3. Ciri-ciri kematangan dalam daerah-daerah yang sudah lama berpendapatan
tinggi dapat melambatkan kenaikan pendapatan per kapita di masa mendatang.
2.4. Hasil Penelitian Terdahulu
Esmara dalam Wijaya 2001 melakukan penelitian dengan menggunakan data PDRB dan menerapkan koefisien Williamson yang dibobot. Ia
memperkirakan tingkat perbedaan pendapatan regional untuk tahun 1968-1972. Menurut tulisan yang merupakan perintis ini, indeks ketidaksamaan Williamson
dari tahun tersebut meningkat tajam dari 0,571 menjadi 0,945 jika semua pendapatan dimasukkan, tetapi jika pendapatan dari minyak bumi dikeluarkan dari
PDRB propinsi-propinsi yang kaya minyak seperti Riau dan Kalimantan Timur maka angka-angka itu antara 0,34 sampai 0,552. Ia menunjukkan bahwa propinsi-
propinsi dengan pendapatan per kapita yang lebih tinggi juga mempunyai biaya hidup yang lebih tinggi, sehingga kalau PDRB per kapita di koreksi berdasarkan
perbedaan-perbedaan harga, indeks ketidakmerataan tersebut akan banyak merosot.
Penelitian mengenai ketimpangan pendapatan untuk tingkat nasional pernah dilakukan oleh Uppal dan Handoko 1986 dengan menggunakan
formulasi Williamson CVw untuk tahun 1976-1980. Uppal dan Handoko mengukur ketimpangan pendapatan di Indonesia dengan menggunakan PDRB
diluar sektor pertambangan. Mereka menyimpulkan bahwa terdapat tendensi menurunnya tingkat ketimpangan pendapatan, pola pertumbuhan belum mengarah
pada perbaikan ketimpangan dan faktor yang cenderung menurunkan ketimpangan pendapatan adalah anggaran belanja pemerintah pusat dan bantuan
kepada propinsi. Tadjoedin 1996 juga mengukur ketimpangan pendapatan nasional
dengan menggunakan konsep pengukuran yang sama dengan diatas untuk periode 1984-1993. Hasil yang diperolehnya menunjukkan bahwa terjadi peningkatan
ketimpangan pendapatan selama periode analisis. Tabel 2. Indeks Ketimpangan Pendapatan Tingkat Nasional
Di luar Migas Tahun
Uppal Handoko Tadjoedin
Tadjoedin, et al 1976 0,4631
1977 0,4609 1978 0,4344
1979 0,5240 1980 0,4435
1984 0,4875 1985 0,4714
1986 0,4600 1987 0,4567
1988 0,4609 1989 0,5632
1990 0,5385 1991 0,5392
1992 0,5442 1993 0,5489 0,923
1994 0,938
1995 0,962
1996 0,966
1997 0,982
1998 0,965
Sumber: Uppal dan Handoko 1986 dan Tadjoedin 1996 dan Tadjoedin, et al, 2001
Tadjoedin, et al, 2001 melakukan penelitian untuk mengukur tingkat ketimpangan nasional untuk tahun 1993-1998. Ketimpangan dihitung dengan
menggunakan PDRB per kapita menurut kabupatenkota yang ada di Indonesia
berdasarkan harga konstan tahun 1993. Hasil yang diperoleh menunjukkan tingkat ketimpangan semakin meningkat, hal tersebut dapat dilihat pada Tabel 2 di atas.
Selain mengukur Ketimpangan nasional, Tadjoedin 1996 juga mengukur besarnya ketimpangan pendapatan antar pulau, hasil yang diperoleh yaitu pulau
yang perekonomiannya di dominasi oleh sektor pertanian Pulau Sumatra mempunyai tingkat ketimpangan yang lebih kecil dibandingkan dengan pulau
yang perekonomiannya didominasi oleh sektor industri Pulau Jawa. Hal ini menunjukkan bahwa pembangunan sektor pertanian tidak berada pada posisi yang
dikotomis dengan pemerataan. Tabel 3. Ketimpangan Pendapatan Antar Pulau di Indonesia
Tahun Sumatera Jawa Kalimantan Sulawesi Lainnya 1984 0,2460 0,5680 0,4381 0,0522 0,3435
1985 0,2459 0,5377 0,4629 0,0408 0,3582 1986 0,2470 0,5177 0,4420 0,0423 0,3780
1987 0,2460 0,5120 0,4710 0,0390 0,3324 1988 0,2521 0,5054 0,4595 0,0460 0,4129
1989 0,2157 0,6209 0,4681 0,0508 0,4183 1990 0,1931 0,6034 0,4516 0,0515 0,4086
1991 0,1814 0,6041 0,4448 0,5800 0,4507 1992 0,1860 0,6108 0,4502 0,0591 0,4550
1993 0,1883 0,6158 0,4401 0,0632 0,4775
Sumber: Tadjoedin 1996
Mattola 1985 melakukan penelitian untuk menganalisis besarnya ketimpangan pendapatan daerah di Jawa Barat tahun 1977-1981 dengan
menggunakan formulasi Williamson. Mattola juga menganalisis peranan sektor pertanian dalam mengurangi ketimpangan pendapatan daerah. Untuk melihat
peranan tersebut, dibandingkan besarnya ketimpangan pendapatan daerah dengan dan tanpa memasukkan PDRB sektor pertanian dalam perhitungan. Hasil yang
diperoleh dari analisi tersebut menunjukkan bahwa besarnya ketimpangan dengan memasukkan PDRB sektor pertanian dalam perhitungan lebih kecil dibandingkan
dengan tanpa memasukkan PDRB sektor pertanian. Hal ini menunjukkan bahwa sektor pertanian mempunyai peran untuk mengurangi ketimpangan pendapatan
yang terjadi. Lutvi 1995 dalam penelitiannya yang berjudul kesenjangan kondisi
ekonomi regional antara Kawasan Barat dan Timur Indonesia menyimpulkan faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan suatu daerah secara nyata adalah
pendapatan regional yang mencerminkan perolehan nilai tambah, kapitalmodal dan investasi, tenaga kerja yang dipengaruhi tingkat pendidikan, upah, dan jumlah
penduduk, dan pembiayaan pembangunan baik dari pusat maupun pendapatan asli daerah PAD yang mempengaruhi secara tidak langsung pembentukkan investasi.
Selama sebelas tahun pengamatan 1983-1993 terlihat kesenjangan pertumbuhan masing-masing peubah pembangunan Kawasan Barat dan Kawasan
Timur. Pertumbuhan kawasan barat diketahui jauh lebih pesat dan ini semakin dikuatkan dari hasil perhitungan terhadap efek yang dimiliki masing-masing
kawasan. Dari hasil analisis deskriptif, kesenjangan yang terjadi antara Kawasan Barat dan Timur sepanjang tahun 1983-1993 antara lain adalah kesenjangan
PDRB non migas dan PDRB non migas perkapita, dimana kawasan barat mempunyai keadaan yang lebih baik dari kawasan timur. Selain itu terdapat
kesenjangan dalam arus penanaman modalinvestasi, kapital, pembiayaan pembangunan baik dari pusat maupun PAD, tingkat kemampuan baca tulis,
tingkat partisipasi pendidikan yang mempengaruhi kualitas sumber daya manusia
serta partisipasi angkatan kerja yang menunjukkan ketidakmerataan distribusi dan produktivitas tenaga kerja.
2.5. Kerangka Pemikiran