Konsep Diri Akademik KAJIAN TEORI

1. Tes Proyeksi, tes ini didasarkan pada ide bahwa orang yang akan memproyeksikan perasaan dan kebutuhannya dalam materi yang ambigu atau tidak terstruktur dalam Morgan King, 1986. Memakai teori dan pengukuran kepribadian Henry Murray, McClelland dalam Santrock, 2003 menguji motivasi berprestasi dengan memperlihatkan kepada subjek gambar yang akan menstimulasi respon yang berhubungan dengan pencapaian prestasi. 2. Kuesioner, inventori ini terdiri dari pertanyaan-pertanyaan tentang perilaku dan pilihan tertentu untuk dijawab yang berhubungan dengan apa yang akan atau dipilih untuk dilakukan dalam situasi tertentu. 3. Tes situasional, dalam tes ini dibuat suatu situasi dimana tindakan seseorang akan menampakkan motifnya yang dominan. Dalam peneliltian ini, cara yang digunakan untuk mengukur tingkat motivasi berprestasi subjek adalah dengan kuesioner. Hal ini disebabkan karena kuesioner peneliti anggap lebih praktis dibanding cara pengukuran yang lain. Subjek memilih satu dari keempat pilihan jawaban yang dianggap paling tepat mengenai dirinya, sehingga tidak ada campur tangan peneliti atau orang lain.

2.2 Konsep Diri Akademik

2.2.1 Pengertian konsep diri akademik Staines dalam Burns, 1993 mendefinisikan konsep diri sebagai suatu sistem sadar dari hal-hal yang dipersepsikan, konsep-konsep, evaluasi-evaluasi mengenai individu sebagimana siswa tampak bagi individu tersebut. Selanjutnya konsep diri menurut Hurlock 1978 pada dasarnya merupakan pengertian dan harapan seseorang mengenai diri yang dicita-citakan dan bagaimana dirinya dalam realitas yang sesungguhnya, baik secara fisik maupun psikologik. Konsep diri juga diartikan sebagai pandangan diri anda sendiri dalam Calhoun Acocella, 1990. Konsep diri menurut Rogers dalam Burns,1993 adalah organisasi dari persepsi persepsi diri, yang tersusun atas: a. Persepsi-persepsi dari karakteristik-karakteristik dan kemampuan- kemampuan seseorang. b. Hal-hal yang dipersepsikan dan konsep-konsep tentang diri yang berhubungan dengan orang lain dan lingkungan. c. Kualitas-kualitas nilai yang dipersepsikan yang dihubungkan dengan pengalaman-pengalaman dan objek-objek. d. Tujuan-tujuan dan ide-ide yang dipersepsikan mempunyai valensi negatif atau positif. Konsep diri atau penilaian diri merupakan variabel yang sangat penting dalam mencapai prestasi akademis. Konsep diri juga sering diartikan tentang bagaimana individu mengambarkan dirinya yang akan mempengaruhi pola bersikap, berpikir dan berperilaku serta mempunyai rasa optimis dalam mengerjakan tugas tugas dalam hidup sehingga segala tugas dapat dikerjakan secara optimal. Konsep diri akademik muncul pada saat anak mulai berhubungan dengan bidang akademik atau pada saat mereka memasuki bangku sekolah. Perkembangan konsep diri akademik dipengaruhi oleh lingkungan yang luas. Yaitu bukan saja orangtua tetapi juga teman-teman sebaya dan guru-guru dalam Burns, 1993. Lingkungan sekolah memberikan pengembangan ketrampilan-ketrampilan yang baru yang menjadikan anak mengevaluasi dirinya yakni dengan membandingkan dirinya sendiri dengan oranglain dan mempersepsikan evaluasi oranglain terhadap dirinya. Thomas dalam Burns, 1993 membuktikan bahwa sikap, pengharapan dan evaluasi guru sangat berpengaruh terhadap diri akademik siswa. Strein 1993 konsep diri akademik dapat dibagi oleh dua elemen dasar pada model Shavelson. Pertama konsep diri akademik menggambarkan secara deskriptif misalnya; saya suka matematika, juga berupa evaluatif misalnya; saya