EVALUASI KINERJA KEUANGAN PEMERINTAH DAERAH KABUPATEN TIMOR TENGAH UTARA (STUDI KASUS SEBELUM DAN SESUDAH OTONOMI DAERAH)

(1)

commit to user

EVALUASI KINERJA

KEUANGAN PEMERINTAH DAERAH

KABUPATEN TIMOR TENGAH UTARA

(STUDI KASUS SEBELUM DAN SESUDAH OTONOMI DAERAH)

TESIS

Untuk memenuhi sebagian persyaratan mencapai derajat Magister Program Studi Magister Ekonomi dan Studi Pembangunan

Konsentrasi : Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Keuangan Daerah

Oleh :

EMANUEL BE HAUKILO

S. 4209115

FAKULTAS EKONOMI PROGRAM PASCASARJANA

MAGISTER EKONOMI DAN STUDI PEMBANGUNAN

UNIVERSITAS NEGERI SEBELAS MARET

SURAKARTA


(2)

commit to user

ABSTRAKSI

Emanuel Be Haukilo. S 4209115. Evaluasi Kinerja Keuangan Pemerintah Daerah

Kabupaten Timor Tengah Utara (studi kasus sebelum dan sesudah Otonomi Daerah). Program Pascasarjana Magister Ekonomi dan Studi Pembangunan, Universitas Sebelas Maret Surakarta 2010.

Sejak 1 januari tahun 2001 awal diberlakukannya kebijakan Otonomi daerah. pemberian otonomi yang luas membuka jalan bagi pemerintah daerah untuk melakukan pembaharuan dalam sistem pengelolaan keuangan daerah dan anggaran daerah. Untuk itu setiap daerah dituntut agar mampu membiayai daerahnya sendiri melalui sumber-sumber keuangan yang dimilikinya. Kemampuan daerah dalam menggali dan mengembangkan potensi daerah yang dimilikinya sebagai sumber penerimaan daerah akan sangat menentukan keberhasilan kebijakan otonomi daerah tersebut.

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk membandingkan kinerja keuangan daerah pada sebelum dan sesudah kebijakan otonomi daerah di berlakukan di Kabupaten Timor Tengah Utara yakni dari aspek derajat desentralisasi fiskal (tingkat kemandirian daerah), kebutuhan fiskal daerah, kapasitas fiskal daerah dan upaya fiskal daerah. Teknik Analisis data yang di gunakan adalah analisis deskriptif dengan mendeskripsikan dan menjelaskan data yang telah terkumpul secara deskriptif yakni satus /level variabel-variabel yang diamati dalam bentuk rasio/persentase, tabel, grafik ataupun diagram. Analisis varibel meliputi derajat desentralisasi fiskal (tingkat kemandirian daerah), kebutuhan fiskal, kapasitas fiskal, dan upaya fiskal.

Hasil dari penelitian ini adalah bahwa di Kabupaten Timor Tengah utara : Derajat Desentralisasi fiskal (tingkat kemandirian daerah) yang ditinjau dari persentase Pendapatan Asli Daerah (PAD) terhadap Total Penerimaan Daerah dengan rata-rata persentase 3,40 % sebelum otnomi daerah dan 3,14 % sesudah otonomi daerah. Persentase Bagi hasil Pajak dan Bukan Pajak (BHPBP) terhadap Total Penerimaan Daerah (TPD) menunjukkan bahwa pada masa sebelum otonomi daerah lebih tinggi denga rata-rata persentase sebesar 10,07 % dari pada sesudah otonomi daerah yakni dengan rata-rata persentase sebesar 5,65 %. Persentase Sumbangan daerah (SB) terhadap Total penerimaan daerah (TPD) derajat desentralisasi fiskal (tingkat kemandirian dearah) pada masa sebelum otonomi daerah lebih tinggi dengan rata-rata persentase sebesar 76,63 % di bandingan setelah otonomi daerah diberlakukan yakni rata-rata persentase sebesar 70,80. Kebutuhan fiskal sebelum otonomi daerah lebih rendah dengan rata-rata persentase sebesar 4,16 % dari pada sesudah otonomi daerah diberlakukan dengan rata-rata persentase sebesar 4,69 %. Kapasitas fiskal sebelum kebijakan otonomi daerah lebih rendah dengan rata-rata persentase sebesar 3,59 % dari pada sesudah kebijakan otonomi daerah diberlakukan dengan rata-rata persentase sebesar 4,51 %. Dan upaya fiskal pada masa setelah kebijakan otonomi daerah diberlakukan lebih baik dengan rata-rata persentase elastisitasnya sebesar 2,11 % dari pada sebelum otonomi daerah dengan rata-rata persentase elastisitasnya sebesar 0,81 %.

Key word :

Otonomi daerah, Derajat desentralisasi fiskal (tingkat kemandirian daerah), Kebutuhan fiskal, Kapasitas fiskal, Upaya fiskal.


(3)

commit to user

DAFTAR ISI

Halaman Judul...I Halaman Persetujuan...II Halaman pengesahan...III Halaman Pernyataan...IV Motto... ...V Persembahan... ...VI Abstraksi... ...VII Abstract...VIII Kata Pengantar...IX Daftar Isi...X Daftar Tabel...XI Daftar Grafik...XII Daftar Diagram...XIII Daftar Gambar...XIV Daftar Lampiran...XV Bab. I. Pendahuluan

A. Latar Belakang ...1

B. Rumusan Masalah...6

C. Tujuan Penelitian...7

D. Manfaat Penelitian...7 Bab. II. Tinjauan Pustaka


(4)

commit to user 1. Kajian Teoritis

A. Konsep Otonomi Daerah...8

B. Konsep Desentralisasi...9

C. Konsep Kinerja Keuangan Daerah...11

D. Konsep Tata Kelola Pemerintahan Yang Baik...13

2. Kajian Empiris A. Perubahan Dasar Hukum Pengelolaan Keuangan daerah ...21

B. Perubahan Sistem dan Prosedur Penyusunan APBD...23

1. Sistem Anggaran...23

2. Perubahan Proses Penyusunan Anggaran...24

3. Perubahan Struktur APBD...28

C. Perubahan Penatausahaan Keuangan Daerah...29

D. Perubahan Sistem Akuntansi dan Pelaporan...31

E. Penelitian Terdahulu yang Relevan...34

F. Kerangka Konseptual...39

Bab. III. Metodologi Penelitian A.Tipe dan Lokasi Penelitian...44

B.Definisi operasional dan pengukuran...44

C.Jenis dan Sumber Data...46

D.Teknik Pengumpulan Data...46


(5)

commit to user Bab. IV. Hasil penelitian dan pembahasan

A.Deskripsi Lokasi Penelitian...49

B. Gambaran Kondisi Perekonomian Kabupaten Timor Tengah Utara...53

1. Struktur Ekonomi...53

2. Pertumbuhan ekonomi Kabupaten TTU...55

3. Pertumbuhan PDRB Kabupaten TTU...55

4. Harga-Harga...57

5. Pertanian...59

6. Perindustrian...64

7. Perdagangan...65

8. Pengangkutan dan Komunikasi...66

9. Keuangan,persewaan dan jasa perusahaan...67

C. Analisis dan Perhitungan Kinerja keuangan sebelum dan sesudah otonomi daerah. 1. Analisis Data Variabel Penelitian...69

a. Pendapatan Asli Daerah...69

b. Bagi Hasil Pajak dan Bukan Pajak...73

c. Sumbangan dan Bantuan...76

d. Total Penerimaan Daerah...80

e. Belanja Rutin...83

f. Belanja Pembangunan...86

g. Total Belanja Daerah...89


(6)

commit to user

i. Jumlah Penduduk...99

2. Analisis Perkembangan Kinerja Keuangan sebelum dan sesudah otonomi daerah. a. Desentralisasi Fiskal...102

b. Kebutuhan Fiskal...113

c. Kapasitas Fiskal...117

d. Upaya Fiskal...120

e. Kinerja Keuangan Kabupaten TTU...123

Bab. V. Penutup A.Kesimpulan...127

B.Saran...129 Daftar Pustaka...XVI Lampiran-Lampiran...XVII


(7)

commit to user

DAFTAR

TABEL

Tabel 1.1. Perubahan dari Sistem MAKUDA ke SAKD...32-33 Tabel 4.1 . Luas Daerah Kabupaten TTU menurut Kecamatan Tahun 2008...51 Tabel 4.2. Batas Wilayah Kecamatan di Kabupaten TTU Tahun 2008...52 Tabel 4.3. Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Kabupaten TTU

menurut Lapangan Usaha Atas Dasar Harga berlaku Tahun 2000-2005...54 Tabel 4.4. Rata-rata Pertumbuhan Ekonomi Kabupaten TTU

dan Propinsi NTT dari Tahun 2000-2005 (%)...55 Tabel 4.5. Pertumbuhan PDRB Kabupaten TTU menurut Lapangan Usaha

Tahun 2000-2005 Atas Dasar Harga berlaku (%)...56 Tabel 4.6. Rata-rata Harga Sembilan Bahan Pokok dan Bahan

Strategi Lainnya di Pasar Kota Kefamenanu Tahun 2004-2005...58 Tabel 4.7. Kontribusi Sektor Pertanian Terhadap Total Pembentukan

PDRB Serta Pertumbuhannya Tahun 2001-2005 (%)...60 Tabel 4.8. Luas Panen dan Produksi Padi di

Kabupaten Timor Tengah Utara Tahun 2000-2005...61 Tabel 4.9. Luas Panen dan Produksi Jagung di

Kabupaten TTU Tahun 2000-2005...62 Tabel 4.10. Luas Panen dan Produksi Beberapa Jenis

Tanaman Bahan Makanan di Kabupaten TTU Tahun 2000-2005...62-63 Tabel 4.11. Pertumbuhan dan Peranan Sektor Industri


(8)

commit to user

Tabel 4.12. Pertumbuhan dan Peran Sektor Perdagangan

menurut Sub Sektor Tahun 2001-2005 ...66 Tabel 4.13. Pertumbuhan dan Peran Sektor Angkutan

Dan Komunikasi Terhadap Total PDRB

menurut Sub Sektor Tahun 2001-2005 ...67 Tabel 4.14. Pertumbuhan dan Peranan Sektor Keuangan,

Persewaan dan Jasa Perusahaan menurut

Sub Sektor Tahun 2001-2005 ...68 Tabel. 4.15 . Data Perkembangan Pendapatan Asli daerah (PAD)

Kabupaten TTU Tahun 1996 - 2005...71 Tabel. 4.16 . Data Perkembangan BHPBP

Kabupaten TTU Tahun 1996 - 2005...74 Tabel. 4.17 . Data Perkembangan Sumbangan dan Bantuan (SB)

terhadap Kabupaten TTU Tahun 1996 - 2005...78 Tabel. 4.18 . Data Perkembangan Total Penerimaan Daerah

Kabupaten TTU Tahun 1996 - 2005...81 Tabel. 4.19. Data Perkembangan total Belanja Rutin

Kabupaten TTU Tahun 1996 - 2005...84 Tabel. 4.20 . Data Perkembanganan total Belanja Pembangunan

Kabupaten TTU Tahun 1996 - 2005...87 Tabel. 4.21 . Data Perkembangan Total Belanja Daerah


(9)

commit to user

Tabel. 4.22 . Data Pertumbuhan PDRB Kabupaten TTU

Tahun 1996 - 2005...97 Tabel. 4.23 . Data Pertumbuhan Jumlah Penduduk

Kabupaten TTU Tahun 1996 - 2005...100 Tabel 4.24. Persentase Pendapatan Asli Daerah (PAD)

terhadap Total Penerimaan Daerah (TPD)

di Kabupaten TTU tahun 1996-2005...102 Tabel 4.25. Persentase Bagi Hasil Pajak dan Bukan Pajak (BHPBP)

Terhadap Total Penerimaan Daerah (TPD) Tahun 1996-2005...106 Tabel 4.26. Persentase Sumbangan Daerah (SB)

terhadap Total Penerimaan Daerah (TPD)

di Kabupaten TTU tahun 1996-2005...110 Tabel 4.27. Kebutuhan Fiskal Kabupaten TTU Tahun 1996-2005...114 Tabel 4.28. Persentase Kapasitas Fiskal Kabupaten TTU Tahun 1996-2005...117 Tabel 4.29. Perhitungan Upaya Fiskal daerah

Kabupaten TTU Tahun 1996-2005...120 Tabel 4.30. Perhitungan kinerja keuangan daerah


(10)

commit to user

DAFTAR GAMBAR


(11)

commit to user

EVALUASI KINERJA

KEUANGAN PEMERINTAH DAERAH

KABUPATEN TIMOR TENGAH UTARA

( STUDI KASUS SEBELUM DAN SESUDAH OTONOMI DAERAH)

Disusun Oleh : EMANUEL BE HAUKILO

S 4209115

Telah disetujui oleh Pembimbing Pada tanggal :……….

