adil dan tidak setara antara mereka ketidaksetaraan gender dalam pelayanan kesehatan. Saat ini fokus utama pelayanan kesehatan masih menekankan aspek medis
dan kurang sekali memperhatikan isu-isu sosial. Padahal perbedaan sosial antara laki- laki dan perempuan merupakan penyebab utama mencuatnya kesenjangan antara
mereka, sehingga pada akhirnya memengaruhi derajat kesehatan mereka Makarao, 2009.
2.3.1 Akses Pelayanan Kesehatan
Kemampuan perempuan untuk hamil dan melahirkan menunjukkan bahwa mereka memerlukan pelayanan kesehatan reproduksi yang berbeda, baik dalam
keadaan sakit maupun sehat. Oleh karena itu pelayanan kesehatan reproduksi yang berkualitas, sangat menentukan kesejahteraan dirinya Depkes RI, 2003.
Salah satu indikator akses perempuan kepada pelayanan kesehatan adalah pelayanan antenatal bagi perempuan hamil. Kebijakan nasional untuk mencakup
semua perempuan hamil dengan sedikitnya 4 kali pemeriksaan antenatal. Depkes RI 2007, menyatakan bahwa kebijakan pemerintah adalah mendorong perempuan
hamil untuk memperoleh pemeriksaan antenatal pertamanya pada trimester pertama. Data SDKI 2001, mengungkapkan bahwa hanya 72 perempuan yang
melakukannya. Mereka yang di perkotaan memiliki kemungkinan lebih besar untuk memperoleh pemeriksaan kehamilan dibandingkan mereka di pedesaan 79
berbanding 66 . Hasil penelitian Zaluchu 2005 secara kualitatif ditemukan bahwa kehamilan
dianggap sebagai sebuah hal biasa, yang tidak perlu dianggap sebagai tahapan
UNIVERSITAS SUMATRA UTARA
penting oleh masyarakat dan ibu hamil sendiri. Bagi masyarakat, ritual persalinan lebih penting daripada kehamilan itu sendiri dan tidak ada kepentingan yang harus
dicermati dengan lebih baik ketika kehamilan terjadi. Keadaan ini mengakibatkan wanita hamil mengabaikan banyak hal-hal penting untuk perawatan kehamilannya.
Rendahnya pemeriksaan antenatal antenatal care berhubungan dengan keengganan masyarakat menjadikannya sebagai prioritas.
2.3.2 Pengambilan Keputusan terhadap Kehamilan
Hak reproduksi mencakup pengakuan hak-hak asasi pasangan dan pribadi untuk menentukan secara bebas dan bertanggung jawab mengenai jumlah anak dan
menentukan waktu kelahiran anak-anak mereka. Perempuan diharapkan tampil menjadi subjek utama yang mengontrol kesehatan reproduksinya, karena
perempuanlah yang memiliki rahim. Meskipun perempuan merupakan key-person dari efektivitas pelaksanaan kesehatan reproduksinya, dalam kenyataannya
perempuan di Indonesia masih banyak yang belum dapat mengambil keputusan sendiri meski itu menyangkut dirinya. Perempuan masih selalu tergantung pada orang
diluar dirinya seperti suami, orangtua, keluarga besarnya Yustina, 2005. Hak-hak reproduksi meliputi sebagian hak-hak azasi manusia yang sudah diakui
kekuatan hukumnya baik secara nasional maupun internasional. Menurut hasil kesepakatan Konferensi Kependudukan dan Pembangunan Internasional ICPD di
Kairo tahun 1994, hak-hak reproduksi mencakup hak untuk hidup bebas dari resiko kematian karena kehamilan, hak atas kebebasan dan keamanan atas kehidupan
reproduksinya, hak atas kesetaraan dan bebas dari segala bentuk diskriminasi, hak
UNIVERSITAS SUMATRA UTARA
atas kerahasiaan pribadi, hak kebebasan berpikir, hak memilih bentuk keluarga dan untuk membangun serta merencanakan keluarga, hak untuk memutuskan secara bebas
mengenai jumlah anak, menentukan waktu kelahiran anak dan cara untuk mernperolehnya. Masalah kesehatan reproduksi ini, walau telah memiliki landasan
hukum yang kuat, namun dalam prakteknya terdapat kesenjangan antara prinsip- prinsip hukum dengan realitas sosial, karena hak reproduksi banyak dipengaruhi oleh
masalah relasi sosial Depkes RI, 2003.
2.3.2.1 Faktor-faktor yang Memengaruhi Pengambilan Keputusan dalam Keluarga
Pengambilan keputusan dalam keluarga dipengaruhi oleh informasi, ketrampilan dalam berkomunikasi dan posisi anggota keluarga. Pengetahuan
seseorang terkait erat dengan terpaan informasi, baik bersumber dari media massa maupun non media massa. Akses wanita ke media massa lebih rendah dari pria.
Konstruksi gender telah berhasil membangun satu aspek pendidikan keluarga bahwa anak wanita dididik untuk tidak banyak bicara sehingga akan mencerminkan wibawa.
Wibawa yang terpancar akan memiliki kekuatan dengan sekali bicara akan didengar dan dipatuhi terutama oleh anak-anaknya, tetapi hasil pendidikan dalam keluarga ini
yang menonjol bukan produk kewibawaan tapi ketidakberanian mengeluarkan pendapat, gagap berbicara, sulit merumuskan kalimat yang sesuai apa yang
diinginkannya, tidak memiliki kekuatan untuk mengemukakan masalah tersebut Hidayat, 2005.
