Kepercayaan Diri Dukungan Keluarga

2.3.2. Kepercayaan Diri

Kepercayaaan merupakan suatu keyakinan yang diyakini oleh individu terhadap sesuatu fenomena. Kepercayaan tersebut didasarkan pada pengalaman sebelumnya dan kebiasaan-kebiasaan yang ada di masyarakat. Kepercayaan tersebut secara tidak langsung berimplikasi terhadap keseluruhan tata cara kehidupan masyarakat, dan erat kaitannya dengan kebudayaan suatu kelompok masyarakat. Menurut GM Foster 1973 aspek kepercayaan mempengaruhi status kesehatan dan perilaku kesehatan seseorang. Kepercayaan tersebut secara psikologis bersumber dari dalam diri individu terhadap suatu objek atau informasi yang diyakininya bermanfaat dan dapat diadopsi. Menurut G.M.Foster, 1973 untuk mempelajari dinamika dari proses proses perubahan dari sudut individu, maka perlu sekali mengetahui kondisi dasar dari individu agar mau mengubah tingkah lakunya, yaitu : 1 individu harus menyadari adanya kebutuhan untuk berubah, 2 harus mendapat informasi bagaimana kebutuhan ini dapat dipenuhi, 3 mengetahui bentuk pelayanan yang dapat memenuhi kebutuhannya dan biayanya, 4 tidak mendapat sanksi yang negatif terhadap individu yang akan menerima inovasi. Selanjutnya Foster 19873 menyatakan bahwa untuk membantu individu mau mengubah perilakunya, maka yang perlu diperhatiakan adalah : 1 mengidentifikasi individu, masyarakat yang menajadi sasaran perubahan, 2 mengetahui motif yang mendorong perubahan, antara lain adalah motif ekonomi, religi, persahabatan, prestise, 3 mengetahui faktor-faktor lain misalnya : kekuatan sosial dan nilai-nilai Universitas Sumatera Utara yang ada dalam masyarakat, kebutuhan masyarakat, waktu yang tepat, golongan dalam masyarakat yang mudah diterima ide baru, serta golongan yang berkuasa.