Pembimbing I Pembimbing II

(Dr. J .J . Sarungu,MS) (Drs. Wahyu Agung Setyo,M.Si) NIP : 19510701 198010 1 001 NIP : 19680522 199103 1 002

Mengetahui, Ketua Program Studi

Magister Ekonomi dan Studi Pembangunan

(Dr. J.J. Sarungu, MS) NIP : 19510701 198010 1 001


(12)

commit to user

EVALUASI KINERJA

KEUANGAN PEMERINTAH DAERAH

KABUPATEN TIMOR TENGAH UTARA

( STUDI KASUS SEBELUM DAN SESUDAH OTONOMI DAERAH)

Disusun Oleh : EMANUEL BE HAUKILO

S 4209115

Telah disetujui oleh Tim Penguji

Pada tanggal :……….

Jabatan Nama Tanda Tangan Ketua Tim Penguji Dr. Evi Gravitiani,M.Si ……… Pembimbing Utama Dr. J .J . Sarungu,MS ... Pembimbing Pendamping Drs. Wahyu Agung Setyo,M.Si ………

Ketua Program Studi Direktur PPS UNS Magister Ekonomi dan Studi

Pembangunan

(Prof.Drs. Suranto,M.Sc. P.hD) (Dr. J.J. Sarungu, MS) NIP. 19570820 198503 1 004 NIP : 19510701 198010 1 001


(13)

(14)

commit to user

PERSEMBAHAN

Karya ini ku persembahkan bagi ; v Orang Tuaku tercinta

v Istriku tersayang

v Putra-putriku. Diana, Sitha and Bryan

v Saudara-saudariku dan keluargaku

v Universitas Timor, Kefamenanu


(15)

commit to user

MOTTO

Jika anda tidak mengukur hasil, anda tidak bisa membedakan antara

kesuksesan dan kegagalan.

Jika anda tidak bisa melihat kesuksesan, anda tidak akan bisa

menghargainya..

Jika anda tidak bisa menghargai kesuksesan, anda berarti mungkin

menghargai kegagalan.

Jika anda tidak bisa melihat kesuksesan, anda tidak bisa belajar darinya.

Jika anda tidak mengenali kegagalan, anda tidak bisa memperbaikinya.

Jika anda bisa menunjukkan hasil, anda bisa memperoleh dukungan


(16)

commit to user KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena hanya atas rahmat dan bimbingannya, karya ilmiah ini dapat diselesaikan dengan baik untuk memenuhi sebagian persyaratan mendapatkan gelar Magister Sains (M.Si) dalam program Pascasarjana Magister Ekonomi dan studi Pembangunan Universitas Negeri Sebelas Maret Surakarta. Konsentrasi penelitian ini difokuskan pada Perencanaan Pembangunan Wilayan dan Keuangan Daerah yang mengkaji tentang ”EVALUASI KINERJA KEUANGAN PEMERINTAH KABUPATEN TIMOR TENGAH UTARA (STUDI KASUS SEBELUM DAN SESUDAH OTONOMI DAERAH).”

Penulis menyadari bahwa banyak kendala dam hambatan yang ditemui penulis dalam merampungkan karya ilmiah ini namun berkat bantuan dan dukungan dari berbagai pihak maka tulisan ini dapat terselesaikan dengan baik pada waktunya. Dengan segala kerendahan dan ketulusan hati penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada berbagai pihak diantaranya :

1. Dr. J.J. Sarungu,MS selaku Ketua Program Magister ekonomi dan Studi Pembangunan Fakultas Ekonomi Universitas Negeri sebelas Maret Surakarta sekaligus sebagai dosen pembimbing utama tesis yang telah memberikan bimbingan, masukan dan motivasi serta arahan sehingga karya tulis ini dapat terselesaikan.

2. Drs. Wahyu Agung Setyo,M.Si selaku Sekretaris Program Magister Ekonomi dan Studi Pembangunan Fakultas ekonomi Universitas Negeri Sebelas Maret Surakarta sekaligus sebagai pembimbing pendamping tesis yang banyak memberikan bimbingan, saran dan masukan sehingga tesis ini dapat diselesaikan.


(17)

commit to user

3. Yayasan Pendidikan Cendana Wangi (Sandinawa) Kefamenanu yang memberikan dukungan dalam bentuk biaya studi kepada penulis.

4. Koordinator Kopertis Wilayah VIII Denpasar yang memberikan ijin kepada penulis dalam rangka melanjutkan studi.

5. Lembaga tercinta Universitas Timor, Kefamenanu yang telah memberikan kesempatan kepada penulis dalam melanjutkan Studi S2.

6. Kedua Orang Tuaku Gabrial T. Haukilo dan Anna Sako Bimolo (Almh) serta bapak Yulius T. Haukilo (Alm) dan Mama Dominika Eno (Almh) yang teladani dan segani dan hormati yang telah membina dan membesarkan penulis.

7. Istri dan Putra-Putriku Diana, Florasitha dan Bryan yang setiap saat selalu memanjatkan doa dan memberikan motivasi serta semangat kepada penulis. 8. Saudara-saudariku yang selalu setia mendukung dan mendoakan perjuangan studi

penulis di Kota Batik Solo.

9. Rekan-Rekan seperjuangan kelas reguler angkatan XII MESP : Pa’Sunarso, Pa’Kuncoro, Pa’Parman, Novita dan Ibu Subaningsih yang telah membantu penulis selama studi di Kota Solo.

10.Berbagai pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang dengan caranya sendiri telah mendukung dan memotivasi penulis dalam melanjutkan studi.

Surakarta, 2011 Penulis


(18)

commit to user DAFTAR LAMPIRAN

1. Tabulasi data perhitungan Desentralisasi Fiskal, Kebutuhan Fiskal, Kapasitas Fiskal dan Upaya Fiskal.

2. Data dan Perhitungan tentang APBD Kabupaten TTU dari tahun 1996 - 2005 3. Surat Ijin Penelitian


(19)

commit to user DAFTAR GRAFIK

Grafik 4.1. Trend Perkembangan PAD Kabupaten TTU tahun 1996-2005 ...72 Grafik 4.2. Trend Perkembangan BHPBP Kabupaten TTU tahun 1996-2005...75 Grafik 4.3. Trend Perkembangan Sumbangan dan Bantuan

Kabupaten TTU tahun 1996-2005 ...79 Grafik 4.4. Trend Perkembangan Total Penerimaan Daerah

Kabupaten TTU tahun 1996-2005 ...82 Grafik 4.5. Trend Perkembangan Total Belanja Rutin

Kabupaten TTU tahun 1996-2005 ...85 Grafik 4.6. Trend Perkembangan Belanja Pembangunan

Kabupaten TTU tahun 1996-2005 ...88 Grafik 4.7. Trend Perkembangan Total Beanja Daerah

Kabupaten TTU tahun 1996-2005 ...91 Grafik 4.8. Trend Perkembangan PDRB Kabupaten TTU tahun 1996-2005 ...98 Grafik 4.9. Trend Pertumbuhan Penduduk Kabupaten TTU

tahun 1996-2005 ...101 Grafik 4.10. Trend Perkembangan PAD terhadap Total Penerimaan Daerah

Kabupaten TTU tahun 1996-2005 ...105 Grafik 4.11. Trend Perkembangan BHPBP terhadap Total Penerimaan Daerah

Kabupaten TTU tahun 1996-2005 ...105 Grafik 4.12. Trend Perkembangan Sumbangan dan Bantuan terhadap


(20)

commit to user

Grafik 4.13. Trend Perkembangan Kebutuhan Fiskal Daerah

Kabupaten TTU tahun 1996-2005 ...116 Grafik 4.14. Trend Perkembangan Kapasitas Fsikal Daerah

Kabupaten TTU tahun 1996-2005 ...119 Grafik 4.15. Trend Perkembangan Upaya Fiskal Daerah

Kabupaten TTU tahun 1996-2005 ...122 Grafik 4.16. Trend Perkembangan kinerja keuangan Daerah


(21)

commit to user DAFTAR DIAGRAM

Diagram 4.1. Trend Perkembangan PAD Kabupaten TTU

tahun 1996-2005 ...72 Diagram 4.2. Trend Perkembangan BHPBP Kabupaten TTU tahun 1996-2005...75 Diagram 4.3. Trend Perkembangan Sumbangan dan Bantuan

Kabupaten TTU tahun 1996-2005 ...79 Diagram 4.4. Trend Perkembangan Total Penerimaan Daerah

Kabupaten TTU tahun 1996-2005 ...82 Diagram 4.5. Trend Perkembangan Total Belanja Rutin

Kabupaten TTU tahun 1996-2005 ...85 Diagram 4.6. Trend Perkembangan Belanja Pembangunan

Kabupaten TTU tahun 1996-2005 ...88 Daigram 4.7. Trend Perkembangan Total Beanja Daerah

Kabupaten TTU tahun 1996-2005 ...91 Diagram 4.8. Trend Perkembangan PDRB Kabupaten TTU tahun 1996-2005 ...98 Diagram 4.9. Trend Pertumbuhan Penduduk Kabupaten TTU

tahun 1996-2005 ...101 Diagram 4.10. Trend Perkembangan PAD terhadap Total Penerimaan Daerah

Kabupaten TTU tahun 1996-2005 ...105 Diagram 4.11. Trend Perkembangan BHPBP terhadap Total Penerimaan Daerah

Kabupaten TTU tahun 1996-2005 ...105 Diagram 4.12. Trend Perkembangan Sumbangan dan Bantuan terhadap


(22)

commit to user

Total Penerimaan Daerah Kabupaten TTU tahun 1996-2005 ...108 Diagram 4.13. Trend Perkembangan Kebutuhan Fiskal Daerah

Kabupaten TTU tahun 1996-2005 ...116 Diagram 4.14. Trend Perkembangan Kapasitas Fsikal Daerah

Kabupaten TTU tahun 1996-2005 ...119 Diagram 4.15. Trend Perkembangan Upaya Fiskal Daerah

Kabupaten TTU tahun 1996-2005 ...122 Diagram 4.16. Trend Perkembangan kinerja keuangan Daerah


(23)

commit to user

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Dorongan untuk adanya pemberlakukan sistem desentralisasi di Indonesia pada dasarnya dilatar belakangi oleh beberapa faktor penting antara lain yakni : adanya kemunduran pembangunan ekonomi saat mulai berperannya globalisasi dunia, meningkatnya tuntutan perubahan tingkat pelayanan publik serta semakin kentara adanya indikasi dis-integrasi akibat kegagalan sistem sentralissasi yang diberlakukan dalam pemberian pelayanan publik. Untuk menerapkan sistem desentralisasi aspek yang sangat perlu dipertimbangkan adalah menyangkut aspek fiskal,politik, perubahan administrasi dan sistem pemerintahan dalam pembangunan sosial maupun pembangunan ekonomi. Desentralisasi merupakan suatu alat untuk mencapai salah satu tujuan dari kehidupan bernegara yakni dalam memberikan pelayanan publik yang lebih baik, berkualitas dan menciptakan proses pengambilan keputusan publik yang lebih demokratis oleh pemerintah (Yani, 2002 : 141).

