93
BAB IV KONTINUITAS DAN PERUBAHAN SENI
REOG
PADA GRUP SRI KARYA MANUNGGAL DAN MASYARAKAT PENDUKUNGNYA
4.1 Kontinuitas Seni
Reog
di Desa Bangko Lestari
Kesenian
Reog Ponorogo
memang sudah mendarah bagi masyarakat Ponorogo, serta masyarakat Jawa Timur.
Reog
juga merupakan salah satu budaya daerah di Indonesia yang masih sangat kental dengan hal-hal yang berbau mistik
dan ilmu kebatinan yang kuat. Kesenian
Reog Ponorogo
dapat berkembang karena memperoleh dukungan sangat besar dari masyarakat daerahnya. Sehingga
masyarakat Ponorogo mencari pekerjaan ataupun menetap, tetap membawa seni dan budaya daerahnya yaitu kesenian
Reog Ponorogo
. Tidak jarang masyarakat Ponorogo yang tersebar di daerah-daerah baik didalam negeri ataupun
mancanegara membuat perkumpulan kesenian
Reog Ponorogo
. Kesenian ini dibentuk melalui perkumpulan-perkumpulan kesenian dalam upaya untuk
melestarikan seni dan budaya tradisional, ataupun hanya sebagai hiburan masyarakat Fajarianti, 2013.
Perkumpulan kesenian ini terdapat perbedaan dan keunikan tersendiri didalamnya dan dipengaruhi oleh budaya setempat, tetapi tidak mengubah esensi
dari kesenian
Reog Ponorogo
itu sendiri hanya mengadopsi, menambahkan dan mengkreasikan sesuai kreatifitas perkumpulan-perkumpulan kesenian
reog Ponorogo
, hal ini sebagai kebutuhan dari pertunjukan seni Fajarianti,
ibid
. Dalam hal ini Grup kesenian reog Sri Karya Manunggal mempunyai keunikan
dari bentuk penyajian seni
reog
yang ditampilkan oleh mereka yang sudah
Universitas Sumatera Utara
94
berbeda dengan yang aslinya di Jawa Timur. Mereka mengkreasikan kreatifitasnya dalam seni
reog
ini dengan cara menambahkan seni lainnya untuk membuat variasi tarian dalam pertunjukan seni reog tersebut agar para penonton
maupun penggemarnya tidak jenuh. Kesenian yang ditambahkan tersebut yaitu kesenian
hanoman
kera putih dan kesenian
kudakepang
. Kesenian
Reog
yang ada di Bangko Lestari sudah mengadopsi kesenian
reog
yang aslinya yang ada di Jawa Timur. Hal ini dikarenakan para pemain dalam kesenian ini kebanyakan
berasal dari Putra Jawa kelahiran Sumatera sehingga memungkinkan membuat penyajiannya sudah berbeda dengan yang aslinya yang ada di Jawa karena
pengaruh situasi yang berbeda di daerah perantauan. Grup
Reog
Sri Karya Manunggal ini sangat terkenal namanya di K
ecamatan Bangko Pusako sehingga seringkali masyarakat ―menanggapnya‖ pada acara khitanan, upacara perkawinan, hari besar nasional,
mengayunkan
memberi nama pada bayi dan juga perayaan ulang tahun. Dan terkadang Masyarakat yang ada di desa Bangko Lestari meminta agar grup
reog
ini mengadakan pertunjukan di desanya karena sangat banyak yang menjadi
penggemar grup ini di desa tersebut. Jika grup ini tampil maka penontonnya pun begitu banyak dari mulai anak-anak hingga orang dewasa.
Seiring dengan seringnya grup
reog
tersebut melakukan pertunjukan, maka ada beberapa grup kesenian tradisional lainnya pun iri dengan grup tersebut
sehingga nama grup Sri Karya Manunggal ini sering ―dijual atau
dipakai‖namanya oleh grup lain karena merasa tersaingi. Grup tersebut juga pernah mendapat kendala ketika tampil dalam acara hajatan. Kendala tersebut
yaitu adanya grup lain yang ingin mencelakai grup ini untuk tampil dengan
Universitas Sumatera Utara
95
menaruh jarum yang besar dan tajam di atas
kendang
agar pemain
kendang
tersebut terluka dan dapat merusak pertunjukan mereka. Jarum tersebut ghaib dan dipercaya hanya orang tertentu yang dapat melihatnya. Namun pada waktu itu
masalah ini bisa diatasi oleh grup Sri Karya Manunggal dengan cara memanggil roh leluhur yang mereka percaya dapat menjaga dan melindungi mereka ketika
ada bahaya yang datang dari luar. Seperti yang diungkapkan oleh Bapak Warsito selaku pemain
gamelan
berikut ini: ―
Kami pernah main di kota duri waktu itu ada acara nikahan. Sebelum kami mulai mainkan gamelannya rupanya pak Ebdi
nampak jarum besar dan tajam di atas kendang kami. Jarum itu gak bisa ditengok dengan kasat mata cuma orang tertentu aja
yang bisa nengok itu. Untungnya masalah itu masih bisa kami atasi. Ada salah satu anggota kami yang dengar kalo dilokasi itu
ada orang yang gak suka sama grup kami karna ada grup yang dekat kenapa mesti milih yang jauh. Jadi orang itu ngerasa
tersaingi. Padahal kami gak ada ngangga
p saingan.”
