ketidakberdayaan dalam mencukupi kebutuhan sehari-hari telah menciptakan amarah yang akhirnya dilampiaskan dalam bentuk kerusuhan.
4.2. Faktor SARA
Isu SARA Suku, Agama, Ras, dan Antar-golongan telah lama berkembang menjadi sebuah polemik yang berkepanjangan di tanah air. Salah satu isu yang sudah menjadi dilema
dalam masyarakat Indonesia adalah mengenai masalah rasialitas. Masalah perbedaan ras atau pun etnis, masalah pribumi dan non pribumi dalam suatu wilayah selalu menjadi alasan ‘pemicu’
keributan bahkan berakibat kerusuhan dan pada akhirnya menjadi semacam ‘kambing hitam’. Etnis Tionghoa adalah salah satunya yang merupakan etnis minoritas di negeri ini.
Etnis Cina atau Tionghoa telah lama menjadi bagian dari masyarakat Indonesia sejak beratus-ratus tahun yang lalu. Sejarah mencatat bahwa pada awalnya hubungan Indonesia dengan
Negeri Cina terjalin melalui perdagangan bahkan sejak jaman purba. Hal ini dibuktikan dengan kedatangan orang Tionghoa ke berbagai kerajaan di Nusantara untuk menjalin hubungan
perdagangan. Adapun kerajaan-kerajaan di Nusantara yang pernah menjalin hubungan perdagangan dengan orang Tionghoa adalah Kerajaan Kaling Holing, Sriwijaya,Majapahit,
Singosari, dan kerajaan-kerajaan Nusantara lainnya baik yang bercorak Hindu-Budha maupun Islam.
Laksamana muda Cheng-Ho, seorang bahariawan pada masa Dinasti Ming pernah diutus ke Nusantara oleh Kaisar Cheng-Zu untuk menjalin hubungan diplomatis dan
persaudaraan dengan Nusantara pada abad ke-15. Dia telah melakukan tujuh kali pelayaran ke Nusantara. Selama tujuh kali pelayaran ke Nusantara itu, armada Cheng-Ho selalu berkunjung ke
Sumatera dan enam kali ke Pulau Jawa dengan 27.800 awak kapal. Dalam kunjungannya ke
Universitas Sumatera Utara
Nusantara, Cheng-Ho menemukan bahwa penduduk Tionghoa telah ada dan menetap di beberapa wilayah di Nusantara.
Proses penyebaran penduduk etnis Tionghoa ke Nusantara dilakukan secara bergelombang. Awal kedatangan mereka ke Nusantara sebelum abad ke-19 dilatarbelakangi oleh
situasi politik di dalam negeri Cina sendiri, yaitu penyerangan orang Manchuria terhadap dinasti Cina yang sedang berkuasa. Situasi itu telah menyebabkan penduduk Tionghoa bermigrasi ke
wilayah Nusantara. Kebanyakan dari kaum imigran itu adalah para lelaki Tionghoa. Mereka tidak membawa istri ataupun keluarga mereka yang lain. Mereka kemudian menikah dengan
wanita setempat. Para imigran ini kemudian bermukim sampai beberapa generasi dan tak pernah lagi kembali ke negeri asal. Generasi inilah yang kemudian disebut etnis Tionghoa peranakan.
Mereka kebanyakan tidak bisa berbahasa Tionghoa serta menganggap Nusantara sebagai tanah airnya sendiri.
Gelombang selanjutnya terjadi pada abad ke-19 ketika kolonialisme bangsa Asing telah melanda bumi Nusantara. Para imigran Tionghoa ini datang ke nusantara dengan maksud untuk
mencari peruntungan dengan bekerja sebagai tenaga buruh dan pedagang karena perekonomian wilayah Hindia-Belanda sedang berkembang dengan pesat. Mereka datang bersama keluarganya
dan menetap dengan kelompok mereka sendiri. Bagi mereka Negeri Cina masih menjadi tanah air, sementara Nusantara hanya tempat persinggahan mereka saja. Kelompok imigran inilah
yang kemudian disebut sebagai etnis Tionghoa Totok. Mereka tetap mempertahankan tradisi Cina mereka dan diteruskan dari generasi ke generasi.