Desentralisasi diwujudkan dalam bentuk pelimpahan kewenangan kepada pemerintah daerah untuk mengatur rumah tangganya sendiri serta adanya transfer dana dari pemerintah. Sebagai bagian integral dari pelaksanaan desentralisasi adalah dengan terciptanya tata kelola penyelenggaraan pemerintah yang baik (good governance). Dalam rangka mewujudkan tata kelola pemerintahan yang baik itulah maka perlunya pemerintah melakukan evaluasi berkala pada bidang pengelolaan keuangan daerah. Perlunya dilakukan evaluasi terhadap pengelolaan keuangan daerah karena ada


(24)

commit to user

beberapa kondisi yang mengarah pada semakin sentralnya posisi pengelolaan keuangan di pemerintahan daerah. Hal tersebut akan nampak dalam semakin menigkatnya kebutuhan untuk memperbaharui regulasi, pengawasan pengelolaan keuangan serta terbatasnya sumber – sumber pendanaan.

Dari sudut pandang regulasi kebutuhan pergantian (regulasi) peraturan perundang-undangan keuangan yang masih mengacu pada peninggalan pemerintah kolonial semakin amat mendesak. Sehingga Cita-cita tersebut akhirnya terwujud lewat diterbitkannya Undang-Undang Nomor 17 tahun 2003 tentang keuangan negara.

Selain itu ada kondisi berikutnya yang juga menuntut untuk adanya pengawasan pengelolaan keuangan daerah yang lebih sistematis dan komprehensif. Selama ini pengawasan hanya dilakukan secara konvensional oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) sehingga berimplikasi pada semakin pentingnya perangkat pengawasan yang lain seiring dengan meningkatnya belanja negara yang dikelola oleh pemerintah daerah. Bentuk pengawasan yang dibutuhkan baik secara internal yakni oleh satuan kerja pengawasan daerah di tingkat Propinsi/Kabupaten maupun secara eksternal yakni melalui pelibatan masyarakat dan pemangku kepentingan/stakeholders lainnya untuk memberikan pengawasan yang melekat.

Ada kondisi lain lagi yang turut berpengaruh yakni semakin berkurang dan terbatasnya potensi sumber daya alam sebagai salah satu sumber pendapatan utama pemerintah sehingga menempatkan pajak sebagai porsi unggulan dalam mendanai penyelenggaraan pemerintahan maupun kegiatan pembangunan maka transparansi, akuntabilitas dan pertanggungjawaban penggunaan dana harus diberikan oleh pemerintah. Dari ketiga kondisi tersebut diatas maka nampaknya semakin mendesak


(25)

commit to user

akan pentingnya diterapkan good governance.

Kondisi-kondisi yang dijelaskan tersebut akhirnya menjadi sangat kompleks tatkala pemerintah meluncurkan peraturan perundang-undangan terkait penataan kelembagaan (pelembagaan) organisasi pengelola keuangan daerah dan pengelolaan aset daerah. Upaya untuk mereformasi pengelolaan keuangan daerah dimulai dengan berlakunya sistem desentralisasi pada 1 januari 2001 dengan telah diberinya wewenang yang lebih besar kepada pemerintah daerah. Undang-Undang nomor 12 tahun 2008 sebagai pengganti undang-undang nomor 32 tahun 2004 membagi daerah kabupaten/kota dengan propinsi secara berjenjang (pasal 2 ayat 1) dengan ketentuan yang lebih menekankan adanya keterkaitan dan ketergantungan serta sinergi antar tingkat pemerintahan. Pada tahun 2007 dikeluarkanlah Peraturan Pemerintah Nomor 41 tahun 2007 tentang Organisasi Perangkat Daerah beserta aturan pelaksanaannya dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri nomor 57 tahun 2007 tentang petunjuk teknis penataan organisasi perangkat daerah. Dalam menentukan besaran maupun bentuk kelembagaan pengelola keuangan dan aset daerah, pemerintah daerah mendasari pada aspek kewenangan yang telah ditetapkan dalam Undang-undang dan peraturan pemerintah serta peraturan menteri sebagai aturan pelaksanaannya. Kewenangan mempunyai peran sentral dalam pembentukan kelembagaan sehingga upaya perubahan pada sistem birokrasi tidak dapat melalaikan unsur tersebut. Pada dasarnya kewenangan tidak hanya sebagai unsur terpenting dalam pembentukan kelembagaan tetapi juga mempunyai hubungan timbal balik dengan kelembagaan itu sendiri. Pada kelembagaan tersebut sebenarnya juga berperan sebagai wahana untuk melaksanakan kewenangan yang dimiliki pada setiap tingkatan pemerintahan. Dalam arti lain


(26)

commit to user

kewenangan yang dimiliki akan dapat sesuai dengan besaran kelembagaannya. Hal tersebut sejalan dengan prinsip ”Structure Follows Function” yang menjadi dasar acuan dalam setiap proses pembentukan kelembagaan pemerintah. Oleh karena itu upaya untuk adanya reformasi pengelolaan keuangan daerah harus melibatkan kajian kelembagaan yang tentunya disesuaikan dengan besarnya tugas dan kewenangan yang dibebankan yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Dalam upaya untuk melakukan perubahan terhadap pengelolaan keuangan daerah tampaknya akan menghadapi tantangan yang mempunyai implikasi terhadap perubahan paradigma sistem pemerintahan yang telah menuntut pemerintah Indonesia khususnya kondisi yang terjadi di pemerintah daerah Kabupaten Timor Tengah Utara untuk harus terus menciptakan tata kelola pemerintahan yang baik (good governance). Di Kabupaten Timor Tengah Utara, dengan adanya upaya untuk merubah bentuk pengelolaan keuangan diharapkan dapat menjadi suatu perangkat pendukung terlaksananya penerapan tata kelola pemerintahan yang baik (good governa nce) karena sejak mulai diberlakukannya Undang-Undang Otonomi daerah diindikasikan belum maksimal dilaksanakan serta seiring dengan semangat yang diamanatkan oleh undang-undang yang harus dapat dilaksanakan suatu evaluasi terhadap kinerja keuangan baik dari sisi organisasi maupun aparaturnya.

Manfaat menggunakan sistem pengukuran kinerja (Saragih, 2003 : 113) adalah : 1. Pembuatan Kebijakan dan Pengawasannya – meningkatkan perumusan kebijakan

dengan menyediakan dasar-dasar yang memadai bagi para pengambil keputusan untuk mengajukan pertanyaan-pertanyaan mengenai kebutuhan dan kinerja


(27)

commit to user

pelayanan serta membuat keputusan realokasi sumber daya jika diperlukan.

2. Arahan Operasional – Memberikan cara yang lebih sistematis bagi para manajer

untuk mendeteksi kekuatan dan kelemahan operasional serta untuk melakukan analisa program yang berkelanjutan.

3. Akuntabilitas – Dapat membantu dinas dan seluruh organisasi dalam memperoleh

kepercayaan masyarakat dengan memperlihatkan hasil yang baik dari pendapatan yang diterima.

4. Perencanaan – Memfasilitasi perencanaan strategis dan operasional dengan cara

menyediakan informasi yang dibutuhkan dalam menetapkan tujuan dan sasaran serta merencanakan program-program untuk pencapaian tujuan dan sasaran tersebut.

5. Pengelolaan – Memberikan dasar bagi identifikasi awal dari adanya penurunan

efisiensi operasional dan cara untuk memperlihatkan seberapa efisien sumber daya digunakan dalam penyediaan pelayanan dan pencapaian tujuan.

6. Penganggaran – Memperbaiki proses anggaran dengan sedapat mungkin membuat

keputusan yang obyektif mengenai alokasi dan redistribusi sumber daya, pengurangan biaya, dan menginvestasikan kelebihan/surplus dana.

7. Menyerahkan penyediaan pelayanan kepada pihak luar – Membantu terciptanya

iklim yang kompetitif dalam penyediaan pelayanan oleh pihak luar dengan cara memberikan data tentang biaya dan kinerja yang didokumentasikan dengan baik serta memonitoring kinerja pihak kontraktor berkaitan dengan kualitas pelayanan. 8. Pengawasan Kerja – berguna dalam mencapai kinerja pegawai yang lebih baik


(28)

commit to user

memberikan masukan dan insentif.

Dengan adanya beberapa uraian tersebut diatas maka penelitian ini berjudul ”

Evaluasi Kinerja Keuangan Pemerintah Daerah Kabupaten Timor Tengah Utara sebelum dan sesudah otonomi daerah ”.

B. RUMUSAN MASALAH

Dari uraian latar belakang diatas maka yang menjadi permasalahan dalam penelitian ini yaitu :

1. Bagaimanakah perkembangan kinerja keuangan daerah Kabupaten TTU yang meliputi derajat desentralisasi fiskal (tingkat kemandirian daerah), kebutuhan fiskal daerah, kapasitas fiskal daerah dan upaya fiskal daerah sebelum dan sesudah kebijakan otonomi daerah diberlakukan?

2. Apakah perkembangan kinerja keuangan daerah Kabupaten TTU sesudah kebijakan otonomi daerah diberlakukan lebih baik dibandingkan dengan kinerja keuangan daerah Kabupaten TTU sebelum kebijakan otonomi daerah diberlakukan?

C. TUJUAN PENELITIAN

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis :

a. Perbandingan derajat desentralisasi fiskal (tingkat kemandirian daerah) sebelum dan sesudah kebijakan otonomi daerah diberlakukan di Kabupaten TTU.

b. Perbandingan kebutuhan fiskal daerah (fiscal need) sebelum dan sesudah kebijakan otonomi daerah diberlakukan di Kabupaten TTU.

c. Perbandingan kapasitas fiskal daerah (fiscal capacity) sebelum dan sesudah kebijakan otonomi daerah diberlakukan di Kabupaten TTU.


(29)

commit to user

d. Perbandingan upaya fiskal daerah (tax effort) sebelum dan sesudah kebijakan otonomi daerah diberlakukan di Kabupaten TTU.

D. MANFAAT PENELITIAN

Manfaat penelitian ini meliputi : 1. Manfaat Praktis

Penelitian ini bermanfaat untuk mengetahui perbandingan kinerja keuangan daerah, yang meliputi derajat desentralisasi fiskal (tingkat kemandirian daerah), kebutuhan fiskal daerah (fiscal need), kapasitas fiskal daerah (fiscal capacity serta upaya fiskal daerah (tax effort) sebelum dan sesudah kebijakan otonomi daerah di berlakukan. Dari sini diperoleh bahan dan masukan bagi pemerintah pusat maupun pemerintah daerah khususnya pemerintah Kabupaten TTU dalam membuat kebijakan dan menentukan arah serta strategi pembangunan di masa yang akan datang.

2. Manfaat Akademik

Memperkaya penelitian-penelitian sejenis yang telah ada yang dapat dijadikan perbandingan dengan penelitian-penelitian selanjutnya.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

1. KAJIAN TEORITIS

A. KONSEP OTONOMI DAERAH

Menurut Undang Nomor 12 tahun 2008 tentang perubahan atas Undang-Undang nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah Pasal 1 ayat 5. “Otonomi


(30)

commit to user

daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.” (Undang-Undang Otonomi Daerah 2010: 18).

Menurut kamus Webster’s Third New International Dictionary Kata autonomy berasal dari bahasa Yunani, yakni dari kata autonomia, yang artinya : “ The quality or state being independent, free, and self directing. Atau The degree of self determination or political control possed by a minority group, territorial division or political unit in its relations to the state or political community of which it forms a part and extending from local to full independence.” (Saragih, 2003: 39 dan 40).

Menurut Encyclopedia of Social Science Dalam pengertiannya yang orisinil, otonomi adalah The legal self suffiency of social body and its actual independence (Yani, 2002:5). Menurut Black’s Law Dictionary Definisikan autonomy adalah “The political independence of a nation, the right (and condition) of power of self government. The negation of a state of political influence from without or from foreign powers.”

