Analisis Yuridis Terhadap Pemberian Kredit Wirausaha Tanpa Agunan Pada PT. Bank Artha Graha Internasional, TBK, Cabang Medan

(1)

ANALISIS YURIDIS TERHADAP PEMBERIAN KREDIT WIRAUSAHA TANPA AGUNAN PADA PT. BANK ARTHA GRAHA

INTERNASIONAL, TBK, CABANG MEDAN

T E S I S

Oleh

PATRICIA IMELDA HUTABARAT 067011064/MKn

SEKOLAH PASCASARJANA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2008


(2)

ANALISIS YURIDIS TERHADAP PEMBERIAN KREDIT WIRAUSAHA TANPA AGUNAN PADA PT. BANK ARTHA GRAHA

INTERNASIONAL, TBK, CABANG MEDAN

T E S I S

Untuk Memperoleh Gelar Magister Kenotariatan Dalam Program Studi Magister Kenotariatan

Pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara Medan

Oleh

PATRICIA IMELDA HUTABARAT 067011064/MKn

SEKOLAH PASCASARJANA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2008


(3)

ANALISIS YURIDIS TERHADAP PEMBERIAN KREDIT WIRAUSAHA TANPA AGUNAN PADA PT. BANK ARTHA GRAHA

INTERNASIONAL, TBK, CABANG MEDAN

NASKAH PUBLIKASI

Oleh

PATRICIA IMELDA HUTABARAT 067011064/MKn

SEKOLAH PASCASARJANA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2008


(4)

ANALISIS YURIDIS TERHADAP PEMBERIAN KREDIT WIRAUSAHA TANPA AGUNAN PADA PT. BANK ARTHA GRAHA

INTERNASIONAL, TBK, CABANG MEDAN

NASKAH PUBLIKASI

Untuk Memperoleh Gelar Magister Kenotariatan Dalam Program Studi Magister Kenotariatan

Pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara Medan

Oleh

PATRICIA IMELDA HUTABARAT 067011064/MKn

SEKOLAH PASCASARJANA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2008


(5)

(6)

ABSTRAK

Bank dalam menjalankan usahanya harus memperhatikan prinsip kehati-hatian karena bank sebagai lembaga penyimpan dana dari masyarakat yang memiliki tanggung jawab yang besar dalam pengembalian dana masyarakat tersebut. Pemberian kredit tanpa agunan yang tidak hati-hati dapat mempengaruhi kelangsungan hidup perbankan dimasa mendatang, terutama dalam hal debitur wanprestasi. Oleh karenanya perlu ditelusuri dan diadakan penelitian mengenai: Bagaimana pengaturan pemberian kredit oleh bank secara umum dan menurut ketentuan PT. Bank Artha Graha Internasional Tbk? Bagaimana peran direktur kepatuhan dan penerapan good corporate governance pada bank? Bagaimana pelaksanaan pemberian kredit wirausaha tanpa agunan pada PT. Bank Artha Graha Internasional, Tbk ditinjau dari prinsip kehati-hatian dalam pemberian kredit?.

Penelitian ini bersifat deskriptif analitis, jenis penelitian dengan pendekatan yuridis normatif yaitu suatu penelitian pada studi kepustakaan terhadap peraturan-peraturan tertulis yang menitikberatkan pada pemberian kredit secara umum dan kredit tanpa agunan, good corporate governance, direktur kepatuhan dan peranan notaris dan analisa data yang dipergunakan adalah analisa kualitatif .

Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa pemberian kredit pada umumnya dengan pemberian kredit tanpa agunan menggunakan prosedur pelaksanaan yang sama dan hal yang membedakan hanya ketiadaan agunan pada kredit wirausaha tanpa agunan. Kredit tanpa agunan dapat diberikan kepada masyarakat berdasarkan Pasal 8 jo Pasal 15 Undang-Undang Nomor 10 tahun 1998 tentang Perbankan. Kedua pasal tersebut menyebutkan bahwa kepercayaan atas kemampuan dan kesanggupan nasabah debitur merupakan faktor yang penting dalam pemberian kredit. Agunan adalah unsur pendukung, bukan merupakan unsur utama dalam pemberian kredit. Kredit wirausaha tanpa agunan merupakan jenis kredit untuk pengembangan usaha debitur dengan tidak melibatkan barang jaminan dalam bentuk fisik. Pengelolaan bank penting menggunakan prinsip-prinsip good corporate governance, agar kualitas pengelolaan bank dapat mendorong jalannya fungsi utama bank tersebut, sekaligus untuk menjaga kepercayaan masyarakat. Direktur kepatuhan dapat mencegah diambilnya kebijaksanaan dan keputusan yang didalamnya mengandung unsur penyimpangan/ pelanggaran terhadap ketentuan kehati-hatian. Kredit Wirausaha memberikan bantuan permodalan skala mikro yang sangat membantu masyarakat yang ingin melakukan kegiatan usaha tetapi tidak mempunyai agunan yang cukup. Kehati-hatian dalam pemberian kredit ini dapat dilaksanakan dengan melalui analisa yang akurat dan mendalam, penyaluran yang tepat, pengawasan dan pemantauan yang baik, perjanjian kredit yang sesuai dengan syarat hukum.


(7)

ABSTRACT

In running its business, bank should pay attention to the principle of caution because bank as an institution that holds community’s fund has a big responsibility in returning the community’s fund. A careless extension of credit without guarantee can affect the banking life continuity in the future, especially in terms of dishonest debtor. Therefore, it is necessary to tract and to do a study on how bank, in general, regulates the extension of credit and how PT. Bank Artha Graha Internasional, Tbk regulates the same issue; the role of executive director in obeying and applying good corporate government in the bank he/she supervises; and how PT. Bank Artha Graha Internasional, Tbk implements the extension of credit without guarantee to a businessman viewed from the principles of being cautious in providing the extension of credit.

This normative juridical study is intended to examine the existing written regulations focused on extension of credit in general, extension of credit without guarantee, good corporate governance, executive director and role of notary.

The result of this study shows that the extension of credit in general and the extension of credit without guarantee apply the same procedure of implementation and what make them different is only the absence of guarantee in the extension of credit to a businessman without guarantee. Credit without guarantee can be extended to the general public based on Article 8 in connection with Article 15 of Law No. 10/1998 on Banking. Both articles state that a trust in the capability of debtor is an important in the extension of credit. Guarantee is a supporting element not the main element in the extension of credit. Credit without guarantee for a businessman is a kind of credit to develop a debtor’s business without the involvement of the material goods guaranteed in its phsycal form. In bank management, it is important to use the principles of good corporate governance in order that the quality of the on going bank management can push the course of the main function of the bank as well as maintaining community trust. The executive director can veto the passing of the policy an decision containing the violation of the principle of caution. Credit for businessman provides a small-scale working capital which really helps the community who wants to run a business but does not have enough material goods as a guarantee. The caution in this extension of credit can be implemented through an accurate and deep analysis, accurate distribution, good control and monitoring, and credit agreement that meet the legal conditions.


(8)

(9)

(10)

RIWAYAT HIDUP

I. Identitas Pribadi

1. Nama : Patricia Imelda Hutabarat, SH

2. Tempat/Tanggal Lahir : Jakarta, 27 Oktober 1976

3. Jenis Kelamin : Perempuan

4. Agama : Kristen Protestan

5. Status Perkawinan : Menikah 6. Kewarganegaraan : Indonesia

7. Alamat : Jalan Sisingamanggaraja No. 76 Medan

II. Nama Orang Tua

1. Bapak : Drs. Jansen Sioloan Hutabarat

2. Ibu : Donna Tiolina Loretta Simatupang

III. Pendidikan

1. Tahun 1988 Tamat dari SDN 14 Jakarta Selatan 2. Tahun 1991 Tamat dari SMPN 19 Jakarta Selatan 3. Tahun 1994 Tamat dari SMAN 70 Jakarta Selatan 4. Tahun 2000 Tamat dari Universitas Indonesia Depok

IV. Pekerjaan

1. Staf Legal Jaminan pada PT. Bank Artha Graha Tahun 2000 – 2004 2. Staf Admin Kredit pada PT. Bank Artha Graha Tahun 2004 - 2008 3. Staf Sundries pada PT. Bank Artha Graha Tahun 2008 - Sekarang


(11)

DAFTAR ISI

ABSTRAK... i

ABSTRACT... ii

KATA PENGANTAR………... iii

RIWAYAT HIDUP... v

DAFTAR ISI……… vi

BAB I. PENDAHULUAN……….. 1

A. Latar Belakang ………. 1

B. Permasalahan……… 3

C. Tujuan Penelitian……….. 3

D. Manfaat Penelitian ………... 3

E. Keaslian Penelitian ……….. 3

F. Kerangka Teori dan Konsepsi……….. 3

1. Kerangka Teori………... 3

a. Perjanjian Pada Umumnya……… 3

b. Pengertian Kredit dan Unsur-Unsur Kredit... 4

c. Jaminan Kredit... 5

d. Kredit Usaha Mikro, Kecil dan Menengah... 6

e. Kredit Wirausaha Tanpa Agunan... 6

f. Perjanjian Kredit... 7

2. Kerangka Konsepsi………. 8

G. Metode Penelitian………. 9

1. Jenis dan sifat Penelitian... 9

2. Lokasi Penelitian... 9

3. Sumber Data Penelitian...9

4. Alat Pengumpulan Data... 9

5. Analisa Data ... 9

BAB II. PENGATURAN PEMBERIAN KREDIT OLEH BANK... 9

A. Pengaturan Kebijaksanaan Perkreditan Bank Secara Umum... 9

1. Prinsip-Prinsip Dalam Pemberian Kredit...9

2. Tujuan dan Fungsi Kredit... 10

3. Jenis-Jenis Kredit... 11

B. Pemberian Kredit oleh PT. Bank Artha Graha Internasional,. 13 1. Jenis-Jenis Fasilitas Kredit di PT. Bank Artha Graha Internasional, Tbk………... 13

a. Fasilitas Kredit Langsung………. 13

b. Fasilitas Kredit Tidak Langsung………... 14

2. Prosedur Pemberian Kredit di PT. Bank Artha Graha Internasional, Tbk………... 14


(12)

a. Proses Permohonan Kredit……… 14

b. Proses Analisa Kredit……….... 17

c. Proses Persetujuan……….... 18

3. Peran Notaris Dalam Pemberian Kredit………... 18

BAB III. PERANAN DIREKTUR KEPATUHAN DAN PENERAPAN GOOD CORPORATE GOVERNANCE PADA BANK... 20

A. Direktur Kepatuhan... 20

1. Direktur Kepatuhan Secara Umum... 20

2. Fungsi dan Tanggung Jawab Direktur Kepatuhan... 20

B. Good Corporate Governance ... 21

1. Good Corporate Governance Secara Umum... 21

2. Prinsip dan Manfaat Pelaksanaan Good Corporate Governance Bagi Bank………... 22

BAB IV. PELAKSANAAN PEMBERIAN KREDIT WIRAUSAHA TANPA AGUNAN DITINJAU DARI PRINSIP KEHATI-HATIAN DALAM PEMBERIAN KREDIT………... 23

A. Pelaksanaan Pemberian Kredit Wirausaha Tanpa Agunan Pada PT. Bank Artha Graha Internasional, Tbk... 23

1. Kriteria dan Prosedur Pemberian Kredit Wirausaha Tanpa Agunan……… 23

2. Perbedaan Kredit Wirausaha dengan Kredit Tanpa Agunan Pada Kartu Kredit... 26

3. Dasar Hukum Kredit Tanpa Agunan... 27

B. Penerapan Prinsip Kehati-hatian Dalam Pemberian Kredit Tanpa Agunan... 28

1. Pelanggaran Prinsip Kehati-hatian Dalam Pemberian Kredit... 28

2. Perlindungan Hukum Terhadap Kreditur Dalam Pemberian Kredit Tanpa Agunan... 29

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN... 30

A. Kesimpulan... 30

B. Saran... 31


(13)

BAB I PENDAHULUAN

Latar Belakang

Untuk mendirikan suatu perusahaan memerlukan modal kerja dan untuk mendapatkannya ada berbagai cara yang dapat ditempuh, salah satunya adalah dengan meminjam kepada pihak lain. Hubungan pinjam-meminjam tersebut dapat dilakukan dengan kesepakatan antara peminjam (debitur) dan yang meminjamkan (kreditur) yang dituangkan dalam bentuk perjanjian. Perjanjian tersebut bisa berupa perjanjian lisan atau dalam bentuk perjanjian tertulis yang juga dapat dibuat dengan akta di bawah tangan atau dengan akta notaris.

