Tujuan Dan Manfaat Penelitian Tinjauan Pustaka

ini mengkaji peristiwa kerusuhan Mei 1998 di kota Medan. Maka, penelitian ini diberi judul ‘Kerusuhan Di Kota Medan Pada Mei 1998.’ 1.2 Rumusan Masalah Sebuah gerakan aksi ditujukan untuk memperjuangkan hak-hak atau kepentingan sekelompok orang ataupun seluruh lapisan masyarakat.Namun, selalu saja gerakan aksi itu dimanfaatkan oleh segelintir orang untuk berbuat kerusuhan. Seperti halnya dengan kerusuhan- kerusuhan yang terjadi di Indonesia, khususnya Kota Medan. Maka, berangkat dari latarbelakang yang telah dikemukakan di atas, penulis merumuskan permasalahan yang terjadi, yaitu: 1. Bagaimana kondisi Kota Medan sebelum tahun 1998? 2. Bagaimana kondisi Kota Medan pada tahun 1998? 3. Faktor-faktor apa saja yang menyebabkan terjadinya kerusuhan pada Mei 1998 di Kota Medan?

1.3 Tujuan Dan Manfaat Penelitian

Sejarah adalah rekonstruksi masa lalu. 9 1. Untuk mengetahui kondisi Kota Medan sebelum tahun 1998. Meskipun demikian, rekonstruksi masa lampau itu dapat berguna untuk masa sekarang dan masa yang akan datang. Penelitian ini tentunya mempunyai tujuan dan manfaat tertentu. Adapun tujuan yang dicapai dalam penelitian ini, yaitu: 2. Untuk mengetahui kondisi Kota Medan pada tahun 1998. 3. Untuk mengetahui faktor-faktor penyebab kerusuhan Mei 1998 di Kota Medan. Adapun manfaat yang didapat dari penelitian ini adalah: 9 Kuntowijoyo.Pengantar Ilmu Sejarah,Yogyakarta : Bentang,1995 hlm.17 Universitas Sumatera Utara 1. Sebagai bahan referensi bagi masyarakat umum, khususnya masyarakat Kota Medan, dalam mengetahui sejarah Indonesia kontemporer terutama ketika Indonesia memasuki babak baru dalam transisi kekuasaan, yaitu masa reformasi. 2. Untuk mengungkap bagaimana sebuah gerakan aksi yang murni untuk menggulingkan sebuah rezim, harus ternodai oleh aksi anarkisme massa yang sengaja dimanfaatkan untuk memperburuk kondisi dalam negeri. 3. Sebagai pengetahuan bagi sejarahwan khususnya dan disiplin ilmu lainnya dalam mengetahui kerusuhan yang terjadi di Kota Medan.