bisa dalam bidang matematika ini adalah aspek dari persepsi terhadap diri sendiri. Kedua, persepsi diri dihubungkan dengan konsep diri akademis terhadap kecenderungan penguasaan kompetensi mata pelajaran. Ini juga berhubungan dengan persepsi terhadap diri sendiri mengenai prestasi di sekolah Reyes, 1984. Persepsi seorang siswa terhadap kemampuan akademisnya dapat mempengaruhi prestasi yang diraih dalam Tan Yates, 2007. Seseorang yang mempunyai status pelajar pasti mempunyai konsep diri akademik. Konsep diri akademik ini terbentuk dari pandangan para siswa yang bersangkutan tentang kemampuannya dalam pelajaran disekolah. Setiap mata pelajaran yang ada disekolah manjadi satu dimensi spesifik yang menyusun konsep diri akademik. Demikian halnya pada siswa-siswa di sekolah akan mempunyai konsep diri akademik yang terbentuk dari persepsi siswa tentang kemampuan dirinya tersebut sangat penting peranannya dalam proses pendidikan, terutama berkaitan dengan kelangsungan pendidikannya di masa yang akan datang. Para siswa yang terdiri dari anak usia remaja membutuhkan adanya pengakuan dan penghargaan dari lingkungan. Salah satu kebutuhan yang dapat dipenuhi dari lingkungan sekolah adalah pengakuan dan penghargaan terhadap prestasinya dalam Marsh Hattie, 1996 dari gambaran siswa terhadap kemampuan dirinya dalam pelajaran disekolah, dan persepsi siswa tentang pandangan guru dan teman-teman terhadap kemampuannya tersebut akan membentuk suatu konsep diri akademik. 2.2.2 Struktur konsep diri akademik Proses perkembangan konsep diri tidak pernah berakhir, hal tersebut berjalan terus dengan aktif dari saat kelahiran sampai kepada kematian sejalan dengan individu tersebut secara terus menerus menemukan potensi-potensi yang baru dalam proses membentuk diri. Untuk memiliki sebuah konsep diri, seorang anak harus memandang dirinya sendiri sebagai sebuah obyek yang jelas berbeda dan mampu untuk melihat obyek-obyek lainnya. Lalu menjadi sadar terhadap perspektif-perspektif lainnya, hanya di dalam cara yang demikian, hanya dalam cara yang demikanlah dia dapat sadar terhadap evaluasi-evaluasi dari orang lain terhadap dirinya. Terdapat tiga sumber yang tampaknya penting dalam pembentukan konsep diri, walaupun nilai penting relatifnya berlain-lainan pada periode- periode yang berbeda-beda di dalam jangka kehidupannya. Ketiga sumber itu adalah dalam Burns, 1993: 1. Diri fisik dan citra tubuh Konsep diri pada mulanya adalah citra tubuh, sebuah gambaran yang dievaluasikan mengenai diri fisik. Pada masa awal perkembangan bayi perbedaan yang pertama dibuat antara diri dan bukan diri didasarkan atas kesadarannya terhadap sensasi-sensasi sentuhan, otot dan dan kinestetiknya sendiri sewaktu dia menyentuh, mencubit, melempar, jatuh, menubruk dan lain-lainnya. Sosok tubuh, penampilan dan ukurannya merupakan hal teramat penting di dalam mengembangkan pemahaman tentang evolusi konsep diri seseorang. Perasaan-perasaan yang bersangkutan dengan tubuh dan citra tubuh menjadi inti dari konsep diri di dalam tahun-tahun pertama kehidupan. 