Perjanjian utang piutang dalam KUHPerdata dapat diidentikkan dengan perjanjian pinjam meminjam yaitu merupakan perjanjian pinjam meminjam barang berupa uang dengan ketentuan yang meminjam akan mengganti dengan jumlah nilai yang sama seperti pada saat ia meminjam1.

Mengenai pinjam meminjam juga disebutkan dalam Pasal 1754 Kitab Undang-undang Hukum Perdata yaitu:

“Pinjam meminjam adalah suatu perjanjian dengan mana pihak yang satu memberikan kepada pihak yang lain suatu jumlah tertentu barang-barang yang habis karena pemakaian, dengan syarat bahwa pihak yang terakhir ini akan mengembalikan sejumlah yang sama dengan jenis dan mutu yang sama pula”.

1


(14)

Hubungan hukum tersebut akan berjalan lancar jika masing-masing pihak memenuhi kewajibannya sesuai dengan waktu yang telah ditentukan. Namun apabila salah satu pihak tidak memenuhi perjanjian sesuai dengan yang telah disepakati maka perjanjian tersebut akan mengalami berbagai hambatan.

Bank sebagai salah satu lembaga keuangan mempunyai peranan penting dalam kehidupan masyarakat. Bank adalah Badan usaha yang menghimpun dana masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan atau bentuk-bentuk lainnya dalam rangka peningkatan taraf hidup orang banyak2.

Aktivitas perbankan pertama adalah menghimpun dana dari masyarakat luas yang dikenal dengan istilah funding yaitu mengumpulkan atau mencari dana dengan cara membeli dari masyarakat luas dan kedua memberi pinjaman ke masyarakat atau dikenal dengan istilah kredit atau lending.

Semakin berkembangnya kegiatan usaha perbankan, bank dihadapkan kepada berbagai risiko usaha seperti risiko kredit, risiko investasi, risiko likuiditas, risiko operasional, risiko penyelewengan dan risiko fidusia.3 Pentingnya mengenal nasabah

2

Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 tahun 1998 tentang Perubahan

atas Undang-undang Nomor 7 tahun 1992 tentang Perbankan.

3

Risiko kredit adalah risiko akibat ketidakmampuan nasabah debitur mengembalikan pinjaman yang diterimanya dari Bank beserta bunganya sesuai dengan jangka waktu yang telah ditentukan. Risiko Investasi adalah risiko yang berkaitan dengan kemungkinan terjadi kerugian akibat penurunan nilai pokok portfolio surat-surat berharga yang dimiliki bank atau surat berharga lainnya. Risiko Likuiditas adalah risiko yang mungkin dihadapi bank untuk memenuhi permohonan kredit dan semua penarikan dana oleh penyimpan pada suatu waktu. Risiko Operasional adalah risiko yang berkenaan dengan ketidakpastian mengenai kegiatan usaha Bank. Risiko Penyelewengan adalah risiko yang berkaitan dengan kerugian yang mungkin terjadi akibat ketidakjujuran, penipuan, moral bejat, atau perilaku tidak terpuji dari pejabat, karyawan dan nasabah bank. Risiko Fidusia adalah risiko yang mungkin timbul apabila bank yang memberikan jasa dengan bertindak sebagai wali amanat untuk pribadi maupun badan usaha.

Abdulkadir Muhammad, Rilda Muniarti, Segi Hukum Lembaga Keuangan dan Pembiayaan, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2000), Hal. 72-74


(15)

dapat mengurangi atau bahkan menghindari dari risiko yang dihadapi Bank terutama dalam kerugian keuangan yang signifikan bagi bank.

Salah satu karakter yuridis dari bisnis perbankan, yakni bidang bisnis yang sarat dengan pengaturan dan petunjuk pelaksanaan (heavily regulated business). Bidang perbankan merupakan bidang yang sarat regulasi adalah karena:4

1. Bank adalah termasuk lembaga yang mengelola uang rakyat, karena itu,

kepentingan rakyat banyak ikut dipertaruhkan oleh suatu bank.

2. Kegiatan bank merupakan kegiatan yang sangat detail dan complicated. Karena itu, perlu arahan-arahan dan petunjuk yang lengkap dan detail pula.

3. Bank memainkan peranan yang sangat besar dalam perkembangan moneter dan perekonomian secara makro. Karena itu, ada pula suatu kebutuhan masyarakat agar bank-bank tetap aman dan tidak terjadi gejolak. Sehingga perkembangan ekonomi nasional tetap mantap.

Salah satu kegiatan usaha bank adalah menyalurkan kredit. Secara estimologis Kredit berasal dari bahasa latin “credere” atau “credo” yang berarti kepercayaan5, yang dimaksud dengan kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga.6

4

Munir Fuady, Hukum Perkreditan Kontemporer, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2002), Hal. 10

5

Rachmadi Usman, Aspek-aspek Hukum Perbankan di Indonesia, (Jakarta: Gramedia, 2001) Hal. 36.

6

Pasal 1 angka 12 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 tahun 1998 tentang


(16)

Usaha Mikro Kecil Menengah terbukti bertahan dalam krisis moneter tahun 1998 lalu memiliki peran strategis dan penting ditinjau dari berbagai aspek. Pertama jumlah industrinya yang tersebar di setiap sektor ekonomi. Kedua, potensinya yang besar dalam penyerapan tenaga kerja dimana setiap unit investasi pada sektor ini dapat menciptakan lebih banyak kesempatan kerja jika dibandingkan dengan investasi yang sama pada usaha besar.7

Dari sudut perbankan, pemberian kredit pada sektor ini dapat mendorong penyebaran risiko. Hal ini disebabkan karena penyaluran kredit pada usaha ini dengan nominal kredit yang kecil memungkinkan bank untuk memperbanyak jumlah debitur, sehingga pemberian kredit tidak terkonsentrasi pada kelompok atau sektor tertentu. Selain itu, suku bunga kredit pada tingkat suku bunga pasar bukan merupakan masalah utama, sehingga memungkinkan bank-bank memperoleh pendapatan bunga yang memadai.

Akhir-akhir ini bank-bank semakin gencar mengenjot penyaluran kreditnya ke sektor ritel. Berbagai produk kredit konsumsipun mereka munculkan. Salah satunya yang belakangan ini semakin popular adalah Kredit Tanpa Agunan (KTA).8 Selama ini nasabah tidak dapat mengakses kredit bank karena mereka tidak mampu menyediakan agunan. Lazimnya bank menjadikan agunan sebagai faktor yang menentukan besar nilai pinjaman yang akan disetujui, dan berapa besar bunga yang mereka kutip dari debitur alias nasabah kreditnya.

7

Fransiscus A Purba, Meraih Peluang Kredit di Sektor Usaha Mikro Melalui Penyaluran Kredit

Wirausaha dengan Pola Kemitraan, (Jakarta: Pusdiklat Bank Artha Graha Internasional, 2007), hal 1.

8


(17)

Pada tanggal 5 November 2007, Pemerintah meluncurkan Kredit Usaha Rakyat (KUR) tanpa agunan dengan enam bank pelaksana yang turut terlibat dalam program penjaminan UMKM. Enam bank tersebut adalah BRI, BNI, BTN, Bank Mandiri, Bukopin dan Bank Syariah Mandiri. Besaran kredit yang disalurkan maksimal Rp. 500.000.000,- (lima ratus juta rupiah) dengan bunga maksimal 16 % pertahun (efektif).9

Kredit Usaha Rakyat merupakan kredit program yang disalurkan menggunakan pola penjaminan kredit bank diperuntukkan bagi pengusaha mikro dan kecil yang tak memiliki agunan tetapi memiliki usaha yang layak dibiayai bank.10 Dalam pelaksanaan program Kredit usaha Rakyat atau KUR, perbankan yang telah menandatangani kesepakatan menjalani program KUR tetap tidak diperbolehkan meminta jaminan atau agunan kepada pelaku usaha.11

Kredit usaha rakyat diperuntukkan bagi usaha mikro, kecil dan menengah rakyat yang layak (feasible) namun belum memenuhi persyaratan perbankan (bankable). Yang dimaksud dengan layak adalah suatu usaha yang ditinjau dari ekonomis menguntungkan, dari segi teknis bisa dilaksanakan, dan dari segi ekologis dapat diterima masyarakat dan tidak merusak lingkungan. Namun karena ketidakadaan agunan serta persyaratan lainnya sehingga selama ini tidak dibiayai oleh perbankan secara komersial.12

Walaupun program kredit usaha rakyat ini merupakan kredit tanpa agunan tetapi seringkali bank tetap meminta agunan dengan dalil guna meningkatkan kualitas

9

Gunanto, Kredit Usaha rakyat Diluncurkan, Tempo Interaktif, 5 November 2007

10

Anonim, Bunga KUR Bisa Berubah, Kompas, tanggal 26 Mei 2008.

11

Anonim, Perbankan Tidak Boleh Meminta Jaminan, Kompas, 7 Juni 2008

12


(18)

kredit dalam upaya mengurangi risiko kredit macet dalam pengembalian kredit tersebut, karena apabila kredit yang disalurkan tersebut macet tentu akan merugikan masyarakat penyimpan dana di bank.13

Program kredit tanpa agunan ini pernah dicanangkan pada tahun 2004 dan PT. Bank Artha Graha Internasional, Tbk ditunjuk pemerintah pada waktu itu menjadi salah satu bank penyelenggara Kredit Tanpa Agunan.

PT. Bank Artha Graha Internasional, Tbk mengeluarkan produk Kredit tanpa agunan dengan nama Kredit Wirausaha. atau disingkat KWU atau disebut juga Kredit Usaha Mikro Layak Tanpa Agunan adalah fasilitas kredit/ pembiayaan untuk investasi atau modal kerja yang diberikan dalam mata uang rupiah kepada usaha mikro dengan plafon kredit maksimum Rp. 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah) perdebitur untuk membiayai usaha yang produktif.14

Kredit Wirausaha merupakan kredit tanpa agunan yang ditujukan untuk calon professional yang memiliki latar belakang pendidikan sarjana strata-1 dari disiplin ilmu siap pakai antara lain bidang tehnik mesin/ arsitektur/ elektro, kedokteran, pertanian/ perikanan/ peternakan, notaris dan lainnya serta bagi tenaga terampil/ terlatih dan karyawan yang terkena PHK maupun pengusaha mikro yang hendak dan memiliki potensi untuk dikembangkan.15

Perbankan diragukan salurkan Kredit Tanpa Agunan dikarenakan minimnya peraturan perbankan dalam penyaluran Kredit Tanpa Agunan (KTA) menyurutkan kemauan perbankan untuk turut serta.16 Hal ini dikarenakan jika kredit yang disalurkan

13

Anonim, Semua Perbankan Di Sumut Minta Agunan KUR, Medan Bisnis, 9 Juli 2008

14

Dokumen PT. Bank Artha Graha Internasional, Tbk, perihal Petunjuk Pelaksanaan dan

Pengeluaran Dokumen Kredit Wirausaha tanggal 29 Oktober 2007

15

Dokumen PT. Bank Artha Graha Internasional, Tbk, perihal Prosedur Kredit Wirausaha, tanggal 21 Mei 2004

16

Anonim, Perbankan Diragukan Salurkan Kredit Tanpa Agunan, Berita Ekonomi, 30 Juli 2004.


(19)

itu macet dan karena tidak adanya agunan maka akan menyulitkan bank untuk pengembalian dana yang disalurkannya.

Bank memiliki risiko tinggi dikarenakan dana yang disalurkan untuk pemberian kredit berasal dari simpanan nasabah, dimana Bank harus membayar sebesar suku bunga simpanan. Oleh karena itu dalam setiap pemberian kredit kepada nasabah, Bank harus mencadangkan dana dengan besaran nilai tertentu, tergantung dari pada kolektibilitas kredit.