1.4 Tinjauan Pustaka

Dalam melakukan penelitian, permasalahan yang dikaji tentu menggunakan sumber bacaan berupa buku-buku, surat kabar, majalah, dan sumber pustaka lainnya. Adapun sumber kepustakaan yang berkaitan dengan permasalahan yang diteliti sangat banyak. Namun, penulis memilih sumber pustaka utama yang dijadikan acuan bagi penulis dalam penelitian ini. Dalam buku Kerusuhan Sosial Di Indonesia: studi kasus Kupang, Mataram, dan Sambas oleh Riza Sihbudi dan Moch. Nuhasim ed disebutkan bahwa kerusuhan yang terjadi di berbagai wilayah Indonesia merupakan bagian dari kekerasan kolektif. Kekerasan yang dilakukan secara kolektif akan membangkitkan suatu rasa takut terhadap kelompok lain yang dijadikan sebagai sasaran dan juga dijadikan sebagai proses kristalisasi komitmen di kalangan anggota. Para anggota yang terlibat dalam konflik kolektif akan memunculkan suatu kesadaran baru, menumbuhkan keberanian, dan meningkatkan solidaritas. Individu-individu yang terlibat dalam konflik massa akan larut dalam berbagai perilaku dimana individu tidak mampu lagi melakukan kontrol di dalam dirinya. Universitas Sumatera Utara Dalam buku tersebut disebutkan pula bahwa gerakan sosial-massa ditentukan oleh beberapa faktor, yaitu : Pertama, daya dukung struktural dimana suatu gerakan sosial-massa akan mudah terjadi dalam suatu lingkungan atau masyarakat tertentu yang berpotensi untuk melakukan suatu gerakan massa secara spontan dan berkesinambungan. Kedua, adanya tekanan- tekanan struktural akan mempercepat orang untuk melakukan gerakan massa secara spontan karena keinginan mereka untuk melepaskan diri dari situasi yang menyengsarakan. Ketiga, menyebarkan informasi yang dipercayai masyarakat luas. Hal ini akan menimbulkan kegelisahan secara kolektif akan situasi yang tidak menguntungkan tersebut. Informasi yang disebarkan ini akan menguatkan dan memperluas gerakan sosial-massa. Keempat, emosi yang tidak terkendali misalnya,ada rumor atau isu-isu yang bisa membangktkan perlawanan. Kelima, Upaya mobilisasi orang-orang untuk melakukan tindakan- tindalan yang telah direncanakan. Faktor persuasi dan komunikasi bisa mempengaruhi tindakan sosial secara drastis, juga faktor kepemimpinan sangat berpengaruh dalam mengambil inisiatif para anggotanya untuk melakukan tindakan. Kekerasan kolektif yang mengarah pada konflik yang terjadi di berbagai wilayah di tanah air tidak semata-mata karena faktor kepentingan para elit yang berbenturan baik pada tingkat local maupun nasional. Konflik juga terjadi karena berbagai tuntutan untuk diperlakukan secara adil, hilangnya otonomi kolektif dan pengalaman represi oleh kelompok dominan memperkuat rasa diperlakukan tidak adil, adanya diskriminas aktif dalam politik, ekonomi, dan budaya, dan kehadiran kelompok yang menggalang pemberontakan. Konflik di Indonesia lebih mengarah pada konflik-konflik pusat pinggiran, yakni pihak pusat lebih mengeksploitasi wilayah-wilayah di sekitarnya bisa kota mengeksploitasi desa atau pihak pemeritah pusat mengeksploitasi pemerintah daerah, konflik etno-politik yakni adanya penguasaan wilayah Universitas Sumatera Utara ekonomi oleh kelompok etnik tertentu, dan konflik karena tekanan penduduk. Oleh karena itu, perlu ada perubahan kebijakan, implementasi dalam pengelolaan hubungan antarkelompok. Konflik antarkelompok dalam masyarakat telah lama menjadi api dalam sekam dan proses penyelesaian konfliknya didasarkan pada pendekatan kekuasaan, tidak berdasarkan pada ketentuan hukum ynag adil. Bnagunan konflik yang ada di dalam masyarakat memang secara kondusif untuk diperluas dengan cara melakukan tindakan kekerasan. Penggunaan kekerasan untuk memperluas konfl;ik akan sangat memungkinkan untuk menumbuhkan sikap saling curiga, memperkuart barisan, baik barisan dalam kelompok dalam In-group maupun dalam barisan kelompok luar Out-Group. Disebutkan pula bahwa konflik sosial yang terjadi di dalam masyarakat biasanya timbul karena adanya sejarah persaingan, prasangka, dan rasa benci, baik itu bersifat pribadi, politis, maupun ideologis yang melatarbelakanginya. Konflik yang diciptakan oleh pemerintah kolonial pada saat mereka berkuasa di Indonesia, bertujuan untuk bisa membangun daerah jajahannya dan berusaha membangun pertentangan dan konflik di antara warga jajahannnya agar tidak terbangun kesatuan wilayah. Perpecahan di antara warga, etnik, dan agama, akan memudahkan melakukan intervensi kekuasaan. Akhirnya tertanamlah benih kebencian dan prasangka di antara masyarakat sehingga timbul gelombang aksi kekerasan, seperti yang terjadi dalam peristiwa kerusuhan Mei 1998 tersebut. Dalam buku Politik Huru-Hara Mei 1998 oleh Fadli Zon disebutkan bahwa huru-hara pada Mei 1998 di berbagai wilayah Indonesia merupakan peristiwa bersejarah yang telah membawa Indonesia pada babak baru perjalanan bangsa. Rezim Soeharto yang telah berkuasa lebih dari tiga dasawarsa akhirnya jatuh. Peristiwa ini tak dapat dipisahkan dari rangkaian krisis Universitas