2. Bahasa Sangat jelas bahwa perkembangan bahasa membantu perkembangan dari konsep diri, karena penggunaan ‘aku’, ‘dia’ dan ‘mereka’ berguna untuk membedakan diri self dengan orang-orang lainnya. Simbol-simbol bahasa juga membentuk dasar dari konsepsi-konsepsi dan evaluasi-evaluasi tentang diri, misalnya sedang sedih atau merasa bahagia. Umpan balik dari orang- orang lain seringkali dalam bentuk verbal. Dengan kata lain konsep diri dipahami dalam hubungannya dengan bahasa dan perkembangannya dibuat mudah dengan bahasa. Jadi jelas bahwa bahasa menjadi sumber konsep diri, dimana individu mampu untuk mengkonseptualisasikan dan memverbalisasikan diri dan orang lain. 3. Umpan balik Sumber utama lainnya dari konsep diri, selain citra tubuh dan keterampilan berbahasa adalah umpan balik dari orang-orang lain yang dihormati. Sebuah contoh dijelaskan oleh Guthrie Burns, 1993 dalam menjelaskan pengaruh umpan balik terhadap konsep diri. Sebuah kelompok dari siswa pria memainkan yang dimaksudkan sebagai lelucon kepada seorang siswa wanita yang bodoh dan tidak menarik. Mereka memperlakukan siswa wanita tersebut untuk beberapa waktu lamanya seakan-akan ia sangat populer dan menarik. Siswa-siswa pria tadi terkejut karena dalam waktu satu tahun dia mengambangkan sikap yang santai, percaya diri dan popularitas. Sikap semacam itu meningkatkan perolehan yang positif dan memperkuat reaksi- reaksi dari orang lain. Siklus umpan balik yang serupa terdapat dibalik banyak konsep diri dan pola-pola tingkah laku dari kita semua. Ditambahkan pula oleh Calhoun dan Acocella, potret diri mental konsep diri memiliki tiga dimensi, yaitu pengetahuan tentang diri anda sendiri, pengharapan anda tentang anda sendiri, dan penilaian tentang diri anda sendiri. Shavelson dkk. dalam Marsh Hattie, 1996 memperkenalkan model konsep diri, terdapat tujuh karakteristik penting dalam konstruk konsep diri yang menjadi pertimbangan dalam penyusunan model Shavelson dkk. a. Orang-orang mengorganisasi sejumlah besar informasi yang mereka miliki mengenai diri mereka sendiri dalam dimensi-dimensi dan mengaitkan setiap dimensi tersebut satu sama lain dalam sebuah struktur. b. Konsep diri yang dimiliki seseorang bersifat multifaset, dan setiap fasetnya mencerminkan sebuah dimensi yang diciptakan oleh orang tersebut atau masyarakatnya. c. Konsep diri yang bersifat hirarkis. Persepsi terhadap perilaku dalam situasi yang spesifik terletak didasar hirarki, penyimpulan tentang diri dalam dimensi-dimensi tertentu terletak di tengah hirarki, dan konsep diri yang bersifat umum dan global terletak dipuncaknya. d. Konsep diri umum yang terletak dari puncak hirarki bersifat stabil. Di bawah puncak ini, konsep diri menjadi semakin spesifik terhadap situasi- situasi tertentu, sehingga sifatnya juga lebih tidak stabil. Oleh karena itu, perubahan dalam konsep diri yang terletak di bagian bawah hirarki mungkin tidak terlalu berpengaruh terhadap konsep diri yang berada di atasnya, namun perubahan konsep diri umum di puncak hirarki akan ikut mempengaruhi konsep diri seseorang di banyak bidang. e. Konsep diri menjadi lebih bersifat multifaset seiring dengan perkembangan individu dari bayi hingga dewasa. Pada masa bayi, seseorang belum dapat membedakan dirinya dari lingkungannya, sementara anak-anak cenderung masih memiliki konsep diri yang global dan belum terbedakan. Baru pada masa dewasa konsep diri seseorang makin terdiferensiasi dan terintegrasi menjadi konstruk yang hirarkis dan multifaset. f. Konsep diri memiliki aspek deskriptif dan evaluatif. Evaluasi dapat dilakukan dengan membandingkan dengan kondisi ideal yang absolut, standar relatif terhadap teman-teman sebaya, atau tuntutan dari orang-orang terdekat. Setiap dimensi konsep diri dapat memiliki bobot makna yang berbeda-beda bagi tiap orang. g. Konsep diri pada bidang tertentu memiliki hubungan yang lebih kuat pada konstruk yang secara teoritis berkaitan daripada konsep diri pada bidang lain yang tidak