Bank Indonesia telah mengeluarkan Peraturan Bank Indonesia No. 8/2/PBI/2006 tanggal 30 Januari 2006 tentang Perubahan atas Peraturan Bank Indonesia No. 7/2/PBI/2005 tanggal 20 Januari 2005 tentang Penilaian Kualitas Aktiva Bank Umum untuk merubah Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia No. 31/147/KEP/DIR tertanggal 12 November 1998 tentang Kualitas Aktiva Produktif. Golongan kredit macet yang sebelumnya ditentukan selama 270 hari dipercepat menjadi 180 hari. Hal ini tentu saja membawa dampak percepatan penambahan kredit macet di bank dengan perincian sebagai berikut:17

1. Kredit Lancar adalah kredit yang tepat waktu dalam membayar kredit sesuai dengan waktu yang telah disepakati disebut juga Kolektibilitas 1.

2. Kredit dalam perhatian Khusus (Special Mention), yaitu apabila terjadi tunggakan pembayaran baik pokok maupun bunga sampai dengan 90 hari, disebut juga Kolektibilitas 2.

3. Kredit kurang lancar (Substandar), apabila terjadi tunggakan pembayaran baik pokok maupun bunga melampaui 90 hari sampai dengan maksimal 120 hari, disebut juga Kolektibilitas 3.

17

Peraturan Bank Indonesia Nomor 8/2/PBI/2006 tentang perubahan atas PBI 7/2/PBI/2005


(20)

4. Kredit diragukan (doubtful), apabila terjadi tunggakan pembayaran baik pokok maupun bunga melampaui 120 hari sampai dengan maksimal 180 hari, disebut juga Kolektibilitas 4.

5. Kredit Macet (loss), apabila terjadi tunggakan pembayaran baik pokok maupun bunga melampaui 180 hari disebut juga Kolektibilitas 5.

Dalam Pemberian fasilitas kredit mengandung risiko tinggi terhadap operasional karena apabila kredit tak terbayar maka akan dapat mempengaruhi modal bank dan juga likuiditas bank.

Munculnya Peraturan Bank Indonesia No. 8/2/PBI/2006 tanggal 30 Januari 2006 tentang Perubahan atas Peraturan Bank Indonesia No. 7/2/PBI/2005 tanggal 20 Januari 2005 tentang Penilaian Kualitas Aktiva Bank Umum telah membawa kecemasan terhadap pihak perbankan terhadap kemungkinan berkurangnya laba bank disebabkan pihak bank wajib menyediakan cadangan khusus, yaitu sebagai berikut:

1. 5% dari aktiva dengan kwalitas dalam status perhatian khusus setelah dikurangi dengan agunan.

2. 15 % dari aktiva dengan kwalitas dalam status kurang lancar setelah dikurangi dengan agunan.

3. 50 % dari aktiva dengan kwalitas dalam status diragukan setelah dikurangi dengan agunan.

4.

100 % dari aktiva dengan kwalitas dalam status Macet setelah dikurangi dengan agunan. 18

Dalam pemberian kredit, bank selalu berpedoman pada prinsip-prinsip kehati-hatian dalam pemberian kredit. Salah satu prinsip yang dipedomani adalah prinsip collateral (agunan), yang merupakan bagian dari prinsip pemberian kredit yang dikenal dengan istilah Prinsip 5 C yang terdiri dari Character (kepribadian), Capacity (kemampuan),

Capital (modal), Condition of Economy (kondisi ekonomi), Collateral (agunan).

18


(21)

Prinsip Collateral (agunan) menghendaki adanya pemberian agunan oleh debitur.

Pemberian agunan adalah salah satu upaya untuk menjamin adanya pengembalian kredit atau pelunasan kredit dari debitur. Dalam hal debitur wanprestasi, maka pihak bank dapat mengeksekusi agunan dari debitur sebagai konpensasi pelunasan hutang-hutangnya.

Dalam Pasal 54 Peraturan Bank Indonesia Nomor 8/4/PBI/2006 tentang Pelaksanaan Good Corporate Governance bagi Bank Umum disebutkan dalam rangka menghindari kegagalan usaha bank sebagai akibat konsentrasi penyediaan dana dan meningkatkan independensi pengurus bank terhadap potensi intervensi dari pihak terkait, bank wajib menerapkan prinsip kehati-hatian dalam penyediaan dana antara lain dengan menerapkan penyebaran/ diversifikasi portofolio penyediaan dana yang diberikan.

Salah satu upaya melaksanakan prinsip kehati-hatian adalah penerapan prinsip mengenal nasabah. Prinsip mengenal nasabah adalah prinsip yang diterapkan Bank untuk mengetahui identitas nasabah, memantau kegiatan transaksi nasabah termasuk pelaporan transaksi yang mencurigakan, hal ini sebagaimana diatur dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor 5/21/PBI/2003 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Bank Indonesia Nomor: 3/10/PBI/2001 tentang Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah (Know

Your Customer Principles).

Yang dimaksud dengan prinsip kehati-hatian adalah sesuai dengan ketentuan yang berlaku antara lain tentang penilaian kualitas aktiva bank umum, batas maksimum


(22)

pemberian kredit bank umum, prinsip pemberian kredit yang sehat dan prinsip-prinsip penerapan manajemen risiko.19

Menurut Undang-Undang No. 10 tahun 1998 tentang perubahan Undang-Undang No. 7 tahun 1992 tentang Perbankan menyatakan dalam memberikan kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip syariah, bank wajib mempunyai keyakinan berdasarkan analisis yang mendalam atas itikad dan kemampuan serta kesanggupan nasabah debitur untuk melunasi utangnya atau mengembalikan pembiayaan dimaksud sesuai dengan yang diperjanjikan. Jadi kepercayaan atas kemampuan dan kesanggupan nasabah debitur yang merupakan hal penting, sedangkan agunan hanya merupakan unsur pendukung, bukan unsur utama dalam pemberian kredit.

Kredit Tanpa Agunan atau jaminan ini menurut Undang-Undang Perbankan tahun 1992 yang telah dirubah menjadi Undang-undang Perbankan Nomor 10 tahun 1998 ini bisa direalisasikan karena Undang-undang Perbankan ini tidak secara ketat menentukan bahwa pemberian kredit, bank wajib mempunyai keyakinan atas kemampuan dan kesanggupan debitur untuk melunasi hutangnya sesuai dengan yang diperjanjikan. Sebaliknya menurut Undang-undang Pokok Perbankan tahun 1967 yang digantikannya, pemberian kredit tanpa jaminan ini dilarang sesuai dengan Pasal 24 ayat 1, bahwa bank umum tidak memberi kredit tanpa jaminan kepada siapapun juga.

Dari berbagai keadaan seperti yang dikemukakan diatas, maka diperlukan kehati-hatian dari bank sebagai kreditur dalam memberikan kredit tanpa agunan kepada nasabah sebagai debitur, untuk itu calon peneliti mengangkat judul tesis “ Analisis

19

Penjelasan atas Peraturan Bank Indonesia Nomor: 7/4/PBI/2005 tentang Prinsip Kehati-hatian


(23)

Yuridis terhadap Pemberian Kredit Wira Usaha Tanpa Agunan Pada PT. Bank Artha Graha Internasional, Tbk, Cabang Medan ”.

Permasalahan

Berdasarkan latar belakang yang dikemukakan diatas, maka calon peneliti merumuskan beberapa masalah dalam tesis ini, terdiri dari:

1. Bagaimana pengaturan pemberian kredit oleh bank secara umum dan menurut ketentuan PT. Bank Artha Graha Internasional Tbk ?

2. Bagaimana peran direktur kepatuhan dan penerapan good corporate governance pada bank ?

3. Bagaimana pelaksanaan pemberian kredit wirausaha tanpa agunan pada PT. Bank Artha Graha Internasional, Tbk ditinjau dari prinsip kehati-hatian dalam pemberian kredit?

C. Tujuan Penelitian

Adapun Tujuan dari Penelitian ini adalah:

1. Untuk mengetahui pengaturan pemberian kredit oleh bank secara umum dan menurut ketentuan PT. Bank Artha Graha Internasional Tbk.

2. Untuk mengetahui peran direktur kepatuhan dan penerapan good corporate

governance pada bank.

3. Untuk mengetahui pelaksanaan pemberian kredit wirausaha tanpa agunan pada PT. Bank Artha Graha Internasional, Tbk ditinjau dari prinsip kehati-hatian dalam pemberian kredit.


(24)

D. Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian ini adalah

1) Untuk mengetahui pengaturan pemberian kredit oleh bank secara umum dan menurut ketentuan PT. Bank Artha Graha Internasional Tbk.

2) Untuk mengetahui peran direktur kepatuhan dan penerapan good corporate

governance pada bank.

3) Untuk mengetahui pelaksanaan pemberian kredit wirausaha tanpa agunan pada PT. Bank Artha Graha Internasional, Tbk ditinjau dari prinsip kehati-hatian dalam pemberian kredit.

Hasil dari penelitian ini dapat dijadikan acuan serta masukan bagi pihak akademisi khususnya di lingkungan Universitas Sumatera Utara dan pihak terkait lainnya, terutama pihak debitur dalam mengetahui hak dan kewajibannya dan pihak kreditur (bank) dalam mengantisipasi pemberian kredit kepada nasabahnya.

E. Keaslian Penelitian

Penelitian tentang Kredit Tanpa Agunan telah pernah dilakukan sebelumnya dalam lingkungan Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara. Penelitian dilakukan oleh Iliana dengan judul “Perlindungan Hukum terhadap Kreditur Dalam Perjanjian Kredit Tanpa Agunan” pada tahun 2005. Penulisan tesis ini menitik beratkan pada kriteria penilaian yang dipergunakan kreditur sebagai syarat pemberian kredit tanpa agunan, penelitian terhadap tingkat keberhasilan dan kegagalan kreditur dalam memperoleh pengembalian kredit serta perlindungan hukum terhadap kreditur dalam penyelesaian sengketa atas kredit macet yang terjadi dalam perjanjian kredit tanpa agunan.


(25)

Sedangkan penelitian penulis dengan judul ”Analisis Yuridis Terhadap Pemberian Kredit Wira Usaha Tanpa Agunan pada PT. Bank Artha Graha Internasional, Tbk Cabang Medan” menitik beratkan pada pengaturan pemberian kredit oleh bank secara umum dan menurut ketentuan PT. Bank Artha Graha Internasional, Tbk, peran direktur kepatuhan dan penerapan good corporate governance pada bank dan pelaksanaan pemberian kredit wirausaha tanpa agunan pada PT. Bank Artha Graha Internasional, Tbk ditinjau dari prinsip kehati-hatian dalam pemberian kredit.

Dengan demikian penelitian ini mempunyai bidang penelitian yang berbeda sehingga penelitian ini adalah asli.

F. Kerangka Teori dan Konsepsi 1. Kerangka Teori

Kontinuitas perkembangan ilmu hukum, selain bergantung pada metodologi, aktivitas penelitian dan imajinasi sosial sangat ditentukan oleh teori.20

Teori adalah ungkapan mengenai hubungan kausal yang logis diantara perubahan

(Variable) dalam bidang tertentu, sehingga dapat digunakan sebagai kerangka berpikir (Frame of Thingking) dalam memahami serta menangani segala permasalahan yang

timbul dalam bidang tersebut.21

Kerangka Teori yakni kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, teori, thesis si penulis mengenai sesuatu kasus ataupun permasalahan (problem), yang bagi si pembaca

20

Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: UI Press, 1982) Hal. 6

21

Bintaro Tjokroamidjoyo dan mustofa Adijoyo, Teori dan Strategi Pembangunan Nasional, (Jakarta: Haji Masagung, 1998) hal.12


(26)

menjadi bahan perbandingan, pegangan teoritis, yang mungkin ia setujui ataupun tidak setujuinya.22

Menurut pendapat Sugiyono mengenai fungsi dari kerangka teori selaras dengan apa yang digunakan yaitu bahwa teori-teori yang relevan dapat digunakan untuk menjelaskan tentang variabel yang akan diteliti, setara sebagai dasar untuk memberikan jawaban sementara terhadap masalah yang diajukan.23

Teori yang dipakai dalam tesis ini adalah Teori Kepercayaan (vertrouwenstheorie)

yaitu Teori yang mengatakan bahwa kata sepakat ini terjadi pada saat pernyataan

kehendak dianggap layak diterima oleh pihak yang menawarkan.24

Menurut Mariam Darus Badrulzaman, Asas Kepercayaan merupakan kemauan untuk saling mengikatkan diri dalam suatu perjanjian, membangkitkan kepercayaan bahwa perjanjian itu dipenuhi. Asas kepercayaan ini merupakan nilai etis yang bersumber pada moral. 25

Menurut Kasmir, Kepercayaan merupakan suatu keyakinan pemberi kredit bahwa kredit yang diberikan (berupa uang, barang atau jasa) akan benar-benar diterima kembali dimasa tertentu dimasa datang. Kepercayaan ini diberikan oleh bank, dimana sebelumnya sudah dilakukan penelitian penyelidikan tentang nasabah bank baik secara

22

M. Solly Lubis, Filsafat Ilmu dan Penelitian (Bandung: Mandar Maju, 1994) Hal. 80

23

Sugiyono, Metode Penelitian Administrasi, (Bandung: Alfa Beta,1983) Hal. 200

24

R. Setiawan, Pokok-Pokok Hukum Perikatan, (Bandung: Binacipta, 1987) Hal.59.

25

Mariam Darus Badrulzaman, KUH Perdata Buku III, Hukum Perikatan dengan Penjelasan (Bandung: Alumni, 1983) Hal. 89.


