Teknik Pemeriksaan Tinja untuk Menegakkan Diagnosis Kecacingan

objek kemudian ditutup dengan cover glass dan dilihat dibawah di mikroskop. Pemeriksaan ini dapat dilakukan sampai 2-3 kali Rusmatini, 2009. Metode sedimentasi formol ether ritchie yaitu metode dengan prinsip gaya sentrifugal dapat memisahkan supernatan dan suspensi sehingga parasit dapat terendapkan Chairlan dan Lestari, 2011. Metode ini dilakukan dengan cara 1 gram tinja diemulsikan dengan 7 mL 10 formol saline dan diamkan selama 10 menit untuk fiksasi. Kemudian, disaring dengan kawat kasa, hasil filtrasi ditambahkan ke 3 mL eter dan sentrifusi 200 rpm selama 2 menit. Hasil sentrifusi lalu diamkan, buang bagian supernatan dan sedimen diperiksa Parameshwarappa et al., 2012. Metode sedimentasi kurang efisien dalam mencari macam telur cacing bila dibandingkan dengan metode floatasi Rusmatini, 2009. Teknik harada mori atau metode kultur kertas saring dilakukan dengan cara menempatkan feses segar pada kertas saring yang sudah dibasahi dengan air dan di inkubasi selama 10 hari pada suhu 30 o C. Endapan dari air dipantau tiap hari untuk melihat kehidupan dari larva Requena-Méndez et al., 2013. Keuntungan dari metode ini adalah tidak membutuhkan material organik tambahan, sensitif, sederhana dan ekonomis. Kekurangan dari metode ini adalah kultur harus dipantau secara dekat untuk menghindari desikasi akibat evaporasi Reiss et al., 2007; Shahid et al., 2012. Pemeriksaan kuantitatif terdiri dari metode stoll dan katokatz. Metode stoll menggunakan NaOH 0,1 N sebagai pelarut tinja. Cara ini cocok untuk pemeriksaan infeksi berat dan sedang Rusmatini, 2009. Pemeriksaan ini kurang baik untuk infeksi ringan Rusmatini, 2009. Metode katokatz thick smear direkomendasikan oleh WHO karena metode ini simple dan mudah digunakan Levecke et al., 2011. Metode katokatz sangat sensitif untuk mendeteksi A. lumbricoides Levecke et al., 2011. Sensitivitas dan spesifisitas metode katokatz untuk A. lumbricoides 96,9, 96,1, cacing kait 65,2,93,8 dan T. Trichiura 91,4, 94,4 Tarafder et al., 2010. Rentang waktu dari pengambilan sampel sampai pemeriksaan mikroskopik adalah 24 jam-20 hari dengan rata-rata waktu 4 hari Tarafder et al., 2010. Telur cacing kait akan menghilang jika rentang waktu dari pengambilan sampel dan pemeriksaan terlalu lama 30 menit Levecke et al., 2011. Telur cacing kait akan sulit dibedakan dengan telur Schistosoma jika feses tidak diperiksa selama 4 jam dari pengambilan sampel.

