3. Keberadaan Outsourcing di Indonesia Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi
Dalam rangka menghindari kesimpangsiuran dan perbedaan cara pandang
antara kalangan pekerja dan pengusaha dalam menyikapi putusan Mahkamah Konstitusi terkait pengujian Undang-Undang Ketenagakerjaan pada 17 Januari 2012
yang lalu, Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi menindaklanjuti putusan MK No. 27PUU-IX2011 itu melalui Surat Edaran No. B.31PHIJSKI2012 tentang
Pelaksanaan Putusan Mahkamah Konstitusi No. 27PUU-IX2011. Surat Edaran Direktur Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial dan Jaminan
Sosial Tenaga Kerja Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia No. B.31PHIJSKI2012 tentang Pelaksanaan Putusan Mahkamah Konstitusi No.
27PUU-IX2011 diarahkan untuk melindungi pekerja, namun kalangan buruh merasa belum cukup. Tenaga outsourcing dalam pekerjaan yang sifatnya bukan borongan
atau tidak selesai dalam sekali waktu tetap diperbolehkan. Inilah yang merisaukan kalangan pekerja dan menilai putusan Mahkamah Konstitusi makin melegalkan
praktik outsourcing. Ada tiga hal penting yang dikritik,
56
56
Putusan MK Dianggap Makin Melegalkan Outsourcing, diakses dari
http:www.hukumonline.comberitabacalt4f1f92ad10d9bputusan-mk-dianggap-makin-melegalkan- outsourcing. Diakses terakhir kali tanggal 01 Februari 2012
pertama, putusan Mahkamah Konstitusi semakin mengukuhkan keberadaan outsourcing dalam sistem ketenagakerjaan di
Indonesia. Pekerja masih tetap bekerja di perusahaan penyedia agent tenaga kerja bukan di perusahaan pengguna tenaga kerja user. Kalangan serikat pekerja
UNIVERSITAS SUMATRA UTARA
menginginkan outsourcing yang bergerak di bidang penyediaan pekerjaburuh bukan borongan dihapuskan. Sehingga pekerja bekerja di perusahaan pemberi pekerjaan
secara langsung tanpa outsourcing. Kedua, putusan Mahkamah Konstitusi memang memperkecil jarak keuntungan yang diperoleh pekerja outsourcing dengan pekerja
tetap dengan jenis pekerjaan sama. Meminimalisir diskriminasi sangat penting, sehingga prinsip equal job equal pay dapat diterapkan, tetapi tetap saja pekerja
outsourcing sulit beralih posisi menjadi pekerja di perusahaan pemberi pekerjaan. Ketiga, posisi tawar pekerja outsourcing sangat lemah terutama dalam
membentuk serikat buruh. Ketika pekerja outsourcing ingin menuntut kenyamanan di tempat kerja, pekerja bingung akan menuntut kemana perusahaan penyedia atau
pemberi pekerjaan. Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi dalam Surat Edaran Direktur
Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial Tenaga Kerja Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia No.
B.31PHIJSKI2012 tentang Pelaksanaan Putusan MK No. 27PUU-IX2011, menyatakan bahwa ada 2 dua model yang harus dipenuhi dalam perjanjian kerja
outsourcing yaitu Pertama, dengan mensyaratkan agar perjanjian kerja antara pekerja dan perusahaan yang melaksanakan pekerjaan outsourcing tidak berbentuk perjanjian
kerja waktu tertentu PKWT, tetapi berbentuk perjanjian kerja waktu tidak tertentu PKWTT. Kedua, menerapkan prinsip pengalihan tindakan perlindungan bagi
pekerja yang bekerja pada perusahaan yang melaksanakan pekerjaan outsourcing.
UNIVERSITAS SUMATRA UTARA
Putusan Mahkamah Konstitusi ini menyiratkan bahwa setiap pekerja outsourcing terjamin kedudukannya dalam perusahaan pengguna karena pengalihan
perlindungan kerja bagi pekerjaburuh outsourcing kepada perusahaan outsourcing lainnya. Akan tetapi masalah kemudian timbul secara yuridis, yaitu siapakah
sebenarnya para pihak yang mengadakan perjanjian kerja, sebab seperti dikemukakan sebelumnya, perjanjian kerja outsourcing dilakukan antara perusahaan penyedia jasa
dengan pekerja outsourcing, di samping sifat dan jenis pekerjaan outsourcing pada dasarnya bukan untuk pekerjaan pokok dan oleh karenanya disubkontrakkan.