(27)

intern maupun dari ekstern. Penelitian dan penyelidikan tentang kondisi masa lalu dan sekarang terhadap nasabah pemohon kredit.26

Kepercayaan juga dikenal dengan istilah Fiduciary Transfer of Ownership atau

Fiduciary Eigendom Overdract (FEO) yaitu penyerahan hak milik berdasarkan

kepercayaan. Fidusia adalah perjanjian pengalihan hak kepemilikan suatu benda atas dasar kepercayaan dengan ketentuan hak kemilikan atas benda yang dialihkan itu tetap berada dalam penguasaan si pemilik benda. Apabila debitur pemberi fidusia ingkar janji, kreditur penerima fidusia tidak dapat memiliki benda jaminan fidusia melainkan benda jaminan itu dijual untuk mengambil pelunasan piutangnya sesuai dengan hak preferensi yang diberikan undang-undang kepada kreditur.27

a. Perjanjian Pada Umumnya

Mengenai perjanjian diatur dalam Buku III Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgelijk Wetboek). Dalam pasal 1313 KUH Perdata, pengertian perjanjian yaitu suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan diri terhadap satu orang lain atau lebih.28

Perjanjian merupakan salah satu sumber perikatan (Verbintenis), sebagaimana diatur dalam Pasal 1234 BW yang berbunyi : “Tiap-tiap perikatan adalah untuk memberikan sesuatu, untuk berbuat sesuatu, atau untuk tidak berbuat sesuatu”.

Subekti dalam bukunya mengenai Hukum Perjanjian menyebutkan bahwa suatu perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seorang berjanji kepada seorang lain atau

26

Kasmir, Bank & Lembaga Keuangan lainnya, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2001) hal. 94

27

Tan Kamelo, Hukum Jaminan Fiducia; Suatu Kebutuhan Yang Didambakan, (Bandung: Alumni, 2006) Hal. 30-31.

28


(28)

dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan suatu hal.29 Selanjutnya disebutkan lagi bahwa suatu perjanjian juga dinamakan persetujuan, karena dua pihak itu setuju untuk melakukan sesuatu.

Mariam Darus Badrulzaman mengatakan pada umumnya perjanjian tidak terikat kepada suatu bentuk tertentu, dapat dibuat secara lisan dan andaikata dibuat secara tertulis maka ini bersifat sebagai alat pembuktian apabila terjadi perselisihan.30

Suatu perjanjian diartikan sebagai suatu perbuatan mengenai harta benda kekayaan antara dua pihak, dalam mana satu pihak berjanji atau dianggap berjanji untuk melakukan suatu hal, sedangkan pihak lain berhak menuntut pelaksanaan janji itu.31

Sedangkan menurut M. Yahya Harahap, Perjanjian atau Verbintenis mengandung pengertian, suatu hubungan hukum harta kekayaan/ harta benda antara dua orang atau lebih yang memberi kekuatan hak pada satu pihak untuk memperoleh prestasi dan sekaligus mewajibkan pada pihak lain untuk menunaikan prestasi.32

Syarat-syarat membuat perjanjian terdapat dalam Pasal 1320 KUH Perdata yaitu untuk sahnya perjanjian disyaratkan adanya:

1) Kesepakatan para pihak 2) Cakap membuat perjanjian 3) Mengenai suatu hal tertentu 4) Suatu sebab yang Halal33

29

Subekti, Hukum Perjanjian (Jakarta: PT. Intermasa, 1979) Hal. 1

30

Mariam Darus Badrulzaman, Op. Cit., Hal. 89.

31

Wirjono Prodjodikoro, Hukum Perdata tentang Persetujuan-Persetujuan Tertentu (Bandung: Sumur, 1981) Hal. 10

32

M. Yahya Harahap, Segi-segi Hukum Perjanjian, (Bandung: Alumni, 1986) Hal. 6

33


(29)

Subekti menggolongkan keempat syarat itu ke dalam dua bagian yaitu: 1) Mengenai subjek perjanjian

2) Mengenai objek perjanjian34

Mengenai Subjek perjanjian adalah:

a) Orang yang membuat perjanjian harus cakap atau mampu melakukan perbuatan hukum tersebut.

b) Ada sepakat yang menjadi dasar perjanjian yang harus dicapai atas dasar kebebasan menentukan kehendaknya (tidak ada paksaan, kekhilapan atau penipuan)35

Mengenai objek perjanjian ditentukan ditentukan bahwa:

a) Apa yang diperjanjikan oleh masing-masing pihak harus cukup jelas untuk menetapkan kewajiban masing-masing.

b) Apa yang diperjanjikan oleh masing-masing tidak bertentangan dengan undang-undang, ketertiban umum atau kesusilaan.36

Mengenai kapan terjadinya kata sepakat dalam suatu perjanjian, terdapat beberapa teori yaitu:37

1) Teori Kehendak (Wilstheorie)

Menurut theori ini kata sepakat terjadi pada saat kehendak dinyatakan oleh pihak penerima (acceptant) untuk mengadakan suatu perjanjian.

2) Teori Pengiriman (verzendtheorie)

Teori ini mengajarkan bahwa kata sepakat telah terjadi pada saat dikirimkan pernyataan kehendak (jawaban) oleh pihak penerima tawaran.

3) Teori Pengetahuan (vernemingstheorie)

Menurut teori ini kata sepakat telah terjadi pada saat pihak yang menawarkan

(offerte) seharusnya sudah mengetahui bahwa tawarannya diterima.

34

Subekti, Aspek-Aspek Hukum Perikatan Nasional, (Bandung: Alumni, 1986) hal. 16

35

Ibid.

36

Ibid.

37


(30)

4) Teori Kepercayaan (vertrouwenstheorie)

Teori ini mengatakan bahwa kata sepakat ini terjadi pada saat pernyataan kehendak dianggap layak diterima oleh pihak yang menawarkan.

Menurut Mariam Darus Badrulzaman dalam Hukum Perjanjian terdapat beberapa asas, yaitu: 38

1) Asas Kebebasan Berkontrak

Menurut Pasal 1338 (1) KUH Perdata disebutkan;

“ Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”

Jadi jika semua syarat-syarat perjanjian telah dipenuhi, maka perjanjian itu sah berlaku sebagai undang-undang bagi para pihak yang membuatnya.

2) Asas Konsensualisme

Asas ini ditemukan dalam Pasal 1320 KUH Perdata dan Pasal 1338 KUH Perdata. Pasal 1320 KUH Perdata, dalam butir pertama berbunyi “ sepakat mereka yang mengikatkan diri” adalah esensial dari hukum perjanjian. Asas ini juga dinamakan asas konsensualisme.

3) Asas Kepercayaan

Kemauan untuk saling mengikatkan diri dalam suatu perjanjian, membangkitkan kepercayaan bahwa perjanjian itu dipenuhi. Asas kepercayaan ini merupakan nilai etis yang bersumber pada moral.

4) Asas Kekuatan mengikat

Terikatnya para pihak dalam suatu perjanjian yang dibuat bukan saja hanya menyangkut apa yang diperjanjikan, tetapi juga terhadap beberapa unsur lain, sepanjang dikehendaki oleh kepatutan, kebiasaan atau undang-undang sebagaimana diatur dalam Pasal 1339 KUH Perdata.

5) Asas Persamaan Hukum

Asas ini menempatkan para pihak di dalam kedudukan yang sama derajatnya, tidak ada perbedaan dari segi apapun. Masing-masing pihak menghargai satu sama lain sebagai manusia ciptaan Tuhan.

6) Asas Keseimbangan

Asas ini mengatur kedua belah pihak untuk memenuhi dan melaksanakan perjanjian itu berdasarkan nilai yang seimbang sesuai dengan apa yang menjadi haknya di satu pihak dan apa yang menjadi kewajibannya di lain pihak.

7) Asas Kepastian Hukum

Perjanjian sebagai suatu figur harus mengandung kepastian hukum. Kepastian hukum ini tercermin dari kekuatan mengikat perjanjian yang dibuat itu sebagai undang-undang.

38


(31)

8) Asas Moral

Asas ini terdapat dalam Pasal 1358 KUH Perdata, yang menyatakan:

“ Pihak-pihak yang telah mewakili urusan orang lain dengan tiada mendapat perintah, tidak berhak atas sesuatu upah.”

Faktor penyebab pihak yang mewakili urusan orang lain (perbuatan hukum) tanpa perintah adalah berdasarkan kesusilaan (moral) sebagai panggilan hati nuraninya. 9) Asas Kepatutan

Asas ini dituangkan dalam Pasal 1339 KUH Perdata. Asas kepatutan ini harus dipertahankan, karena melalui asas ini ukuran tentang hubungan ditentukan juga oleh rasa keadilan dalam masyarakat.

10) Asas Kebiasaan

Asas ini diatur dalam Pasal 1339 dan 1347 KUH Perdata, berbunyi sebagai berikut: “persetujuan-persetujuan tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang dengan tegas dinyatakan di dalamnya, tetapi juga untuk segala sesuatu yang menurut sifat persetujuan diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan atau undang-undang”.

b. Pengertian Kredit dan Unsur-unsur Kredit

Setelah menghimpun dana dari masyarakat luas dalam bentuk simpanan giro, tabungan dan deposito adalah menyalurkan kembali dana tersebut kepada masyarakat yang membutuhkan, dikenal dengan pengalokasian dana. Pengalokasian dana dapat diwujudkan dalam bentuk pinjaman atau lebih dikenal dengan kredit atau dengan membelikan berbagai aset yang dianggap menguntungkan bank.

Untuk mengenal apa sebetulnya kredit, maka kata kredit berasal dari bahasa Latin yang berarti “Credere“, yang artinya percaya, to believe, atau to trust.

Menurut UU No. 10 tahun 1998 menyebutkan bahwa kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga. Jika seseorang menggunakan jasa kredit, maka ia akan dikenakan bunga tagihan atas kredit yang diberikan.


(32)

Maksud percaya bagi si penerima kredit adalah ia percaya kepada si penerima kredit bahwa kredit yang disalurkannya pasti akan dikembalikan sesuai perjanjian, sedangkan bagi si penerima kredit merupakan penerima kepercayaan sehingga mempunyai kewajiban untuk membayar sesuai jangka waktu.