2.3.3. Dukungan Keluarga

Variabel psikososial yang erat kaitannya dengan perilaku kesehatan adalah adanya interaksi sosial dalam bentuk dukungan baik dukungan kelompok maupun dukungan secara sosial. Interaksi sosial adalah keterlibatan secara individu penderita DM dalam suatu kelompok masyarakat dan keluarga, artinya adanya dukungan sosial atau dukungan keluarga dalam memperhatikan pola makan penderita DM merupakan suatu interaksi sosial. Menurut Departemen Kesehatan RI 1998 keluarga adalah unit terkecil dari masyarakat yang terdiri atas kepala Keluarga dan beberapa orang yang berkumpul dan tinggal di suatu tempat dibawah suatu atap dalam keadaan saling ketergantungan. Secara prinsip keluarga adalah unit terkecil masyarakat,terdiri atas dua orang atau lebih, adanya ikatan perkawinan dan pertalian darah, hidup dalam satu rumah tangga, di bawah asuhan seorang kepala rumah tangga, berinteraksi di antara sesama anggota keluarga, setiap anggota keluarga mempunyai peran masing-masing, menciptakan, mempertahankan suatu kebudayaan. Peranan keluarga menggambarkan seperangkat perilaku interpersonal, sifat, kegiatan yang berhubungan dengan individu dalam posisi dan situasi tertentu. Peranan individu dalam keluarga didasari oleh harapan dan pola perilaku dari keluarga, kelompok dan masyarakat. Universitas Sumatera Utara Berdasarkan pendapat Rusli 2007, dukungan keluarga terhadap pemberian ASI Eksklusif pada ibu bekerja sangat diperlukan, menyusui merupakan aktifitas keluarga. Setiap anggota keluarga mempunyai struktur peran formal dan informal. Misalnya, ayah mempunyai peran formal sebagai kepala keluarga dan pencari nafkah. Peran informal ayah adalah sebagai panutan dan pelindung keluarga. Struktur kekuatan keluarga meliputi kemampuan berkomunikasi, kemampuan keluarga untuk saling berbagi, kemampuan sistem pendukung diantara anggota keluarga, kemampuan perawatan diri, dan kemampuan menyelesaikan masalah Sudiharto, 2007. Friedman dalam Sudiharto 2007, menyatakan bahwa fungsi dasar keluarga antara lain adalah fungsi efektif, yaitu fungsi internal keluarga untuk pemenuhan kebutuhan psikososial, saling mengasuh dan memberikan cinta kasih, serta saling menerima dan mendukung. 2.3. Pengaruh Psikososial terhadap Pola Makan Penderita DM Secara epidemiologi faktor risiko terhadap terjadinya penyakit DM antara lain karakteristik individu dan perilaku yang berkaitan dengan pola makan dan gaya hidup karakteristik adalah segala sesuatu yang merupakan ciri-ciri biologis dan sosial yang terdapat pada penderita DM. Perbedaan ciri-ciri dapat menyebabkan perbedaan prevalensi DM dan perbedaan pola makan. Karakteristik tersebut seperti karakteristik sosiodemografi misalnya tempatdaerah, umur, jenis kelamin, pendidikan, pekerjaan, sosial ekonomi, dan perilaku pengetahuan dan sikap serta sosial budaya dan pola Universitas Sumatera Utara makan. Penelitian Suryono 2004 prevalensi DM di Jakarta berkisar 2,8, dan umumnya terjadi pada penduduk dewasa. Menurut Marimis 2006. Perubahan psikologis seseorang dalam dilakukan dengan memperhatikan masalah emosional dengan maksud menghilangkan, mengubah gejala yang ada dan mengembangkan pertumbuhan kepribadian yang positif. Kaitannya dengan kepatuhan perubahan pola makan, maka dapat dilakukan dengan memberikan stimulan secara terpadu terhadap manfaat dari pola makan yang dianjurkan yang berhubungan dengan penanganan penyakit DM. Unsur psikososial adalah salah satu unsur yang terdapat dalam diri individu yang berdampak terhadap perubahan metabolisme tubuh yang menyebabkan terjadinya sakit. Mengutip teori determinan derajat kesehatan masyarakat yang dikemukakan oleh H.L Blum 1974 bahwa derajat kesehatan dipengaruhi oleh faktor agent yaitu segala sesuatu penyebab terjadinya suatu penyakit, dalam hal ini berhubungan dengan ketidak seimbangan asupan makanan penderita DM, faktor host, yaitu faktor yang bersumber dari individu seperti karakteristik individu dan perilaku individu serta faktor environment yaitu faktor yang bersumber dari lingkungan, seperti lingkungan fisik dan sosial. Berkaitan dengan konsep psikososial, dapat diketahui bahwa terdapat pengaruh persepsi penderita DM terhadap pola makan seimbang seperti penelitian ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Heilbronn, dkk 2002 bahwa pemberian diet rendah lemak dan tinggi karbohidrat dengan indeks glikemik rendah Universitas Sumatera Utara dapat menurunkan kadar glukosa darah pada pengidap DM tipe 2 yang memiliki kadar glukosa darah tidak terkendali. Faktor penyebab utama terjadinya kegagalan pengobatan diabetes mellitus adalah ketidak-disiplinan atau ketidak-tahuan klien diabetes mellitus tentang penyakit, program pengobatan dan perawatan. Informasi mengenai program diet yang diberikan pada klien diabetes mellitus adalah intervensi penting dalam meningkatkan kepatuhan klien pada program diet Travis, 1997. Menurut model kepercayaan kesehatan Health Belief Model yang dikembangkan oleh Rosenstock 1982 dalam Sarwono 2004 bahwa perilaku individu ditentukan oleh motif dan kepercayaannya. Tanpa mempedulikan apakah motif dan kepercayaan tersebut sesuai atau tidak dengan realitas atau dengan pandangan orang lain tentang apa yang baik untuk individu tersebut. Model kepercayaan kesehatan ini mencakup 5 unsur utama, sebagai berikut: a. Persepsi individu tentang kemungkinannya terkena suatu penyakit perceived susceptibility. Mereka yang merasa dapat terkena penyakit tersebut akan lebih cepat merasa terancam. b. Pandangan individu tentang beratnya penyakit tersebut perceived seriousness, yaitu risiko dan kesulitan apa saja yang akan dialaminya dari penyakit itu. c. Makin berat risiko suatu penyakit dan makin besar kemungkinannya bahwa individu tersebut terserang penyakit tersebut, makin dirasakan besar ancamannya perceived threats. Ancaman ini mendorong individu untuk melakukan tindakan pencegahan atau penyembuhan penyakit. Namun ancaman yang terlalu besar Universitas Sumatera Utara malah menimbulkan rasa takut dalam diri individu yang justru malah menghambatnya untuk melakukan tindakan karena individu tersebut merasa tidak berdaya melawan ancaman tersebut. Guna mengurangi rasa terancam tersebut, ditawarkanlah suatu alternatif tindakan oleh petugas kesehatan. Apakah individu akan menyetujui alternatif yang diajukan petugas tergantung pada pandangannya tentang manfaat dan hambatan dari pelaksanaan alternatif tersebut. Individu akan mempertimbangkan apakah alternatif tersebut memang dapat mengurangi ancaman penyakit dan akibatnya yang merugikan. d. Namun sebaliknya, konsekuensi negatif dari tindakan yang dianjurkan tersebut biaya yang mahal, rasa malu, takut akan rasa sakit, dan sebagainya seringkali menimbulkan keinginan individu untuk justru menghindari alternatif yang dianjurkan petugas kesehatan. Ini merupakan perceived benefits and barriers dari tindakan yang dianjurkan. Untuk akhirnya memutuskan menerima atau menolak alternatif tindakan tersebut. e. Faktor pencetus cues to action bisa datang dari dalam diri individu munculnya gejala-gejala penyakit itu ataupun dari luar nasihat orang lain, kampanye kesehatan, seorang teman atau anggota keluarga terserang oleh penyakit yang sama, dan sebagainya. Bagi mereka yang memiliki motivasi yang rendah untuk bertindak misalnya yang tidak percaya bahwa dirinya akan terserang penyakit tersebut, yang menganggap remeh akibat penyakit tersebut atau yang takut menerima pengobatan diperlukan rangsangan yang lebih intensif untuk mencetuskan respon yang diinginkan, sebab bagi kelompok semacam ini Universitas Sumatera Utara penghayatan subjektif terhadap hambatanrisiko negatif dari pengobatan penyakitnya jauh lebih kuat dari pada gejala objektif dari penyakit tersebut ataupun pandangansaran profesional petugas kesehatan. Tetapi bagi mereka yang sudah termotivasi untuk bertindak, maka rangsangan sedikit saja sudah cukup untuk menimbulkan respon tersebut Sarwono, 2004.

2.4. Kepatuhan Penderita DM Mengikuti Anjuran Pogram Diet