guru menjelaskan kepada peserta didik tata cara membentuk tim – tim belajar dan membantu kelompok untuk melakukan transisi yang efisien. Fase 4 Membantu kerja-tim dan belajar Guru membantu tim – tim belajar selama mereka mengerjakan tugasnya. Fase 5 Mengujikan berbagai materi Guru menguji pengetahuan peserta didik tentang berbagai materi belajar atau kelompok – kelompok mempresentasikan hasil – hasil kerjanya. Fase 6 Memberikan pengakuan Guru mencari cara untuk mengakui usaha dan prestasi individual maupun kelompok. Sumber : Arends 2008: 21 Menurut Arends 2008, terdapat banyak manfaat yang diperoleh setelah melakukan pembelajaran kooperatif. Manfaat pertama yaitu efek pembelajaran kooperatif pada perilaku kooperatif. Manfaat ini diperoleh dari hasil penelitian oleh Sharan pada tahun 1999 yang dilakukan pada tiga kelas dimana pada kelas pertama diterapkan pengajaran seluruh kelas whole-class teaching dan dua kelas lainnya menerapkan pembelajaran kooperatif. Dari studi yang telah dilakukan, peserta didik dari kedua kelas pembelajaran kooperatif menunjukkan lebih sedikit perilaku kompetitif dan lebih banyak kerja sama dibanding mereka yang berasal dari kelas pengajaran seluruh kelas. Hasil tersebut menunjukkan dengan jelas bahwa metode –metode instruksional mempengaruhi perilaku kooperatif dan 42 kompetitif siswa. Pembelajaran kooperatif menghasilkan lebih banyak perilaku kooperatif, baik verbal maupun nonverbal, dibanding pengajaran biasa atau pengajaran seluruh kelas. Pembelajaran kooperatif juga berpengaruh pada toleransi terhadap keanekaragaman. Dari penelitian yang dilakukan oleh Johnson dan Johnson 1982, menunjukkan bahwa pembelajaran kooperatif tidak hanya dapat memengaurhi toleransi dan penerimaan yang lebih luas terhadap peserta didik dengan kebutuhan khusus, tetapi juga dapat mendukung terciptanya hubungan yang lebih baik di antara peserta didik yang memiliki ras dan etnis yang beranekaragam. Di lain pihak, pembelajaran kooperatif juga berpengaruh pada prestasi akademik. Penelitian yang dilakukan di sekolah-sekolah Amerika Serikat, Israel, Nigeria, dan Jerman. Dari empat puluh lima sekolah yang diteliti, tiga puluh tujuh diantaranta menunjukkan bahwa kelas –kelas pembelajaran kooperatif menunjukkan prestasi belajar yang lebih baik secara signifikan dibanding kelas – kelas kelompok kontrol. Pada delapan kelas tidak ditemukan adanya perbedaan yang signifikan serta tidak ada satu studi pun yang menunjukkan efek negatif untuk pembelajaran kooperatif. Kebanyakan pengembang pembelajaran kooperatif berpendapat bahwa belajar di kelompok heterogen menguntungkan semua peserta didik. Apabila pada suatu kelas peserta didik dengan kemampuan kurang belajar lebih banyak dengan bekerja berdampingan dengan peserta didik yang memiliki kemampuan lebih dan bahwa kelompok dan bahwa kelompok yang berkemampuan lebih ini mendapatkan manfaat dari proses berperan sebagai tutor bagi temannya yang kurang mampu. Namun dari penelitian yang dilakukan oleh 43 Robinson dan Clinkenbeard pada tahun 1998, menunjukkan bahwa peserta yang berbakat gifted secara intelektual belum tentu mendapatkan manfaat dari bekerja di kelompok. Penerapan pembelajaran kooperatif pada peserta didik berbakat ini dapat dianggap sebagai sebuah bentuk eksploitasi. Dari penjelasan tersebut dapat dirangkum bahwa partisipasi aktif di kelompok –kelompok kecil membantu peserta didik untuk mempelajari berbagai ketrampilan sosial penting sekaligus mengembangkan ketrampilan akademis dan sikap –sikap demokratis. Seperti yang diuraikan di atas, salah satu tipe dari Pembelajaran Kooperatif adalah tipe Jigsaw. Jigsaw dikembangkan dan diuji oleh Elliot Aronson dan rekan – rekannya. Tipe Jigsaw adalah strategi belajar dimana setiap peserta didik menjadi anggota dalam bidang tertentu kemudian membagi pengetahuannya tersebut kepada anggota kelompok sehingga setiap peserta didik dapat mempelajari konsep – konsep matematika dari temannya. Metode ini adalah strategi belajar kooperatif dimana setiap peserta didik menjadi seorang anggota dalam bidang tertentu. Kemudian membagi pengetahuannya kepada anggota lain dari kelompoknya agar setiap orang pada akhirnya dapat mempelajari konsep – konsep Isjoni, 2008 : 156. Model Jigsaw yaitu siswa bekerja untuk menjadi ahli dalam mata pelajaran dan membawa pemahaman itu kembali ke kelompok inti mereka Sharan, 2009 : 52. Sedangkan menurut Kenedy 2008, Jigsaw menempatkan tanggung jawab pada setiap anggota tim untuk berkontribusi pada penyelesaian secara menyeluruh dari pembagian tugas, cerita, atau bab. Dalam Jigsaw, peserta didik dibagi ke dalam tim –tim belajar heterogen yang beranggotakan lima sampai 44 enam orang. Guru memberikan beberapa materi ke masing –masing tim tersebut. Selanjutnya masing –masing peserta didik bertanggung jawab untuk menguasai salah satu bagian materi belajar. Dalam proses untuk menguasai materi tersebut, setiap anggota tim yang memiliki materi yang sama disatukan ke dalam suatu kelompok yang disebut dengan kelompok ahli expert group untuk belajar dan saling membantu dalam mempelajari materi yang sama tersebut. Kemudian peserta didik kembali ke tim asalnya dan mengajarkan materi dan pengetahuan yang telah dia dapat dari kelompok ahli tersebut kepada anggota –anggota lain di tim masing –masing. Di akhir pembelajaran, peserta didik mengerjakan kuis secara individual tentang berbagai materi belajar. Menurut Kauchak 1989, Aktivitas pada Jigsaw dimulai dengan sebuah topik yang dapat dibagi lagi ke dalam suptopik yang lebih kecil. Pemilihan topik pelajaran dalam setting kelas tipe Jigsaw dipilihkan oleh guru. Tugas utama peserta didik adalah menyelidiki berbagai materi di kelompok ahli dan membantu anggota –anggota di kelompok asal untuk mempelajari berbagai materi. Penilaian dalam setting kelas kooperatif tipe Jigsaw dapat bervariasi misalnya dapat dilakukan dengan melakukan tes mingguan. Jigsaw cocok untuk semua kelas dan beberapa mata pelajaram, seperti ilmu pengetahuan alam, ilmu pengetahuan sosial, matematika, agama, dan bahasa. Menurut Lie 2008 dalam teknik Jigsaw, guru memperhatikan skemata atau latar belakang pengalaman peserta didik dan membantu peserta didik mengaktifkan skemata ini agar bahan pelajaran menjadi lebih bermakna. Selain itu, peserta didik bekerja dengan sesama peserta didik dalam suasana gotong royong dan 45 mempunyai banyak kesempatan untuk mengolah informasi dan meningkatkan ketrampilan berkomunikasi.