Selain pengertian Kredit yang terdapat dalam Undang-undang Perbankan, ada ada beberapa pendapat para pakar mengenai definisi kredit, antara lain:

1. H.M.A. Savelberg menyatakan bahwa kredit mempunyai arti:

a) Sebagai dasar setiap perikatan (verbintenis) dimana seseorang berhak menuntut sesuatu dari orang lain

b) Sebagai jaminan dimana seseorang menyerahkan sesuatu kepada orang lain dengan tujuan untuk memperoleh kembali apa yang diserahkan itu. 39

2. J.A. Levy merumuskan pengertian dari kredit sebagai berikut:

“Menyerahkan secara sukarela sejumlah uang untuk dipergunakan secara bebas penerima kredit”. Penerima kredit berhak mempergunakan pinjaman itu untuk keuntungannya dengan kewajiban mengembalikan jumlah pinjaman itu dibelakangan hari.40

3. M. Jklie berpendapat kredit adalah:

“Suatu ukuran kemampuan dari seseorang untuk mendapatkan sesuatu yang bernilai ekonomis sebagai ganti rugi dan janjinya untuk membayar kembali utangnya pada tanggal tertentu”.41

39

Mariam Darus Balrulzaman, Perjanjian Kredit Bank, ( Medan: Citra Aditia Abadi, 1991) Hal. 24

40

Ibid.

41


(33)

4. Muchdarsyah Sinungan memberikan pengertian kredit sebagai berikut:

“Kredit adalah suatu pemberian prestasi oleh suatu pihak kepada pihak lainnya prestasi itu akan dikembalikan lagi pada masa yang tertentu akan datang disertai dengan suatu kontra prestasi berupa bunga”.42

Dalam ketentuan Pasal 1 angka 3 Peraturan Bank Indonesia Nomor 4/7/PBI/2002 tentang prinsip kehati-hatian dalam rangka pemberian kredit oleh Bank dari Badan Penyehatan Perbankan Nasional, pengertian kredit lebih diperluas sebagai berikut: “ Kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atas kesepakatan pinjam meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dalam pemberian bunga termasuk:

a. pembelian surat berharga nasabah yang dilengkapi dengan Note Purchase Agrement (NPA).

b. Pengambilalihan tagihan dalam rangka anjak piutang.

Pemberi Kredit disebut dengan kreditur, sedangkan penerima kredit disebut dengan Debitur. Dalam KUH Perdata tidak dipakai istilah Debitor dan Kreditor tetapi dipakai istilah si berutang (schuldenaar) dan berpiutang (Schuldeischer). 43 Menurut Pasal 1235 KUH Perdata dihubungkan dengan Pasal 1234 KUH Perdata dan Pasal 1239 KUHPerdata, si berutang (schuldenaar) adalah pihak yang wajib memberikan sesuatu, berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu berkenaan dengan perikatannya, baik perikatan itu timbul karena perjanjian maupun karena undang-undang.

42

Muchdarsyah Sinungan, Dasar-dasar dan Tehnik Manajemen Kredit, (Jakarta: Bina Aksara, 1989) Hal. 3

43

Sutan Remy Sjahdeini, Hukum Kepailitan; memahami faillissementsverordening juncto


(34)

Teori hukum tentang tanggung jawab kreditur antara lain sebagai berikut:44 1) Teori Instrumentalitas

Dalam hubungan dengan tanggung jawab pihak kreditur, maka teori instrumentalitas mengajarkan bahwa kreditur akan bertanggung jawab secara hukum jika terdapat hal-hal yang merugikan pihak debitur atau pihak lain seandainya pihak kreditur ikut campur kelewat banyak dalam bisnis debitur, sehingga ”total” dan ”aktual” terhadap perusahaan dan bisnis debitur.

2) Teori Keagenan

Teori ini mengajarkan bahwa pihak kreditur akan bertanggung jawab secara yuridis atas kerugian pihak debitur atau pihak lainnya, seandainya kreditur tersebut mempunyai kekuasaan pengontrolan yang substansial terhadap kegiatan-kegiatan debitur. Sehingga hukum memandang pihak debitur hanya sebagai ”agen” saja dari pihak kreditur.

3) Teori Kemitraan De Facto

Teori ini mengajarkan bahwa dalam hal-hal tertentu, maka antara kreditur dengan debitur mempunyai hubungan sedemikian rupa sehingga hubungan tersebut oleh sektor hukum dipandang sebagai hubungan kemitraan (partnership). Sungguhpun antara kreditur dan debitur secara resmi tidak membentuk suatu hubungan kemitraan, tetapi secara de facto menunjukkan bahwa hubungan tersebut sebenarnya ada. Menurut teori ini, jika oleh hukum kemudiaan dianggap ada hubungan kemitraan, maka setiap kerugian terhadap pihak lain yang dilakukan oleh pihak debitur harus ditanggung bersama oleh debitur dan kreditur secara sendiri-sendiri untuk seluruhnya dan secara bersama-sama (jointly).

4) Teori tentang Perbuatan Melawan Hukum

Penerapan teori perbuatan melawan hukum terhadap penentuan tanggung jawab dari kreditur akan memberi arti bahwa jika dalam menata bisnisnya debitur, pihak kreditur ikut campur dan bahkan ada unsur kesengajaan atau minimal kurang hati-hati sehingga menimbulkan kerugian bagi debitur/ orang lain. Maka dalam hal yang demikian, kreditur sudah semestinya bertanggung jawab berdasarkan Pasal 1365 KUHPerdata.

5) Teori Itikad Baik

Dalam hal ini dimaksudkan adalah bahwa setiap perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik. Lihat Pasal 1338 ayat 3 KUHPerdata. Karena itu, jika ada pelanggaran hukum oleh pihak kreditur, misalnya karena membuat perjanjian atau melaksanakan perjanjian tidak dengan itikad baik, sehingga menimbulkan kerugian kepada orang lain, maka kreditur mesti mengganti kerugian tersebut. Berdasarkan teori itikad baik inilah, maka terhadap kreditur dapat diambil tindakan tegas jika dia telah ternyata melakukan kolusi dengan pihak debitur.

44

Munir Fuady, Hukum Perkreditan Kontemporer (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2002), Hal. 28-30


(35)

Adapun unsur-unsur yang terkandung dalam pemberian suatu fasilitas kredit adalah sebagai berikut:45

1. kepercayaan

Yaitu suatu keyakinan pemberi kredit bahwa kredit yang diberikan (berupa uang, barang atau jasa) akan benar-benar diterima kembali dimasa tertentu dimasa datang. Kepercayaan ini diberikan oleh bank, dimana sebelumnya sudah dilakukan penelitian penyelidikan tentang nasabah bank baik secara intern maupun dari ekstern. Penelitian dan penyelidikan tentang kondisi masa lalu dan sekarang terhadap nasabah pemohon kredit.

2. Kesepakatan

Disamping unsur percaya di dalam kredit juga mengandung unsur kesepakatan antara si pemberi kredit dengan si penerima kredit. Kesepakatan ini dituangkan dalam suatu perjanjian dimana masing-masing pihak menandatangani hak dan kewajibannya masing-masing.

3. Jangka waktu

Setiap kredit yang diberikan memiliki jangka waktu tertentu, jangka waktu ini mencakup masa pengembalian kredit yang telah disepakati. Jangka waktu tersebut bisa berbentuk jangka pendek, jangka menengah atau jangka panjang.

4. Risiko

Adanya suatu tenggang waktu pengembalian akan menyebabkan suatu risiko tidak tertagihnya atau macet pemberian kredit. Semakin panjang sutu kredit, semakin besar risikonya. Demikian pula sebaliknya. Risiko ini menjadi tanggungan bank, baik risiko yang disengaja oleh nasabah yang lalai maupun oleh risiko yang tidak disengaja, misalnya terjadi bencana alam atau bangkrutnya usaha nasabah tanpa ada unsur kesengajaan lainnya.

5. Balas Jasa

Merupakan keuntungan atas pemberian suatu kredit atau jasa tersebut yang kita kenal dengan nama bunga. Balas jasa dalam bentuk bunga dan biaya administrasi ini merupakan keuntungan bank.

Pada dasarnya tujuan pemberian kredit berdasarkan kelayakan usaha, agar usaha yang dibiayai dapat berkembang, menyerap tenaga kerja, dan akhirnya dapat menyumbang peningkatan ekonomi masyarakat di sekitarnya

45


(36)

c. Jaminan Kredit

Jaminan mencakup secara umum cara-cara kreditur menjamin dipenuhinya tagihannya, juga merupakan pertanggungjawaban debitur terhadap barang-barangnya.

Istilah jaminan dikenal juga dengan agunan. Istilah agunan terdapat dalam Pasal 1 angka 12 Undang-undang Nomor 10 tahun 1998 tentang Perubahan Undang-undang Nomor 7 tahun 1992 tentang Perbankan, agunan adalah:

“Jaminan tambahan diserahkan nasabah debitur kepada bank dalam rangka mendapatkan fasilitas kredit atau pembiayan berdasarkan prinsip syariah”.

Jadi agunan merupakan jaminan tambahan (accesoir). Tujuan agunan adalah untuk mendapatkan fasilitas kredit dari bank. Unsur-unsur agunan, yaitu:46

1) Jaminan tambahan

2) Diserahkan oleh debitur kepada bank

3) Untuk mendapatkan fasilitas kredit atau pembiayaan

Dalam Pasal 24 angka 1 Undang-undang Nomor 14 tahun 1967 tentang perbankan disebutkan “Bank umum tidak memberi kredit tanpa jaminan kepada siapapun juga.”

Dalam Pasal 8 Undang-undang Nomor 7 tahun 1992 tentang Perbankan disebutkan mengenai jaminan yaitu: “Dalam memberikan kredit, Bank umum wajib mempunyai keyakinan atas kemampuan dan kesanggupan debitur untuk melunasi hutangnya sesuai dengan yang diperjanjikan.”

Mengingat agunan menjadi salah satu unsur jaminan pemberian kredit, maka apabila berdasarkan unsur-unsur lain telah dapat diperoleh keyakinan atas kemampuan debitur

46

H. Salim, Perkembangan Hukum Jaminan Di Indonesia, (Jakarta: Raja Grafindo Persada,


(37)

untuk mengembalikan hutangnya, agunan hanya dapat berupa barang proyek atau hak tagih yang dibiayai dengan kredit yang bersangkutan.47

Dalam Pasal 1131 KUH Perdata disebutkan bahwa segala kebendaan si penghutang, baik yang bergerak maupun yang tak bergerak, baik yang sudah ada maupun yang baru akan ada dikemudian hari, menjadi tanggungan untuk segala perikatan perseorangan.

Jaminan dibedakan menurut sifatnya yaitu yang bersifat kebendaan dan jaminan perseorangan.

Jaminan yang bersifat kebendaan adalah jaminan yang berupa hak mutlak atas sesuatu benda, yang mempunyai ciri-ciri mempunyai hubungan langsung atas benda tertentu dari debitur, dapat dipertahankan terhadap siapa pun, selalu mengikuti bendanya dan dapat diperalihkan (contoh: hipotik, hak tanggungan gadai, dan lain-lain). Sedang jaminan perseorangan adalah jaminan yang menimbulkan hubungan lansung pada perseorangan tertentu, hanya dapat dipertahankan terhadap debitur tertentu, terhadap harta kekayaan debitur umumnya ( contoh: borgtoght).

Jaminan kebendaan diatur dalam Buku II KUH Perdata serta Undang-undang lainnya, dengan bentuk, yaitu:

1) Gadai diatur dalam KUH Perdata Buku II Bab XX Pasal 1150-1161, yaitu suatu hak yang diperoleh seorang kreditur atas suatu barang bergerak yang diserahkan oleh debitur untuk mengambil pelunasan dan barang tersebut dengan mendahulukan kreditur dari kreditur lain.

2) Hak tanggungan; UU No.4/1996, yaitu jaminan yang dibebankan hak atas tanah,

47


(38)

berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang merupakan suatu ketentuan dengan tanah untuk pelunasan hutang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan pada kreditur terhadap kreditur lain.

Menurut Pasal 4 Undang-undang Nomor 4 tahun 1996, hak atas tanah yang dapat dijadikan jaminan utang dengan dibebani hak tanggungan adalah:

a) Hak Milik (Kecuali tanah yang diwakafkan) b) Hak Guna Bangunan

c) Hak Guna Usaha d) Hak Pakai

Khusus hak pakai tersebut diatas harus memenuhi syarat: a) Hak pakai atas tanah Negara

b) Hak pakai tersebut dapat dipindahtangankan dan dipunyai oleh orang/ badan hukum perdata

c) Hak Pakai atas Hak Milik yang ketentuannya akan diatur dengan Peraturan Pemerintah

3) Fidusia, UU No.42/1999, yaitu hak jaminan atas benda bergerak baik yang berwujud maupun yang tidak berwujud dan benda tidak bergerak khususnya bangunan yang tidak dibebani hak tanggungan sebagai agunan bagi pelunasan hutang tertentu yang memberikan kedudukan utama terhadap kreditur lain.