Bagi perjanjian kerja yang sudah disepakati dengan pekerja outsourcing sebelum diberlakukannya Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut, Putusan
Mahkamah Konstitusi tidak berlaku surut berdasarkan Surat Edaran Dirjen Pembinaan Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial Tenaga Kerja No.
B.31PHI.JSKI2012. Pada lain sisi, bagi pekerja outsourcing, sebenarnya Putusan Mahkamah
Konstitusi ini dianggap makin melegalkan outsourcing di Indonesia, dan terutama tidak disebutkan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi maupun Surat Edaran Dirjen
Pembinaan Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial Tenaga Kerja mengenai pekerjaan apa saja yang dapat di outsourcingkan.
Perusahaan penyedia jasa sangat tergantung kepada kebutuhan perusahaan pengguna dalam memberikan suatu pekerjaan bagi pekerja. Model kontrak
outsourcing berpeluang memunculkan sengketa perburuhan, hal ini terjadi karena Indonesia belum memiliki perangkat hukum yang khusus mengatur mengenai status
UNIVERSITAS SUMATRA UTARA
pekerja dari perusahaan penyedia jasa. Konflik hubungan kerja ini bahkan terus berlanjut hingga terjadi perselisihan hubungan industrial yang dibawa hingga tingkat
kasasi. Pada umumnya dalam beberapa kasus,
57
Pro kontra pekerja outsourcing ini sampai sekarang menjadi dilematis karena di satu sisi secara efisiensi, pekerja outsourcing dipandang pengusaha sebagai salah
satu jalan ke luar dalam mencari tenaga kerja yang aman dan di sisi lain kedudukan bagi pekerja dengan bekerja secara outsourcing tidak menentu terutama oleh karena
hampir secara keseluruhan, pekerja outsourcing bekerja dengan dasar PKWT. Hampir di semua lini pekerjaan dapat dimasuki oleh pekerja outsourcing dewasa ini termasuk
pekerjaan pokok, yang sebenarnya dilarang oleh Undang-Undang No. 13 Tahun 2003. Oleh karena terikat PKWT, maka sudah menjadi rahasia umum jika pekerja
pengadilan tidak dapat memenangkan pekerja outsourcing yang meminta dipekerjakan kembali di
perusahaan pemberi pekerjaan maupun apabila diputus hubungan kerjanya dilakukan prosedur PHK seperti yang diatur dalam undang-undang, karena pada dasarnya secara
hukum hubungan kerja yang terjadi adalah antara perusahaan penyedia jasa dengan pekerja, bukan dengan perusahaan pemberi pekerjaan. Kalaupun di dalam ketentuan
undang-undang diatur bahwa pekerja outsourcing dijamin hak-haknya oleh perusahaan penyedia jasa namun apabila terjadi pelanggaran hal tersebut tidak serta
merta menyebabkan kedudukan mereka secara yuridis dapat berubah.
57
Beberapa kasus, a.l. adalah tahun 2002 pekerja di PT Tri Patra Engineer and Contractor menolak PHK yang dilakukan terhadap mereka dan minta dipekerjakan kembali di PT Caltex Pacific
Indonesia, karena menganggap PT TPEC bukan majikan mereka sebagai perusahaan penyedia jasa, juga kasus PHK karyawan outsourcing PT Bakrie Tosan Jaya berdasarkan Putusan Kasasi MA No 192
KPHI2007 yang memenangkan termohon kasasi PT Bakrie Tosan Jaya sebagai perusahaan pengguna yang menolak memberikan kompensasi PHK kepada karyawan outsourcingnya.
UNIVERSITAS SUMATRA UTARA
outsourcing masuk, ke luar dan kembali lagi bekerja di perusahaan pengguna yang sama bertahun-tahun dengan sistem outsourcing.