Dalam melaksanakan desentralisasi fiskal, prinsip money should follow function

merupakan salah satu prinsip yang harus diperhatikan dan dilaksanakan. Prinsip tersebut berarti setiap penyerahan atau pelimpahan wewenang pemerintahan membawa konsekuensi pada anggaran yang diperlukan untuk melaksanakan kewenangan tersebut (Saragih, 2003 : 83). Kebijakan perimbangan keuangan pusat dan daerah merupakan derivatif dari kebijakan otonomi daerah. Artinya, semakin banyak wewenang yang dilimpahkan, maka kecenderungan semakin besar biaya yang dibutuhkan oleh daerah.

B. KONSEP DESENTRALISASI

Menurut Undang Nomor 12 tahun 2008 tentang perubahan atas Undang nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah Pasal 1 ayat 7 dan Undang-Undang Nomor 33 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pusat dan Pemerintahan Daerah


(31)

commit to user

Pasal 1 ayat 8, “Desentralisasi adalah penyerahan wewenang pemerintahan oleh Pemerintah kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam system Negara Kesatuan Republik Indonesia.” (Undang-Undang Otonomi Daerah 2010: 18 dan 220). Sedangkan Desentralisasi fiskal secara singkat dapat diartikan sebagai suatu proses distribusi anggaran dari tingkat pemerintahan yang lebih tinggi kepada pemerintahan yang lebih rendah, untuk mendukung fungsi atau tugas pemerintahan dan pelayanan publik sesuai dengan banyaknya kewenangan bidang pemerintahan yang dilimpahkan (Saragih, 2003 : 83).

Sumber pendapatan daerah (menurut Undang-Undang Otonomi Daerah 2004:103-104) terdiri atas:

1. Pendapatan Asli Daerah (PAD)

Menurut UU Nomor 33 Pasal 1 ayat 18, “Pendapatan Asli Daerah, selanjutnya disebut PAD adalah pendapatan yang diperoleh daerah yang dipungut berdasarkan Peraturan Daerah sesuai dengan Peraturan Perundang-undangan.”

2. Dana Perimbangan

Menurut UU Nomor 33 Tahun 2004 Pasal 1 ayat 19, 20, 21, dan 23, Dana perimbangan adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan kepada Daerah untuk mendanai kebutuhan Daerah dalam rangka pelaksanaan Desentralisasi.“ Dana perimbangan terdiri dari:

a. Dana bagi hasil adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan kepada daerah berdasarkan angka presentase untuk mendanai


(32)

commit to user

kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi. Dana bagi hasil terdiri dari:

a. Bagi hasil pajak, yang meliputi bagi hasil Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB), Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 25 dan Pasal 29 Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri dan PPh Pasal 21 .

b.Bagi hasil sumber daya alam, yang meliputi sektor kehutanan, pertambangan umum, perikanan, minyak bumi, gas alam, dan panas bumi.

b. Dana Alokasi Umum, selanjutnya disebut DAU adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan dengan tujuan pemerataan kemampuan keuangan antar daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi.

c. Dana Alokasi Khusus (DAK), selanjutnya disebut DAK adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan kepada daerah tertentu dengan tujuan untuk membantu mendanai kegiatan khusus yang merupakan urusan daerah dan sesuai dengan prioritas nasional.

d. Lain-lain pendapatan daerah yang sah.

Menurut UU Nomor 32 Tahun 2004 Pasal 164 ayat 1, Lain-lain pendapatan daerah yang sah merupakan seluruh pendapatan daerah selain PAD dan dana perimbangan, yang meliputi hibah, dana darurat, dan lain-lain pendapatan yang ditetapkan Pemerintah.


(33)

commit to user

Kinerja atau kemampuan keuangan daerah merupakan salah satu ukuran yang dapat digunakan untuk melihat kemampuan daerah dalam menjalankan otonomi daerah (Halim, 2004: 24). Menurut Halim untuk melihat kinerja keuangan daerah, dapat dilakukan dengan menganalisis :

a. Derajat desentralisasi fiskal (tingkat kemandirian daerah) b. Kebutuhan Fiskal (fiscal need)

c. Kapasitas Fiskal (fisca l capacity) d. Upaya fiskal (tax effort)

Beberapa definisi diatas yang berkaitan dengan penilaian kinerja keuangan di tingkat pemerintahan daerah adalah :

1. Derajat desentralisasi Fiskal

Derajat desentralisasi fiskal adalah tingkat kemandirian daerah untuk membiayai kebutuhan daerahnya sendiri tanpa menggantungkan diri dengan pemerintah pusat. 2. Kebutuhan fiskal

Menurut Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 Pasal 28 ayat 1 “Kebutuhan fiskal Daerah merupakan kebutuhan pendanaan daerah untuk melaksanakan fungsi layanan dasar umum“(Undang–Undang Otonomi Daerah 2004:236).

3. Kapasitas fiskal

Menurut UU Nomor 33 Tahun 2004 Pasal 28 ayat 3, “ Kapasitas fiskal Daerah merupakan sumber pendanaan daerah yang berasal dari PAD dan dana bagi hasil.“ 4. Upaya Fiskal


(34)

commit to user

Upaya fiskal adalah koefisien elastisitas Pendapatan Asli Daerah (PAD) dengan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB).

5. Kebutuhan Fiskal Standar (SKF)

Kebutuhan fiskal standar adalah rata-rata kebutuhan fiskal stándar suatu daerah (Halim, 2004: 29).

6. Kapasitas Fiskal Standar (KFs)

Kapasitas Fiskal Standar (KFs) adalah rata-rata kapasitas fiskal standar suatu daerah. 7. Semakin tinggi Pendapatan Asli Daerah (PAD), semakin kuat pula derajat

desentralisasi fiskalnya (tingkat kemandirian daerahnya). Semakin rendah Pendapatan Asli Daerah (PAD), semakin lemah pula derajat desentralisasi fiskalnya (tingkat kemandiriannya).

8. Semakin tinggi Bagi Hasil Pajak dan Bukan Pajak (BHPBP), semakin kuat pula derajat desentralisasi fiskalnya (tingkat kemandirian daerahnya). Semakin rendah Bagi Hasil Pajak dan Bukan Pajak (PHPBP), maka semakin lemah derajat desentralisasi fiskalnya (tingkat kemandirian daerahnya).

9. Semakin tinggi Sumbangan Daerah (SB) maka semakin lemah derajat desentralisasi fiskalnya (tingkat kemandirian daerahnya). Semakin rendah Sumbangan Daerah (SB) maka semakin kuat derajat desentralisasi fiskalnya (tingkat kemandiriannya).

10. Semakin tinggi Indeks Pelayanan Publik Perkapita (IPPP), maka semakin besar pula kebutuhan fiskal (fiscal need). Semakin rendah Indeks Pelayanan Publik (IPPP), semakin sedikit pula kebutuhan fiskal (fiscal need)


(35)

commit to user

11. Semakin elastis Pendapatan Asli Daerah (PAD) suatu daerah, maka struktur pendapatan Asli Daerah (PAD) daerah tersebut semakin baik. Semakin inelastis Pendapatan Asli Daerah (PAD) suatu daerah, maka struktur pendapatan Asli Daerah (PAD) daerah tersebut semakin buruk.

F. KONSEP TATA KELOLA PEMERINTAHAN YANG BAIK (GOOD GOVERNANCE)

Perkembangan pemikiran kelembagaan dan paradigma pembangunan semakin menegaskan tentang pentingnya aplikasi prinsip Tata Kepemerintahan Yang Baik (good governance) dalam penyelenggaraaan pemerintahan di daerah. Dalam kerangka inilah penekanan dilakukan pada pembagian peran dan interaksi diantara tiga pelaku pembangunan di daerah, yaitu masyarakat, dunia usaha dan pemerintah.

Interaksi tersebut selanjutnya memberikan penekanan fungsi dan peran pada masing-masing pelaku pembangunan, yaitu:

a. Peran pemerintah dalam hal ini sebagai penyedia pelayanan publik (civil servant) dan katalisator yang menciptakan lingkungan kondusif (enabling environment) bagi tumbuh dan berkembangnya berbagai inisiatif dan kreasi dalam kerangka untuk menghasilkan berbagai nilai dan makna bagi pembangunan daerah.

b. Peran dunia usaha sebagai pencipta nilai ekonomis dalam kerangka mensejahterakan masyarakat setempat. Misalnya saja upaya penciptaan lapangan pekerjaan serta pendapatan yang layak bagi masyarakat seharusnya dikerjakan secara intensif maupun ekstensif oleh dunia usaha setempat dengan dukungan dari masyarakat dan Pemerintah Daerah,


(36)

commit to user

c. Peran masyarakat sebagai pembentuk nilai sosial bagi pengembangan modal sosial (social capital) kehidupan masyarakat setempat, disamping ikut berpartisipasi dalam perkembangan serta dinamika pembangunan daerah terutama yang secara langsung akan mempengaruhi kehidupan mereka.

Asosiasi Pemerintahan Kota Seluruh Indonesia (Apeksi) dan Badan Kerjasama Kabupaten Seluruh Indonesia (BKKSI) serta Asosiasi Dewan Kota Seluruh Indonesia (Adkasi) dan Asosiasi Dewan Kabupaten Seluruh Indonesia (Adeksi) telah mengadopsi sepuluh prinsip tata kepemerintahan yang baik (good governance). Kesepuluh prinsip tersebut adalah transparansi, partisipasi, akuntabilitas dan supervisi, prediktabilitas, ketanggapan, efektivitas dan efisiensi, kesetaraan/keadilan, visi strategik, profesionalisme serta penegakan hukum.

a. Transparansi

Proses kegiatan dalam rangka pelayanan publik haruslah melibatkan mekanisme yang transparan untuk mencegah terjadinya praktik-praktik yang tidak adil dan tindak pidana korupsi, serta sebagai penunjang mekanisme penanganan keluhan masyarakat. Mekanisme kerja berdasarkan peraturan yang tidak memihak dan transparan agar pihak penyelenggara sektor publik maupun yang dilayani (masyarakat) sama-sama mendapat kepuasan sehingga terwujud kebijakan dan mekanisme prosedur pelayanan yang baik. Prinsip transparansi diperlukan tidak hanya dalam proses pelayanan publik, tapi juga dalam proses investasi, proses pengambilan keputusan, berbagai macam kontrak dan persetujuan lainnya. Informasi harus tersedia secara memadai, akurat dan tepat waktu. Dalam proses good governance transparansi dibangun untuk memenuhi hak masyarakat maupun stakeholders atas informasi. Dengan kata lain, hak masyarakat atas informasi


(37)

commit to user

harus dipenuhi sehingga mereka dapat ikut ambil bagian dalam proses politik dan pembangunan perekonomian.

b. Partisipasi

Prinsip partisipasi tidak saja penting bagi kerjasama pemerintah, swasta dan masyarakat tetapi semua pihak yang semestinya terlibat, termasuk keseimbangan partisipasi pria dan wanita. Mekanisme keterlibatan bisa dilakukan dalam berbagai bentuk, baik langsung maupun lewat berbagai media. Partisipasi yang luas dan melibatkan berbagai pihak akan mampu menjaring aspirasi dan kebutuhan masyarakat. Dalam rangka partisipasi tersebut, para penyelenggara pemerintahan dan pelayanan publik dituntut untuk selalu menjalankan tugas dan programnya secara transparan dan adil. Dengan penerapan prinsip partisipasi, secara tidak langsung mengarah kepada akuntabilitas yang bisa diterima semua pihak karena mereka sudah dilibatkan sejak awal proses identifikasi kebutuhan. Namun partisipasi tidak berarti memaksakan kehendak satu pihak terhadap pihak yang lain. Partisipasi sebaiknya dipahami sebagai sarana untuk mencapai kesepakatan bersama dan konsensus dalam menyusun kebijakan dan pengembilan keputusan lainnya. Pemberian kepercayaan kepada pihak lain untuk ikut andil dalam pengelolaan pelayanan kepada publik akan memberi peluang pada peningkatan kapasitas (capacity building). Dengan demikian diharapkan pelayanan akan lebih efisien dan berkualitas. Selanjutnya, pengeluaran pemerintah juga diharapkan dapat menurun dan pendapatan pemerintah juga dapat meningkat. Selain itu, dengan adanya partisipasi yang lebih luas, peluang untuk terjadinya praktik korupsi dapat ditekan.