berkaitan. Misalnya, prestasi akademik akan memiliki hubungan yang lebih kuat dengan konsep diri akademik dibandingkan dengan konsep diri sosial atau fisik. Dari ketujuh karakteristik yang telah dikemukakan tersebut, Shavelson dkk. dalam Marsh Hattie, 1996 menciptakan sebuah bagan struktur konsep diri yang bersifat multidimensional dan hirarkis, yang selanjutnya secara ringkas di gambarkan oleh peneliti. Oleh Strein dalam Tan Yates, 2007 istilah konsep diri akademik diatas dapat ditandai dengan dua elemen yang konsisten dengan model Shavelson. Pertama, akademik konsep diri mencerminkan deskriptif misalnya, saya suka matematika serta evaluatif misalnya, saya baik di matematika aspek persepsi diri. Kedua, persepsi diri yang terkait dengan konsep diri akademik cenderung berfokus pada kompetensi akademis, bukan sikap. Hal ini senada dengan teori yang dikembangkan oleh Liu dan Wang dalam Tan Yates, 2007 ada dua ranah konsep diri akademik yaitu academic confidence kepercayaan diri akademik yakni persepsi dan perasaan siswa terhadap kompetensi akademik mereka. Kemudian academic effort usaha akademik yaitu komitmen siswa akan keterlibatan dan minatnya terhadap tugas sekolah. General Self-Concept Academic Self-Concept Nonacademic Self-Concept: 1. Social Self-Concept. 2. Emotional Self- Concept. 3. Physical self-Concept 2.2.3 Pengukuran konsep diri akademik Burns 1993 menyatakan dari banyak metode pelaporan-diri yang dapat digunakan untuk mendapatkan suatu deskripsi diri individu beberapa metode dibawah ini yang mendominasi literatur riset mengenai konsep diri. 1. Skala-skala penilaian, dapat berupa bentuk kuesioner, inventori dan sikap terhadap skala-skala diri. Pada umumnya metode ini terdiri atas pemberian seperangkat pernyataan-pernyataan. Subjek merespons kepada masing- masing pernyataan dengan menyetujui derajat dimana item yang bersangkutan berlaku padanya atau memberi ciri baginya yang terdapat pada suatu skala yang ditetapkan dengan biasanya terdiri atas tiga, lima atau lebih. 2. Daftar pengecekan, pada metode ini individu semata-mata hanya mengecek kata-kata sifat ataupun pernyataan-pernyataan yang sesuai yang menjelaskan dirinya sendiri. Hanya item-item tersebut dicek yang berlaku pada subjek tersebut, pada hakikatnya suatu skala respons yatidak. 3. Metode-metode respons yang tidak berstruktur dan bebas, dalam metode ini subjek diminta untuk menyediakan bahan-bahan mengenai dirinya sendiri, biasanya dengan melengkapi kalimat-kalimat atau membuat esai. Subjek dipresentasikan dengan sejumlah pernyataan yang tidak lengkap yang dia minta untuk melengkapinya. 4. Teknik-teknik proyektif, beberapa periset menggunakan teknik-teknik proyektif untuk mengukur konsep diri yang tidak sadar unconscious selfconcept, misalnya Friedman, 1955; Mussen dan Jones, 1957; Linton dan Graham, 1959. Mereka menggunakan pendekatan ini karena mereka yakin aspek-aspek tidak sadar bersangkut-paut dengan teori-teori diri. 5. Metode wawancara, metode ini sangat sering dilakukan pada usaha konseling dan didalam studi-studi psikoterapi tentang konsep diri dan perubahan konsep diri. Dalam peneliltian ini, cara yang digunakan untuk mengukur konsep diri akademik subjek adalah dengan kuesioner. Hal ini disebabkan karena kuesioner dalam penelitian kuantitatif dianggap lebih praktis dibanding cara pengukuran yang lain. Subjek memilih satu dari keempat pilihan jawaban yang dianggap paling tepat mengenai dirinya, sehingga tidak ada campur tangan peneliti atau orang lain.

2.3 Attachment Style