2.4. Alergi

Penyakit alergi seperti asma, rinitis alergi, dermatitis atopik dan alergi makanan merupakan penyakit yang umum dan prevalensi penyakit ini meningkat dalam 30 tahun terakhir Leung, 2011. Penyakit atopik di definisikan sebagai penyakit yang diperantai Ig E yang timbul secara spontan pada orang dengan predisposisi herediter untuk menghasilkan antibodi Ig E berlebihan dan memiliki respon sistem saraf autonom yang abnormal Williams, 2006. Dermatitis atopik adalah penyakit inflamasi dari kulit bersifat kronik, berulang, pruritik dan mengenai 10 anak dan berhubungan dengan peningkatan serum Ig E Yeung, 2011; Thomsen, 2014. Penyakit ini jarang timbul pada anak usia kurang dari 2 bulan , tetapi 60 timbul sebelum usia 1 tahun dan 85 timbul sebelum usia 5 tahun. Dermatitis atopik lebih sering terjadi pada laki-laki daripada perempuan dengan rasio 3:2 Williams, 2006. Interaksi antara genetik, lingkungan dan faktor imunologi berperan terhadap patogenesis dermatitis atopik. Dermatitis atopik DA cenderung diturunkan dan lebih dari seperempat anak dari seorang ibu penderita atopi akan mengalami DA pada masa kehidupan tiga bulan pertama Sularsito dan Djuanda, 2013. Kromosom yang berpengaruh adalah kromosom 5q31-33 yang mengandung kumpulan famili gen sitokin seperti IL-3, IL-4, IL-5, IL- 13 dan GM-CSF yang diekspresikan oleh sel Th2. Ekspresi gen IL-4 memainkan peranan penting dalam ekspresi DA Yeung, 2011; Sularsito dan Djuanda, 2013. Pada kulit penderita dengan dermatitis atopik terjadi peningakatan T-helper 2 Th2 dibandingkan dengan kulit penderita tanpa dermatitis atopik. Pada lesi kulit dermatitis atopik akut terdapat peningkatan interleukin IL-4 dan IL-13 sitokin Th2, sedangkan pada lesi dermatitis atopik kronik terdapat peningkatan ekspresi IL-5 sitokin Th2, granulocyte-macrophage colony- stimulating factor GM-CSF, IL-12 dan interferon IFN- sitokin Th-1. Lesi dermatitis atopik kronik juga terdapat infiltrasi eosinofil yang lebih besar dibandingkan dengan penderita tanpa dermatitis atopik Yeung, 2011; Sularsito dan Djuanda, 2013; Schwartz, 2015. Hygiene hypotesis juga berperan dalam pembentukan dermatitis atopik. Hubungan yang berkebalikan didapatkan diantara infeksi helminth dan dermatitis atopik Schwartz, 2015. Lesi dermatitis atopik pada anak usia 2 sampai 10 tahun lebih kering, tidak begitu eksudatif, lebih banyak papul, likenifikasi dan sedikit skuama. Letak kelainan kulit dilipat siku, lipat lutut, pergelangan tangan bagian fleksor, kelopak mata, leher dan jarang dimuka. Rasa gatal menyebabkan penderita sering menggaruk dan dapat terjadi erosi, likenifikasi dan infeksi sekunder. Penderita sensitif terhadap wol, bulu kucing, ayam, anjing dan burung Sularsito dan Djuanda, 2013. Rinitis alergi adalah penyakit inflamasi yang disebabkan oleh reaksi alergi pada pasien atopi yang sebelumnya sudah tersensitasi dengan alergen yang sama serta dilepaskannya suatu mediator kimia ketika terjadi paparan ulangan dengan alergen spesifik tersebut Irawati et al., 2012. Rinitis alergi biasanya terjadi pada anak-anak dan disebabkan oleh reaksi yang dimediasi IgE terhadap berbagai macam alergen di mukosa hidung. Sensitisasi terhadap alergen diluar ruangan dapat terjadi rhinitis alergi pada anak yang berumur lebih dari dua tahun. Sensitasi terhadap di dalam ruangan sering terjadi pada anak yang berumur kurang dari dua tahun. Alergen yang paling sering adalah debu, kecoa, jamur, bulu binatang dan pollen Becker, 2015. Rinitis alergi merupakan suatu penyakit inflamasi yang diawali dengan tahap sensitasi dan diikuti tahap provokasi atau reaksi alergi. Reaksi alergi terdiri dari dua fase yaitu reaksi alergi fase cepat kontak alergen-1 jam setelah kontak dan reaksi alergi fase lambat yang berlangsung 2-4 jam dengan puncak 6-8 jam fase hiperreaktivitas setelah pemaparan dan dapat berlangsung sampai 24-48 jam Irawati et al., 2012. Jembatan molekul IgE dan alergen pada permukaan sel mast menginisiasi respon awal yang ditandai dengan degranulasi sel mast dan pelepasan mediator inflamasi seperti histamin, prostaglandin E2 dan leukotrien sistenil. Tempat inflamasi di mukosa nasal yaitu kelenjar mukus, saraf, pembuluh darah dan sinus venosus Milgrom dan Leung, 2011. Histamin akan merangsang reseptor H1 pada ujung saraf vidianus sehingga menimbulkan rasa gatal pada hidung dan bersin-bersin. Histamin juga meningkatkan sekresi hipersekresi dari kelenjar mukosa dan sel goblet sehingga terjadi rinore Irawati et al., 2012. Reaksi alergi fase lambat diikuti oleh infiltrasi cytokine-secreting dari sel T dan eosinofil dengan sekresi eosinofil-derived-mediator protein dasar utama, eosinofil, protein kationik dan leukotrien yang menyebabkan kerusakan epitel Milgrom dan Leung, 2011. Asma adalah kondisi inflamasi kronik, hiperresponsif, perubahan struktural kronik airway remodelling dari jalan nafas menyebabkan obstruksi jalur udara Liu et al., 2011; Papadopoulos et al., 2012. Penyebab utama dari inflamasi jalan nafas adalah alergen debu, polen, hewan, udara dingin, stress, polusi, asap rokok , latihan, perubahan emosi tiba-tiba dan infeksi