7. Model Pembelajaran Berbasis Masalah dengan setting Kooperatif Tipe

Jigsaw Pembahasan sebelumnya telah dijelaskan bahwa pembelajaran berbasis masalah lebih menekankan pemberian masalah yang berkaitan dengan kehidupan sehari-haridi awal pembelajaran untuk dicari solusi baik secara individu maupun berkelompok. Sedangkan model pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw menekankan pada pengelompokan peserta didik dalam pembelajaran lalu peserta didik menyelesaikan masalah bersama dengan kelompok ahli dan dilanjutkan dengan membagikan ide serta solusi dari permasalahan ke kelompok asal. Kedua model pembelajaran ini menuntut peserta didik untuk lebih aktif dalam belajar. Sehingga peneliti mencoba untuk menggabungkann kedua model pembelajaran ini. Model pembelajaran berbasis masalah dengan setting kooperatif tipe jigsaw adalah suatu model dimana peserta didik diberikan suatu masalah untuk dipecahkan secara bersama-sama dalam kelompok ahli dan membagikan solusi beserta cara pengerjaan yang didapat kepada anggota kelompok asal. Sehingga masalah-masalah yang diberikan kepada peserta didik diselesaikan secara kooperatif. Berikut merupakan langkah-langkah pelaksanaan model pembelajaran berbasis masalah dengan setting kooperatif tipe jigsaw. a. Peserta didik dikelompokkan dalam kelompok-kelompok kecil yang terdiri dari 4 orang yang disebut sebagai kelompok asal b. Setiap kelompok asal diberikan masalah yang beragam untuk diselesaikan 46 c. Masalah yang didapat dibagikan kepada setiap anggota kelompok d. Peserta didik mencari teman yang memiliki permasalahan yang sama dan membentuk kelompok baru yang disebut dengan kelompok ahli e. Peserta didik dalam kelompok ahli bersama-sama mencari informasi- informasi yang dibutuhkan untuk menyelesaikan masalah menggunakan pengetahuan dasar yang telah mereka miliki sebelumnya f. Peserta didik dalam masing-masing kelompok ahli berdiskusi untuk menemukan solusi atas permasalahan tersebut. g. Peserta didik yang telah menemukan solusi dalam kelompok ahli kemudian kembali ke kelompok asal h. Dalam kelompok asal peserta didik membagikan hasil diskusi dari kelompok ahli i. Salah satu wakil dari kelompok asal membacakan hasil diskusi mereka di depan kelas Langkah-langkah yang telah disebutkan di atas merupakan perpaduan antara model pembelajaran berbasis masalah dan pembelajaran kooperatif tipe jigsaw. Kelebihan utama yang dimiliki kedua model pembelajaran tersebut adalah munculnya keaktifan peserta didik dalam proses pembelajaran. Selain itu, ketrampilan sosial peserta didik akan terasah sehingga dapat mempengaruhi kemampuan komunikasi matematis yang dimiliki peserta didik. Dengan dimunculkannya masalah pada awal pembelajaran, memancing peserta didik untuk dapat berpikir lebih mendalam untuk mendapatkan langkah dalam mencari solusi dari masalah tersebut. Namun model pembelajaran tersebut membutuhkan 47 waktu yang lama karena melibatkan kegiatan pada dua kelompok yang berbeda untuk setiap peserta didik. Model tersebut juga akan berhasil apabila peserta didik memiliki semangat dan motivasi tinggi untuk mengikuti proses pembelajaran. apabila peserta didik sebagai pusat pembelajaran tidak dapat berperan secara aktif dalam pembelajaran maka tujuan pembelajaran tentunya tidak akan tercapai.

8. Model Pembelajaran dengan Pendekatan Saintifik Menggunakan Setting

Kooperatif Tipe Jigsaw Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, model pembelajaran dengan pendekatan saintifik menuntut peserta didik untuk dapat melakukan penyelidikan secara ilmiah melalui langkah-langkah mengamati, menanya, mengumpulkan informasi, menalar, dan mengomunikasikan. Sehingga ketika pembelajaran dengan pendekatan saintifik menggunakan setting kelas kooperatif memungkinkan peserta didik untuk melakukan kegiatan ilmiah secara kelompok. Berikut merupakan langkah-langkah pelaksanaan pembelajaran dengan pendekatan sainntifik menggunnakan settinng kooperatif tipe Jigsaw a. Peserta didik dibagi ke dalam kelompok yang beranggotakan 4 orang yang disebut dengan kelompok asal b. Setiap kelompok asal diberi LKS yang berisikan mengenai beberapa aktivitas serta panduan menyelesaikannya c. Setiap anggota kelompok asal diberi tugas untuk menyelesaikan suatu aktivitas d. Peserta didik yang memiliki tugas untuk menyelesaikan aktivitas yang sama berkumpul menjadi satu kelompok yang dinamakan kelompok ahli 48 e. Kegiatan penyelidikan dimulai dalam kelompok ahli tersebut dengan memperhatikan langkah-langkah panduan sesuai dengan sintaksis pendekatan saintifik f. Kegiatan penyelidikan dilanjutkan pada kelompok asal dengan melakukan penyeledikian terhadap materi-materi yang terkumpul dari beberapa kelompok ahli. g. Solusi yang ditemukan dari hasil diskusi pada kelompok awal dituliskan atau diinformasikan di depan semua kelas. Penggabungan dua model pembelajaran ini tentunya dapat meningkatkan kemampuan komunikasi peserta didik karena peserta didik terlibat dalam dua kelompok yang berbeda. Kegiatan mengumpulkan informasi juga dilakukan beberapa kali dengan melibatkan diskusi dalam dua kelompok yang berbeda sehingga kemampuan berpikir kritis peserta didik akan terasah. Namun, model pembelajaran ini membutuhkan waktu yang lama serta bergantung pada keaktifan peserta didik dalam mengikuti proses pembelajaran.