c. Akuntabilitas dan Supervisi


(38)

commit to user

pemerintahan di bidang pelayanan publik maupun bidang lainnya seperti bidang politik. Ukuran keberhasilan harus ditetapkan untuk bahan perbandingan apakah kinerja yang bersangkutan layak disebut baik atau memenuhi persyaratan pertanggungjawaban yang baik dari segi ekonomis maupun keuangan. Prinsip akuntabilitas apabila dilaksanakan dengan baik akan mencegah terjadinya korupsi serta menjamin bahwa kinerja organisasi telah sesuai dengan misi yang telah ditetapkan.

d. Prediktabilitas

Penyelenggaraan kegiatan pelayanan publik semakin hari semakin banyak melibatkan investor mengingat berbagai keterbatasan dari pihak pemerintah sendiri antara lain di bidang pendanaan. Di pihak lain, tuntutan kebutuhan masyarakat juga semakin meningkat. Bagi investor pilihan untuk melalukan investasi tentu saja adalah tersedianya jaminan dalam proses pelaksanaan yang lancar dan stabil. Untuk itu perlu ada ukuran yang bisa dipakai untuk memprediksikan masa depan yang menjangkau masa investasi.

e. Ketanggapan

Para penyelenggara pelayanan publik harus tanggap terhadap kebutuhan masyarakat yang dapat ditunjukan dalam bentuk kebijakan, penyusunan program dan pelaksanaannya dengan menggunakan prosedur berdasarkan prinsip-prinsip good governance. Tingkat ketanggapan terhadap pelayanan publik ini akan menjadi ukuran baik tidaknya kinerja sekaligus akuntabilitas instansi dan penyelenggara yang bersangkutan. Para pengambil keputusan baik yang ada di tingkat pusat, provinsi dan daerah demikian pula sektor swasta dan organisasi organisasi masyarakat harus bertanggungjawab baik


(39)

commit to user

kepada masyarakat maupun kepada stakeholders yang terkait lainnya. Bentuk pertanggungjawaban tersebut tentu saja berbeda-beda tergantung dari jenis organisasi yang bersangkutan dan apakah keputusan bagi organisasi tersebut bersifat internal atau eksternal.

f. Efisiensi dan Efektivitas

Efektivitas dan efisiensi dikatakan tercapai apabila proses maupun prosedur serta hasilnya dapat memenuhi kebutuhan yang telah ditargetkan melalui penggunaan sumberdaya yang optimal. Dalam pelaksanaanya prinsip efektivitas dan efisiensi dapat diterapkan pada berbagai unsur penyelenggaraan. Misalnya sebuah organisasi yang besar dan tidak efektif bisa saja diubah menjadi organisasi yang ramping, efisien namun dapat menghasilkan pelayanan yang diharapkan. Apalagi ketersediaan sumber dana daerah yang tidak mencukupi, perombakan organisasi menjadi lebih ramping menuju kondisi yang lebih efektif dan efisien dapat dipertimbangkan. Dalam hal seperti kondisi tersebut, administrasi dan manajemen organisasi yang kecil dan birokrasi yang pendek dapat mempercepat dan mempermudah pelayanan kepada masyarakat dengan biaya yang lebih murah.

g. Kesetaraan/Keadilan

Tugas dan tanggung jawab para pejabat publik baik yang dipilih secara politis maupun para pegawai negeri harus melayani masyarakat seluas-luasnya. Tugas ini meliputi alokasi dana, pengelolaan dan penyediaan keamanan dan ketentraman para penduduk, serta keadilan dalam pengelolaan perekonomian untuk kesejahteraan masyarakat. Dilain pihak


(40)

commit to user

kesetaraan akan menjamin pria dan wanita mempunyai kesempatan yang sama dalam memperjuangkan keberadaan mereka masing-masing dalam rangka memperbaiki atau mempertahankan kesejahteraan mereka.

h. Visi Strategik

Pendekatan baru dalam menentukan kebijakan pembangunan kearah yang tepat perlu dikembangkan agar mampu mengalokasikan program-program pembangunan yang tepat sasaran sesuai aspirasi masyarakat. Program-program yang tepat sasaran akan menimbulkan dan mendorong terjadinya proses yang berkesinambungan untuk mewujudkan visi dan misi pemda yang bersangkutan yang telah digariskan. Berbagai usaha dewasa ini sedang digalakkan untuk meningkatkan kemampuan pemda dalam mengelola pemerintahannya yang bernuansakan good governance, usaha mana disejajarkan dengan usaha pemberdayaan kelembagaannya Para pemimpin dan masyarakat harus memiliki perspektif yang luas dan jauh kedepan atas tata pemerintahan yang baik maupun pembangunan SDM-nya; serta kepekaan akan apa saja yang dibutuhkan untuk mewujudkan perkembangan tersebut. Para pemimpin dan masyarakat harus memiliki pemahaman atas kompleksitas masa lalu, sosial – budaya yang menjadi dasar bagi perspektif dimaksud

i. Profesionalisme

Pelayanan dan penyelesaian hambatan membutuhkan kerja manajerial yang lebih professional, yang meletakkan kepuasan masyarakat atau klien sebagai acuan utama pada sektor publik. Dengan demikian para penyelenggara pemerintahan pada berbagai tingkatan dari yang paling atas sampai kepada yang paling bawah (tingkatan kecamatan atau kelurahan) kinerjanya perlu ditingkatkan kearah yang lebih profesional, agar pelayanan


(41)

commit to user

bisa lebih diterima masyarakat, lebih menguntungkan semua pihak lebih bisa dipertanggungjawabkan (terakunkan) dan pada gilirannya bisa lebih berkelanjutan (sustainable).

j. Penegakan Hukum

Kerangka hukum yang adil dan tanpa pilih kasih yang dapat dilaksanakan merupakan dasar pewujudan good governance. Ketiga prinsip good governance yaitu akuntabilitas, transparansi serta partisipasi akan mendorong lembaga-lembaga bersangkutan khususnya di bidang pengembangan perekonomian dan lembaga legislatif untuk membuat peraturan dan perundang-undangan yang adil dan berwibawa. Sesuai kebutuhannya, pemerintah harus dapat menjamin bahwa pelaksanaan hukum dapat diterapkan secara merata, tanpa memilih-milah serta adanya prasangka tidak bersalah terhadap semua warga yang dicurigai. Perangkat hukum perlu dilaksanakan secara fair dan dapat dilaksanakan sebaik-baiknya terutama hukum tentang hak asasi manusia.

Secara singkat dapat dilihat bahwa akuntabilitas, transparansi dan partisipasi akan membantu aspek politis dan kelembagaan perekonomian untuk mengeluarkan peraturan-peraturan yang fair. Aspek peran hukum bertujuan agar produk-produk hukum tersebut dapat diberlakukan dan dilaksanakan secara merata, tanpa pamrih, kepada seluruh masyarakat. Bila akses informasi yang akurat bisa dengan mudah didapat dari dan ke tiga sektor tersebut, maka prinsip transparansi melalui informasi yang saling memberi diantara ketiga sektor tersebut akan terpelihara agar keharmonisan hubungan tetap terjalin dengan baik. Lebih banyak informasi yang transparan yang bisa didapat, lebih besar pula partisipasi yang diberikan oleh masing-masing sektor. Lebih banyak informasi berarti keputusan yang diambil juga bisa lebih baik dan lebih akurat dan lebih efektif dalam


(42)

commit to user

implementasinya. Lebih banyak informasi saling memberikan, lebih mudah pula bagi proses legalitas diantara ketiganya. Institusi yang ada diantara ketiga sektor tersebut dengan menggunakan prinsip tersebut menjadi akan lebih responsif dan kesamaan kedudukan diantara ketiganyapun akan lebih mudah ditegakkan. Dengan cara yang sama prinsip-prinsip lainnya dari good governance akan menghasilkan penyelenggaraan kegiatan kearah yang dituju, sesuai dengan porsinya masing-masing.

2. KAJIAN EMPIRIS

A. PERUBAHAN DASAR HUKUM PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH

Perjalananan penyelenggaraan pemerintahan dan otonomi daerah di Indonesia sebenarnya telah dimulai semenjak tahun 1974 yang ditandai dengan diberlakukannya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 Tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah. Namun demikian, Undang-undang ini tidak terlaksana sebagaimana yang diharapkan. Seiring dengan perubahan iklim politik yang ditandai dengan terjadinya reformasi penyelenggaraan pemerintahan pada tahun 1998 maka tuntutan terhadap otonomi daerah yang lebih luas dapat terwujud yang ditandai dengan diberlakukannya Undang- Undang Nomor 22 Tahun 1999 Tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999 Tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Transisi kebijakan otonomi daerah selanjutnya ditandai dengan perubahan payung hukum penyelenggaraan otonomi daerah dari Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 Tentang Pemerintahan Daerah menjadi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah Perubahan terhadap payung hukum penyelenggaraan pemerintahan daerah selanjutnya membawa konsekuensi terhadap penyesuaian sub-sistem dan prosedur penyelenggaraan kepemerintahan di daerah, termasuk dalam hal ini sistem dan prosedur


(43)

commit to user

pengelolaan keuangan daerah. Masa pemberlakuan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974, sumber hukum utama penyelenggaraan keuangan daerah pada awalnya diatur dengan Peraturan Pemerintah Nomor 5 Tahun 1975 Tentang Pengurusan. Pertanggungjawaban dan Pengawasan Keuangan Daerah serta Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 1975 Tentang tentang Cara Penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, Pelaksanaan Tata Usaha Keuangan Daerah dan Penyusunan Perhitungan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah. Selanjutnya pengaturan tersebut dibakukan dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri yaitu Permendagri Nomor 900/099 tentang Manual Administrasi Keuangan Daerah, Permendagri Nomor 020-595 tentang Manual Administrasi Barang Daerah, dan Permendagri Nomor 970 tentang Manual Administarsi Pendapatan Daerah. Dalam masa pemberlakuan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999, Penyelenggaraan pengelolaan keuangan daerah diatur dengan Peraturan Pemerintah Nomor 105 Tahun 2000 Tentang Pengelolaan Keuangan Daerah yang kemudian diatur lebih teknis dengan Kepmendagri Nomor 29 Tahun 2002 Tentang Pedoman Pengurusan, Pertanggungjawaban, dan Pengawasan Keuangan Daerah serta Tata Cara Penyusunan APBD, Pelaksanaan Tata Usaha Keuangan Daerah dan Penyusunan Perhitungan APBD. Seiring dengan transisi penyelenggaraan otonomi daerah yang ditandai dengan pemberlakuan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah dan diberlakukannya paket perundangan tentang reformasi pengelolaan keuangan negara telah membawa implikasi terhadap perubahan sistem pengelolaan keuangan daerah. Beberapa perundangan utama yang mengatur tentang tata kelola pengelolaan keuangan daerah diantaranya adalah ; Undang-Undang Nomor 17 Tentang Keuangan Negara, PP Nomor 58 Tentang Pengelolaan Keuangan Daerah, Permendagri Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Pedoman Pengelolaan


(44)

commit to user

Keuangan Daerah yang terakhir terakhir di revisi dengan Permendagri Nomor 59 Tahun 2007 Tentang Perubahan atas Perrmendagri Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah.