Sumatera Utara moneter yang telah berlangsung sejak Juli 1997, dimulai di Thailand dan menyebar ke beberapa negara lain di Asia termasuk Indonesia. Krisis moneter yang salah penanganan dari pemerintah atas tekanan IMF berkembang menjadi krisis politik. Hanya dalam waktu dua bulan setelah disumpah menjadi Presiden untuk ketujuh kalinya, Soeharto akhirnya mengundurkan diri dan jabatan Presiden secara konstitusional jatuh ke tangan Wakil Presiden B.J. Habibie. Eskalasi pada bulan Mei 1998 meningkat karena dipicu secara khusus oleh tekanan IMF pada pemerintah untuk menaikkan harga BBM pada 4 Mei 1998. Antrian kendaraan pun berbaris panjang menyerbu setiap pom bensin hingga menyebabkan jalanan macet sampai tengah malam. Kenaikan harga BBM selalu diikuti kenaikan harga bahan pokok lain. Demonstrasi mahasiswa yang dimulai sejak Februari 1998, semakin marak dan berani dengan tuntutan harga-harga diturunkan dan agenda reformasi dilaksanakan. Momentum kerusuhan pun terjadi ketika kemarahan massa memunncak akibat harga-harga yang melambung tinggi. Kerusuhan itu berbentuk penjarahan, pembakaran mobil, dan gedung-gedung serta aktivitas kriminal lain. Kerusuhan yang telah membumihanguskan sendi-sendi kehidupan Kota Medan ini masih menyisakan sejumlah pertanyaan yang belum terjawab. Berbagai teori, scenario, dan isu menyelimuti bahkan menjadi fondasi bagi pembenaran-pembenaran sepihak yang terus dikembangkan ke masyarakat. Banyak kejanggalan dan keanehan dari peristiwa-peristiwa seputar huru-hara Mei yang merupakan penjelmaan dari pergulatan politik di kalangan elit. Di kota Medan, kerusuhan mulai terjadi pada tanggal 4 Mei 1998, yang merupakan dampak dari bentrokan antara mahasiswa dengan aparat kepolisian sehari sebelumnya. Kerusuhan hari berikutnya semakin meluas hingga ke Lubuk Pakam, Tanjung Morawa, dan Deli Serdang. Tanggal 7 Mei 1998, Kerusuhan di Sumatera Utara semakin melebar hingga ke Tebing Universitas Sumatera Utara Tinggi, Pematang Siantar, dan Binjai. Akibat kerusuhan selama 3 hari itu Kota Medan dan sekitarnya menjadi lumpuh, ratusan toko, perkantoran dan bank, dan ratusan kendaraan bermotor luluh lantak dilalap si jago merah. Tulisan M.Iqbal Djajadi dalam buku Kisah Perjuangan Reformasi, disebutkan bahwa kerusuhan merupakan sebuah fenomena amuk-massa dari para warga tang merasakan darah mereka menggelegak, mata gelap dan tidak lagi mempunyai akal sehat. Mereka hanya ingin menumpahkan emosi, mencari pelampiasan, dan memperoleh kompensasi. Namun tentu saja tidak semua orang menjadi mata gelap. Keberingasan massa pada akhirnya mungkin sekali berhasil meyakinkan mahasiswa bahwa ereka harus berjuang melalui suatu modus yang lebih heroik dan menentukan tanpa harus berarti meninggalkan prinsip damai mereka. Mereka tidak lagi ingin sekedar berteriak-teriak di kampus secara eksklusif, tanpa menghasilkan dampak yang signifikan pada negara dan masyarakat. Pada saat yang sama, mereka juga tidak ingin sekedar turun ke jalan dengan konsekuensi memancing amuk massa. Kerusuhan pun meyakinkan masyarakat bahwa mereka harus lebih aktif dan langsung dalam mendukung aksi damai mahasiswa. Sementara mereka yang ‘berdarah panas’, banyak yang memanas-manasi mahasiswa untuk turun ke jalan, melakukan aksi yang lebih demonstratif Dalam buku tersebut disebutkan pula bahwa gerakan mahasiswa dan kerusuhan itu sebenarnya mengarah kepada suatu jalan yang kurang lebih pararel dalam menjatuhkan Soeharto. Bila gerakan mahasiswa merupakan suatu bentuk partisipasi politik yang terlembaga, maka kerusuhan merupakan partisipasi politik yang tidak terlembaga. Bila gerakan mahasiswa merupakan gerakan kolektif masyarakat lapisan menengah yang melek politik, maka kerusuhan merupakan gerakan kolektif masyarakat lapisan bawah yang buta politik. Bila gerakan mahasiswa merupakan gerakan moral, maka kerusuhan merupakan gerakan biologis. Bila Universitas Sumatera Utara gerakan mahasiswa merupakan manifestasi olah-kepala, maka kerusuhan merupakan manifestasi olah-perut. Bila gerakan mahasiswa merupakan aksi idealisme, maka kerusuhan merupakan aksi realisme. Bila gerakan mahasiswa merupakan kritik kaum intelek terhadap fenomena KKN, maka kerusuhan merupakan kritik rakyat atas kenaikan harga sembako. Bila gerakan mahasiswa tercetus oleh ‘sakit-hati’, maka kerusuhan tercetus oleh ‘sakit-perut’. Karena itulah, gerakan mahasiswa cenderung berjalan dengan damai, sedangkan gerakan rakyat melalui kerusuhan cenderung berjalan dengan kekerasan. Secara simultan, baik gerakan mahasiswa maupun kerusuhan telah meyakinkan para pembantu Presiden dan para tokoh masyarakat mengenai keseriusan krisis yang terjadi sedemikian sehingga pada gilirannya memberikan keyakinan juga kepada Soeharto bahwa dia sudah tidak diinginkan lagi. Tanpa kerusuhan, gerakan mahasiswa mungkin tidak berjalan dengan hasil dramatis. Sebaliknya, tanpa gerakan mahasiswa, kerusuhan hanya akan menghasilkan terror, situasi khaos dan anarki.

1.5 Metode Penelitian