9. Materi Segiempat dan Segitiga

Materi segiempat dan segitiga merupakan salah satu topik pembelajaran matematika yang mulai diajarkan di bangku SD. Materi segiempat dan segitiga merupakan bagian dari ilmu geometri khususnya geometri bidang. Pada kelas VII dengan kurikulum 2013, materi segiempat dan segitiga masuk pada Bab IV semester genap kurikulum 2013. Dalam bab ini peserta didik diharapkan mampu membedakan jenis-jenis segiempat dan segitiga. Selain itu peserta didik diharapkan mampu menghitung luas dan keliling bangun segiempat dan segitiga, 49 serta mampu menyelesaikan masalah dalam kehidupan sehari-hari yang berkaitan dengan materi luas atau keliling segiempat dan segitiga. Dalam Permendikbud tahun 2016 nomor 24 menjelaskan beberapa kompetensi inti dan kompetensi dasar yang harus dicapai pada materi Segiempat dan Segitiga seperti tabel 3: 50 Tabel 3. Kompetensi Inti dan Kompetensi Dasar Materi Segiempat dan Segitiga Kompetensi Inti Kompetensi Dasar 3. Memahami pengetahuan faktual, konseptual, dan prosedural berdasarkan rasa ingin tahunya tentang ilmu pengetahuan, teknologi, seni, budaya terkait fenomena dan kejadian tampak mata. 3.14. Menganalisis berbagai bangun datar segiempat persegi, persegipanjang, belahketupat, jajargenjang, trapesium, dan layang-layang dan segitiga berdasarkan sisi, sudut, dan hubungan antar sisi dan antar sudut. 3.15. Menurunkan rumus untuk menentukan keliling dan luas segiempat persegi, persegipanjang, belahketupat, jajargenjang, trapesium, dan layang-layang dan segitiga 4. Mencoba, mengolah, dan menyaji dalam ranah konkret menggunakan, mengurai, merangkai, memodifikasi, dan membuat dan ranah abstrak menulis, membaca, menghitung, menggambar, dan mengarang sesuai dengan yang dipelajari di sekolah dan sumber lain yang sama dalam sudut pandangteori. 4.14. Menyelesaikan masalah yang berkaitan dengan bangun datar segiempat persegi, persegipanjang, belahketupat, jajargenjang, trapesium, dan layang-layang dan segitiga 4.15. Menyelesaikan masalah kontekstual yang berkaitan dengan luas dan keliling segiempat persegi, persegipanjang, belahketupat, jajargenjang, trapesium, dan layang-layang dan segitiga Adapun indikator materi segiempat dan segitiga merupakan penjabaran dari kompetensi dasar. Indikator materi segiempat dan segitiga dapat dirumuskan seperti tabel 4 : 51 Tabel 4. Tabel Indikator Materi Segiempat dan Segitiga Kompetensi dasar Indikator 3.14. Menganalisis berbagai bangun datar segiempat persegi, persegipanjang, belahketupat, jajargenjang, trapesium, dan layang- layang dan segitiga berdasarkan sisi, sudut, dan hubungan antar sisi dan antar sudut. 3. 14. 1. Mengidentifikasi jenis segiempat berdasarkan sifat-sifat pada sudutnya. 3. 14. 2. Mengidentifikasi jenis segiempat berdasarkan sifat pada sisi-sisinya. 3. 14. 3. Mengidentifikasi jenis segiempat berdasarkan sifat diagonal- diagonalnya. 3. 14. 4. Mengidentifikasi jenis segiempat berdasarkan simetri lipat dan simetri putar yang dimiliki. 3. 14. 5. Mengidentifikasi jenis segitiga berdasarkan besar sudutnya. 3. 14. 6. Mengidentifikasi jenis segitiga berdasarkan panjang sisinya. 3. 14. 7. Mengetahui jumlah ketiga sudut pada segitiga. 3.15. Menurunkan rumus untuk menentukan keliling dan luas segiempat persegi, persegipanjang, belahketupat, jajargenjang, trapesium, dan layang- layang dan segitiga 3. 15. 1. Mencari luas segiempat. 3. 15. 2. Mencari keliling segiempat. 3. 15. 3. Menentukan keliling bangun segitiga. 3. 15. 4. Menentukan luas bangun segitiga. 4.14. Menyelesaikan masalah yang berkaitan dengan bangun datar segiempat persegi, persegipanjang, belahketupat, jajargenjang, trapesium, dan layang- layang dan sgeitiga 4.14.1. Menentukan sifat dari suatu benda di kehidupan nyata yang memiliki bentuk segiempat. 4.14.2. Menentukan jenis segitiga dari suatu benda yang ada dalam kehidupan nyata sesuai dengan besar sudut dan panjang sisinya. 4.15.Menyelesaikan masalah kontekstual yang berkaitan dengan luas dan keliling segiempat persegi, persegipanjang, belahketupat, jajargenjang, trapesium, dan layang-layang dan 4. 15. 1. Menentukan luas segiempat yang berkaitan dengan masalah di kehidupan sehari-hari. 4. 15. 2. Menentukan keliling segiempat yang berkaitan dengan masalah di kehidupan sehari-hari. 4. 15. 3. Menyelesaikan masalah dalam kehidupan sehari-hari yang berkaitan dengan kelilinng segitiga 4. 15. 4. Menyelesaikan masalah dalam 52 segitiga kehidupan sehari-hari yang berkaitan dengan luas segitiga.