B. PERUBAHAN SISTEM DAN PROSEDUR PENYUSUNAN APBD 1. Sistem Penganggaran

a. Pada masa sebelum reformasi tahun 1998, sistem penganggaran yang dianut oleh pemerintah daerah di Indonesia adalah sistem anggaran tradisional dengan pendekatan

line item dan incremental. Metode utama pendekatan ini adalah cara penyusunan anggaran yang didasarkan atas pendekatan incremental dan struktur dan susunannya yang bersifat line item. Prinsip incremental dalam hal ini dicirikan dengan penggunaan data tahun lalu sebagai basis bagi penyusunan anggaran tahun ini. Penambahan dan pengurangan jumlah anggaran hanya didasarkan pada persentase tertentu dengan pertimbangan yang kurang mendalam. Kemudian struktur anggaran bersifat line item

yang didasarkan atas dasar sifat dari penerimaan dan pengeluaran. Metode ini tidak memungkinkan untuk menghilangkan item-item penerimaan atau pengeluaran yang telah ada dalam struktur anggaran, walaupun secara riil item dimaksud sudah tidak relevan lagi untuk digunakan pada periode sekarang. Hal lain yang cukup penting dari ciri sistem anggaran line item dan incremental adalah tidak adanya pertimbangan kinerja dalam penyusunan anggaran, orientasi terutama diarahkan pada pengendalian item biaya yang rigid dan terkendali.

b.Pada masa pasca reformasi, sistem penganggaran yang dianut oleh Pemerintah daerah menggunakan sistem Anggaran Berbasis Kinerja sesuai dengan bunyi pasal 8 Peraturan


(45)

commit to user

Pemerintah Nomor 105 Tahun 2000 Pengelolaan Keuangan Daerah yang menyatakan bahwa ”AP BD disusun dengan pendekatan kinerja” yang dalam penjelasan pasalnya menyatakan bahwa ”Anggaran dengan pendekatan kinerja adalah suatu sistem anggaran mengutamaka n upaya pencapaian hasil (output) dari perenca naan alokasi biaya (input) yang ditetapkan”. Hal ini kembali dipertegas dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 Tentang Keuangan Negara dan Permendagri Nomor 58 Tahun 2005 Tentang Pengelolaan Keuangan Daerah yang menyatakan bahwa Rencana Kerja Anggaran Satuan Kerja Perangkat Daerah (RKA-SKPD) disusun berdasarkan prestasi kerja yang akan dicapai.

2. Perubahan Proses Penyusunan Anggaran

a. Masa Sebelum Reformasi

Laporan Akhir Pengembangan Standar Analisa Belanja Pemerintah Daerah, Kerjasama Pemerintah Provinsi Jawa Tengah dengan Pusat Studi Ekonomi dan Kebijakan Publik (PSEKP-UGM) Tahun 2000, Sesuai dengan ketetapan Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 1974, proses penyusunan anggaran (APBD) dimulai dengan penyusunan Daftar Usulan Kegiatan Daerah (DUKDA) untuk belanja rutin dan Daftar Usulan Proyek Daerah (DUPDA) untuk belanja pembangunan oleh masing-masing Dinas/Lembaga/Satuan Kerja. Penyusunan DUKDA dan DUPDA berpedoman pada Pola Dasar, Repelita Daerah, RUTPD dan petunjuk serta pedoman yang dikeluarkan oleh Departemen Dalam Negeri. DUKDA selanjutnya diserahkan dan direkapitulasi di Biro Keuangan (untuk daerah Provinsi dan Bagian Keuangan (untuk Daerah Kabupaten/Kotamadya), sedangkan DUPDA diserahkan dan direkapitulasi di Bappeda Provinsi dan/atau Kabupaten/Kotamadya. Di Biro/Bagian


(46)

commit to user

Keuangan serta Bappeda, usulan DUKDA dan DUPDA diteliti kebernarannya untuk selanjutnya dilakukan perbaikan dan penyeseuaian jika diperlukan. DUKDA dan DUPDA yang telah selesai dibahas dan diperbaiki selanjutnya diajukan ke DPRD untuk masing-masing tingkatan daerah. Melalui proses dengar pendapat dan dan rekonsiliasi antara pihak eksekutif dan legislatif, DUKDA dan DUPDA ini bisa dinyatakan disetujui, ditolak ditambah atau dikurangi. Hasil proses rekonsiliasi selanjutnya direkapitulasi kedalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah. Rancangan APBD yang telah dibahas antara pihak eksekutif dan DPRD selanjutnya diserahkan kepada pemerintah atasan (Provinsi untuk kabupaten/kotamadya dan Departemen Dalam negeri untuk daerah Provinsi) untuk dimintakan persetujuan. Rancangan APBD yang telah dimintakan perstujuannya selanjutnya dikembalikan ke daerah untuk ditetapkan dalam bentuk Peraturan Daerah Tentang APBD.

b. Masa Pasca Reformasi

Proses penyusunan APBD Pasca Reformasi dapat ditelaah dari dua pedoman yang diberikan oleh Departemen Dalam Negeri yaitu; Kepmendagri Nomor 29 Tahun 2002 Tentang Pedoman Pengurusan, Pertanggungjawaban, dan Pengawasan Keuangan Daerah serta Tata Cara Penyusunan APBD, Pelaksanaan Tata Usaha Keuangan Daerah dan Penyusunan Perhitungan APBD yang merupakan pedoman lebih lanjut dari PP Nomor 105 Tahun 2000 dan Permendagri Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah serta Pemerndagri Nomor 59 Tahun 2007 Tentang Perubahan Terhadap Permendagri Nomor 13 Tahun 2006 Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah.


(47)

commit to user

c. Sesuai dengan arahan Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 29 Tahun 2002, penyusunan APBD dimulai dengan pendokumentasian perencanaan jangka menengah daerah (Propeda dan Renstra) dan aspirasi masyarakat yang berkembang kedalam dokumen perencanaan anggaran yang dikenal dengan Arah dan Kebijakan Anggaran (AKU) dan Strategi Prioritas APBD (SP). Dokumen AKU dan SP disusun draftnya oleh tim anggaran eksekutif yang berisi pernyataan tentang sasaran, prioritas dan plafon APBD pada tahun yang berkenaan. AKU dan SP selanjutnya dibahas oleh tim anggaran eksekutif dan legislatif untuk selanjutnya ditetapkan dalam Nota Kesepakatan Kepala Daerah dan DPRD Tentang Arah dan Kebijakan Umum APBD serta Strategi dan Prioritas (SP) APBD. AKU dan SP selanjutnya menjadi pedoman dan acuan bagi unit organisasi dalam mengajukan usulan program, kegiatan dan anggaran yang dituang kedalam formulir RASK (Rencana Anggaran Satuan Kerja). RASK selanjutnya diserahkan kepada tim anggaran eksekutif untuk ditelaah dan diperbaiki serta direkapitulasi menjadi rancangan APBD. Rancangan APBD kemudian dibawa ke DPRD dan dibahas oleh tim anggaran eksekutif dan legislatif untuk ditetapkan menjadi Peraturan Daerah Tentang APBD.

d.Sesuai dengan arahan Permendagri Nomor 13 dan 59 Tahun 2006 Tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah, proses penyusunan APBD dimulai dengan penyusunan dokumen Kebijakan Umum Anggaran (KUA) sebagai ganti, Arah dan Kebijakan Umum APBD (AKU) dan dokumen Prioritas Plafon Anggaran Sementara (PPAS) sebegai ganti Strategi dan Prioritas APBD oleh Tim Anggaran Pemerintah Daerah. KUA dan PPAS selanjutnya dibahas oleh tim anggaran eksekutif dan legislatif untuk selanjutnya ditetapkan dalam Nota Kesepakatan Kepala Daerah dan


(48)

commit to user

DPRD Tentang Kebijakan Umum APBD (KUA) serta Prioritas dan Plafon Anggaran (PPA) KUA dan PPAS selanjutnya menjadi pedoman dan acuan bagi unit organisasi dalam mengajukan usulan program, kegiatan dan anggaran yang dituangkan kedalam formulir Rencana Kerja Anggaran Satuan Kerja Perangkat Daerah (RKASKPD). RKASKPD yang telah diisi oleh SKPD selanjutnya diserahkan kepada tim anggaran Pemerintah Daerah untuk ditelaah dan diperbaiki serta direkapitulasi menjadi rancangan awal APBD. Rancangan awal APBD selanjutnya dibahas di Panitia Anggaran yang beranggotakan Tim Anggaran Pemerintah Daerah dan Tim Anggaran Legislatif untuk dijadikan rancangan akhir APBD yang siap diserahkan kepada pemerintah atasan (Provinsi untuk Kabupaten/Kota dan Depdagri untuk Provinsi) untuk dievaluasi. Hasil evaluasi dari pemerintah atasan selanjutnya diserahkan kembali kepada Pemerintah Daerah untuk diperbaiki serta dijadikan Peraturan Daerah Tentang APBD.

e.Sesuai dengan arahan Permendagri Nomor 13 dan 59 Tahun 2006 Tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah, proses penyusunan APBD dimulai dengan penyusunan dokumen Kebijakan Umum Anggaran (KUA) sebagai ganti Arah dan Kebijakan Umum APBD (AKU) dan dokumen Prioritas Plafon Anggaran Sementara (PPAS) sebegai ganti Strategi dan Prioritas APBD oleh Tim Anggaran Pemerintah Daerah. KUA dan PPAS selanjutnya dibahas oleh tim anggaran eksekutif dan legislatif untuk selanjutnya ditetapkan dalam Nota Kesepakatan Kepala Daerah dan DPRD Tentang Kebijakan Umum APBD (KUA) serta Prioritas dan Plafon Anggaran (PPA) KUA dan PPAS selanjutnya menjadi pedoman dan acuan bagi unit organisasi dalam mengajukan usulan program, kegiatan dan anggaran yang dituangkan kedalam


(49)

commit to user

formulir RKASKPD (Rencana Kerja Anggaran Satuan Kerja Perangkat Daerah). RKASKPD yang telah diisi oleh SKPD selanjutnya diserahkan kepada tim anggaran Pemerintah Daerah untuk ditelaah dan diperbaiki serta direkapitulasi menjadi rancangan awal APBD. Rancangan awal APBD selanjutnya dibahas di Panitia Anggaran yang beranggotakan Tim Anggaran Pemerintah Daerah dan Tim Anggaran Legislatif untuk dijadikan rancangan akhir APBD yang siap diserahkan kepada pemerintah atasan (Propinsi untuk Kabupaten/Kota dan Depdagri untuk Propinsi) untuk dievaluasi. Hasil evaluasi dari pemerintah atasan selanjutnya diserahkan kembali kepada Pemerintah Daerah untuk diperbaiki serta dijadikan Peraturan Daerah Tentang APBD.

3. Perubahan Struktur APBD

Sesuai dengan ketetapan Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 1974 maka azas penganggaran yang dianut adalah anggaran berimbang dan dinamis dimana harus ada perimbangan antara pendapatan dan belanja serta tidak dimungkinkan adanya hutang dan pembiayaan yang mungkin dapat menjadi penyeimbang surplus atau defisit anggaran. Dengan demikian, struktur APBD pada masa itu hanya terdiri dari Pendapatan dan Belanja. Pendapatan terdiri dari Sisa lebih tahun lalu, Pendapatan Asli Daerah, Bagi Hasil Pajak dan Bukan Pajak, Sumbangan dan Bantuan serta Penerimaan Pembangunan. Sedangkan belanja terdiri dari belanja rutin dan belanja pembangunan.

Struktur APBD yang diamanatkan Kepemendagri nomor 29 tahun 2002, Permendagri nomor 13 tahun 2006 dan Permendagri nomor 59 nomor 2007 menganut azas surplus/defisit anggaran, dimana dimungkinkan adanya pos pembiayaan untuk mengakomodasi kondisi anggaran surplus ataupun defisit. Dengan demikian, struktur


(50)

commit to user

APBD pasca reformasi terdiri dari Pendapatan, Belanja dan pembiayaan. Pendapatan Terdiri dari; Pendapatan Asli Daerah, Dana Perimbangan, Bagi Hasil Pajak dan Bukan Pajak serta Pendapatan Lain-Lain. Selanjutnya perbedaan struktur anggaran antara yang diamanatkan oleh Kepemendagri nomor 29 tahun 2002 dengan yang diamantkan oleh Permendagri nomor 13 tahun 2006 dan Permendagri nomor 59 tahun 2007 adalah pada struktur belanja sedangankan struktur pendapatan dan pembiayaannya sama. Pada APBD versi Kepemendagri Nomor 29 tahun 2002, belanja terdiri dari belanja Aparatur publik dan publik yang dibagi kedalam jenis belanja administrasi umum, belanja operasi dan pemeliharaan serta belanja modal. Sedangkan pada APBD versi Permendagri nomor 13 tahun 2006 dan Permendagri nomor 59 tahun 2007, belanja hanya dikategorikan kedalam belanja langsung dan belanja tidak langsung. Belanja Langsung adalah belanja yang terkait dengan penyelenggaraan pelayanan dan pembangunan, sedangkan belanja tidak langsung terkait dengan belanja pegawai berupa gaji dan tunjangan yang tidak terkait dengan penyelenggaraan pelayanan dan pembangunan.

