34
4. METODE PENELITIAN 4.1 Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian dilakukan di daerah perkebunan teh milik PTPN VIII Ciater Subang dan hutan sekunder, dengan ketinggian 950-1200 m dpl, pada koordinat
6 11’-6
49’LS dan 107 31’ -107
54’ BT Lampiran 1. Perkebunan teh di bagian Afdeling
III terdiri atas beberapa blok kebun yang tidak dikelola secara intensif sehingga menjadi semak belukar. Kebun teh di blok Manggu, Legok haur, Sadim
dan Salam dibiarkan menjadi semak belukar ≥ 5 tahun KT
5
dengan luas lahan ± 45 ha Lampiran 3. Pada blok Legok monyet dan Manggar dibiarkan menjadi
semak belukar ≥ 10 tahun KT
10
dengan luas lahan ± 35 ha. Hutan sekunder pada lokasi penelitian adalah blok Kaletes yang banyak ditanami pohon
Eucalyptus deglupta, dengan luas lahan ± 200 ha milik Perum Perhutani. Lokasi
hutan sekunder tersebut berbatasan langsung sebelah timur dengan KT
5
, dan sebelah barat dengan KT
10
. Penelitian daya kecambah biji dari feses burung dilakukan di Laboratorium Fisiologi Tumbuhan Jurusan Biologi Universitas
Padjadjaran, dan analisis kandungan nutrisi buah yang dimakan burung dilakukan di Laboratorium Kimia Bahan Alam Jurusan Kimia Universitas Padjadjaran.
Penelitian lapangan dilakukan pada bulan April – Desember 2005, uji daya kecambah dan kandungan nutrisi buah dilakukan pada bulan Januari-Mei 2006.
4.2 Alat dan Bahan Penelitian
Alat-alat yang digunakan untuk pengambilan data lapangan adalah teropong binokuler merk Nikon Action 8x40, 8,2
egret, teropong monokuler merk Bushnell zoom 16-36x, kamera Panasonic lumix FD50, zoom 35-300x
dengan memori SD 1GB; hand tally counter Kw, jala kabut berwarna hitam, terbuat dari benang nilon, panjang 12 m, lebar 2,6 m, mata jala berukuran mesh 30
mm, 4 buah kantung, kaliper digital Shinwa rules model 19970, 0,01-100 mm, dan Mitutoyo model CD-15GS, serial 0023016, 0,01-150 mm; timbangan digital
Custom cs- dengan ketelitian 0,1 gr; stopwatch merk casio HS-3; mistar stainless hardened 40cm; GPS Garmin etrex; Tripod velbord 680; kantong kain ukuran 20
x 30cm; kaca pembesar 90 mm, mikroskop stereo, saringan dengan ukuran lubang 1 x 1 mm; buku panduan lapangan burung-burung di Sumatera, Jawa, Bali dan
35
Kalimantan dari MacKinnon et al.2000, buku catatan lapangan, dan peta
lapangan. Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah aquades, alkohol
teknis, formalin 40, kertas saring, kertas koran. Sedangkan objek penelitian adalah burung pemakan buah yang terdapat di lokasi penelitian, tumbuhan buah
dan feses burung pemakan buah.
4.3 Metode Pengumpulan Data 4.3.1 Diagram Metoda Penelitian
Alur metoda penelitian yang dilakukan untuk mengumpulkan data sehingga dapat menjelaskan secara komprehensif peranan burung pemakan buah
membantu penyebaran biji dan suksesi tumbuhan terlihat pada Gambar 4.