10. Prestasi Belajar

Menurut Winkel, belajar adalah semua aktivitas mental atau psikis yang berlangsung dalam interaksi aktif dalam lingkungan yang menghasilkan perubahan –perubahan dalam pengelolaan pemahaman. Kata prestasi berasal dari bahasa belanda yaitu prestatie. Kemudian dalam bahasa Indonesia menjadi “prestasi” yang berarti “hasil usaha” Arifin, 2016 : 12. Sedangkan, Aris Kurniawan 2015 menyatakan bahwa prestasi memiliki arti penting untuk meningkatkan potensi seseorang. Berikut ini adalah arti penting dari prestasi menurut Kurniawan 2015 antara lain : a. Prestasi adalah wujud nyata dari kualitas dan kuantitas yang diperoleh oleh seseorang di bisnis yang diperoleh b. Prestasi adalah sebuah pengalaman yang orang mengalami dan bisa menjadi oelajaran berharga untuk masa depan. c. Prestasi adalah kebanggan bagi diri sendiri, keluarga, kelompok, masyarakat, bangsa ,dan negara. d. Prestasi digunakan untuk mengukur tingkat pengetahuan, kecerdasan, ketrampilan seseorang, kelompok, masyarakat, bangsa, dan negara. Menurut Nitko dan Brookheart 2011, Prestasi adalah pengetahuan, keterampilan, dan kemampuan yang telah dikembangkan peserta didik sebagai hasil dari instruksi. “As a key aspect of these studies, teacher‟s instructional skills and practices have considered in relation to students‟s achievement” Westwood, 53 2008 :57. Hal tersebut berarti bahwa sebagai aspek kunci dari pembelajaran ini, keterampilan dan praktek instruksional guru ini telah dipertimbangkan dalam kaitannya dengan prestasi peserta didik. “Achievement is satisfied when students strive to learn particular subjects or acquire difficult skills and are successful in their quest ” Arends dan Kilcher, 2010 : 59. Pernyataan tersebut kurang lebih berarti bahwa prestasi yang memuaskan adalah ketika peserta didik berusaha untuk mempelajari suatu mata pelajaran tertentu atau memperoleh ketrampilan yang sulit dan mereka berhasil dalam melakukan suatu pencarian. Menurut Syahrul 2015 Prestasi Belajar adalah hasil yang dicapai atau ditunjukkan oleh peserta didik sebagai hasil belajarnya yang diperoleh melalui pengalaman dan latihan. Hasil yang diperoleh biasanya berupa angka –angka, huruf, serta tindakan yang dicapai masing – masing peserta didik dalam waktu tertentu. Hasil tersebut tentunya memiliki fungsi masing – masing yang berpengaruh dalam kelangsungan proses pembelajaran. Lima fungsi utama prestasi belajar menurut Arifin 2016 adalah sebagai berikut : a. Prestasi belajar sebagai indikator kualitas dan kuantitas pengetahuan yang telah dikuasai peserta didik. Jika peserta didik telah melaksanakan pembelajaran, maka prestasi belajar menunjukkan sejauh mana peserta didik menguasai pembelajaran tersebut. b. Prestasi belajar sebagai lambang pemuasan hasrat ingin tahu. Dalam psikologi, hal ini disebut sebagai tendensi keingintahuan couriosity dan merupakan kebutuhan umum manusia. 54 c. Prestasi belajar sebagai bahan informasi dalam inovasi pendidikan. Peserta didik dapat menggunakan prestasi belajar dalam meningkatkan ilmu pengetahuan dan teknologi, dan berperan sebagai umpan balik feedback dalam meningkatkan mutu pendidikan. d. Prestasi belajar sebagai indikator intern dan ekstern dari suatu institusi pendidikan. Indikator intern berarti bahwa prestasi belajar dapat dijadikan indikator tingkat produktivitas suatu institusi pendidikan. Sedangkan, indikator ekstern berarti bahwa tinggi rendahnya prestasi belajar dapat dijadikan indikator tingkat kesuksesan peserta didik di masyarakat e. Prestasi dapat dijadikan indikator daya serap kecerdasan peserta didik. Peserta didik merupakan fokus utama dalam pembelajaran yang harus diperhatikan karena peserta didiklah yang diharapkan dapat menyerap seluruh materi pembelajaran. Perlu diketahui bahwa presatsi belajar achievement berbeda dengan hasil belajar learning outcome. Prestasi belajar pada umumnya berhubungan dengan aspek pengetahuan. Sedangkan hasil belajar meliputi aspek pembentukan watak peserta didik. Prestasi belajar dan hasil belajar diperoleh dari kegiatan evaluasi pembelajaran yang dilakukan oleh guru. Salah satu fungsi evaluasi pembelajaran adalah memberikan landasan untuk menilai hasil usaha prestasi yang telah dicapai oleh peserta didiknya. Hasil belajar dari kegiatan evaluasi merupakan data yang sangat penting untuk mengetahui tingkat pemahaman peserta didik. Lebih jauh lagi data tersebut dapat digunakan untuk keperluan pengambilan keputusan pendidikan dan lembaga pendidikan. Seperti halnya penentuan peserta didik 55 dinyatakan tamat belajar, naik kelas, tinggal kelas, lulus atau tidak lulus, dan sebagainya. Sedangkan menurut Buchori 1980, salah satu tujuan dilakukannya evaluasi adalah untuk mengetahui kemajuan peserta didik setelah peserta didik mengikuti pembelajaran selama jangka waktu tertentu dan untuk mengetahui tingkat efisiensi metode – metode pendidikan yang dipergunakan pendidikan selama jangka waktu tertentu. Salah satu sasaran evaluasi pendidikan adalah tingkat pencapaian atau prestasi belajar yang berhasil diraih oleh masing – masing peserta didik yang telah terlibat dalam proses pendidikan selama jangka waktu yang ditentukan. Untuk mengetahui seberapa jauh tingkat pencapaian atau prestasi belajar yang diraih oleh peserta didik itu, dipergunakan alat berupa tes prestasi belajar yang dikenal dengan istilah achievement test. Tes prestasi belajar secara khusus digunakan untuk mengukur apa yang telah dipelajari atau dicapai pada hal tertentu dalam suatu rentang waktu Reynold, Livingston, dan Wilson, 2010 : 5. Tes adalah cara atau prosedur yang digunakan dalam rangka pengukuran dan penilaian di bidang pendidikan, yang berbentuk pemberian tugas atau serangkaian tugas berupa pertanyaan atau perintah yang harus diselesaikan oleh perserta didik sehingga dapat dihasilkan nilai yang melambangkan prestasi peserta didik. Achievement test yang baik memiliki ciri antara lain : 1. Tes tersebut bersifat valid atau memiliki validitas yang berarti tes tersebut dapat secara tepat, benar, shahih, atau absah dapat mengukur apa yang seharusnya diukur. 2. Tes tersebut telah memiliki reliabilitas atau bersifat reliabel, yang berarti bahwa apabila hasil – hasil pengukuran yang dilakukan dengan 56 menggunakan tes tersebut secara berulangkali terhadap subyek yang sama, senantiasa menunjukkan hasil yang tetap sama atau stabil. 3. Tes tersebut bersifat obyektif, dimana tes tersebut disusun dan dilaksanakan dengan materi atau bahan pembelajaran yang telah diberikan sesuai atau sejalan dengan tujuan instruksional khusus yang telah ditentukan. 4. Tes bersifat praktis dimana dapat dilaksanakan dengan mudah. tes tidak memerlukan banyak peralatan atau peralatan yang sulit pengadaannya dan disertai dengan kunci jawaban, pedoman skoring, serta penentuan nilainya. Dari tes prestasi belajar maka akan diperoleh hasilnya. Menurut Uno dan Koni 2014, hasil assessment dapat pula memberikan informasi kepada orang tua dan komite tentang efektivitas belajar . Sehingga meskipun orang tua tidak berada di sekolah ketika pembelajaran berlangsung tetap dapat memonitor anak – anaknya dari hasil assessment yang diterima. Selain itu, bagi peserta didik hasil assessment memiliki fungsi untuk menemukan kesulitan belajar dan kemungkinan prestasi yang bisa dikembangkan peserta didik dan sebagai alat diagnosis yang membantu pendidik menentukan apakah seorang siswa perlu melakukan pengayaan atau remidial. Apabila peserta didik banyak yang mengikuti remidial, maka dapat dikatakan bahwa proses belajat yang dilaksanakan belum optimal. Proses belajar dapat dikatakan optimal apabila hasil yang diperoleh sebagai akibat dari proses sesuai dengan yang diharapkan. Indikator proses belajar yang optimal antara lain : peserta didik dapat belajar dengan penuh semangat, aktif dalam belajar, berani mengemukakan pendapatnya, mampu dan antusias dalam 57 mengikuti pelajaran, dan terlibat aktif dalam penyelesaian masalah Buchori, 1980 : 8.