C. PERUBAHAN PENATAUSAHAAN KEUANGAN DAERAH

Sesuai dengan arahan Manual Administrasi Keuangan Daerah (MAKUDA), APBD mulai dilaksanakan semenjak Daftar Isian Kegiatan Daerah (DIKDA) dan Daftar isian Proyek Daerah (DIPDA) disahkan oleh kepala daerah menjadi dokumen pelaksanaan APBD. DIKDA dan DIKDA selanjutnya diproses dengan dengan Surat Keputusan Otorisasi (SKO), Surat Permintaan Pembayaran (SPP), Surat Perintah Membayar Uang (SPMU) dan Surat Pertanggungjawaban (SPJ). Semua proses tersebut dilaksanakan oleh pelaksana kegiatan di unit kerja dengan sentralisasi pengelolaan keuangan di bagian


(51)

commit to user

keuangan pada Pemerintah Kabupaten/Kota dan di biro keuangan di pemerintah Propinsi. Penatausahaan pengelolaan keuangan daerah yang diamanatkan dalam Kepmendagri Nomor 29 tahun 2002 juga hampir dengan MAKUDA sama walaupun sistem anggaran yang dianut berbeda. APBD mulai dilaksanakan semenjak Dokumen Anggaran Satuan Kerja (DASK) disahkan oleh kepala daerah menjadi dokumen pelaksanaan APBD. DASK selanjutnya diproses dengan dengan Surat Keputusan Otorisasi (SKO), Surat Permintaan Pembayaran (SPP), Surat Perintah Membayar Uang (SPMU) dan Surat Pertanggung Jawaban (SPJ). Semua proses tersebut dilaksanakan oleh pelaksana kegiatan di unit kerja dengan sentralisasi pengelolaan keuangan di bagian keuangan pada Pemerintah Kabupaten/Kota dan di biro keuangan di pemerintah Provinsi. Selanjutnya perubahan mendasar baru terjadi semenjak diberlakukannya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 Tentang Perbendaharaan dan Permendagri Nomor 13 Tahun 2003, dimana penyusunan-penyusunan dokumen pelaksanaan anggaran didesentralisasi di unit kerja (SKPD). Pelaksanaan APBD dimulai dengan penyusunan Dokumen Pelaksanaan Anggaran Satuan Kerja Perangkat Daerah (DPASKPD). Berdasarkan DPA-SKPD selanjutnya Pejabat Pengelola Keuangan Daerah menerbitkan Surat Permintaan Dana (SPD) Berdasarkan SPD, bendahara di SKPD menyusun Surat Permintaan Pembayaan Untuk berbagai beban belanja SKPD. Selanjutnya Kepala SKPD sebagai pengguna anggaran menerbitkan Surat Perintah Membayar sesuai dengan SPP yang telah diverifikasi. SPM yang telah diterbitkan selanjutnya diajukan kepada kuasa BUD untuk penerbitan Surat Perintah Pencairan Dana (SP2D). Selanjutnya SP2D digunakan sebagai dasar untuk mencairkan dana dari kas daerah.


(52)

commit to user

Dengan adanya reformasi atau pembaharuan dalam sistem perrtanggungjawaban keuangan daerah, sistem lama yang selama ini digunakan oleh Pemda baik pemerintah provinsi maupun pemerintah kabupaten/kota yaitu Manual Administrasi Keuangan Daerah

(MAKUDA) yang diterapkan sejak 1981. Sistem yang lama (MAKUDA) dengan ciri-ciri antara lain pembukuan tunggal (single entry), penganggaran secara tradisional yakni rutin dan pembangunan (incremental budgeting) dan pendekatan anggaran berimbang dinamis sudah tidak dapat lagi memenuhi kebutuhan daerah, karena beberapa alasan :

a. Tidak mampu memberikan informasi mengenai kekayaan yang dimiliki oleh daerah, atau dengan kata lain tidak dapat memberikan laporan neraca.

b.Tidak mampu memberikan informasi mengenai laporan aliran kas sehingga manajemen atau publik tidak dapat mengetahui faktor apa saja yang menyebabkan adanya kenaikan atau penurunan kas daerah.

c.Sistem yang lama (MAKUDA) ini juga tidak dapat membantu daerah untuk menyusun laporan pertanggungjawaban pelaksanaan APBD berbasis kinerja sesuai ketentuan Paraturan Pemerintah nomor 105 tahun 2000, yaitu :

1. Pasal 5 yang mewajibkan daerah membuat laporan pertanggungjawaban berbasis kinerja.

2. Pasal 8 yang menyatakan bahwa APBD disusun dengan pendekatan kinerja, yaitu suatu sistem anggaran yang mengutamakan upaya pencapaian hasil kerja (ouput).

d.Tidak mampu memberikan informasi mengenai kekayaan yang dimiliki oleh daerah, atau dengan kata lain tidak dapat memberikan laporan neraca.


(53)

commit to user

Sistem Akuntansi Keuangan Daerah (SAKD) yang baru sebagaimana yang dimaksudkan dalam Peratutan Pemerinah Nomor 105/2000 tersebut di atas, antara lain:

Tabel 1.1. Perubahan dari Sistem MAKUDA ke SAKD

Sistem MAKUDA PP No.105/2000 dan Kepmendagri 29 2002

Sistem pencatatan single entry (Pembukuan tunggal/tidak berpasangan)

Sistem pencatatan Double entry, untuk dapat menyusun neraca diperlukan adanya system pencatatan yang akurat (appropriate recording)

Dual budget (rutin dan pembangunan), dokumen anggaran DIKDA dan DIPDA.

Unified budget (anggaran terpadu), tidak mengenal lagi rutin dan pembangunan (DIKDA dan DIPDA) dan diganti dengan DASK

Incremental budget , didasarkan pada jenis belanja dan lebih input oriented.

Performance budget (berbasis kinerja) dan lebih output oriented.

Laporan yang dihasilkan berupa laporan perhitungan anggaran dan nota perhitungan

Laporan yang dihasilkan berupa laporan perhitungan anggaran dan nota perhitungan,neraca daerah dan laporan arus kas

Berlanjut ke halaman 33 Lanjutan tabel 1.1 halaman 32


(54)

commit to user

Pengakuan belanja dan pendapatan berdasarkan kas basis, artinya belanja & pendapatan daerah diakui pada saat kas dikeluarkan dari/diterima di kas daerah. Pengeluaran belanja modal hanya dilaporkan dalam laporan realisasi anggaran, tidak dicatat sebagai aset tetap.

Pengakuan belanja dan pendapatan daerah pada dasarnya sama yaitu kas basis, tetapi untuk kepentingan penyusunan neraca digunakan modified accrual basis. Artinya belanja modal atau investasi dicatat sebagai aset di neraca daerah melalui jurnal korolari : Debet : Aset Tetap

Kredit : Ekuitas Dana

Sedangkan pengeluaran kasnya dijurnal dalam laporan realisasi anggaran :

Debet : Belanja Modal

Kredit : Kas Daerah

Anggaran berimbang dan dinamis, dengan struktur anggaran Pendapatan Daerah sama dengan Belanja Daerah, tidak mengenal defisit atau surplus anggaran. Pinjaman yang diperoleh oleh daerah dicatat sebagai penerimaan daerah yang seharusnya merupakan sumber pembiayaan yang digunakan untuk menutup defisit anggaran.

Surplus/(defisit) anggaran, dengan struktur anggaran :

Pendapatan Daerah : xxx Belanja Daerah : xxx Surplus/(Defisit) : (xxx) Pembiayaan : xxx

Pembiayaan digunakan untuk menutup deficit anggaran, seperti sumber dana dari pinjaman dan penjualan aset daerah/kekayaan daerah yg dipisahkan. Sumber : PP nomor 105 tahun 2000.


(55)

commit to user

Tahun 2006 dan Permendagri Nomor 59 Tahun 200 Tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah dan Peraturan Pemerintah Peraturan Pemerintah Nomor 24 Thn 2005 Tentang Standar Akuntansi Pemerintahan. Perubahan ini terutama terkait dengan pelaksanaan penatausahaan dan pengakuntansian pendapatan dan belanja yang di level SKPD sehingga dituntut adanya kemampuan SKPD dalam menatusahakan dan menyusun laporan realisasi, neraca dan catatan atas laporan keuangan.

E. PENELITIAN TERDAHULU YANG RELEVAN

Muhammad Satya Karya Azhar (2008), melakukan penelitian tentang analisis

kinerja pemerintah daerah sebelum dan sesudah otonomi daerah. Dengan sampel penelitian pada pemerintah daerah Propinsi NAD dan Sumatra Utara, hasil penelitiannya menyimpulkan bahwa terjadi perbedaan yang significant dalam pencapaian kinerja keuangan pemerintah daerah setelah otonomi daerah ditetapkan/diberlakukan. Kinerja keuangan tersebut diukur lewat desentralisasi fiskal, upaya fiskal dan tingkat efisiensi penggunaan anggaran yang tidak memiliki perbedaan yang signifikan.

Local Governance Support Program (LGSP-USAID) bekerja sama dengan

Ditjen Pemerintahan Umum Depdagri (2009) melakukan kajian tentang Tantangan dalam penyelenggaraan Evaluasi Kinerja Berbasis Hasil (Outcome-Based) untuk seluruh pemerintah Daerah di Indonesia. Diuraikan bahwa Mengacu kepada berbagai regulasi, penerapan manajemen yang berorientasi kepada kinerja hasil (outcome) di lingkungan instansi pemerintah di Indonesia merupakan sebuah keniscayaan dan keharusan.

Seluruh aktivitas dalam lingkungan instansi pemerintah akan diukur dari sisi akuntabilitas kinerjanya, baik dari sisi kinerja individu, kinerja unit kerja dan kinerja


(56)

commit to user

instansi dan bahkan juga kinerja pemerintahan secara keseluruhan. Di masa lalu pengukuran kinerja pemerintah Indonesia masih terfokus pada pengukuran masukan (input) dan keluaran (output). Dibanding dengan pengukuran hasil (outcome) yang dilihat adalah manfaat (benefit) dan dampak (impa ct).

Pengukuran ini masih berfokus pada sisi sumberdaya yang telah dihabiskan tentang anggaran dan realisasi anggaran akan tetapi belum memberi perhatian yang memadai kepada hasil dan dampak nyata program dan kegiatan pemerintah terhadap proses pelayanan masyarakat. Hal yang sama juga tercermin dalam proses pelaporan dan pengawasan kinerja penyelenggaraan pemerintahan. Dari penelitian tersebut menyimpulkan bahwa Penataan Regulasi, Penataan Kelembagan dan Penguatan kapasitas Sumber Daya Manusia sangat perlu di perhatikan sebagai suatu masalah yang cukup serius dalam pengelolaan keuangan di tingkat daerah. Tentang penataan regulasi perlunya memperhatikan penyederhanaan regulasi, substansi dari regulasi itu sendiri serta integrasi penilaian kerja pegawai terhadap kinerja kelembagaan. Untuk penataan kelembagan di tingkat daerah dalam hal implementasi manajemen kinerja yakni dalam upaya mempercepat setting mengukur kinerja birokrasi yang semakin baik dari waktu ke waktu. Sedangkan untuk penguatan kapasitas SDM adalah perlunya kerjasama semua pihak ditingkat pusat maupun daerah untuk upaya skenario peningkatan kapasitas SDM. Selain itu perlunya didukun oleh kecukupan alokasi anggaran serta kesiapan SDM yang memadai.