Gambar 4. Diagram alir metoda penelitian
KT
5
:kebun teh yang di biarkan menjadi semak belukar ≥5 tahun, KT
10
:kebun teh yang di biarkan menjadi semak belukar
≥10 tahun, HS:hutan sekunder
36
4.3.2 Analisis Vegetasi
Untuk mengetahui kondisi tipe vegetasi dilakukan pengukuran data kuantitatif analisis vegetasi dengan metode kuadrat Gambar 5, yaitu menghitung
spesies tumbuhan yang ada pada unit contoh, kelimpahan, distribusi, kerapatan dan indeks nilai penting INP. Pencuplikan data analisis vegetasi dilakukan
dengan plot ukuran 1 x 1 untuk tumbuhan herba, 4 x 4 untuk tumbuhan semak dan 10 x 10 untuk tumbuhan pohon Mueller-Dombois Ellenberg 1974. Jumlah
unit contoh tiap tipe vegetasi adalah 10 petak
Gambar 5. Unit contoh yang digunakan untuk mengetahui struktur dan komposisi vegetasi
A: unit contoh pengamatan tumbuhan tingkat semai dengan ukuran petak 1 x 1m, B: unit contoh pengamatan tumbuhan tingkat semak dengan ukuran petak 4 x 4 m, C: unit contoh pengamatan
tumbuhan tingkat pohon dbh ≥ 20 cm dengan ukuran petak 10 x 10 m
Pengukuran data kualitatif kondisi vegetasi dilakukan dengan metoda diagram profil baik secara vertikal dan horizontal Mueller-Dombois dan
Ellenberg, 1974, dengan ukuran unit contoh 10 x 20 m pada setiap tipe vegetasi. Gambar diagram profil menggunakan skala 1:200 pada setiap tipe vegetasi.
Pencatatan stratifikasi pohon di lokasi penelitian dibagi menjadi 4 strata, yaitu: strata I dengan ketinggian vegetasi 0-5 meter; strata II 5-10 m; strata III 10-20
m; dan strata IV dengan ketinggian vegetasi lebih dari 20 meter. Langkah kerja penggambaran diagram profil yaitu:
1. Menyiapkan kertas milimiter blok dan alat tulis untuk menggambarkan
struktur vertikal dan horizontal. 2.
Mencatat koordinat pohon dalam plot dan digambarkan pada kertas milimiter blok, pengukuran digunakan meteran Gambar 6.
C B
A
4 m 10 m
1m
37
Gambar 6. Penggambaran koordinat pohon 3.
Mengukur diameter setinggi dada dbh untuk pohon dengan diameter lebih dari 20 cm, dilakukan setinggi dada dan di atas akar papan untuk
pohon yang berakar papan Gambar 7.
Gambar 7. Pengukuran diameter pohon setinggi dada 4.
Mengukur tinggi pohon, dan letak percabangan pertama tumbuhan menggunakan Clinometer.
5. Mengukur luas penutupan tajuk, dengan memproyeksikan sisi terluar tajuk
secara vertikal. Pengukuran dilakukan dengan mengukur sisi terluar pada empat arah mata angin dari suatu pohon yang saling tegak lurus pada
pangkal pohon dan langsung digambarkan pada kertas grafik sebagai gambar horizontal.
6. Menggambar stratifikasi dan penutupan tajuk pohon serta karakteristik
tumbuhan penyusunnya pada kertas milimeter block dengan menggunakan skala 1:200.
38
4.3.2 Komunitas Burung 4.3.2.1 Keanekaan Burung
A. Metoda Sigi
Untuk mengetahui keanekaan spesies burung di lokasi penelitian dilakukan inventarisasi dengan metoda sigi, yaitu menjelajahi seluruh lokasi
pengamatan melalui jalan setapak yang sudah tersedia. Spesies burung yang terlihat langsung pada saat pengamatan, diidentifikasi nama spesiesnya.
Identifikasi dilakukan dengan cara melihat langsung burung dengan bantuan teropong, kemudian karakteristik morfologi burung seperti pola warna, bentuk
paruh, bentuk ekor dan bentuk tubuh dibandingkan dengan karakteristik morfologi burung yang terdapat pada buku panduan lapangan burung-burung di Sumatera,
Jawa, Bali dan Kalimantan MacKinnon et al. 2000. Selain itu spesies burung yang terdengar suaranya berada di lokasi pengamatan dicatat nama spesies,
familia dan lokasi ditemukan. Waktu pengamatan dilakukan pada pagi hari 5.30- 10.30 dan sore hari 14.30-18.00 dengan interval dua bulan sekali.
B. Metoda Penangkapan
Disamping mengunakan metoda sigi, untuk melengkapi inventarisasi spesies burung dilakukan juga pemasangan jala kabut, terutama untuk spesies burung
yang sangat sensitif terhadap kehadiran manusia. Burung yang tertangkap dengan mengunakan jala kabut, kemudian diidentifikasi dengan menggunakan buku
panduan lapangan burung-burung di Sumatera, Jawa, Bali dan Kalimantan MacKinnon et al. 2000 dan buku panduan lapangan burung Asia Tenggara
King et al. 1992. Lama waktu pengamatan 9 bulan.