11. Komunikasi Matematis

Komunikasi berarti memberitahukan dan menyebarkan berita, pengetahuan, pikiran –pikiran, nilai–nilai dengan maksud untuk menggugah partisipasi agar hal –hal yang diberitahukan itu menjadi milik bersama Sardiman, 2011 : 8. Sedangkan menurut NCTM 2000, komunikasi merupakan cara untuk berbagi gagasan atau ide dan menjelaskan suatu pengertian. Komunikasi merupakan ketrampilan yang sangat dibutuhkan dalam kehidupan manusia, terutama dalam menjalani rutinitas kehidupannya. Sebab manusia merupakan makhluk sosial yang bergantung satu sama lain serta saling terkait dengan orang lain di lingkungannya. Komunikasi adalah satu satunya alat yang dapat menghubungkan seseorang dengan orang lain. Untuk dapat menyelenggarakan pembelajaran dengan baik maka diperlukan pula komunikasi. Dalam suatu kelas terdapat peristiwa komunikasi misalnya komunikasi antara peserta didik dan guru. Tidak terkecuali pada pembelajaran matematika, juga membutuhkan pentingnya komunikasi. “Communication is an essential part of mathematics and mathematics education ” NCTM, 2000 : 60. Menurut NCTM 2000, komunikasi merupakan bagian penting dari matematika dan pendidikan matematika. Komunikasi yang berhubungan dengan matematika dikenal dengan komunikasi matematis. Dalam Nurlaelah 2009, komunikasi matematis diartikan sebagai kemampuan dalam menggambarkan situasi dalam suatu masalah serta menyatakan solusi 58 menggunakan gambar, bagan, tabel atau penyajian secarar aljabar. Selain itu, representasi solusi, penyediaan ide dan keterangan dalam bentuk tulisan juga merupakan contoh komunikasi matematis. Sedangkan menurut Departemen Pendidikan Ontario 2005, komunikasi matematis merupakan proses penting untuk belajar matematika karena melalui komunikasi, peserta didik merenungkan, memperjelas, dan memperluas gagasan mereka dan pemahaman mereka tentang hubungan matematika dan argumen matematika. Namun tidak semua peserta didik dapat berkomunikasi matematis dengan baik. Komunikasi matematis dapat dikembangkan sesuai dengan kebiasaan. “Perhaps this happens because it is so rare for students to provide explanations in mathematics class, so strange to talk about mathmatics, and so surprising to justify answer ” Cai, Jakabcsin, dan Lane, 2010 : 238. Menurut Cai, Jakabcsin, dan Lane, kemampuan yang kurang tersebut mungkin ini terjadi karena sangat jarang bagi siswa untuk memberikan penjelasan di kelas matematika, begitu aneh untuk berbicara tentang matematika, dan begitu mengejutkan untuk membenarkan jawaban. Kebiasaan berkomunikasi matematis dapat pula distimulus dengan guru mengubah setting kelas, misalnya dengan mengubah setting kelas menjadi setting kelompok atau kooperatif. Menurut NCTM 1996, efek dari komunnikasi ketika peserta didik berada dalam kelompok belajar kooperatifnya menjadikan kemampuan komunikasi yang dimiliki peserta didik dengan diri mereka sendiri ketika bekerja sendiri. Oleh karena itu, pelaksanakaan pembelajaran kooperatif sangat mendukung berkembangnya kemampuan komunikasi matematis. 59 Obrolan dan diskusi dalam mengeksplorasi ide dan pandangan yang dilakukan selama pembelajaran kooperatif dapat mendorong seseorang untuk berpikir lebih tajam dalam membangun keterkaitan antar konsep dalam suatu pembelajaran. “When students are challenged to think and reason about mathematics and to communicate the results of their thinking to others orally or in writing, they learn to be clear and convincing ” NCTM, 2000 : 60. Ketika peserta didik ditantang untuk berpikir dan bernalar tentang matematika dan untuk mengomunikasikan hasil pemikiran mereka kepada orang lain secara lisan atau dalam tulisan, peserta didik dapat belajar dengan jelas dan meyakinkan. Komunikasi yang peserta didik hadapi dalam kelompok pembelajaran kooperatif mereka menjadi komunikasi yang mereka miliki dengan diri mereka sendiri ketika bekerja sendiri. Terdapat beberapa kriteria atau standar komunikasi matematis yang dikutip dari beberapa sumber. Menurut NCTM 2000 : 60, peserta didik yang dapat berkomunikasi matematis dengan baik yaitu peserta didik yang dapat : a. Mengatur dan mengkonsolidasikan pemikiran matematis melalui komunikasi b. Mengkomunikasikan pemikiran matematika mereka secara logis dan jelas kepada teman, guru, atau yang lainnya c. Menganalisis dan mengevaluasi pemikiran matematika dan strategi lainnya d. Menggunakan bahasa matematika untuk mengekspresikan ide matematika dengan tepat. Sedangkan menurut Sumarno 2002: 15 komunikasi matematis meliputi kemampuan peserta didik dalam : 60 a. Menghubungkan benda nyata, gambar, dan diagram ke dalam ide matematika b. Menjelaskan ide, situasi, dan relasi