Jaminan perorangan dan garansi, diatur dalam Buku III KUH Perdata, dalam bentuk: 1) Penanggungan hutang (Borgtoght) Pasal 1820 KUH Perdata, yaitu suatu perjanjian

dengan mana seorang pihak ketiga guna kepentingan si berhutang mengikatkan diri untuk memenuhi perikatan si berhutang mana hak orang tersebut tidak memenuhinya.

2) Perjanjian Garansi/ indemnity (Surety Ship) Pasal 1316 KUH Perdata, yang berbunyi meskipun demikian adalah diperbolehkan untuk menanggung atau menjamin seorang pihak ketiga, dengan menjanjikan bahwa orang ini akan berbuat sesuatu, dengan


(39)

tidak mengurangi tuntutan pembayaran ganti rugi terhadap siapa yang telah menanggung pihak ketiga itu atau yang telah berjanji, untuk menyuruh pihak ketiga tersebut menguatkan sesuatu jika pihak ini menolak memenuhi perikatannya.

d. Kredit Usaha Mikro, Kecil dan Menengah

Menurut Pasal 1 ayat (1) Undang-undang nomor 9 tahun 1995 tentang Usaha Kecil adalah kegiatan ekonomi rakyat yang berskala kecil dan memenuhi kriteria kekayaan bersih atau hasil penjualan tahunan serta kepemilikan sebagaimana diatur dalam undang-undang ini.

Usaha mikro, kecil dan menengah mampu bertahan dalam kondisi krisis ekonomi dan memiliki peran yang strategis dalam struktur perekonomian nasional sehingga perlu didukung pengembangannya.

Usaha mikro, kecil dan menengah yang selanjutnya disebut UMKM adalah usaha-usaha yang memenuhi kriteria sebagai berikut:48

1) Usaha Mikro adalah usaha produktif milik keluarga atau perorangan Warga Negara Indonesia, secara individu atau tergabung dalam koperasi dan memiliki hasil penjualan secara individu paling banyak Rp. 100.000.000,- (seratus juta pertahun) 2) Usaha kecil adalah kegiatan ekonomi rakyat yang berskala kecil dan memenuhi

kriteria sebagai berikut:

a) Memiliki kekayaan bersih paling banyak Rp. 200.000.000,- (duaratus juta rupiah), tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha;atau

b) Memiliki hasil penjualan tahunan paling banyak Rp. 1.000.000.000,- (satu miliar rupiah);

c) Milik Warga Negara Indonesia;

d) Berdiri sendiri, bukan merupakan anak perusahaan atau cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai, atau berafiliasi baik langsung maupun tidak langsung dengan usaha menengah atau usaha besar;

e) Berbentuk usaha perseorangan, badan usaha yang tidak berbadan hukum, atau badan usaha yang berbadan hukum, termasuk koperasi;

48

Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/39/PBI/2005 tentang Pemberian Bantuan Teknis Dalam


(40)

3) Usaha menengah adalah usaha dengan kriteraia sebagai berikut:

a) Memiliki kekayaan bersih paling banyak Rp. 200.000.000,- (duaratus juta rupiah) sampai dengan paling banyak Rp. 1.000.000.000,- (satu milyar rupiah), tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha;

b) Milik Warga Negara Indonesia;

c) Berdiri sendiri, bukan merupakan anak perusahaan atau cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai, atau berafiliasi baik langsung maupun tidak langsung dengan usaha menengah atau usaha besar;

d) Berbentuk usaha perseorangan, badan usaha yang tidak berbadan hukum, atau badan usaha yang berbadan hukum atau badan usaha yang berbadan hukum.

e. Kredit Wirausaha Tanpa Agunan

Kredit tanpa agunan dapat digambarkan sebagai kredit yang bisa digunakan untuk segala macam keperluan, tanpa perlu menyerahkan barang untuk diagunkan (dijaminkan). Kredit tanpa agunan biasanya dibatasi sampai dengan jumlah Rp. 50 juta.49

Kredit tanpa agunan dapat diartikan juga dengan Pinjaman tanpa jaminan atau juga dikenal dengan istilah unsecured loans, artinya adalah merupakan pinjaman tanpa adanya suatu aset yang dijadikan pinjaman tersebut maka keputusan pemberian kredit semata adalah berdasarkan riwayat kredit dari pemohon kredit secara pribadi, atau dalam arti kata lain bahwa kemampuan melaksanakan kewajiban pembayaran kembali pinjaman adalah merupakan pengganti jaminan.50

Menurut pendapat Safir Senduk, tujuan penggunaan kredit tanpa agunan ini bermacam-macam, dapat dibagi menjadi beberapa bentuk pinjaman yaitu:51

1) Kredit Usaha

Adalah kredit yang digunakan untuk membiayai peputaran usaha atau bisnis

49

Safir Senduk, Tanpa Agunan Tetap Bisa Kredit, Tabloid Nova No. 691/XIV, tahun 2000

50

Dikutip dari Wikipedia Indonesia, ensiklopedia bebas berbahasa Indonesia, diakses pada tanggal 8 April 2008

51


(41)

sehingga dapat menghasilkan sesuatu yang produktif, seperti usaha perdagangan, usaha industri rumah tangga, usaha jasa konsultasi, dan lain-lain.

2) Kredit Konsumsi

Kredit yang digunakan untuk membeli sesuatu yang sifatnya konsumtif, seperti membeli rumah atau kendaraan pribadi. Karena uang itu oleh nasabah akan digunakan untuk tujuan konsumtif, maka risiko bagi bank bahwa nasabahnya tidak mampu membayar pinjamannya akan lebih besar sehingga pada umumnya suku bunga yang dibebankan kepada nasabah untuk kredit konsumsi akan lebih besar ketimbang bunga kredit untuk tujuan usaha.

3) Kredit Serba Guna

Adalah kredit yang bisa digunakan untuk tujuan apa saja, bisa untuk konsumsi maupun untuk usaha.

Wirausaha merupakan istilah yang diterjemahkan dari kata entrepreneur. Dalam Bahasa Indonesia, pada awalnya dikenal istilah wiraswasta yang mempunyai arti berdiri atas kekuatan sendiri. Istilah tersebut kemudian berkembang menjadi wirausaha, dan

entrepreneurship diterjemahkan menjadi kewirausahaan, yang mempunyai arti seorang

yang mampu memulai dan atau menjalankan usaha. 52

Keputusan seseorang untuk terjun dan memilih profesi sebagai seorang wirausaha didorong oleh beberapa kondisi. Kondisi-kondisi yang mendorong tersebut pertama, orang tersebut lahir dan dibesarkan dalam keluarga yang memiliki tradisi yang kuat dibidang usaha (confidence modalities), kedua, orang tersebut berada dalam kondisi

52


(42)

yang menekan, sehingga tidak ada pilihan lain bagi dirinya selain menjadi wirausaha

(tension modalities), dan ketiga, seseorang mempersiapkan diri untuk menjadi

wirausahawan (emotion modalities).53

Tujuan kredit Wirausaha yaitu untuk memperluas kesempatan kerja dan menciptakan tenaga kerja mandiri. Kredit ini ditujukan bagi calon tenaga kerja profesional dengan latar belakang pendidikan S1, tenaga terampil yang terkena PHK serta pengusaha mikro yang hendak dan memiliki potensi untuk berkembang. Kredit ini digolongkan kredit komersial dengan kategori modal kerja.54

f. Perjanjian Kredit

Dalam praktek perbankan, tidak ada ketentuan perundang-undangan yang mengharuskan perjanjian kredit dibuat dengan akta otentik. Perjanjian kredit dapat dibuat baik dengan akta di bawah tangan maupun akta otentik (akta notaris). Praktek yang berlaku ialah, untuk kredit-kredit yang berjumlah besar biasanya perjanjian kreditnya dibuat dengan akta notaris, sedangkan untuk kredit-kredit yang berjumlah kecil, antara lain Kredit Usaha Kecil (KUK), cukup dibuat dengan akta di bawah tangan.55

Mengenai perjanjian Kredit ini disebutkan dalam Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor: 02/162/KEP/DIR dan Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 27/7/UPPB tanggal 31 Maret 1995 tentang Kewajiban Penyusunan dan Pelaksanaan Kebijakan Perkreditan Bank bagi Bank Umum yang menyatakan bahwa setiap kredit

53

Ibid.

54

Dokumen PT. Bank Artha Graha Internasional, Tbk, Perihal Prosedur Kredit Wirausaha, tanggal 1 Juni 2004

55

Remy Sjahdeini, Hak Tanggungan; Asas-asas, Ketentuan-ketentuan Pokok dan Masalah yang


(43)

yang telah disetujui dan disepakati pemohon kredit dituangkan dalam perjanjian kredit (akad kredit) secara tertulis.

Perjanjian Kredit merupakan perjanjian antara pihak bank dengan pihak nasabah. Dengan melihat bentuk perjanjiannya, maka sebenarnya perjanjian kredit merupakan perjanjian yang tergolong dalam jenis perjanjian pinjam pengganti. Meskipun demikian adanya, namun perjanjian kredit tetap merupakan perjanjian khusus karena didalamnya terdapat adanya kekhususan, dimana pihak kreditur adalah pihak bank sedangkan objek perjanjian berupa uang.56

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata mengatur mengenai pinjam pengganti, seperti diatur dalam Pasal 1754, 1759, 1763 dan1765 KUH Perdata.

Dalam Pasal 1754 KUH Perdata disebutkan Pinjam meminjam adalah perjanjian dengan mana pihak yang satu memberikan kepada pihak yang lain suatu jumlah tertentu barang-barang yang menghabis karena pemakaian dengan syarat bahwa pihak yang belakangan ini akan mengembalikan sejumlah yang sama dari macam dan keadaan yang sama pula.

Dalam Pasal 1759 KUH Perdata disebutkan orang yang meminjamkan tidak dapat meminta kembali apa yang telah dipinjamkannya sebelum lewatnya waktu yang ditentukan dalam perjanjian.

56

Gatot Supramono, Perbankan dan Permasalahan Kredit; Suatu Tinjauan Yuridis (Jakarta: Djambatan, 1996), Hal. 62


(44)

Dalam Pasal 1763 KUH Perdata disebutkan siapa yang menerima pinjaman sesuatu diwajibkan mengembalikannya dalam jumlah dan keadaan yang sama dan pada waktu tertentu pula.

Dalam Pasal 1765 disebutkan adalah diperbolehkan perjanjian bunga atas meminjamkan uang atau barang lain yang menghabis karena pemakaian.

Dalam perjanjian kredit, jaminan hutang mempunyai fungsi yang sangat penting terutama dalam rangka pengamanan apabila kredit mengalami kegagalan.

2. Kerangka Konsepsi

Kerangka Konsep, yakni ia mendapat stimulant dan dorongan konseptualisasi untuk melahirkan suatu konsep baginya atau memperkuat keyakinannya akan konsepnya sendiri mengenai suatu permasalahan.57

Konsepsi adalah salah satu bagian terpenting dari teori, peranan konsepsi penelitian ini untuk menghubungkan teori dan observasi, antara abstraksi dan kenyataan. Konsep diartikan sebagai kata yang menyatukan abstraksi yang digeneralisasikan dari hal-hal khusus yang disebut definisi operasional.58 Pentingnya definisi operasional adalah untuk menghindarkan perbedaan pengertian atau penafsiran mendua (dubius) dari suatu istilah yang dipakai, selain itu dipergunakan juga untuk memberikan pegangan pada proses penelitian ini.59

57

M. Solly Lubis, Filsafat Ilmu dan Penelitian (Bandung: Mandar Maju, 1994) Hal. 80

58

Samadi Suryabrata, Metodelogi Penelitian (Jakarta: Raja Grafinso Persada, 1998) Hal. 3

59

Tan Kamelo, Hukum Jaminan Fiducia; Suatu Kebutuhan Yang Didambakan, (Bandung: Alumni, 2006) Hal. 30-31.