4.3.2.2 Kelimpahan dan Distribusi Burung
Pencuplikan data kelimpahan dan distribusi burung dilakukan dengan menggunakan metoda titik hitung Bibby et al. 1992, 2000; Adhikerana 1997;
Hostetler Main 2001. Metoda ini cocok digunakan di hutan hujan tropis dan hutan pinggir sungai seperti di Kawasan Panaruban, Kabupaten Subang.
Pencuplikan data kelimpahan dan distribusi burung dilakukan 3 kali setiap bulan selama 3 bulan. Waktu pencuplikan dilakukan pada pagi hari 5.30-10.30 dan
sore hari 14.30-18.00, karena kedua waktu tersebut aktivitas pergerakan burung
39
lebih tinggi, sehingga mudah untuk mendeteksi kehadiran burung di tempat tersebut.
Radius titik hitung untuk setiap titik pengamatan ditentukan berdasarkan tipe habitat yang dicuplik, yaitu kerapatan struktur vegetasi dan kemampuan
pengamat dalam mengidentifikasi spesies burung. Radius titik hitung untuk vegetasi KT
5
, KT
10
serta hutan sekunder adalah 25,2 m untuk memperoleh sampel wilayah berukuran 0,2 hatitik hitung. Jumlah titik hitung tidak sama pada setiap
tipe vegetasi, yaitu di vegetasi KT
5
dan KT
10
adalah masing-masing 15 titik hitung, sedangkan di hutan sekunder adalah 20 titik hitung. Banyaknya titik
hitung tersebut disesuaikan dengan luas lokasi pengamatan yang dicuplik. Lamanya waktu pengamatan di setiap titik hitung adalah 10 menit Bibby et al.
2000, ditambah waktu istirahat tidak melalukan pengamatan selama 2 menit pertama. Waktu istirahat dimaksudkan agar burung di daerah titik pengamatan
dapat menyesuaikan diri dengan kehadiran pengamat dan memberikan kesempatan untuk mencatat gambaran umum daerah sekitar pengamatan serta
mengukur koordinat titik hitung. Jarak antar titik hitung adalah ≥ 150 m. Hal ini
dimaksudkan agar burung yang sudah tercatat di titik hitung sebelumnya, tidak tercatat kembali di titik hitung berikutnya, terutama untuk burung-burung yang
mempunyai mobilitas tinggi dan jangkauan terbang jauh. Nama spesies dan jumlah individu setiap burung yang terlihat maupun
terdengar suaranya dicatat di masing-masing titik hitung pada periode waktu 10 menit pengamatan. Spesies burung yang dicatat hanya yang aktif menggunakan
daerah pengamatan, sedangkan burung yang terbang melintas dicatat untuk inventarisasi, tetapi tidak dimasukan dalam pengolahan data kelimpahan dan
distribusi.
4.3.3 Karakteristik Morfologi Burung Pemakan Buah 4.3.3.1 Morfologi Eksternal Burung Pemakan Buah
Pengamatan terhadap karakteristik burung yang tertangkap jala kabut dimaksudkan untuk mengetahui karakteristik morfologi eksternal burung. Burung
yang dikategorikan sebagai pemakan buah, selain diukur karakteristik morfologi eksternal juga karakteristik morfologi sistem pencernaan Corlett 1996; Jordano
1986. Tahapan yang dilakukan sebagai berikut: penangkapan, pengukuran
40
morfometrik eksternal, penandaan dan pelepasan kembali Corlett 1998a, sedangkan 5 individu dari spesies burung pemakan buah yang ditangkap dibedah
untuk mengetahui karakteristik morfometrik sistem pencernaannya.
A. Penangkapan Burung
Pemasangan jala kabut dilakukan untuk menangkap sampel burung di setiap tipe vegetasi KT
5
, KT
10
dan hutan sekunder adalah 3 hari per bulan, selama 9 bulan. Jala kabut yang digunakan pada 3 bulan pertama 4 buah dan 5
bulan berikutnya 9 buah. Jala kabut yang digunakan memiliki spesifikasi sebagai berikut: berwarna hitam, terbuat dari benang nilon, panjang 12 m, lebar 2,6 m,
mata jala berukuran mesh 30 mm, memiliki 4 buah kantung Schemnitz 1980. Beberapa pertimbangan memasang jala kabut ditentukan sebagai berikut:
1 Jala kabut dipasang secara terpencar atau berantai satu sama lainnya
dengan bantuan tiang alumunium untuk menghubungkannya. Cara pemasangan tersebut disesuaikan dengan ruang yang tersedia Gambar 8.