Dokumen yang terkait

Hubungan Antara Higiene dengan Infeksi Cacing Soil Transmitted Helminths pada Siswa-siswi SD Negeri No. 101837 Suka Makmur, Kecamatan Sibolangit, Kabupaten Deli Serdang Tahun 2011

0 38 78

Hubungan Infeksi Soil Transmitted Helminths dengan Kejadian Underweight pada Sekolah Dasar Negeri 067244 Kecamatan Medan Selayang Tahun 2011

0 39 62

HUBUNGAN PENGETAHUAN TENTANG KECACINGAN DAN JENJANG KELAS DENGAN KEJADIAN KECACINGAN SOIL TRANSMITTED HELMINTH (STH) PADA SISWA KELAS 4, 5, DAN 6 SD NEGERI 1 PINANG JAYA BANDAR LAMPUNG

4 40 53

HUBUNGAN PENCEMARAN TANAH OLEH TELUR SOIL TRANSMITTED HELMINTH (STH) DENGAN KEJADIAN KECACINGAN PADA ANAK SEKOLAH DASAR NEGERI (SDN) 01 KRAWANGSARI NATAR

4 24 68

HUBUNGAN FAKTOR SOSIO-EKONOMI DAN TINGKAT PENGETAHUAN ORANG TUA DENGAN KEJADIAN INFEKSI SOIL TRANSMITTED HELMINTH (STH) PADA SISWA SDN 1 KRAWANGSARI NATAR DAN PEMETAAN TEMPAT TINGGAL SISWA TERINFEKSI STH

1 9 63

HUBUNGAN INFEKSI SOIL TRANSMITTED HELMINTH (STH) DENGAN PERTUMBUHAN DAN STATUS ANEMIA ANAK SEKOLAH DASAR NEGERI (SDN) DI KECAMATAN KELUMBAYAN KABUPATEN TANGGAMUS

1 16 87

Faktor Risiko Kejadian Infeksi Soil Transmitted Helmints Pada Anak SD Di Desa Taman, Kecamatan Abiansemal Tahun 2016.

2 8 43

HUBUNGAN ANTARA INFEKSI SOIL TRANSMITTED HELMINTHS (STH) DENGAN KADAR EOSINOFIL DARAH TEPI PADA SISWA SD BARENGAN DI KECAMATAN TERAS BOYOLALI.

0 0 12

DERAJAD EOSINOFILIA PADA PENDERITA INFEKSI SOIL-TRANSMITTED HELMINTH (STH)

0 0 8

Hubungan Suku Dengan Pola Hidup Sehat dan Infeksi Soil-Transmitted Helminth pada Anak Usia Sekolah Dasar di Medan Labuhan

0 2 15