Penentuan Diameter Endapan Aliran Debris Hidrograf Satuan Sintetik Nakayasu

Sedangkan hubungan berat yang biasa digunakan adalah kadar air moisture content, dan berat volume unit weight. Kadar air : w = x 100 2.11 Berat volume basah : γ b = 2.12 Berat volume kering : γ b = 2.13 Jika berat volume butiran padat γ s = W s V s gr , maka perbandingan antara berat volume butiran padat γ s dengan berat volume air γ w pada temperatur tertentu adalah berat jenis specific gravity : Berat jenis butiran : G s = 2.14 Takahashi menyebutkan bahwa awal terjadinya aliran debris terjadi pada kondisi jenuh, sedangkan pada saat jenuh nilai S = 1, sehingga : Angka pori : e = � . G s 2.15 Sedangkan : C = e 2.16 Sehingga jika nilai e dapat ditentukan akan diperoleh nilai konsentrasi bahan dasarnya C.

2.4.2 Penentuan Diameter Endapan Aliran Debris

Material dasar sungai yang ditinjau berupa campuran dari pasir, krikil, krakal, dan boulder. Dengan beragam jenis variasi besar butiran sedimen maka teknik sampling material dasar dengan kedalam 1 meter sebagai standar ASTM. Untuk selanjutnya tebal air minimum h o yang menginisiasi aliran debris dapat ditentukan, bila kemiringan dasar sunga i θ, berat jenis dasar γ s , berat jenis air γ w , berat volume kering γ d , angka pori e dan d 50 dapat diketahui.

2.4.3 Hidrograf Satuan Sintetik Nakayasu

Hidrograf satuan sintetis Nakayasu dikembangkan berdasarkan beberapa sungai di Jepang Soemarto, 1987. Penggunaan metode ini memerlukan beberapa karakteristik parameter daerah alirannya, seperti : a Tenggang waktu dari permukaan hujan sampai puncak hidrograf b Tenggang waktu dari titik berat hujan sampai titik berat hidrograf . c Tenggang waktu hidrograf time base of hydrograph d Luas daerah aliran sungai e Panjang alur sungai utama terpanjang length of the longest channel Bentuk persamaan HSS Nakayasu adalah: 3 , 6 , 3 . 3 , T Tp Ro CA Qp   2.17 dengan : Q p = debit puncak banjir m 3 dt R o = hujan satuan mm T = tenggang waktu dari permulaan hujan sampai puncak banjir jam T 0,3 = waktu yang diperlukan oleh penurunan debit, dari puncak sampai 30 dari debit puncak jam CA = luas daerah pengaliran sampai outlet km 2 Untuk menentukan Tp dan T 0,3 digunakan pendekatan rumus sebagai berikut : T p = t g + 0,8 t r 2.18 T 0,3 = α g 2.19 t r = 0,5 t g sampai t g 2.20 tg adalah time lag yaitu waktu antara hujan sampai debit puncak banjir jam. tg dihitung dengan ketentuan sebagai berikut : a sungai dengan panjang alur L 15 km : t g = 0,4 + 0,058 L b sungai dengan panjang alur L 15 km : t g = 0,21 L 0,7 Perhitungan T 0,3 menggunakan ketentuan: α = 2 pada daerah pengaliran biasa α = ,5 pada bagian naik hidrograf lambat, dan turun cepat α = 3 pada bagian naik hidrograf cepat, dan turun lambat α = 4 A g 2.21 Bentuk hidrograf satuan diberikan oleh persamaan berikut : 1 Pada waktu naik : 0 t T p Q a = tT p 2,4 2.22 dimana Qa adalah limpasan sebelum mencapai debit puncak m 3 dt 2 Pada kurva turun decreasing limb T T 0,3 2 Q P 0,3Q Q P lengkung turun lengkung naik t r t t g 0,8 t r a. elang nilai : ≤ ≤ T p + T 0,3 Q d1 =   3 , 3 , . T Tp t Qp  2.23 b. selang nilai : Tp + T 0,3 ≤ ≤ Tp T 0,3 + 1,5 T 0,3 Q d2 =   3 , 3 , 5 , 1 5 , 3 , . T T Tp t Qp   2.24 c. selang nilai : t Tp + T 0,3 + 1,5 T 0,3 Q d3 =   3 , 3 , 2 5 , 1 3 , . T T Tp t Qp   2.25 Dari hasil perhitungan hidrograf diperoleh debit puncak, untuk kemudian digunakan untuk mencari kedalaman air yang menyebabkan aliran debris. Debit Q pada suatu penampang saluran untuk sebaran aliran dinyatakan dengan : Q = V . A 2.26 Dengan : V = 1n 2.27 Dimana : n = koefisien kekasaran manning, R = jari-jari hidraulik m, S = kemiringan saluran, A = luas penampang saluran . Gambar 2.3 Hidrograf Satuan Sintetik Nakayasu Triatmodjo, 2008 Suharyono 1993 menerangkan untuk mengetahui terjadinya lahar di daerah Gunung Merapi dilakukan secara grafis terhadap hubungan antara intensitas hujan, curah hujan komulatif, dan saat terjadinya lahar, mengacu pada Buku Pedoman Penentuan Curah Hujan Kritik untuk Peringatan Dini dan Perintah Pengungsian akan Terjadinya Lahar yang diterbitkan oleh Departemen Pekerjaan Umum Jepang, dimana untuk perhitungan parameter hujan menggunakan rumus berikut : RWA = = = 2.28 dimana : RWA = curah hujan anteseden mm, α = koefisien reduksi, = , t = waktu hari, d = tebal curah hujan 24 jam pada hari ke t, T = 0,5 hari

BAB III METODE PENELITIAN