matematik, secara lisan dan tulisan dengan benda nyata, gambar, grafik, dan aljabar c. Menyatakan peristiwa sehari – hari dalam bahasa atau simbol matematika d. Mendengarkan, berdiskusi, dan menulis tentang matematika e. Membaca dengan pemahaman suatu presentasi matematika tertulis f. Membuat konjektur, menyusun argumen, merumuskan definisi dan generalisasi g. Menjelaskan dan membuat pertanyaan tentang matematika yang dipelajari. Cai, Jakabcsin, dan Lane 2010, juga berpendapat bahwa seorang peserta didik yang baik dalam berkomunikasi matematis adalah peserta didik yang dapat : 1. Menyatakan gagasan matematika dengan lisan, tulisan, demonstrasi, dan menggambarkannya secara visual 2. Memahami, menerjemahkan, dan mengevaluasi gagasan matematika yang dipresentasikan dalam tulisan, lisan, atau bentuk visual 3. Menggunakan kosakata matematika, notasi, dan struktur untuk merepresentasikan gagasan, menggambarkan hubungan – hubungan, dan situasi. Komunikasi dapat berupa lisan maupun tertulis, menurut Departemen Pendidikan Ontario 2006, komunikasi lisan termasuk berbicara, mendengarkan, 61 bertanya, menjelaskan, mendefinisikan, berdiskusi, membenarkan, dan mempertahankan. Ketika peserta didik berpartisipassi dalam tindakan ini maka mereka sedang melanjutkan pemahaman mereka mengenai matematika. Sedangkan komunikasi tertulis memungkinkan peserta didik untuk berpikir dan mengeluarkan gagasan yang mereka ketahui. Menulis secara matematis juga menyediakan bukti – bukti dari pemahaman matematika peserta didik. Sebelum memulai sembarang tugas tertulis, peserta didik memerlukan pengalaman dalam mengekspresikan gagasan mereka secara lisan, sebaik mendengarkan gagasan dari peserta didik lainnya. Guru tentunya dapat menilai kemampuan peserta didik seperti yang dijelaskan di atas. Kemampuan komunikasi matematis peserta didik dapat dinilai secara kuantitatif maupun kualitatif. Cai, Jakabcsin, dan Lane 2010 menggolonngkan penilaian kuantitatif komunikasi matematis peserta didik menjadi lima level seperti tabel 5. 62 Tabel 5 Level Penilaian Kuantitatif Komunikasi Matematis Level Kriteria Level 0 Berkomunikasi tidak efektif, kata – kata yang digunakan tidak mencerminkan masalah yang akan dipecahkan Level 1 Memiliki beberapa elemen yang memuaskan namun tidak mampu untuk menyelesaikan bagian penting dari permasalahan. Penjelasan sulit untuk dipahami. Level 2 Membuat kemajuan yang signifikan terhadap penyelesaian masalah, tetapi penjelasan mungkin agak ambigu atau tidak jelas Level 3 Memberikan respon yang cukup lengkap dengan penjelasan cukup jelas mungkin termasuk hampir lengkap. Terdapat argumen pendukung yang logis namun mungkin mengandung beberapa kesalahan kecil Level 4 Memberikan respon yang lengkap dengan penjelasan yang jelas, penjelasannya tidak menimbulkan salah tafsir, terdapat argumen yang kuat, logis, dan komplit, serta mungkin dilengkapi dengan contoh. Berbeda dengan penilaian kuantitatif, penilaian kualitatif lebih mendeskripsikan apa yang telah dicapai peserta didik. Dalam penilaian kualitatif, respon peserta didik tidak diberikan dalam bentuk skor angka, namun lebih diklasifikasikan ke dalam kategori –kategori yang berbeda menurut level komunikasi matematis mereka. Kualitas komunikasi matematis peserta didik meliputi kebenaran dan kejelasan dari komunikasi tertulis. Penggambaran dari komunikasi matematis meliputi cara yang digunakan untuk mengkomunikasikan bagaimana peserta didik menemukan jawaban mereka Cai, Jakabcsin, dan Lane, 2010 : 243. Dalam Cooke dan Buchholz 2005, kemampuan komunikasi lisan maupun tulisan dapat dioptimalkan oleh guru menggukanan enam strategi 63 informal seperti: menyediakan kesempatan untuk mengekspresikan pemikiran diri sendiri secara informal, bertindak sebagai fasilitator selama pembelajaran, menyediakan kesempatan kepada peserta didik untuk menghubungkan pengetahuan baru dengan pengetahuan yang telahh dimiliki, menghubungkan tugas administratif atau kebiasaan sehari –hari dalam kelas ke matematika, bertanya beranekaragam pertanyaan, dan mendorong penggunaan istilah –istilah matematika yang tepat. Pada penelitian ini komunikasi matematis yang dinilai adalah komunikasi matematis tertulis yang dinilai dari hasil pretest dan posttest. Indikator kemampuan komunikasi matematis tertulis peserta didik yang akan diukur antara lain : 1 Menuliskan informasi yang terdapat pada soal. 2 Menuliskan problemmasalah yang terdapat pada soal. 3 Menggunakan variabel-variabel yang sesuai. 4 Mengubah informasi dan masalah yang terdapat pada soal ke dalam model matematika. 5 Mengeksprsikan ide-ide matematis melalui tulisan. 6 Membuat hasil dan kesimpulan dari suatu masalah.