2 Jala kabut yang dipasang tidak terlalu longgar atau terlalu tegang.
3 Lipatan kantung jala kabut tidak tumpang tindih dan tidak terlalu dekat ke
tanah, sehingga burung yang tertangkap tidak rusak bulunya atau mati. 4
Jala kabut dipasang menyentuh lantai hutan atau kebun teh pada stratum bawah sampai ketinggian jala kabut 2,6 m dari permukaan tanah.
5 Pemasangan jala kabut di stratum tajuk semak dipasang di jembatan tajuk,
ketinggian jala disesuaikan dengan tingginya tajuk tumbuhan semak, bila tinggi tajuk tumbuhan semak 4 m, maka tinggi jala kabut maksimum 6 m
dari permukaan tanah. 6
Jala kabut dipasang selama 12 jam setiap harinya mulai 5.30 sampai 17.30. Hal ini dilakukan untuk memfokuskan pada spesies burung diurnal, dan
menghindari tertangkapnya kelelawar pada malam hari. 7
Pemeriksaan jala kabut dilakukan interval 1 jam untuk mengambil burung yang tertangkap.
8 Jala kabut digulung jika kondisi cuaca tidak memungkinkan seperti angin
kencang dan hujan lebat Gambar 8c. 9
Posisi pemasang jala kabut ditentukan berdasarkan jalur terbang burung yang akan ditangkap, dan penyamaran jala kabut dilakukan dengan
41
memasangnya pada posisi yang searah dengan pancaran sinar matahari sehingga keberadaannya terlihat mencolok.
10 Tinggi pemasangan jala kabut disesuaikan dengan kebiasaan burung
melintas di lokasi yang di pasang. 11
Pemasangan jala kabut dilakukan di dekat tumbuhan yang sedang berbuah, dan disesuaikan dengan jalur terbang burung datang ke pohon atau pergi
dari pohon. 12
Pemasangan jala kabut dilakukan di sekitar jalan setapak dipasang secara berseri tegak lurus terhadap jalur terbang burung, atau sejajar dengan jalan
setapak.
B. Penanganan Burung yang Tertangkap
Burung-burung yang tertangkap jala kabut ditangani secara hati-hati agar tidak mengalami luka atau stress. Beberapa tahap penanganan burung yang
tertangkap, yaitu:
a Cara Mengeluarkan Burung dalam Jala Kabut
Burung-burung yang tertangkap jala kabut pada saat mengambilnya harus dari arah burung masuk ke jala. Burung yang terjaring sebelum dilepaskan
terlebih dahulu harus dipegang dengan tangan kiri, lalu kakinya dilepaskan dari jala, kemudian bagian sayap dan kepalanya.
42
a
b
c Gambar 8. Pemasangan jala kabut
a:jala kabut yang dipasang di sekitar pohon yang sedang berbuah, b:dipasang secara seri, c:digulung
b Cara Memegang Burung
Burung dikeluarkan dari jala kabut, kemudian dimasukan ke dalam kantung kain. Pada saat burung dipegang, dilakukan penanganan yang baik
p O
H O
N p
O H
O N
p O
H O
N
JALA KABUT
JALA KABUT
43
yaitu dengan cara menjepit kepala di bagian lehernya diantara jari telunjuk dan jari tengah secara lembut. Bagian tibio-fibula dijepit diantara jari manis
dan kelingking, sedangkan sayap burung bagian kanan dijepit oleh ibu jari Gambar 9. Penanganan burung dilakukan dengan cara dipegang tidak terlalu
keras supaya tidak cidera, ataupun tidak terlalu longgar supaya burung tidak meronta-ronta atau bahkan lepas.