Orang Tionghoa ini hanya bergaul dengan kelompok mereka sendiri saja dan jarang berbaur dengan orang Tionghoa Peranakan yang telah terlebih dahulu menetap di Nusantara.
Universitas Sumatera Utara
Mereka selalu memandang rendah etnis Tionghoa Peranakan dan menganggap etnis Tionghoa peranakan tidak menghargai serta mempertahankan tradisi Kecinaan mereka. Dengan kata lain
terdapat perbedaan yang sangat mencolok antara Tionghoa Totok dan Tionghoa Peranakan. Tapi penduduk pribumi tetap memandang mereka sebagai ‘orang Cina’.
Kedatangan massal para imigran Tionghoa pada abad ke-19 untuk menjadi tenaga buruh ini, telah menyebabkan adanya kerusakan prses pertumbuhan organik struktur sosial etnis
Tionghoa Peranakan. Heterogenitas bahasa dan perbedaan klan antar-penduduk pendatang baru mendorong disintegrasi penyebaran geografis dan kepekaan etnis yang kemudian menyebabkan
perpecahan sosial.
56
Pada umumnya, para imigran Tionghoa baik yang datang sebelum abad ke-19 maupun setelah itu, terdiri dari beberapa suku bangsa yang berasal dari Propinsi Fukien dan Propinsi
Kwangtung. Ada emapt suku bangsa Tionghoa yang terdapat di Cina dengan empat bahasa yang memiliki dialek yang berbeda. Keempat suku bangsa itu adalah Hokkien, Teo-Chiu, Hakka
Khek, dan Kanton.
57
Orang Hokkien dan keturunannya yang telah berasimilasi secara keseluruhan paling banyak terdapt di Indonesia Timur, Jawa Tengah, Jawa Timur dan pantai
Barat Sumatera. Mereka sebagaian besar adalah pedagang-pedagang Tionghoa yang paling berhasil karena keuletan mereka.
58
Orang Teo-Chiu, Hakka khek, dan Kanton kebanyakan merantau ke seberang lautan dengan bekerja sebagai kuli atau buruh. Mereka dipakai sebgai
tenaga kuli di perkebunan dan pertambangan di Sumatera Timur, Bangka, dan Belitung.
59
56
Dr.Yusiu Liu. Prasangka terhadap Etnis Cina: Sebuah Intisari,Jakarta : Djambatan, 2001 hal.18.
57
Prof.Dr.Koentjaraningrat. Manusia Dan Kebudayaan Indonesia, Jakarta : Djambatan,2003 hal.353.
58
Ibid.
59
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
Hadirnya imigran Tionghoa ke wilayah Sumatera Timur berkaiatan dengan hadirnya perkebunan tembakau sejak tahun 1865. Ketika itu, Nienhuys membutuhkan pekerja kebun
untuk menunjang produktivitas perkebunan. Tenaga kuli yang berasal dari kaum pribumi, seperti orang Melayu, belum cukup untuk mengerjakan areal perkebunan tembakau. Oleh karena itu,
didatangkanlah tenaga kuli yang terdiri dari orang-orang Tionghoa. Mereka didatangkan dari Penang yang dikenal dengan nama ‘Laukeh’.
60
Selain dari Penang, para kuli Tionghoa itu juga didatangkan dari Singapura dan negeri Tiongkok. Kebanyakan kuli-kuli Tionghoa itu didatangkan dengan mememakai jasa perantara
makelar. Tak sedikit dari para kuli Tionghoa itu ditipu oleh makelar agar mereka mau diajak naik kapal menuju tanah Deli. Para makelar itu menyebar cerita yang bersifat merayu bahwa
tanah di Deli itu merupakan tanah yang kaya dan orang-orang yang merantau ke sana cepat menjadi kaya. Para makelar itu membumbui cerita mereka dengan mengambil nama salah
seorang Tionghoa yang bekerja di Deli. Mereka mengatakan bahwa orang Tionghoa itu yang dulunya adalah seorang yang miskin di Penang telah menjadi kaya di Deli dalam waktu 6-7
bulan.
61
Nienhuys juga memakai tenaga kuli dari suku bangsa Tamil India yang dipergunakan untuk bekerja sebagai tenaga angkut air, membetulkan parit dan jalan. Tetapi, pemakaian tenaga
kuli dari India ini kemudian dibatasi oleh Pemerintah Inggris di India dengan alasan bahwa pemerintah Hindia-Belanda tidak menyetujui permintaan Pemerintah Inggris untuk membuka
Alhasil, rayuan tersebut ‘termakan’ oleh sejumlah calon kuli Tionghoa. Rayuan tersebut juga berlaku untuk semua calon kuli dari suku bangsa lainnya.