UNIVERSITAS SUMATRA UTARA
Pemasungan kreativitas berkomunikasi pada anak-anak wanita yang dipraktekkan banyak keluarga di pedesaan, akhirnya bermuara pada kondisi yang
menempatkan mereka pada posisi tidak dapat melaksanakan keputusan. Ketidakterampilan berkomunikasi dalam proses pembuatan keputusan, menempatkan
ibu-ibu rumah tangga dalam posisi yang relatif rendah, sehingga kebutuhan dan keinginannya sulit terealisasikan. Keputusan yang dihasilkan cenderung didominasi
kepentingan suami, sekalipun keputusan tersebut menyangkut masalah-masalah yang berkaitan hidup matinya ibu-ibu itu sendiri seperti masalah kesehatan reproduksi.
2.3.2.2 Tipe-tipe Pengambilan Keputusan
Menurut Abdullah 2001, terdapat tiga tipe pengambilan keputusan pemeliharaan kesehatan reproduksi dalam keluarga :
1 Musyawarah, banyak ditempuh oleh keluarga di pedesaan. Prosedurnya si istri
menyampaikan masalah atau keinginan yang berkaitan dengan pemeliharaan kesehatan reproduksi. Dilanjutkan untuk mencari jalan ke luar atau
memecahkan masalah, atas dasar argumen yang dikemukakan suami dan istri sehingga diperoleh keputusan yang memuaskan kedua pihak.
2 Dominan istri, umumnya terjadi pada kelompok ibu-ibu rumah tangga yang
wewenang penuh untuk mengambil keputusan sendiri. Ibu-ibu rumah tangga ini dalam prakteknya tetap memberitahu suami sebagai bentuk permintaan izin
sebelum melaksanakan keputusan yang ia buat sendiri. 3
Dominan suami, tipe pengambilan keputusan seperti ini banyak berlaku pada ibu-ibu rumah tangga yang relatif tua. Terdapat dua klasifikasi pengambilan
UNIVERSITAS SUMATRA UTARA
keputusan dari tipe dominan suami ini, yaitu pertama, suami yang langsung membuat keputusan sendiri begitu istrinya mengemukakan permasalahan yang
dihadapi, tanpa banyak bertanya atau meminta pertimbangan istri terlebih dulu. Kedua, suami akan meminta pendapat dan keinginan istrinya dalam proses
pembuatan keputusan. Selanjutnya ia memutuskan tindakan yang harus dijalankan istrinya tanpa melalui tahapan pencapaian kesepakatan antara suami
dan istri.
2.3.3 Partisipasi Suami dalam Perawatan Kehamilan
Partisipasi suami saat kehamilan sangat penting untuk membantu ketenangan jiwa istrinya. Suami yang baik adalah suami yang memenuhi kebutuhan istrinya,
membantu perawatannya, dan terlibat secara dekat dengan segala sesuatu yang terjadi pada istrinya. Seorang ayah seharusnya bekerja keras, bertanggung jawab dan
meluangkan waktu untuk istri yang akan menciptakan kesenangan, kepuasan dan kebahagiaan yang tak terukur. Selama kehamilan maupun persalinan, istri biasanya
menggantungkan semangatnya pada suami. Istri membutuhkan dukungan dari suaminya, dan jika dia tidak mendapatkan hal itu dia akan merasa hidup sendiri
Stoppard, 2002. Menurut BKKBN 2001, partisipasi suami dalam perawatan kehamilan dapat
ditunjukkan dengan cara memberikan perhatian dan kasih sayang kepada istri, mendorong dan mengantar istri untuk memeriksakan kehamilan ke fasilitas kesehatan
minimal empat kali selama kehamilan, memenuhi kebutuhan gizi bagi istrinya, menentukan tempat persalinan fasilitas kesehatan bersama istri sesuai dengan
UNIVERSITAS SUMATRA UTARA
kemampuan dan kondisi masing-masing daerah, menyiapkan biaya persalinan, melakukan rujukan ke fasilitas kesehatan sedini mungkin bila terjadi hal-hal yang
membahayakan kesehatan selama kehamilan seperti perdarahan dan lain-lain.
2.4 Landasan Teori
Tawney dikutip Megawangi 1999 menyebutkan bahwa keragaman peran pada hakekatnya adalah realita kehidupan manusia. Hubungan laki-laki dan perempuan
bukan dilandasi konflik atau struktur fungsional tetapi dilandasi kebutuhan bersama guna membangun kemitraan yang harmonis. Paham kompromistis yang dikenal
dengan keseimbangan equilibrium yang menekankan pada konsep kemitraan dan keharmonisan dalam hubungan antara perempuan dan laki-laki. Pandangan ini tidak
mempertentangkan antara kaum perempuan dan laki-laki karena keduanya harus bekerjasama dalam kemitraan dan keharmonisan dalam kehidupan berkeluarga,
bermasyarakat, dan berbangsa. Karena itu, penerapan kesetaraan dan keadilan gender harus memperhatikan masalah kontekstual yang ada pada tempat dan waktu tertentu
dan situasional sesuai situasikeadaan, bukan berdasarkan perhitungan secara matematis jumlahquota dan tidak bersifat universal.
Kesetaraan gender dalam segala aspek kehidupan termasuk kehidupan keluarga, didasarkan pada adanya perbedaan biologis, aspirasi, kebutuhan masing-masing
individu sehingga pada setiap peran yang dilakukan akan memiliki perbedaan. Kesetaraan gender juga tidak berarti menempatkan segala sesuatu harus sama, tetapi
lebih pada pembiasaan yang didasarkan pada kebutuhan spesifik masing-masing
UNIVERSITAS SUMATRA UTARA