Permasalahan lain dalam hubungan hukum berupa hubungan kerja adalah mengenai sanksi. Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tidak memuat mengenai sanksi
terhadap pelanggaran ketentuan pasal-pasal yang mengatur mengenai perjanjian kerja. Hal ini secara yuridis disadari amat rawan bagi pekerja untuk menuntut hak-
haknya secara hukum, apabila terjadi pelanggaran terhadap ketentuan perjanjian kerja dalam undang-undang tersebut. Oleh karenanya wajar apabila terjadi pekerja yang
bekerja terus menerus dengan sistem kontrak yang diperbaharui, atau bahkan kemudian dialihkan menjadi pekerja outsourcing yang konsekuensi sanksi hukumnya
lebih mudah dihindari oleh perusahaan pemberi kerja. Bergantungnya perjanjian kerja bagi pekerja outsourcing dengan perjanjian
kerjasama antara perusahaan pemberi pekerjaan dengan perusahaan penyedia jasa pekerjaburuh, dapat ditarik analogi seperti hubungan accessoir dalam kedua
perjanjian tersebut. Artinya perjanjian kerja outsourcing sangat bergantung pada perjanjian kerjasama perusahaan pemberi pekerjaan dan penyedia jasa. Apabila
perjanjian kerjasamanya berakhir sebelum waktu yang diperjanjikan, maka perjanjian kerja outsourcing juga dengan demikian menjadi berakhir bersamaan dengan
berakhirnya perjanjian pokoknya yaitu perjanjian kerjasama antara perusahaan pemberi pekerjaan dan perusahaan penyedia jasa.
Konsekuensi apabila perjanjian kerja waktu tidak tertentu tidak sesuai dengan syarat-syarat perjanjian kerja berdasarkan Pasal 59 Undang-Undang No. 13 Tahun
UNIVERSITAS SUMATRA UTARA
2003 tentang ketenagakerjaan, maka perjanjian kerja waktu tertentu berubah menjadi perjanjian kerja waktu tidak tertentu dan dengan demikian para pekerjanya bukan lagi
menjadi pekerja kontrak tetapi di angkat menjadi pekerja tetap. Masa kerja pekerja tersebut pun dimulai sejak pertama kali pekerja tersebut diterima bekerja, akan tetapi
ketentuan Undang-undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang membatasi pekerja yang bekerja dengan dasar perjanjian kerja waktu tertentu secara
terus menerus dan demi hukum akan berubah status menjadi pekerja tetap serta ketentuan mengenai pekerja outsourcing yang kedudukannya dapat beralih menjadi
pekerja di perusahaan pengguna apabila terjadi pelanggaran ketentuan Pasal 65 dan 66 dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan tersebut mengenai penyerahan sebagian
pekerjaan kepada perusahaan lain, mengakibatkan akal-akalan yang terjadi selama ini adalah mempekerjakan mereka kembali dengan status pekerja baru dengan
memberikan masa jeda selama beberapa bulan sebelum pekerja tersebut dipekerjakan kembali. Hal tersebut di atas tentu sangat merugikan pekerja, sebab status dan
kedudukan pekerja menjadi tidak jelas serta tidak ada kepastian hukum bagi pihak pekerja itu sendiri.
Keluhan lain datang dari pihak perusahaan penyedia jasa pekerja outsourcing. Hampir semua perusahaan penyedia jasa pekerja outsourcing mengeluhkan
kemampuan dan kompetensi pekerja outsourcing yang rendah di samping apabila pekerja outsourcing dari perusahaannya melakukan tindakan pidana dalam
perusahaan atau pelanggaran lain yang merugikan perusahaan pemberi pekerjaaan, maka perusahaan outsourcing yang menanggungnya. Hal tersebut menjadi berat, oleh
UNIVERSITAS SUMATRA UTARA
karena tindakan pelanggaran yang dilakukan pekerja outsourcing tidak sebanding dengan pemasukan yang diterima perusahaan penyedia jasa pekerjaburuh. Sulitnya
memperoleh pekerja yang berkualitas baik secara akademis, teknis dan mental kepribadian juga masih menjadi masalah bagi perusahaan penyedia jasa
pekerjaburuh. Keluhan terakhir akhirnya tetap datang dari pekerja outsourcing yang semula
berstatus sebagai pekerja kontrak bertahun-tahun dengan pembaharuan kemudian beralih menjadi pekerja outsourcing yang dalam kontraknya harus menawarkan jasa
dan terikat dengan ketentuan-ketentuan yang memberatkan.
58
Menurut analisa peneliti model outsourcing yang pertama dalam Surat Edaran Direktur Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial Tenaga Kerja
Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia No. B.31PHIJSKI2012 tentang Pelaksanaan Putusan MK No. 27PUU-IX2011 yaitu
dengan mensyaratkan agar perjanjian kerja antara pekerja dan perusahaan outsourcing tidak berbentuk perjanjian kerja waktu tertentu PKWT, tetapi
berbentuk perjanjian kerja waktu tidak tertentu PKWTT, lebih efektif diterapkan pada outsourcing pekerjaburuh karena pada umumnya outsourcing pekerjaburuh
Sebagian pekerja outsourcing ini cenderung lebih memilih bekerja kontrak dibandingkan dengan
bekerja secara outsourcing karena kemudian menjadi lebih tidak jelas mengenai hak dan kedudukannya.