(45)

Dalam melakukan penelitian ini perlu didefinisikan beberapa konsep dasar sebagai berikut:

a. Kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga.60

b. Agunan adalah jaminan tambahan yang diserahkan nasabah debitur kepada bank dalam rangka pemberian fasilitas kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah.61

c. Debitur adalah orang atau badan usaha yang memiliki hutang kepada bank atau lembaga pembiayaan lainnya karena perjanjian atau undang-undang.62

d. Kreditur adalah pihak bank atau lembaga pembiayaan lainnya yang mempunyai piutang karena perjanjian atau undang-undang.63

e. Utang adalah kewajiban debitur yang harus dibayar kepada kreditur dalam bentuk mata uang rupiah atau mata uang lainnya sebagai akibat perjanjian kredit dengan jaminan fidusia.64

f. Perjanjian Kredit adalah suatu perbuatan dimana dua pihak saling berjanji, dengan mana bank berkewajiban menyediakan sejumlah dana atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu kepada pihak lainnya, dan berhak untuk menagihnya kembali setelah jangka waktu tertentu dengan imbalan bunga. Kewajiban bank

60

Undang-undang Nomor 10 tahun 1998 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 7 tahun 1992 tentang Perbankan Pasal 1 angka 11

61

Ibid, Pasal 1 angka 12

62

Tan Kamelo, Loc. Cit, Hal. 32

63

Ibid

64


(46)

merupakan hak dari pihak peminjam, begitupun sebaliknya, kewajiban bagi pihak peminjam merupakan hak bagi bank.65

g. Kredit Wirausaha merupakan kredit tanpa agunan yang ditujukan untuk calon professional yang memiliki latar belakang pendidikan sarjana strata-1 dari disiplin ilmu siap pakai antara lain bidang tehnik mesin/ arsitektur/ elektro, kedokteran, pertanian/ perikanan/ peternakan, notaris dan lainnya serta bagi tenaga terampil/ terlatih dan karyawan yang terkena PHK maupun pengusaha mikro yang hendak dan memiliki potensi untuk dikembangkan.66

G. Metode Penelitian

1. Jenis dan Sifat Penelitian

Berdasarkan rumusan permasalahan dan tujuan penelitian yang telah disebutkan, maka penelitian ini bersifat deskriptif analitis, maksudnya adalah suatu analisis data yang berdasarkan pada teori hukum yang bersifat umum diaplikasikan untuk menjelaskan seperangkat data yang lain.67

Metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini sesuai tujuannya adalah pendekatan yuridis normatif yang juga didukung data sekunder.

Pendekatan yuridis normatif yaitu pendekatan hukum dengan melihat peraturan-peraturan, baik bahan hukum primer maupun bahan hukum sekunder atau pendekatan terhadap masalah dengan cara melihat dari segi peraturan perundang-undangan yang berlaku.68

65

H.R. Daeng Naja, Legal Audit Operasional Bank, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2006) Hal. 127-128

66

Dokumen PT. Bank Artha Graha Internasional, Tbk, perihal Prosedur Kredit Wirausaha, tanggal 21 Mei 2004

67

Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum, (Jakarta: Raga Grafindo Persada, 1997) Hal. 38.

68

Roni Hanitjo Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri, (Semarang: Ghalia Indonesia, 1988) Hal. 11


(47)

2. Lokasi Penelitian

Pelaksanaan penelitian ini dilakukan pada kantor PT. Bank Artha Graha Internasional, Tbk, Cabang Medan. Adapun alasan memilih kantor ini sebagai lokasi penelitian karena kantor ini bergerak dalam bidang perbankan dan merupakan salah satu bank swasta yang ternama, maka sangat sesuai untuk dilakukan penelitian pada kantor ini.

3. Sumber data Penelitian

Sumber data Penelitian yaitu data sekunder merupakan data yang dikumpulkan melalui studi perpustakaan, peraturan perundang-undangan yang berlaku, buku hukum atau tulisan ilmiah, kamus, yurisprudensi, majalah, Koran, internet dan referensi lainnya yang berkaitan dengan masalah yang akan diteliti dalam penelitian ini.

4. Alat Pengumpul Data

Alat pengumpul data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah:

a. Library research (Penelitian Kepustakaan), yaitu dengan cara mempelajari

peraturan-peraturan, karya ilmiah dan artikel serta dokumen-dokumen lain yang berhubungan dengan permasalahan yang akan diteliti.

b. Field research (penelitian Lapangan), yaitu dengan cara mempelajari dokumen dan

wawancara dengan pejabat yang bertugas memberikan kredit di PT. Bank Artha Graha Internasional, Tbk.

Untuk itu peneliti telah menelaah buku yang berhubungan dengan hukum atau tulisan ilmiah, kamus, yurisprudensi, majalah, koran, internet dan referensi lainnya yang berkaitan dengan masalah yang akan diteliti dalam penelitian ini.


(48)

5. Analisa Data

Analisa yang akan dilakukan secara kualitatif dengan menggunakan metode deduktif. Analisa ini diawali dengan kegiatan penelitian dan penelaahan peraturan-peraturan tentang perjanjian, kredit wirausaha, kredit tanpa agunan, direktur kepatuhan,

good corporate governance dan yang berkaitan dengan PT. Bank Artha Graha

Internasional, Tbk termasuk menganalisa kasus berdasarkan pada bahan-bahan kepustakaan yang ada. Kegiatan ini diharapkan akan dapat memudahkan penulis dalam menganalisa permasalahan yang diajukan, menafsirkannya dan kemudian menarik kesimpulan.


(49)

BAB II

PENGATURAN PEMBERIAN KREDIT OLEH BANK

A. Pengaturan Pemberian Kredit oleh Bank Secara Umum 1. Prinsip-Prinsip dalam Pemberian Kredit

Dari berbagai macam usaha perbankan, maka pemberian kredit menempati posisi yang paling utama mengingat usaha perkreditan akan membantu pelaksanaan pembangunan ekonomi dan memberikan perluasan kesempatan kerja yang pada akhirnya dimaksudkan untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat. Disamping itu bagi bank sendiri, perkreditan merupakan usaha yang memberikan keuntungan dan pendapatan yang terbesar dalam penerimaan bank.

Pemberian kredit selalu didasarkan kepada prinsip kehati-hatian (prudential banking

system) dimana ada keyakinan dari bank bahwa kredit yang diberikan benar-benar akan

kembali. Keyakinan tersebut diperoleh dari hasil penilaian kredit sebelum kredit tersebut disalurkan. Biasanya kriteria penilaian yang harus dilakukan oleh bank untuk mendapatkan nasabah yang benar-benar menguntungkan dilakukan dengan analisa 5 C dan 7 P.

Menurut pendapat Kasmir, adapun penjelasan untuk analisis dengan 5 C adalah sebagai berikut:69

a. Karakter (Character)

Suatu keyakinan bahwa sifat atau watak dari orang-orang yang akan diberikan kredit benar-benar dapat dipercaya, hal ini tercermin dari latar belakang si nasabah baik

69


(50)

yang bersifat latar belakang pekerjaan maupun yang bersifat pribadi seperti: cara hidup atau gaya hidup yang dianutnya, keadaan keluarga, hobi dan social

standingnya. Ini semua merupakan ukuran kemauan membayar.

b. Kemampuan (Capacity).

Untuk melihat nasabah dalam kemampuannya dalam bidang bisnis yang dihubungkan dengan pendidikannya, kemampuan bisnis juga diukur dengan kemampuannya dalam memahami tentang ketentuan-ketentuan pemerintah. Begitu pula dengan kemampuannya dalam menjalankan usahanya selama ini. Pada akhirnya akan terlihat kemampuannya dalam mengembalikan kredit yang disalurkan.

c. Permodalan (Capital)

Untuk melihat penggunaan modal apakah efektif, dilihat dari laporan keuangan (neraca dan laporan rugi laba) dengan melakukan pengukuran seperti dari segi

likuiditas, solvabilitas, rentabilitas dan ukuran lainnya. Capital ini harus dilihat dari

sumber mana saja modal yang ada sekarang ini. d. Jaminan (Collateral)

Merupakan jaminan yang diberikan calon nasabah baik yang bersifat fisik maupun non fisik. Jaminan hendaknya melebihi jumlah kredit yang diberikan. Jaminan juga harus diteliti keabsahannya sehingga jika terjadi suatu masalah, maka jaminan yang dititipkan akan dapat dipergunakan secepat mungkin.


(51)

e. Kondisi (Condition)

Dalam menilai kredit hendaknya juga dinilai kondisi ekonomi dan politik sekarang dan di masa yang akan datang sesuai sektor masing-masing, serta prospek usaha dari sektor yang ia jalankan. Penilaian prospek bidang usaha yang dibiayai hendaknya benar-benar memiliki prospek yang baik, sehingga kemungkinan kredit tersebut bermasalah relatif kecil.

Adapun Kasmir juga memberikan penilaian kredit dengan metode analisis 7 P adalah sebagai berikut:70

a. Personality

Yaitu menilai nasabah dari segi kepribadiannya atau tingkah lakunya sehari-hari maupun masa lalunya. Personality juga mencakup sikap, emosi, tingkah laku dan tindakan nasabah dalam menghadapi suatu masalah.

b. Party

Yaitu mengklasifikasikan nasabah ke dalam klasifikasi tertentu atau golongan-golongan tertentu berdasarkan modal, loyalitas serta karakternya. Sehingga nasabah dapat digolongkan ke golongan tertentu dan akan mendapat fasilitas yang berbeda dari bank.

c. Purpose

Yaitu untuk mengetahui tujuan nasabah dalam mengambil kredit, termasuk jenis kredit yang diinginkan nasabah. Tujuan pengambilan kredit dapat bermacam-macam.

70


(52)

Sebagai contoh apabila untuk modal kerja atau investasi, konsumtif atau produktif dan lain sebagainya.

d. Prospect

Yaitu untuk menilai usaha nasabah dimasa yang akan datang menguntungkan atau tidak atau dengan kata lain mempunyai prospek atau sebaliknya. Hal ini penting mengingat jika suatu fasilitas kredit yang dibiayai tanpa mempunyai prospek, bukan hanya bank yang rugi akan tetapi juga nasabah.

e. Payment

Merupakan ukuran bagaimana cara nasabah mengembalikan kredit yang telah diambil atau dari sumber mana saja dana untuk pengembalian kredit.

Semakin banyak sumber penghasilan debitur maka akan semakin baik. Sehingga jika salah satu usahanya merugi akan dapat ditutupi oleh sektor lainnya.

f. Profitability

Untuk menganalisis bagaimana kemampuan nasabah dalam mencari laba. Profitability diukur dari periode ke periode apakah akan tetap sama atau akan semakin meningkat, apalagi dengan tambahan kredit yang akan diperolehnya.

g. Protection

Tujuannya adalah bagaimana menjaga agar usaha dan jaminan mendapatkan perlindungan. Perlindungan dapat berupa jaminan barang atau orang atau jaminan asuransi.

Berdasarkan Surat Keputusan Nomor 28/37/KEP/DIR tanggal 10 Juli 1995 tentang Informasi Debitur disebutkan Bank dalam rangka pemberian kredit dan memerlukan


(53)

informasi mengenai 5C dan 7P dapat diperoleh di Pusat Informasi Bank Indonesia. Untuk keamanan dan kelancaran pemberian kredit, berdasarkan Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 27/120/KEP/DIR tanggal 25 Januari 2008 disebutkan bahwa bank dapat saling bertukar informasi.

2. Tujuan Dan Fungsi Kredit

Menurut pendapat Kasmir, tujuan utama pemberian suatu kredit antara lain:71 a. Mencari keuntungan

Yaitu bertujuan untuk memperoleh hasil dari pemberian kredit tersebut. Hasil tersebut terutama dalam bentuk bunga yang diterima oleh bank sebagai balas jasa dan biaya administrasi kredit yang dibebankan kepada nasabah.

Keuntungan ini penting untuk kelangsungan hidup bank. Jika bank terus menerus menderita kerugian, maka besar kemungkinan bank tersebut akan dilikuidir (dibubarkan)

b. Membantu usaha nasabah

Tujuan lainnya adalah untuk membantu usaha nasabah yang memerlukan dana, baik dana investasi maupun dana untuk modal kerja. Dengan dana tersebut, maka pihak debitur akan dapat mengembangkan dan memperluas usahanya.

c. Membantu pemerintah

Bagi pemerintah semakin banyak kredit yang disalurkan oleh pihak perbankan, maka semakin baik, mengingat semakin banyak kredit berarti adanya peningkatan pembangunan di berbagai sektor.