60
Mohammad Said. Op.Cit. hal.32
61
Ibid. hal.37
Universitas Sumatera Utara
kantor perwakilan mereka di Kota Medan. Oleh karena itu, pihak pengusaha perkebunan kemudian mendatangkan tenaga kuli –kuli kontrak dari Jawa pada tahun 1880.
62
Kuli
Dalam perkembangan selanjutnya, kuli-kuli kontrak yang bekerja di perkebunan tembakau Sumatera Timur terus bertambahnya. Dalam tahun 1874-1900, pertambahan jumlah
kuli kontrak Sumatera Timur dapat dilihat dalam tabel 9 berikut ini.
Tabel 4.4 Perkembangan Jumlah Kuli Kontrak Sumatera Timur Dalam Tahun 1874-1900
1874 1890
1900
CinaTionghoa 4.476
53.806 58.516
Tamil India 459
2.460 3.270
Jawa 316
14.847 25.224
Sumber : Tengku Luckman Sinar,1991:58 Kuli Tionghoa pada umumnya disukai oleh pihak pengusaha perkebunan karena
mereka cenderung lebih rajin bekerja,lebih cekatan, dan terampil pula. Dalam setahun mereka bisa menanam hingga 16.000 per batang. Upah mereka pun terbilang lebih besar dari upah kuli-
kuli dari suku bangsa lainnya. Upah tahunan mereka adalah 34 Dollar yang sudah dipotong dengan tiga Dollar untuk sepatu dan pakaian, lima Dollar untuk perkakas kerja, delapan Dollar
untuk biaya pembantu, dan 60 Dollar untuk panjar. Belum lagi upah seorang Tandil KepalaKoordinator Tionghoa yang jumlahnya lebih besar dari Tandil suku lain. Dalam
setahun mereka diberi upah sebesar 319 Dollar. Tandil Tionghoa ini juga diberi kesempatan
62
Tengku Luckman Sinar, SH. Sejarah Medan Tempo Doeloe, Medan : Perwira,1991 hal. 58
Universitas Sumatera Utara
untuk membuka warung di sekitar areal perkebunan. Warung ini menjual barang kebutuhan sehari-hari dan ditujukan para kuli Tionghoa dapat berhutang di warung tersebut.
Selain perbedaan biaya hidup yang sangat mencolok, pihak kolonial Belanda juga telah menciptakan tembok pemisah di antara kelompok penduduk. Mereka membagi-bagi penduduk
Sumatera Timur ke dalam kelas-kelas sosial berdasarkan warna kulit, suku bangsa, dan juga hukum. Adapun penggolongan berdasarkan kelas-kelas sosial tersebuat adalah :
1. Golongan Eropa Belanda, Inggris, Prancis, dan orang Eropa lainnya.
2. Golongan Indo-Eropa Peranakan Eropa
3. Golongan Timur Asing Cina, Arab, dan India
4. Golongan Pribumi
Akibat penggolongan tersebut terdapat jurang pemisah yang sangat lebar antara penduduk pribumi dengan pihak kolonial dan penduduk pendatang. Pihak pengusaha perkebunan
juga memberikan hak-hak istimewa kepada golongan Tionghoa yang dianggap telah banyak membrikan kontribusi yang sangat besar bagi jalannya produktivitas perkebunan dan bagi
perekonomian Pemerintah Hindia-Belanda. Mereka sengaja dijauhkan dari golongan-golongan lain. Akibatnya, timbul rasa kecemburuan dan prasangka di kalangan penduduk pribumi terhadap
etnis Tionghoa. Pada era pasca-kolonialisme, kecemburuan sosial itu semakin terlihat jelas ketika
sejumlah golongan etnis Tionghoa memberikan kontribusi yang cukup besar terhadap perekonomian Indonesia di awal-awal kemerdekaan. Pada era Orde Lama muncul yang
dinamakan ‘Gerakan Benteng’ untuk memulihkan perekonomian Indonesia. Program ini bertujuan untuk menumbuhkan kelas pengusaha dalam masyarakat Indonesia dengan
Universitas Sumatera Utara
memberikan bantuan kredit kepada sejumlah pengusaha Indonesia. Hasilnya adalah pengusaha pribumi masih kalah bersaing dengan pengusaha non-pribumi karena pengusaha pribumi lebih
cenderung bersifat konsumtif. Pada masa Orde Baru, pemberian hak-hak istimewa kepada etnis Tionghoa masih
diberikan. Hak-hak istimewa itu diberikan dalam bentuk konsesi kepada pengusaha etnis Tionghoa untuk mengelola pengolahan gandum menjadi tepung terigu, pegolahan tepung terigu
menjadi bahan pangan, pengelolaan kekayaan hutan dan lain-lain. Kesuksesan etnis Tionghoa dalam mengelola konsesi dan hak istimewa menjadi pangkal iri hati dan kecemburuan.