58
Kasus pekerja wartawan korespondensi kontrak PT Tempo Interaktif area Jawa Tengah yang beralih status menjadi pekerja outsourcing, Purwokerto, Oktober 2011.
UNIVERSITAS SUMATRA UTARA
digunakan untuk jenis pekerjaan yang tetap ada seperti security dan cleaning service sehingga job security dan pengembangan karir dari pekerja outsourcing bisa
terlaksana dengan baik dengan demikian tidak adalagi perbedaan dalam hal keamanan kerja dan pemenuhan hak-hak normatif yang diatur dalam Undang-Undang
antara pekerjaburuh dari perusahaan pemberi pekerjaan dengan pekerjaburuh outsouricng.
Model outsourcing yang kedua dalam Surat Edaran Direktur Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial Tenaga Kerja Kementerian
Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia No. B.31PHIJSKI2012 tentang Pelaksanaan Putusan MK No. 27PUU-IX2011 yaitu bagi hubungan kerja antara
pekerja dengan perusahaan outsourcing yang menggunakan perjanjian kerja waktu tertentu menerapkan prinsip pengalihan tindakan perlindungan bagi pekerja yang
bekerja pada perusahaan yang melaksanakan pekerjaan outsourcing Transfer Of Undertaking Protection Of Employment untuk objek kerja yang sama lebih efektif
diterapkan dalam outsourcing pekerjaan. Dengan adanya pengalihan perlindungan bagi pekerja outsourcing akan memberikan jaminan akan kelangsungan kerja sesuai
dengan perjanjian kerja yang telah disepakati dari awal, dengan demikian walaupun terjadi penggantian perusahaan pemborong pekerjaan sebelum habis masa perjanjian
pemborongan pekerjaan para pekerjaburuh outsourcing tetap akan dipekerjakan oleh perusahaan pemborong pekerjaan lainnya yang menggantikan perusahaan pemborong
sebelumnya sampai perjanjian pemborongan pekerjaan selesai sesuai dengan waktu yang telah ditetapkan.
UNIVERSITAS SUMATRA UTARA
Dalam amar putusannya pada putusan Mahkamah Konstitusi No. 27PUU- IX2011 disebutkan perjanjian kerja waktu tertentu dalam pasal 65 ayat 7 dan
perjanjian kerja untuk waktu tertentu dalam Pasal 66 ayat 2 huruf b Undang- Undang No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan bertentangan dengan Undang-
Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang dalam perjanjian kerja tersebut tidak disyaratkan adanya
pengalihan perlindungan hak-hak bagi perusahaan yang melaksanakan sebagian pekerjaan borongan dari perusahaan lain atau perusahaan penyedia pekerjaburuh,
namun tidak dijelaskan konsekuensi hukum atas tidak dimilikinya kekuatan hukum yang mengikat atas perjanjian kerja waktu tertentu tersebut hal.
Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi selaku pelaksana teknis mengenai ketenagakerjaan dalam Surat Edaran Dirjen Pembinaan Hubungan
Industrial dan Jaminan Sosial Tenaga Kerja No. B.31PHI.JSKI2012 hanya mempertegas Keputusan Mahkamah Konstitusi No. 27PUU-IX2011 tanpa
menjelaskan lebih lanjut mengenai konsekuensi hukum yang ditimbulkan akibat putusan tersebut. Hal inilah yang menurut peneliti Putusan Mahkamah Konstitusi
malah semakin membuat binggung para kalangan baik pengusaha maupun pekerja, yang seharusnya hal ini tidak boleh sampai terjadi karena masalah ketenagakerjaan
merupakan hal yang sangat penting dan menyangkut harkat hidup orang banyak.
UNIVERSITAS SUMATRA UTARA
B. Pelaksanaan Outsourcing antara PT. Mahkota Group dengan PT. ISS Indonesia
Pasal 59 ayat 1 Undang-undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan merumuskan bahwa: perjanjian kerja waktu tertentu hanya dapat
dibuat untuk pekerjaan tertentu yang menurut jenis dan sifat atau kegiatan pekerjaannya akan selesai dalam waktu tertentu, yaitu:
1. Pekerja yang sekali selesai atau yang sementara sifatnya;
2. Pekerjaan yang diperkirakan penyelesaiannya dalam waktu yang tidak
terlalu lama dan paling lama tiga tahun; 3.
