Riau sebagai Wilayah Budaya Melayu dan Penerimaan Etnik Jawa

36

BAB II TINJAUAN UMUM DAERAH PENELITIAN

Pada Bab II ini, penulis mendeskripsikan secara khusus keberadaan masyarakat Jawa di Desa Bangko Lestari secara detail, sebagai masyarakat pendukung seni pertunjukan reog yang ada di Riau terutama kaitan sosial dan budaya dengan keberadaan Grup Reog Sri Karya Manunggal. Deskripsi ini memakai pendekatan etnografi yang lazim digunakan dalam disiplin antropologi. Namun demikian terlebih dahulu akan dibahas mengenai identitas atau jati diri yang akan dikaitkan dengan situasi kebudayaan yang ―didatangi‖ oleh para migran Jawa. Seperti diketahui bahwa Riau dan beberapa tempat lainnya di Pulau Sumatera seperti Langklat, Deli, Serdang bedagai, Batubara, Asahan, Labuhanbatu, Tamiang, Jambi, Sumatera Selatan, bangka Belitung, sampai ke Lampung merupakan wilayah kebudayaan masyarakat Melayu. Oleh karena itu dideskripsikan pula secara singkat mengenai etnografi masyarakat Melayu Riau dan interaksinya dengan masyarakat Jawa. Selanjutnya penulis uraikan pula sejauh apa identitas kebudayaan Melayu ini berinteraksi dengan kebudayaan Jawa di Riau secara umum, dan di lokasi penelitian secara khusus. Oleh karena itu terlebih dahulu diuraikan keberadaan kebudayaan Melayu Riau.

2.1 Riau sebagai Wilayah Budaya Melayu dan Penerimaan Etnik Jawa

Provinsi Riau merupakan salah satu provinsi yang terdapat di gugusan pulau Sumatera, Indonesia. Provinsi Riau dikenal sebagai salah satu provinsi terkaya di Indonesia karena memiliki sumber daya alam yang melimpah seperti Universitas Sumatera Utara 37 minyak bumi dan hasil hutannya. Selain kaya akan sumber daya alam dan hasil hutan, Provinsi Riau juga kaya akan budaya dan tradisi baik lisan maupun tulisan. Provinsi Riau merupakan pusat kebudayaan dan tradisi Melayu. Anggapan tersebut didukung oleh fakta bahwa di kawasan ini sampai sekarang masih ada sejumlah suku asli atau yang lebih terkenal dengan sebutan suku terasing, yaitu, suku Sakai, suku Bonai, suku Talangmamak, suku Kubu, suku Hutan dan suku Petalangan yang mendiami daratan di Riau. Kemudian ada suku Laut atau suku Akit yang mendiami kawasan Kepulauan Riau. Di kawasan Riau juga terdapat masyarakat adat seperti rantau nan kurang oso duo puluo di Kuantan, masyarakat limo koto dan tigo boleh koto di Kampar, dan lain-lain. Sejumlah peninggalan sejarah candi dan artefak lainnya yang ditemukan memberi petunjuk pula tentang kewujudan kebudayaan dan peradaban kuno dikawasan Riau, mulai dari pra-sejarah hingga ke periode Hindu dan Budha. Beberapa kajian ilmiah bahkan menyatakan bahwa imperium Sriwijaya pun pernah bertapak di kawasan ini. Di pinggir empat sungai besar dan anak-anak sungainya yang membelah kawasan ini selama berabad-abad pernah bertapak sejumlah kerajaan, seperti Gasib kemudian Siak Sri Inderapura, Kampar dan Pelalawan dan Gunung Sahilan, Rokan dan Kunto Darussalam, Tambusai, Rambah serta Kepenuhan, dan kerajaan Keritang, Inderagiri, serta Kandis Raahman, 2009. Secara umum wilayah Riau baik itu Riau daratan maupun kepulauan adalah sebagai wilayah budaya Melayu. Dengan demikian, kebudayaan setempat adalah kebudayaan Melayu. Masyarakat Melayu Riau menganggap dirinya sebagai bahagian dari masyarakat Dunia Melayu, yang meliputi kawasan-kawasan Universitas Sumatera Utara 38 Indonesia, Singapura, Brunai Darussalam, Thailan Selatan, dan sekitarnya. Masyarakat Melayu di Riau mendasarkan kebudayaannya pada adat Melayu. Mereka menyebutnya dalam konsep adat bersendikan syarak —syarak bersendikan kitabullah. Artinya bahwa kebudayaan Melayu berdasarkan kepada ajaran-ajaran agama Islam. Ajaran Islam itu sendinya adalah hukum syarak, kemudian hukum Islam ini berasas kepada Kitab Suci Al- Qur’an, termasuk juga hadits. Selain itu, identitas Melayu juga tidak lepas dari dasar yang mereka sepakati yaitu, orang Melayu adalah orang yang beragama Islam, memakai adat Melayu, berbahasa Melayu, dan memenuhi berbagai syarat-syarat tempatan. Selanjutnya orang Melayu juga sangat terbuka menerima etnik-etnik lain untuk datang, menetap, dan menjadi orang Riau, sesuai dengan konsep identitas Melayu yang universal, seperti dalam ungkapan adat: Ketuku batang ketakal, Kedua batang keladi mayang, Sesuku kita seasal, Senenek kita semoyang. 1 Nilai ini mengajarkan orang untuk merasa seasal dan seketurunan, yaitu sama-sama keturunan Adam dan Hawa. Dalam ruang lingkup yang lebih kecil, menyadarkan seseorang akan nenek moyangnya yang sama, yakni berasal dari rumpun Melayu yang satu. Nilai ini mampu menumbuhkan rasa kekeluargaan dalam arti yang seluas-luasnya. Nilai ini menyebabkan setiap individu dan 1 Data ungakapan Melayu ini diperoleh dari tokoh adat Melayu Riau, yaitu Bapak Tenas Effendi di Pekanbaru, Januari 2011. Universitas Sumatera Utara 39 kelompok maupun puak untuk berpikir jernih menjaga tali keturunan yang seasal tersebut, sehingga mereka terhindar dari perpecahan dan disintegrasi sosial. Dengan konsep-konsep kebudayaan seperti terurai di atas, maka orang- orang melayu Riau sangat terbuka untuk menerima orang-orang di luar Riau untuk menjadi anggota warganya di Riau. Apalagi orang-orang yang datang itu seiman pula, yaitu beragama Islam, maka lebih mudah lagi mereka menerimanya. Bagi orang Melayu Riau, orang jawa yang datang ke kawasan ini dipandang sebagai kawan seiman dan juga satu rumpun. Selain itu, orang-orang Riau juga memandang bahwa orang-orang Jawa yang migrasi ke kawasan mereka adalah aset untuk membangun daerah Riau. Bukti penerimaan orang Jawa sebagai warga Riau itu, di antaranya adalah pernah orang Jawa menjabat gubernur Riau, di antaranya adalah Soeripto dan Imam Munandar. Demikian pula gubernur Bangka dan belitung juga pernah dipimpin orang melayu keturunan Jawa. Demikian juga di tempat-tempat lainnya di Dunia Melayu.

2.2 Kesenian Melayu Riau sebagai Identitas Budaya