Dalam penelitian yang dilakukan oleh Hersapandi 2013 yang berjudul ―Sistem Pewarisan Penari Rol dalam Wayang Orang Panggung‖ mengungkapkan
bahwa persaingan antar penari rol merupakan fenomena zamannya sebab ketika itu tidak jarang mereka mencelakakan seniman lain dengan cara menjatuhkan
lewat kekuatan gaib. Misalnya, penari rol tiba-tiba tidak mampu bersuara ketika sedang berdialog dan penari rol secara mendadak tidak mampu menari di atas
pentas yang berakibat fatal pada penampilannya. Dalam menghadapi pengaruh jahat yang bersifat gaib tersebut, maka keseimbangan penari rol tersebut dibekali
ilmu kebatinan yang memadahi agar memiliki tingkat kemampuan pengetahuan dan keterampilan yang tinggi untuk membentengi diri mereka dari pengaruh jahat
tersebut. Hal tersebut seperti yang dialami oleh grup Sri Karya Manunggal yang dicelakai oleh grup dari kesenian lain yang merasa tersaingi sehingga membuat
Universitas Sumatera Utara
96
pemain kendang mereka hampir celaka dan untungnya masih bisa diatasi oleh mereka.
Grup Sri Karya Mangunggal tidak ingin ada persaingan karena mereka menganggap kesenian itu untuk bersatu
guyub
bukan untuk bersaing. Namun kenyataannya solidaritas antar grup kesenian di Desa Bangko Lestari tampaknya
masih kurang. Hal ini terlihat bahwa grup Sri Karya Manunggal tidak akrab dengan beberapa grup kesenian yang baru muncul karena ada rasa iri terhadap
grup ini. Namun disamping itu ada juga beberapa grup lain yang ingin bergabung dengan grup Sri Karya Manunggal karena sangat mengenal sosok Mbah Bolong
sebagai orang yang sudah lama membina grup tersebut. Grup kesenian yang ada di desa Bangko Lestari awalnya hanya ada satu
grup kesenian saja yaitu grup Sri Karya Manunggal yang paling dikenal oleh warga setempat. Awalnya grup tersebut dikelola oleh Bapak Tukijo dan teman-
temannya supaya kesenian tersebut dilestarikan dan berkembang di desa mereka. Namun lama kelamaan para pengurusnya bubar. Hal ini disebabkan karena para
pengurusnya ingin membuat grup sendiri yang akhirnya berujung dengan persaingan terhadap grup Sri Karya Manunggal tersebut. Persaingan di antara
pengurus kesenian tersebut berlomba- lomba untuk ―menonjolkan diri‖ supaya
keseniannya disenangi oleh masyarakat dan memperoleh ―nama‖ dari grup yang mereka kelola masing-masing. Seperti yang diungkapkan oleh Mbah Bolong
berikut ini: ―
Pengurus grup kami ini udah sampe delapan generasi tapi cuma saya yang bertahan. Yang lain udah pada bubar, ada juga yang
udah meninggal trus yang buka grup sendiri juga ada. Kalo gak ada saya kesenian ini ya gak jalan. Saya dan kawan kawan saya
sekarang inilah yang neruskan kesenian kami ini. Kami buat ide supaya kesenian kami disukai orang. Kami buatlah seni reog ini
Universitas Sumatera Utara
97
campur sama kuda kepang dan hanoman. Rupanya orang makin banyak yang seneng. Tapi ada juga yang gak seneng. Ada grup
yang gak suka sama kami karna yang sering dipanggil sama masyarakat itu grup kami. Jadi grup kami ini sering dipake
namnya sama grup lain karena grup kami ini lumayan terkenal disini.
Kesenian tradisional sekarang ini pengelolanya harus tanggap dalam mengantisipasi perkembangan zaman yang semakin maju. Apabila kurang
tanggap maka akan mengalami kemunduran yang mengakibatkan satu persatu gulung tikar karena kurang bisa menyesuaikan dengan perkembangan zaman
Jazuli, 2000 dalam Rahzen. Seperti halnya yang ada di kecamatan Bangko Pusako. Dulunya sangat banyak orang-orang Jawa transmigrasi yang mempunyai
sanggar kesenian. Sebelum mereka memperoleh pekerjaan yang pasti, kesenian ini dijadikan mereka sebagai tambahan pekerjaan mereka. Namun seiring
perkembangan zaman maka satu persatu pengelolanya gulung tikar karena tidak ada biaya untuk mengembangkan keseniannya dan juga uang yang diperoleh hasil
tanggapan tidak mencukupi kebutuhan mereka lagi sehingga mereka lebih memilih pekerjaan yang lain dan meninggalkan keseniannya.
Grup Sri Karya Manunggal cukup mampu bertahan hingga sekarang. Bertahannya grup ini juga dikarenakan oleh Bapak Tukijo atau lebih akrab disapa
Mbah Bolong oleh warga setempat yang sudah cukup lama membina kesenian ini. Ia akan tetap mempertahankan keseniannya tersebut sampai akhir hayatnya. Ia dan
teman-temannya membuat ide agar keseniannya tetap disukai oleh orang lain dengan cara menambah kesenian lain dalam seni
reog
seperti kuda kepang dan kesenian
hanoman
kera putih. Seperti yang dikatakan oleh Soemardjan dalam Syaripudin, 2013, kesenian akan selalu berkembang apabila kebudayaannya juga
Universitas Sumatera Utara
98
selalu bersikap terbuka terhadap perubahan dan inovasi. Karenanya, kebudayaan itu bersifat dinamis, akan selalu berkembang dan berubah dari waktu ke waktu.
Dalam hal ini, grup Sri Karya Manunggal telah membuat perubahan dalam seni
reog
tersebut sehingga mengalami perkembangan dari seni tersebut demi kelangsungan seni reog yang ada di desa Bangko Lestari.
4.2 Upaya-Upaya Melestarikan Kesenian