Pekerjaan yang bersifat musiman, atau; 4.
Pekerjaan yang berhubungan dengan produk baru, kegiatan baru atau produk tambahan yang masih dalam percobaan atau penjajakan.
Pada awal berdirinya pihak manajemen PT. Mahkota Group merencanakan mengenai status pekerja, selain pekerja dengan status pekerja tetap pada level
managerial juga akan direkrut pekerjaburuh kontrak untuk pekerjaan pendukung seperti cleaning service dan security,
59
59
Wawancara dengan Julia HCM Coordinator PT. Mahkota Group pada tanggal 2 Maret 2012.
namun setelah mengetahui adanya pengaturan yang melarang memperkerjakan pekerja kontrak lebih dari tiga tahun untuk pekerjaan
yang dilakukan terus menerus maka perekrutan pekerjaburuh kontrak dibatalkan, pihak manajemen memilih menyerahkan sebagian dari pekerjaan tersebut kepada
pihak ketiga dengan menggunakan jasa perusahaan penyedia jasa pekerjaburuh.
UNIVERSITAS SUMATRA UTARA
Faktor lain yang mendorong pihak manajemen PT. Mahkota Group melakukan penyerahan sebagian pekerjaan melalui perusahaan penyediaan jasa
pekerjaburuh adalah PT. Mahkota Group menyadari dari sudut pandang ekonomi penyerahan sebagian pekerjaan kepada perusahaan lain membawa dampak yang
positif bagi efisiensi dan efektifitas dalam hal biaya dan resiko ketenagakerjaan.
60
Keuntungan yang diperoleh dari PT. Mahkota Group dengan menyerahkan sebagian pekerjaan melalui perusahaan penyediaan jasa pekerjaburuh adalah PT.
Mahkota Group dapat membagi resiko dengan pihak lain, dengan diserahkan beberapa aktivitas perusahaan kepada pihak ketiga maka resiko akan ditanggung
bersama misalnya ketika perusahaan harus melakukan pemutusan hubungan kerja dimana hal tersebut menjadi tanggung jawab perusahaan penyedia jasa pekerjaburuh.
Selain itu, dengan outsourcing, perusahaan dapat mengurangi dan mengendalikan biaya operasional seperti biaya pengawasan dan pelatihan pekerjaburuh,
Pengurangan biaya ini dapat dimungkinkan dengan bekerjasama dengan mitra outsourcing yang memberikan penawaran jasa penyedia pekerjaburuh yang
kompeten dibidangnya dengan harga yang kompetitif.
61
Penggunaan pekerjaburuh
outsourcing membuat perusahaan dapat
memusatkan diri pada masalah dan strategi utama, karena pelaksanaan tugas sehari- hari yang kecil-kecil, seperti cleaning service diserahkan kepada pihak ketiga.
Pelaksanaan tugas sehari-hari yang kecil-kecil seringkali menghabiskan waktu dan
60
Ibid
61
Ibid
UNIVERSITAS SUMATRA UTARA
tenaga para manajer tengah yang sering kali bersifat counter productive terhadap pencapaian tujuan utama perusahaan, dengan mengalihkan non core business, para
manajer perusahaan dapat lebih mengkonsentrasikan diri pada bisnis utama atau core businessnya sehingga akan dapat menghasilkan kinerja yang lebih baik dan
mempercepat perkembangan perusahaan. Umumnya jenis pekerjaan yang diserahkan kepada pihak melalui pekerjaan
pemborongan atau penyediaan jasa pekerjaburuh adalah sebagai berikut: 1.
Outsourcing Pekerjaan, seperti: jasa pemeliharaan jalan untuk perkebunan kelapa sawit, dan jasa pembukaan lahan land clearing.