63
Akibat kesuksekan etnis Tionghoa ini pulalah muncul anggapan bahwa perekonomian Indonesia
didominasi oleh etnis Tionghoa.Tetapi, pada akhirnya pihak pengusaha Tionghoa menjadi sadar bahwa mereka telah dimanfaatkan oleh pihak penguasa.
64
Selain dalam bidang perekonomian, kesuksesan etnis Tionghoa juga dapat dilihat dalam pola pemukiman yang mereka miliki. Gambaran umum pemukiman masyarakat keturunan
Tionghoa di Indonesia khususnya di Kota Medan berbentuk rumah toko ruko yang menempati tempat-tempat yang sangta strategis. Lokasi pemukiman etnis Cina ini sebagian besar berada di
sepanjang jalan-jalan besar dan perempatan jalan utama serta di pusat pasar.
65
63
Indra Ismawan. Dimensi Krisis Ekonomi : Catatan Kritis,Jakarta : PT.Elex Media Komputindo,1998 hal.49
64
Dr. Yusiu Liu. Op.Cit
65
Eddy Prabowo Witanto.’Mengapa Pemukiman Mereka Dijarah : Kajian Historis Pemukiman Etnis Cina di Indonesia
’ dalam buku Harga Yang Harus Dibayar : Sketsa Pergulatan Etnis Cina Di Indonesia
oleh I.Wibowo ed,Jakarta : PT.Gramedia Pustaka Utama, 2000 hal.196
Sebagian bangunan fisik pemukiman etnis Tionghoa juga berbeda dari pemukiman warga etnis lainnya
dan lebih cenderung membentuk kelompok mereka sendiri sehingga muncul istilah ‘Kawasan Pecinan’ atau ‘Kampung Cina. Masyarakat pribumi kemudian menganggap kawasan ini sebagai
wujud dari karakter orang Tionghoa itu sendiri yang lebih eksklusif dan enggan berbaur dengan
Universitas Sumatera Utara
masyarakat lainnya. Akibatnya, sewaktu kerusuhan Mei1998 itu terjadi sasaran utama aksi massa adalah pemukiman etnis Tionghoa
Pemukiman etnis Tionghoa memang selalu dijadikan sasaran kerusuhan atau amuk massa. Anggapan bahwa perekonomian selalu didominasi oleh etnis Tionghoa adalah salah
satunya. Tetapi ada beberapa faktor penyebab utama yang menjadikan pemukiman etnis Tionghoa dijadikan sasarn kerusuhan. Faktor-faktor tesebut adalah :
1. Hasil kreasi kolonial Belanda yang mengakibatkan retaknya interaksi sosial antara
pemukim Cina dengan masyarakat setempat. 2.
Fisik pemukiman merupakan fakta visual yang mudah kita amati. Kita dapat melihat adanya pola-pola pengelompokan atas dasar etnisitas serta penyebarannya.
66
Faktor-faktor tersebut telah menimbulkan stereotip yang negatif terhadap etnis Tionghoa sehingga timbul kecemburan sosial akibat kesenjangan ekonnomi dan sosial di anatara
penduduk pribumi dan non-pribumi. Diskriminasi sosial pun terjadi terhadap etnis Tionghoa. Diskriminasi sosial itu jugalah yang menyebabkan mereka merasa dikucilkan oleh penduduk
pribumi dan semakin tertutup.
4.3. Faktor Sosial