B. Penelitian yang Relevan

Banyak penelitian telah dilakukan berkaitan dengan model pembelajaran berbasis masalah yang pertama adalah jurnal berjudul Keefektifan PBL dan IBL Ditinjau dari Prestasi Belajar, Kemampuan Representasi Matematis, dan Motivasi Belajar Farhan: 2014. Penelitian ini menggunakan metode eksperimen semu 64 dengan pretest-posttest nonequivalent group design. Uji analisis data penelitian menggunakan uji one sample t test, uji Bonferroni pada signifikansi 5 dan uji MANOVA. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ditinjau dari prestasi belajar, kemampuan belajar, kemampuan representasi matematis, dan motivasi belajar PBL dan IBL efektif. Kemudian PBL dan IBL lebih efektif dibanding dengan pembelajaran konvensional dan PBL lebih efektif dibandingkan dengan IBL. Sedangkan penelitian yang yang berkaitan dengan setting kooperatif tipe Jigsaw , penulis menemukan jurnal berjudul Keefektifan Pembelajaran Jigsaw dan TAI Ditinjau Dari Kemampuan Penalaran Dan Sikap Belajar Matematika Peserta Didik Astuti: 2015. Penelitian tersebut merupakan penelitian eksperimen semu dengan menggunakan dua kelompok eksperimen. Teknik analisis data yang digunakan meliputi one sampe t-test yang digunakan untuk mendeskripsikan keefektifan Jigsaw dan TAI pada masing – masing variabel. Analisis multivarat yang digunakan untuk mengetahui ada tidaknya perbedaan keefektifan Jigsaw dan TAI secara simultan. Uji lanjut dengan prosedur Bonferroni, yang digunakan untuk mengetahui model pembelajaran yang lebih efektif antara Jigsaw dan TAI ditinjau dari kemampuan penalaran dan sikap belajar matematika peserta didik. hasil penelitian menunjukkan bahwa pembelajara kooperatif tipe Jigsaw efektif ditinjau dari kemampuan penalaran dan sikap belajar matematika, pembelajaran kooperatif tipe TAI efektif ditinjau dari kemampuan penalaran dan sikap belajar matematika, dan yang terakhir tidak terdapat perbedaan keefektifan antara model pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw dan tipe TAI ditinjau dari kemampuan penalaran dan sikap belajar matematika. 65 Penelitian lainnya yang berkaitan dengam model pembelajaran berbasis masalah dan settinng kooperatif tipe Jigsaw adalah jurnal dengan judul Perbandingan Keefektifan Antara Problem-Based Learning Setting Numbered Head Together dan Setting Jigsaw Sholikhah: 2015. Penelitian ini merupakan penelitian eksperimen semu, yang menggunakan rancangan pretest-postest non- equivalen multiple-group design . Instrumen yang digunakan adalah tes prestasi belajar matematika tes kemampuan berpikir kritis, dan angket disposisi matematis. Data dianalisis dengan menggunakan uji multivarat MANOVA dan independent sample t-test. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kedua model pembelajaran ini efektif ditinjau dari kemampuan berpikir kritis dan disposisi matematis, tetapi tidak efektif ditinjau dari prestasi belajar matematika. PBL-Jigsaw lebih efektif dibandingkan PBL-NHT ditinjau dari disposisi matematis, tetapi tidak berbeda jika ditinjau dari kemampuan berpikir kritis dan prestasi belajar. Penelitian lain yang juga berkaitan dengan model pembelajaran berbasis masalah dan setting kooperatif tipe Jigsaw adalah penelitian dengan judul Efektivitas Metode Problem Based Learning, Coorperative Learning Tipe Jigsaw, dan Ceramah Sebagai Problem Solving dalam Mata Kuliah Perencanaan Pembelajaran Saguni: 2013. Metode penelitian ini menggunakan pendekatan true experiment dengan Crossed Design Rancangan bersilang. Data dianalisis dengan menggunakan Analisis multivarat dari kovarian MANCOVA. Hasil penelitian menunjukkan bahwa metode pembelajaran berbasis masalah lebih efektif jika dibanding dengan metode Coorperative learning tipe Jigsaw dan ceramah dalam meningkatkan prestasi belajar mahasiswa pada mata kuliah 66 Perencanaan Pembelajaran dalam meningkatkan prestasi belajar mahasiswa pada mata kuliah Perencanaan Pembelajaran. Selain itu, mahasiswa yang diajar dengan metode Pembelajaran berbasis masalah memiliki kemampuan pemecahan masalah yang lebih tinggi dari pada yang diajar dengan metode Coorperative learning tipe Jigsaw dan metode ceramah. Penelitian yang relevan terakhir yang diambil penulis adalah penelitian yang berkaitan dengan model pembelajaran berbasis masalah dan prestasi belajar. Penelitian dengan judul Perbandingan Keefektifan PBL Berseting TGT dan GI Ditinjau Dari Prestasi Belajar, Kemampuan Berpikir Kreatif, dan Toleransi Fitrianawati: 2016. Tujuan penelitian adalah untuk medeskripsikan keefektifan pembelajaran matematika dengan menggunakan Pembelajaran berbasis masalah PBL berseting Team Group Tournament TGT dan PBL berseting Group Investigation GI, serta membandingkan keefektifan pembelajaran PBL berseting TGT dab PBL beseting GI ditinjau dari prestasi belajar, kemampuan berpikir kreatif, dan toleransi siswa SMP. Penelitina ini merupakan penelitian eksperimen semu dengan desain pretest – posttest non-equivalent comparison-group design. Penelitian dilakukan di SMP Negeri 1 Sleman dengan populasi seluruh siswa kelas VIII SMP Negeri 1 Sleman. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pembelajaran matematika menggunakan PBL berseting TGT dan PBL berseting GI efektif ditinjau dari prestasi belajar, kemampuan berpikir kreatif, dan toleransi siswa, dan tidak ada perbedaan antara keduanya. 67