2. Outsourcing Pekerja, seperti: Cleaning Service dan Security.
Berdasarkan uraian tersebut terlihat bahwa tidak semua pekerjaan diserahkan kepada pihak lain yang dilaksanakan melalui perjanjian pemborongan pekerjaan atau
penyediaan jasa pekerjaburuh. Hanya pekerjaan yang bersifat penunjang yang tidak berhubungan langsung dengan proses produksi atau core business yang diserahkan
kepada perusahaan lain. PT. Mahkota Group tidak memiliki sumber daya yang dibutuhkan untuk
melakukan aktivitas cleaning service dan security secara baik dan memadai, oleh sebab beberapa hal yang telah diuraikan diatas, PT. Mahkota Group menyerahkan
kepada pihak ketiga melalui perjanjian kerjasama penyediaan jasa pekerjaburuh. Penyerahan kepada pihak ketiga telah dilakukan sejak perusahaan ini berdiri sampai
UNIVERSITAS SUMATRA UTARA
dengan sekarang. Mitra kerja perusahaan dalam jasa cleaning service adalah PT. ISS Indonesia.
62
Penyerahan sebagian pekerjaan dari PT. Mahkota Group kepada PT. ISS Indonesia dilaksanakan melalui Perjanjian kerjasama penyediaan jasa cleaning
sercive No. 073MRS2010IVM328. Perjanjian kerjasama tersebut bila dinalisa dari perspektif KUH perdata yaitu Pasal 1338 KUH Perdata asas kebebasan berkontrak,
“Semua persetujuan yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Persetujuan-persetujuan itu tidak dapat ditarik kembali
selain dengan sepakat kedua belah pihak, atau karena alasan-alasan yang oleh undang-undang dinyatakan cukup untuk itu. Persetujuan-persetujuan harus
dilaksanakan dengan itikad baik.” Dengan demikian suatu kontrak yang telah memenuhi syarat menurut undang-undang sebagaimana diatur dalam Pasal 1338,
diakui oleh hukum pelaksanaannya. Berdasarkan pasal 1320 KUH Perdata untuk sahnya suatu perjanjian harus
memenuhi empat syarat merupakan syarat pokok, yang dapat dibedakan ke dalam dua kelompok, yaitu:
1. Syarat subyektif,
63
a Kesepakatan
yaitu syarat-syarat yang berhubungan dengan subyek kontrak, terdiri:
62
Ibid
63
Suatu kontrak yang tidak dapat memenuhi syarat-syarat subyektif dapat dimintakan pembatalannya. Dengan kata lain, kontrak ini dari semula sudah dilaksanakan atau berlaku bagi para
pihak, tetapi karena tidak terpenuhinya syarat subyektifnya, yaitu adanya kesepakatan dan kecakapan dari para pihak, atas permintaan dari pihak yang meminta pembatalan dapat dinyatakan batal oleh
hakim, jika tidak kontrak itu selamanya sah dan berlaku
UNIVERSITAS SUMATRA UTARA
b Kecakapan
2. Syarat obyektif,
64
a Hal tertentu
yaitu syarat-syarat mengenai obyek dari kontrak, yaitu:
b Sebab yang halal
Perjanjian kerjasama penyediaan jasa pekerjaburuh antara PT. Mahkota Group dan PT. ISS Indonesia telah memenuhi persyaratan subjektif yaitu para pihak
sepakat untuk mengadakan perjanjian penyediaan jasa pekerjaburuh, dimana pihak yang mengadakan kesepakatan memiliki kecakapan untuk mewakili PT. Mahkota
Group dan PT. ISS Indonesia dan persyaratan objektif dalam kontrak tersebut terdapat hal tertentu yaitu penyediaan jasa pekerjaburuh untuk cleaning service dan
dilakukan dengan sebab yang halal dan tidak bertentangan dengan norma-norma yang ada didalam masyarakat.
Dari perspektif hukum ketenagakerjaan, dalam perjanjian kerjasama penyediaan jasa pekerjaburuh antara PT. Mahkota Group dengan PT. ISS Indonesia
No. 073MRS2010IVM328 ada 4 empat hal yang dapat dianalisa antara lain : 1.
Pekerjaan yang diberikan kepada pekerjaburuh dari perusahaan penyedia jasa pekerjaburuh merupakan pekerjaan yang bersifat penunjang yaitu cleaning
service dan bukan pekerjaan pokok yang berhubungan langsung dengan kegiatan produksi hal ini sesuai dengan Pasal 66 ayat 1 Undang – Undang
No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dimana dalam penjelasannya
64
Suatu kontrak adalah batal demi hukum katena tidak terpenuhinya syarat objektif dari kontrak sehingga dari semula sudah batal.