71


(54)

Keuntungan bagi pemerintah dengan menyebarnya pemberian kredit adalah: 1) Penerimaan pajak dari keuntungan yang diperoleh nasabah dan bank

2) Membuka kesempatankerja, dalam hal ini untuk kredit pembangunan usaha baru atau perluasan usaha akan membutuhkan tenaga kerja baru sehingga dapat menyedot tenaga kerja yang masih menganggur.

3) Meningkatkan jumlah barang dan jasa, jelas sekali bahwa sebagian besar kredit yang disalurkan akan dapat meningkatkan jumlah barang dan jasa yang beredar di masyarakat.

4) Menghemat devisa Negara, terutama untuk produk-produk yang sebelumnya diimpor dan apabila sudah dapat diproduksi di dalam negeri dengan fasilitas kredit yang ada jelas akan menghemat devisa Negara.

5) Meningkatkan devisa Negara, apabila produk dari kredit yang dibiayai untuk keperluan ekspor.

Fasilitas kredit memiliki fungsi sebagai berikut:72 a. Untuk meningkatkan daya guna uang

Dengan adanya kredit dapat meningkatkan daya guna uang maksudnya jika uang hanya disimpan saja tidak akan menghasilkan sesuatu yang berguna. Dengan diberikannya kredit uang tersebut menjadi berguna untuk menghasilkan barang atau jasa oleh si penerima kredit.

b. Untuk meningkatkan peredaran dan lalu lintas uang

72


(1)

dan tanggungjawab agar sumber kredit stabil dan dapat dipercaya, sekaligus mencegah risiko yang berlebihan. Kekuatan suatu bank salah satunya bertumpu pada kemampuan bank tersebut melakukan pengelolaan risiko dan menetapkan secara konsisten tata kelola perusahaan yang baik, yang ditunjukkan dengan kesadaran untuk menjalankan operasi bank dengan senantiasa menjaga kepercayaan nasabah, integritas tinggi, profesionalisme dan service.

3. Kredit Wirausaha memberikan bantuan permodalan skala mikro yang cepat, tepat dan saling menguntungkan dalam rangka mempercepat penciptaan lapangan kerja, penyerapan tenaga kerja dan pemberdayaan UMKM sangat membantu masyarakat yang ingin melakukan kegiatan usaha tetapi tidak mempunyai agunan yang cukup. Prinsip kehati-hatian merupakan prinsip yang sangat penting untuk diterapkan setiap bank, khususnya dalam pemberian kredit wirausaha tanpa agunan ini. Kehati-hatian dalam pemberian kredit ini dapat dilaksanakan dengan melalui analisa yang akurat dan mendalam, penyaluran yang tepat, pengawasan dan pemantauan yang baik, perjanjian kredit yang sesuai dengan syarat hukum.

Dalam Kredit tanpa agunan, pihak bank tidak mendapat agunan dari pihak debitur, maka berdasarkan Pasal 1131 dan 1132 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, harta kekayaan milik dari debitur seluruhnya menjadi jaminan terhadap jumlah utang yang harus dibayarkan oleh debitur. Sehingga dasar dari Bank melakukan eksekusi apabila debitur wanprestasi adalah kedua pasal tersebut, Pasal 1131 dan 1132 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.


(2)

B. Saran

1. Mengingat kredit tanpa agunan yang disalurkan perbankan sebagian besar adalah dana masyarakat yang dihimpun sementara dana masyarakat yang disimpan di bank tidak ada jaminan dalam bentuk jaminan kebendaan tetapi hanya berdasar kepercayaan, maka dalam memberikan kredit tersebut, bank harus memperhatikan prinsip-prinsip perkreditan yang sehat disertai asas kehati-hatian artinya bank harus hati-hati dalam menyalurkan kredit dan perjanjian kredit itu harus betul-betul menjamin dan melindungi kepentingan bank secara khusus.

2. Belum ada peraturan baru yang khusus mengatur masalah kredit tanpa agunan dalam penegakan hukumnya, hanya berdasarkan kitab undang-undang hukum perdata. Dengan demikian, untuk menyelesaikan kredit macet atas pemberian kredit tanpa agunan, maka diperlukan payung hukum kebijakan dalam rangka penyelesaian kredit macet di bank.

3. Perlunya pihak bank baik dari staf perbankan hingga direksi memahami konsep kepatuhan serta menjadi awal pelaksanaan program ini pada bank dan perlunya peran direksi kepatuhan yang mampu memantau dan menjaga agar kegiatan usaha bank tidak menyimpang dari ketentuan yang berlaku dalam rangka pelaksanaan prinsip kehati-hatian, serta menerapkan good corporate governance dengan adil, terbuka, dan tanggungjawab pada bank.


(3)

DAFTAR PUSTAKA Buku-Buku

Balrulzaman, Mariam Darus, Perjanjian Kredit Bank, Medan: Citra Aditia Abadi, 1991 _____, KUH Perdata Buku III, Hukum Perikatan dengan Penjelasan, Bandung:

Alumni, 1983

Daniri, Mas Achmad, Good Corporate Governance, Konsep dan Penerapannya dalam

Konteks Indonesia, Jakarta: Ray Indonesia, 2005

Fuady, Munir, Hukum Perkreditan Kontemporer, Bandung: Citra Aditya, 2002.

Hanitjo, Roni Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri, Semarang: Ghalia Indonesia,1997

Harahap, M. Yahya, Segi-segi Hukum Perjanjian, Bandung: Alumni, 1986

Kamelo, Tan, Hukum Jaminan Fidusia Suatu Kebutuhan yang Didambakan, Bandung: Alumni, 2006

Kasmir, Bank dan Lembaga Keuangan lainnya, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2001 Muhammad, Abdulkadir, Rilda Muniarti, Segi Hukum Lembaga Keuangan dan

Pembiayaan, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2000

Naja, HR Daeng, Legal Audit Operasional Bank, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2006 Notodisuryo, R Sugonodo, Hukum Notariat di Indonesia; Suatu Penjelasan, Jakarta:

Grafindo Persada, 1993

Pratijknjo, Hartonosoerjo, Hutang Piutang Perjanjian-Perjanjian Pembayaran dan

Jaminan Hipotik, Yogyakarta: Mustika Wikasa, 2002

Prodjodikoro, Wirjono, Hukum Perdata tentang persetujuan-Persetujuan Tertentu, Bandung: Sumur, 1981

Salim, H, Perkembangan Hukum Jaminan di Indonesia, Jakarta: Raja Grafindo, 2004 Setiawan, R, Pokok-Pokok Hukum Perikatan, Bandung, Binacipta, 1987


(4)

Sitompul, Zulkarnain, Perlindungan Dana Nasabah Bank, Suatu Gagasan Tentang

Pendirian Lembaga Simpanan di Indonesia, Jakarta: Fakultas Hukum Universitas

Indonesia, 2002

Sjahdeini, Sutan Remy, Hak Tanggungan Asas-asas Ketentuan-ketentuan Pokok dan

Masalah yang dihadapi Perbankan, Bandung: Alumni, 1999

_______, Hukum Kepailitan; memahami faillissementsverordening juncto

Undang-undang Nomor 4 tahun 1998, Jakarta: Grafiti, 2002

Soekanto, Soerjono, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta: UI Press, 1982

Soemitro, Roni Hanitjo, Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri, Semarang: Ghalia Indonesia, 1988

Solly, M Lubis, Filsafat Ilmu dan Penelitian, Bandung: Mandar Maju, 1994 Subekti, R, Aneka Perjanjian, Bandung: Citra Aditya, 1995

______, Hukum Perjanjian, Jakarta: Intermasa, 1979

______, Aspek-Aspek Hukum Perikatan Nasional, Bandung: Alumni, 1986 Sugiyono, Metode Penelitian Administrasi, Bandung: Alfa Beta, 1983

Suryabrata, Samadi, Metodelogi Penelitian, Jakarta: Raja Grafinso Persada, 1998 Sutarno, Aspek-Aspek Hukum Perkreditan pada Bank, Bandung: Alfabeta, 2004

Sunggono, Bambang, Metodologi Penelitian Hukum, Jakarta: Raga Grafindo Persada, 1997

Supramono, Gatot, Perbankan dan Permasalahan Kredit; Suatu Tinjauan Yuridis, Jakarta: Djambatan, 1996

Tjokroamidjoyo, Bintaro, mustofa Adijoyo, Teori dan Strategi Pembangunan Nasional, Jakarta: Haji Masagung, 1998

Untung, H Budi, Kredit Perbankan di Indonesia, Yogyakarta: Andi, 2000

Usman, Rahmadi, Aspek-aspek Hukum Perbankan di Indonesia, Jakarta: Gramedia, 2001


(5)

Makalah

Anonim, Pentingnya Kerjasama Bank Indonesia, Penegak Hukum dan Direktur

Kepatuhan Perbankan, Jakarta: Makalah Seminar Forum Komunikasi Direktur

Kepatuhan, 2004

Binhadi, Good Corporate Governance, Makalah Materi Pelatihan Sertifikasi pegawai Sektor perbankan Bank Indonesia, 2006

Nasution, Bismar, Penerapan Good Corporate Governance dalam Pencegahan

Penyalahgunaan Kredit, Medan: Makalah pada Seminar Hukum Perkreditan pada

PT. Bank Rakyat Indonesia, 2002

Purba, Fransiscus A, Meraih Peluang Kredit di Sektor Usaha Mikro Melalui

Penyaluran Kredit Wirausaha dengan Pola Kemitraan, Makalah pada Pusdiklat

Bank Artha Graha Internasional, Tbk, 2007

Undang-undang dan Peraturan lainnya

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (burgelijk Wetboek) Undang-Undang Nomor 42 tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia

Undang Republik Indonesia nomor 10 tahun 1998 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 7 tahun 1992 tentang Perbankan

Undang-Undang Nomor 4 tahun 1996 tentang Hak Tanggungan

Peraturan Bank Indonesia Nomor 8/2/PBI/2006 tentang perubahan atas PBI

7/2/PBI/2005 tentang Penilaian kwalitas Aktiva Produktif

Peraturan Bank Indonesia No. 8/4/PBI/2006 tentang Pelaksanaan Good Corporate Governance bagi Bank Umum

Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/39/PBI/2005 tentang Pemberian Bantuan Teknis

Dalam Rangka Pengembangan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah.

Peraturan Bank Indonesia Nomor 5/21/PBI/2003 tentang Perubahan 3/10/PBI/2001 tentang Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah (Know Your Customer Principles) Peraturan Bank Indonesia Nomor 1/6/PBI/1999 tentang Pengawasan Direktur


(6)

Koran dan Majalah

Anonim, Semua Perbankan Di Sumut Minta Agunan KUR, Medan Bisnis, 9 Juli 2008

______, Perbankan Tidak Boleh Meminta Jaminan, Kompas 26 Mei 2008

______, Selamat Datang Neloe, Konstan Online, 22 Mei 2008 ______, Bunga Kur Bisa Berubah, Kompas, 26 November 2007

______, Perbankan Diragukan Salurkan Kredit Tanpa Agunan, Berita Ekonomi, 30 Juli 2004.

Dahril, Tengku, Kredit Usaha Rakyat, Riau Pos, 16 Maret 2008

Gunanto, Kredit Usaha rakyat Diluncurkan, Tempo Interaktif, 5 November 2007

Manurung, Novrida, Kredit tanpa Agunan Semakin terbuka Lebar, Kontan, 18 April 2008

Senduk, Safir, Tanpa Agunan Tetap Bisa Kredit, Nova No. 691/ XIV, 2000 ______, Berkenalan Dengan Kredit Bank, Tabloid Nova No. 684/XIV, 2000

Syakhroza, Akhmad, Best Practises Corporate Governance dalam Konteks Konsisi

Lokal Perbankan Indonesia, Usahawan No. 06, 2003

Yuliastuti, Dian, Neloe Cs Dijebloskan, Tempo, 27 Januari 2006