C. Kerangka Berpikir

Dalam memberikan pembelajaran matematika terhadap peserta didik, hal yang perlu diperhatikan adalah mengenai model pembelajaran yang digunakan. Model pembelajaran yang saat ini masih banyak digunakan guru adalah model yang masih berpusat pada guru. Dimana guru di depan kelas menjelaskan materi yang ada dan selanjutnya peserta didik mendengarkan dan mengikuti instruksi dari guru. Namun, mengingat adanya perbedaan kemampuan peserta didik dalam menyerap suatu pengetahuan yang diajarkan oleh guru di dalam kelas, sehingga diperlukan suatu model pembelajaran yang sesuai dengan karakteristik peserta didik tersebut. Idealnya, guru diharapkan dapat merangkul semua peserta didik ke dalam pembelajaran matematika sehingga hasil yang diperoleh dari pembelajaran atau prestasi belajar pada peserta didik dapat menjadi baik. Di sisi lain, terdapat fenomena bahwa beberapa peserta didik mengalami kesulitan dalam menyampaikan ide – ide matematika yang telah mereka miliki secara runtut dan jelas atau yang sering disebut sebagai kemampuan berkomunikasi matematis. Selain itu peserta didik juga mendapat kesulitan untuk menyelesaikan suatu masalah menggunakan suatu konsep matematika yang telah diajarkan. Sehingga dapat mempengaruhi prestasi belajar peserta didik. Secara teori, model pembelajaran berbasis masalah PBL dan setting kelas kooperatif sesuai untuk diterapkan di dalam proses pembelajaran. Hal tersebut dikarenakan model pembelajaran berbasis masalah dengan setting kelas kooperatif dalam memancing peserta didik untuk dapat mecari ide atau gagasan mereka sendiri untuk menyelesaikan masalah yang disajikan serta peserta didik dapat aktif 68 dalam proses pembelajaran. Banyak penelitian menunjukkan bahwa model pembelajaran ini menunjukkan hasil yang baik. Model PBL lebih menekankan pada proses penyelesaian masalah. Dalam PBL, masalah – masalah yang disajikan harus dapat diselesaikan secara kritis dan dengan analisis yang runtut. Sedangkan untuk setting kooperatif menekankan pada kemampuan berdiskusi peserta didik dalam kelompok sehingga peserta didik dituntut aktif. Dalam pembelajaran kooperatif kemampuan komunikasi dan sosial peserta didik dapat berkembang dalam kelompok belajar mereka. Terdapat berbagai jenis model kooperatif seperti Number Head Together NHT, Teams Games Tournament TGT, Student Team Achievment Division STAD, Jigsaw, dan lain – lain. Jenis – jenis tersebut menurut teori yang telah ada terbukti mampu meningkatkan prestasi belajar peserta didik. Sehingga, dapat diambil kesimpulan bahwa pembelajaran kooperatif efektif untuk meningkatkan prestasi belajar peserta didik. Oleh karena itu, berdasarkan uraian di atas pembelajaran berbasis masalah dengan setting kooperatif efektif untuk meningkatkan prestasi dan kemampuan komunikasi matematis peserta didik. Model pembelajaran lain yang juga dapat memancing keaktifan peserta didik di kelas adalah model pembelajaran dengan pendekatan yang sesuai dengan kurikulum 2013 yaitu pembelajaran dengan pendekatan saintifik. Pada pendekatan saintifik peserta didik mengikuti pembelajaran dengan melalui lima tahapan yaitu mengamati, menanya, mengumpulkan informasi, mengasosiasi, dan mengomunikasi. Menurut teori yang ada, pada pembelajaran dengan pendekatan saintifik, proses pembelajaran dirancang sedemikian rupa agar peserta didik

Dokumen yang terkait

KEEFEKTIFAN MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE TEAMS GAMES TOURNAMENT PADA MOTIVASI BELAJAR DAN KEMAMPUAN KOMUNIKASI MATEMATIKA

1 55 230

IMPLEMENTASI PEMBELAJARAN MATEMATIKA DENGAN MODEL PEMBELAJARAN PBL BERBASIS NHT DAN GI Implementasi Pembelajaran Matematika Dengan Model Pembelajaran Pbl Berbasis Nht Dan Gi Ditinjau Dari Komunikasi Matematis.

0 3 12

IMPLEMENTASI PEMBELAJARAN MATEMATIKA DENGAN MODEL PEMBELAJARAN PBL BERBASIS NHT DAN GI DITINJAU DARI Implementasi Pembelajaran Matematika Dengan Model Pembelajaran Pbl Berbasis Nht Dan Gi Ditinjau Dari Komunikasi Matematis.

0 2 16

PENDAHULUAN Implementasi Pembelajaran Matematika Dengan Model Pembelajaran Pbl Berbasis Nht Dan Gi Ditinjau Dari Komunikasi Matematis.

0 3 6

EKSPERIMEN PEMBELAJARAN MATEMATIKA DENGAN MODEL Eksperimen Pembelajaran Matematika Dengan Model Discovery Berbasis Mind Map dan Concept Map Ditinjau dari Kemampuan Komunikasi Matematis Siswa.

0 3 19

EKSPERIMEN PEMBELAJARAN MATEMATIKA DENGAN MODEL Eksperimen Pembelajaran Matematika Dengan Model Discovery Berbasis Mind Map dan Concept Map Ditinjau dari Kemampuan Komunikasi Matematis Siswa.

1 4 17

PERBANDINGAN EFEKTIVITAS PEMBELAJARAN SAINTIFIK DENGAN SETTING PEMBELAJARAN KOOPERATIF STUDENT TEAM ACHIEVEMENT DIVISIONS (STAD) DAN JIGSAW DITINJAU DARI PRESTASI BELAJAR MATEMATIKA SISWA SMP KELAS VII.

3 14 368

KEEFEKTIFAN PENDEKATAN SAINTIFIK DENGAN SETTING MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE STUDENT TEAMS ACHIEVEMENT DIVISION (STAD) PADA MATERI BANGUN RUANG SISI DATAR DITINJAU DARI KEMAMPUAN KOMUNIKASI MATEMATIS DAN PRESTASI SISWA SMP.

0 2 113

PENGARUH MODEL PEMBELAJARAN PROBLEM BASED LEARNING (PBL) DENGAN SETTING PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE JIGSAW TERHADAP KEMAMPUAN KOMUNIKASI MATEMATIS DAN PRESTASI BELAJAR MATEMATIKA KELAS XI IPA SMA N 2 YOGYAKARTA.

1 3 90

EKSPERIMENTASI MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE JIGSAW DAN NUMBERED HEADS TOGETHER (NHT) DITINJAU DARI KEMANDIRIAN BELAJAR PADA PRESTASI BELAJAR MATEMATIKA

0 2 10