UNIVERSITAS SUMATRA UTARA
disebutkan yang dimaksud kegiatan jasa penunjang atau kegiatan yang tidak berhubungan langsung dengan proses produksi adalah kegiatan yang
berhubungan di luar usaha pokok core business suatu perusahaan. Kegiatan tersebut antara lain: usaha pelayanan kebersihan cleaning service, usaha
penyediaan makanan bagi pekerjaburuh catering, usaha tenaga pengaman securitysatuan pengamanan, usaha jasa penunjang di pertambangan dan
perminyakan, serta usaha penyediaan angkutan pekerjaburuh. Pertanyaan yang kemudian muncul apakah yang termasuk pekerjaan pendukung terbatas
pada pekerjaan yang terdapat dalam penjelasan pasal 66 Undang-Undang No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, Pengaturan mengenai jenis
pekerjaan pokok dan penunjang support kurang lengkap karena tidak mendefinisikan secara jelas dan lengkap kategori pekerjaan–pekerjaan mana
saja yang termasuk pekerjaan pokok dan pekerjaan penunjang support yang pada prakteknya akan menimbulkan perdebatan dan celah hukum untuk
penyalahgunaan pekerjaburuh outsourcing; 2.
Perjanjian kerjasama penyediaan jasa pekerjaburuh dibuat secara tertulis dan PT. ISS Indonesia yang merupakan perusahaan penyedia jasa pekerjaburuh
memiliki badan hukum dan izin dari instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan sesuai Pasal 66 ayat 3 Undang–Undang No. 13
tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan hal ini dilakukan untuk menjamin pertanggung jawaban hukum perusahaan penyedia jasa pekerjaburuh atas
UNIVERSITAS SUMATRA UTARA
perlindungan upah, kesejahteraan, syarat–syarat kerja dan penyelesaian jika terjadi perselisihan timbul yang berkaitan dengan pekerjaburuh outsourcing;
3. Dalam perjanjian tersebut tidak terdapat pasal–pasal yang berisikan penegasan
tentang hubungan kerja yang terjadi antara perusahaan penyedia jasa dengan pekerjaburuh yang dipekerjakan perusahaan penyedia jasa sehingga
perlindungan upah dan kesejahteraan, syarat–syarat kerja serta perselisihan yang timbul menjadi tanggung jawab perusahaan penyedia jasa pekerjaburuh
hal ini tidak sesuai dengan Pasal 4 huruf b Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No. Kep.101MENVI2004 tentang Tata Cara Perijinan
Perusahaan Penyedia Jasa PekerjaBuruh; 4.
Dalam perjanjian tersebut tidak terdapat pasal-pasal yang berisikan penegasan bahwa perusahaan penyedia jasa pekerjaburuh bersedia menerima
pekerjaburuh di perusahaan penyedia jasa pekerjaburuh sebelumnya untuk jenis-jenis pekerjaan yang terus menerus ada diperusahaan pemberi pekerjaan
dalam hal terjadi penggantian perusahaan penyedia jasa pekerjaburuh hal ini tidak sesuai dengan Pasal 4 huruf c Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan
Transmigrasi No. Kep.101MENVI2004 tentang Tata Cara Perijinan Perusahaan Penyedia Jasa PekerjaBuruh.
Perjanjian ini butuh penambahan pasal – pasal yang belum mengakomodasi hal – hal yang diatur oleh peraturan yang berlaku dibidang ketenagakerjaan namun sangat
disayangkan dalam Keputusan Menteri Tenaga Kerja No. KEP.101MENVI2004 tidak memuat sanksi apabila perjanjian penyerahan sebagian pekerjaaan melalui
UNIVERSITAS SUMATRA UTARA
perjanjian penyediaan jasa pekerjaburuh tidak sesuai Pasal 4 Keputusan Menteri Tenaga Kerja No. KEP.101MENVI2004 sehingga tidak ada konsekuensi hukum
bagi para pihak dalam perjanjian penyediaan jasa pekerjaburuh yang tidak merevisi perjanjian tersebut.
Ketidakjelasan mengenai rumusan hubungan kerja serta tidak adanya perjanjian tertulis yang menegaskan perlindungan upah dan kesejahteraan, syarat-
syarat kerja serta perselisihan yang timbul menjadi tanggung jawab perusahaan penyedia jasa pekerjaburuh dan tidak adanya penegasan bahwa perusahaan penyedia
jasa pekerjaburuh bersedia menerima pekerjaburuh di perusahaan penyedia jasa pekerjaburuh sebelumnya untuk jenis-jenis pekeraan yang terus menerus ada
diperusahaan pemberi pekerjaan dalam hal terjadi penggantian perusahaan penyedia jasa pekerjaburuh menimbulkan ketidakjelasan dalam perlindungan buruhpekerja
outsourcing PT. ISS Indonesia yang dipekerjakan di PT. Mahkota Group.