Local Governance Support Program (LGSP-USAID) bekerja sama dengan

Ditjen Pemerintahan Umum Depdagri (2009) melakukan kajian tentang Pembaharuan dalam manajemen Pelayanan Publik Daerah di Indonesia. Dikemukakan bahwa beberapa


(57)

commit to user

kendala pada pelayanan publik yang baik adalah Minat yang tumbuh untuk perbaikan manajemen pelayanan publik, Contoh pembaharuan di beberapa provinsi/kabupaten/kota, Faktor-faktor pendukung pembaharuan dalam pelayanan publik dan Kesimpulan serta saran untuk upaya-upaya pembaharuan berikutnya. Infrastruktur dan sumber daya yang mencukupi sering disebut sebagai modal utama dalam pemberian pelayanan publik yang baik di tingkat kabupaten/kota. Meskipun demikian, yang sama pentingnya dan mungkin yang lebih menantang adalah kerangka kelembagaan bagi pelayanan publik.

Di Indonesia, keterbatasan kelembagaan menjadi kendala besar bagi pelayanan publik yang sukar diatasi, seperti digambarkan di bawah ini. Meskipun peraturan perundangan diera tahun 1999 telah melimpahkan urusan dan kewenangan begitu besar atas manajemen dan pelaksanaan pelayanan publik bagi pemerintah daerah, kurang konsistennya kerangka hukum dan peraturan perundangan bagi desentralisasi pemerintahan membuat pemerintah kabupaten/kota harus berjuang untuk merumuskan serta melaksanakan peran dan tanggungjawabnya. Hal ini mempersulit perencanaan dan anggaran dan seringkali menyebabkan semacam kelumpuhan, dimana tidak berbuat apa-apa dianggap lebih aman daripada melakukan tindakan tertentu. Pemerintah kabupaten/kota yang terperangkap dalam status perundangan yang tidak jelas seperti ini pada umumnya tidak proaktif dalam mengarahkan pengembangan daerah dan manajemen pelayanan publik.

Dalam penelitian tersebut disimpulkan bahwa inisiatif reformasi harus dimulai dari tindakan inovatif yang sederhana, dimana komitmen dan sumber relatif mudah didapat dan bahwa hal tersebut akan membangkitkan rasa percaya diri dan pengalaman sebelum


(58)

commit to user

dilakukan pengembangan dan perluasan. Pemerintah daerah bisa memperoleh manfaat adanya bantuan dalam membina reformasi, memberikan advokasi, memfasilitasi kelompok pemangku kepentingan dalam melaksanakan agenda reformasi, memonitor kinerja dan mengawali serta mereplikasikan hasilnya.

Selain itu juga sebaiknya dilakukan pembinaan kemitraan antara konsultan dan pemerintah daerah untuk mengembangkan kapasitas dan memberikan keterampilan kepada pemerintah daerah setempat. Penciptaan pasar untuk pelayanan konsultasi dan advokasi mencakup jejaring dan advokasi diantara lembaga profesional dan praktisi, badan pengawasan publik, dan organisasi pengawas serta kelompok lembaga swadaya masyarakat. Perlu pengembangan pasar untuk instrumen yang sesuai dengan pembangunan kapasitas, terutama instrumen yang dibantu pemerintah.

Keefektifan instrumen yang dibuat oleh proyek negara donor harus diuji bersama mitra pemerintah agar mendapat jaminan dari pemerintah, serta dimasukkannya instrumen tersebut dalam kurikulum pelatihan pemerintah. Bahkan tanpa reformasi birokrasi secara menyeluruh, masih mungkin memperkuat sistem berbasis prestasi yang memberikan akreditasi kepada para konsultan dan memberikan penghargaan dan insentif atas kinerja baik pemerintah daerah dan mitra mereka saat ini. Program negara donor yang mengawali dan mendukung perubahan harus membantu pemerintah daerah sehingga mereka siap mengelola pelayanan publik melalui sarana mereka sendiri, sambil mencari penyedia pelayanan jasa yang terpercaya untuk membantu mereka melaksanakan hal tersebut. Dalam hal ini universitas-universitas mungkin dapat memberikan jaminan terbaik dalam pelaksanaan pelayanan yang nampaknya kehadirannya lama.


(1)

commit to user

Diagram 4.16. Trend Kinerja Keuangan Daerah Kabupaten TTU tahun 1996-2005.

Sebelum Otonomi Daerah

Sesudah Otonomi Daerah

Sebelum Otonomi Daerah

Sesudah Otonomi Daerah


(2)

commit to user

BAB V

PENUTUP

A. KESIMPULAN

Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa perbandingan kinerja keungan daerah sebelum dan sesudah otonomi daerah di Kabupaten TTU adalah :

1. Desentralisasi fiskal (tingkat kemandirian daerah) apabila ditinjau dari :

a. Persentase Pendapatan Asli Daerah (PAD) terhadap Total Penerimaan Daerah (TPD), pada masa sebelum otonomi daerah, yaitu pada tahun anggaran 1996/1997 sampai 2000 maupun pada masa sesudah otonomi daerah yaitu pada tahun anggaran 2001 sampai 2005 terlihat masih sangatkurang bila dilihat dari kriteria atau tolak ukur kemampuan daerah yakni rata-rata persentasenya berada dibawah 10 %. Jadi desentralisasi fiskal (tingkat kemandirian daerah) yang dilihat dari prosentase PAD terhadap TPD pada masa sesudah otonomi daerah masih sangat kurang.

b. Persentase Bagi Hasil Pajak dan Bukan Pajak (BHPBP) terhadap Total Penerimaan Daerah (TPD) pada masa sebelum otonomi daerah masih lebih baik dari sesudah otonomi daerah. Hal ini berdasarkan tolak ukur kemampuan daerah di Indonesia sesuai dengan rata-rata persentasenya kurang yakni berada di antara 10-20 % yaitu sebesar 10,07 Sedangkan pada masa sesudah otonomi daerah hanya dengan rata-rata persentasenya berada dibawah 10 % yang artinya Sangat Kurang. Jadi dapat disimpulkan bahwa desentralisasi fiskal (tingkat kemandirian daerah) yang dilihat dari persentase BHPBP terhadap TPD pada


(3)

commit to user

masa sesudah otonomi daerah sangat kurang.

c. Persentase Sumbangan Daerah (SB) terhadapTotal Penerimaan Daerah (TPD) pada masa sebelum otonomi daerah lebih besar yakni dengan rata-rata persentase sebesar 76,63 % jika dibandingkan pada masa sesudah otonomi daerah dengan rata-rata persentase sebesar 70,80 %. Sehingga dengan kata lain desentralisasi fiskal (tingkat kemandirian fiskal daerah) yang dilihat dari persentase Sumbangan Daerah (SB) terhadap Total Penerimaan Daerah (TPD) pada masa sesudah otonomi daerah menguat. Namun bila dilihat dari rata-rata tingkat persentasenya baik sebelum maupun sesudah otonomi daerah berdasarkan tolak ukur (criteria) tingkat kemandirian daerah masih Sangat Kurang karena rata-rata persentase sumbangan dan bantuan kepada kabupaten TTU berada diatas 50 %.

2. Kebutuhan fiskal (fiscal need ) di Kabuapten TTU pada masa sebelum otonomi daerah lebih rendah dibandingkan pada masa sesudah otonomi daerah. Hal tersebut lebih banyak disebabkan oleh sistem sentralisasi pemerintah sehingga semua kebutuhan semuanya diatur oleh pemerintah pusat sedangkan sesudah otonomi daerah dengan sistem desentralisasi pemerintah daerah harus berupaya mengoptimalkan potensi ekonomi yang dimiliki untuk membiayai kebutuhan daerahnya.

3. Kapasitas fiskal (fiscal capacity) pada masa sebelum otonomi daerah lebih kecil bila dibandingkan pada masa sesudah otonomi daerah. Hal tersebut dapat dilihat dari rata-rata tingkat persentase kapasitas fiskal yang dimiliki Kabupaten TTU yang lebih rendah pada masa sebelum otonomi daerah yakni sebesar 4,16 %.Sedangkan


(4)

commit to user

pada masa sesudah otonomi daerah ada peningkatan kebutuhan fiscal yakni dengan rata-rata sebesar 4,69 %. Hal tersebut lebih banyak disebabkan oleh sumber-sumber ekonomi yang tidak di kelola secara maksimal untuk peningkatan kapasitas fiskal daerah. Hal tersebut juga disebabkan oleh keterbatasan sumber daya manusia yang dimiliki oleh pemerintah daerah Kabupaten TTU dalam merencanakan sumber-sumber penerimaan daerah masih sangat terbatas.

4. Upaya fiskal (tax effort) pada masa setelah otonomi daerah lebih baik dibandingkan pada masa sebelum otonomi daerah. Hal tersebut terlihat dari tingkat elastisitas yang ada dalam mempengaruhi pendapatan daerah yakni pada masa sesudah otonomi daerah tingkat elastisitasnya lebih tinggi daripada sesbelum otonomi daerah. Rata-rata tingkat elastisitas PDRB terhadap PAD Kabupaten TTU sebelum otonomi daerah adalah sebesar 0,81 % sedangkan sesudah otonomi daerah adalah rata-rata elastisitasnya sebesar 2,11 %.

B. SARAN

1. Karena sektor pajak di Kabupaten TTU belum menjadi sektor yang diprioritaskan dalam upaya peningkatan Pendapatan Asli Daerah sehingga penerimaan pajak belum terkelola secara optimal maka itu perlu diupayakan peningkatan PAD baik dengan cara intensifikasi maupun ekstensifikasi. Secara Ekstensifikasi pemerintah daerah Kabupaten TTU seharusnya dapat mengidentifikasi potensi daerah sehingga peluang – peluang baru untuk sumber penerimaan daerah dapat diberdayakan secara maksimal.


(5)

commit to user

Sedangkan secara Intensifikasi yaitu dengan cara memperbaiki kinerja pengelolaan pemungutan pajak antara lain :

a. Pendataan kembali wajib pajak dan objek pajak yang sudah ada dalam rangka penggalian potensi daerah.

b. Perlunya Pemerintah Daerah Kabupaten TTU melakukan perhitungan efisiensi dan efektivitas pemungutan pajak, sehingga biaya pemungutan dapat diperhitungkan sebelumnya.

c. Meningkatkan kemampuan perencanaan dan pengawasan keuangan sehingga kebocoran dana untuk kegiatan yang kurang relevan terhadap kebutuhan riil masyarakat dapat dikurangi.

2. Selain itu di Kabupaten TTU keterbatasan Sumber Daya Manuasia merupakan perkara yang klasik. Bukan dari jumlah akan tetapi dari sisi kompetensi teknis. Cara pandang pegawai yang belum berubah sebagaimana era orde baru berkuasa dimana kesuksesan pelaksanaan program/kegiatan mengacu kepada kemampuan menyerap anggaran (input oriented).

3. Perlunya transformasi paradigma inputbased menuju output based dan selanjutnya outcome oriented memerlukan skenario yang terarah serta disertai alokasi sumber daya APBD yang cukup dana untuk kesinambungan pada tahun-tahun berikutnya. Penguatan sumberdaya manusia daerah yang a ware dengan proses pengukuran kinerja menjadi bagian yang paling serius dan menantang.

4. Sedangkan di sisi lain yang sangat berkontribusi penting dalam kegagalan penerapan manajemen kinerja di daerah di Kabupaten TTU adalah tidak adanya sinergi antara


(6)

commit to user

proses politik dan lembaga politik dengan ranah administrasi pemerintahan. Kegagalan mengukur kinerja kerja politik di DPRD berakibat kepada lemahnya fungsi pengawasan, legislasi, representasi dan fungsi anggaran daerah. Kepentingan-kepentingan subyektif partai politik masih dominan ketimbang refleksi aspirasi publik. Sehingga pada gilirannya upaya peningkatan pendapatan daerah jauh dari hasil yang diharapkan untuk membiayai kebutuhan publik daerah menjadi kesulitan besar. Sehingga perlu adanya sinkronisasi kepentingan politik dari partai politik dengan aspirasi kebutuhan publik.

5. Perlu adanya upaya peningkatan kontribusi PDRB di berbagai sektor terutama pertanian sebagai sektor basis yang diandalkan untuk dapat meningkatkan penerimaan daerah serta menggalakkan peningkatan penerimaan dari sektor –sektor lain yang dapat meningkatkan pertumbuhan PDRB Kabupaten TTU.