C. Hak dan Kewajiban Pekerja A.
Hak-hak Pekerja Menurut Darwan Prints, yang dimaksud dengan hak di sini adalah sesuatu
yang harus diberikan kepada seseorang sebagai akibat dari kedudukan atau status dari seseorang, sedangkan kewajiban adalah suatu prestasi baik berupa benda atau jasa
yang harus dilakukan oleh seseorang karena kedudukan atau statusnya.
65
65
Darwin Prints, Hukum Ketenagakerjaan Indonesia, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2000, hal. 22.
UNIVERSITAS SUMATRA UTARA
Berikut adalah hak-hak pekerja dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun
2003 tentang Ketenagakerjaan:
a. Hak memiliki kesempatan yang sama tanpa diskriminasi untuk memperoleh
pekerjaan Pasal 5;
b. Hak memperoleh perlakuan yang sama tanpa diskriminasi dari pengusaha
Pasal 6; c.
Hak memperoleh danatau meningkatkan danatau mengembangkan kompetensi kerja sesuai dengan bakat, minat dan kemampuan melalui
pelatihan kerja Pasal 11; d.
Hak memiliki kesempatan yang sama untuk mengikuti pelatihan kerja sesuai dengan bidang tugasnya Pasal 12 ayat 3 ;
e. Hak memperoleh pengakuan kompetensi kerja setelah mengikuti pelatihan
kerja yang diselenggarakan lembaga pelatihan kerja pemerintah, lembaga pelatihan kerja swasta atau pelatihan di tempat kerja Pasal 18 ayat 1;
f. Hak untuk memilih, mendapatkan atau pindah pekerjaan dan memperoleh
penghasilan yang layak di dalam atau di luar negeri Pasal 31; g.
Hak pekerjaburuh perempuan untuk memperoleh istirahat selama satu setengah bulan sebelum saatnya melahirkan dan satu setengah bulan sesudah
melahirkan menurut perhitungan dokter kandungan atau bidan Pasal 82 ayat1 ;
UNIVERSITAS SUMATRA UTARA
h. Hak pekerjaburuh perempuan yang mengalami keguguran kandungan untuk
memperoleh istirahat satu setengah bulan atau sesuai dengan surat keterangan dokter kandungan atau bidan Pasal 82 ayat 2;
i. Hak untuk menggunakan waktu istirahat sebagaimana dimaksud dalam Pasal
79 ayat 2 huruf b,c dan d, Pasal 80 dan Pasal 82 dengan mendapat upah penuh Pasal 84;
j. Hak untuk memperoleh perlindungan atas :
1 Keselamatan kerja;
2 Moral dan kesusilaan; dan
3 Perlakuan yang sesuai dengan harkat dan martabat manusia serta nilai-
nilai agama Pasal 86 ayat 1; k.
Hak memperoleh penghasilan yang memenuhi penghidupan yang layak bagi kemanusiaan Pasal 88 ayat 1;
l. Hak memperoleh jaminan sosial tenaga kerja Pasal 99 ayat 1;
m. Hak untuk membentuk dan menjadi anggota serikat pekerjaburuh Pasal 104
ayat 1; n.
Hak untuk mengadakan mogok kerja yang dilakukan secara sah, tertib dan damai sebagai akibat gagalnya perundingan Pasal 137;
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja juga mengatur hak-hak pekerjaburuh antara lain sebagai berikut :
a. Hak atas jaminan sosial tenaga kerja Pasal 3 ayat 2;
UNIVERSITAS SUMATRA UTARA
b. Hak menerima jaminan kecelakaan kerja bagi pekerjaburuh yang tertimpa
kecelakaan kerja Pasal 8 ayat 1; c.
Hak untuk menerima jaminan kematian yang diberikan kepada keluarga pekerjaburuh, bila pekerjaburuh meninggal dunia bukan akibat kecelakaan
kerja Pasal 12 ayat 1; d.
Hak untuk memperoleh jaminan pemeliharaan kesehatan bagi pekerjaburuh berikut dengan suami atau isteri dan anak Pasal 16 ayat 1;
e. Hak atas jaminan hari tua karena faktor usia pensiun 55 lima puluh lima
tahun, cacat tetap total atau beberapa alasan lainnya Pasal 14 dan Pasal 15;
2. Kewajiban Pekerja