Gambar 9. Cara memegang burung
c Cara Pengukuran Morfologi Burung
Pengukuran morfologi burung dilakukan untuk mengetahui perbandingan kuantitatif morfologi burung khususnya burung pemakan buah yang dapat
digunakan sebagai dasar pengelompokan taksonomi. Adapun bagian-bagian morfologi burung yang diukur sebagai berikut:
1 Panjang sayap diukur dari ujung lengkung sayap pada karpal sampai ujung
bulu sayap primer terpanjang. 2
Rentang sayap diukur dari ujung bulu sayap primer terpanjang kiri sampai ujung bulu sayap primer terpanjang kanan.
3 Panjang ekor diukur dari insersi pada rectrices bagian tengah sampai
ujung distal. 4
Panjang tarsus diukur mulai dari tarso-metatarsial sampai ke ujung tarsus.
44
5 Panjang paruh diukur dari ujung paruh sampai tepi distal dari lubang
hidung. 6
Panjang kepala diukur dari ujung paruh sampai kepala bagian belakang. 7
Panjang total tubuh burung diukur dari ujung paruh sampai ujung ekor ketika burung diletakan terlentang.
8 Berat badan diukur dengan menggunakan timbangan.
9 Lebar bukaan paruh diukur mulai dari commissure sisi kiri sampai sisi
kanan. 10
Tinggi bukaan paruh diukur mulai ujung atas titik commissure paruh atas sampai ujung bawah titik commissure paruh bawah.
11 Jenis kelamin diidentifikasi menggunakan karakter morfologi yang
ditunjukkan oleh masing-masing jenis, kategorinya ialah jantan atau betina jika memungkinkan.
12 Tingkat usia diidentifikasi dengan mengamati pertumbuhan bulu di bagian
belakang kepala dan warna iris matanya, atau warna bulu pada burung yang dimorfis, kategorinya yaitu dewasa dan muda “juvenil” jika
memungkinkan.
a b
c d
Gambar 10. Cara mengukur morfologi burung
a:pengukuran panjang tarsus, b:pengukuran panjang paruh, c:pengukuran panjang kepala, d:pengkuran panjang rentang sayap
45
C.
Cara Penandaan
Setelah dilakukan pengukuran morfometrik, burung yang tertangkap diberi tanda dengan memasang cincin plastik berwarna di tarsus kanan. Cincin
dimasukan ke dalam lubang tang, kemudian dimasukan ke dalam tarsus sebelah kanan, lalu ditekan cincin ke bawah sehingga menutupi tarsus burung. Jika terjadi
kesalahan pemasangan cincin, maka cincin tersebut dibuka kembali dengan menggunakan tang pembuka dan kemudian dipasang cincin yang benar.
D. Cara Pelepasan Burung
Pelepasan burung yang tertangkap segera dilakukan setelah proses pengukuran morfometrik dan pemasangan cincin selesai. Tempat pelepasan
dilakukan di tempat jauh dari posisi jala kabut dipasang. Pelepasan burung dilakukan dengan meletakkan di atas tanah dan searah dengan arah angin untuk
memudahkan burung tersebut terbang. Burung tidak dipaksa untuk segara terbang, tetapi dibiarkan beberapa saat. Burung yang belum bisa terbang pada saat
dilepaskan, dimasukkan kembali ke kantong dan dilepaskan pada beberapa jam berikutnya.
4.3.3.2 Morfologi Sistem Pencernaan Burung Pemakan Buah
Beberapa individu burung pemakan buah yang tertangkap jala kabut setelah diidentifikasi nama spesiesnya, dan diukur karakteristik morfologi
eksternalnya. Burung pemakan buah yang diketahui dalam fesesnya banyak mengandung biji diukur karakteristik morfologi sistem pencernaannya, yaitu pada
burung Dicaeum trigonostigma, Pycnonotus aurigaster, P. bimaculatus, P. goiavier
dan Zosterops palpebrosus. Dari tiap spesies burung pemakan buah tersebut diambil sebanyak 5 sampel. Burung-burung yang dijadikan sampel
diambil dari hasil penangkapan dengan jala kabut, khususnya burung yang mengalami cidera karena meronta-ronta terjaring jala kabut. Hal ini dimaksudkan
untuk mengurangi penurunan populasi burung akibat kesalahan pengamat. Sampel spesies burung tersebut dibedah dan diukur karakter morfologi sistem
pencernaannya di basecamp Jordano 1986.
46
Gambar 11. Sketsa sistem saluran pencernaan burung pemakan buah
a:panjang saluran tenggorokan sampai dengan proventikulus, b:panjang saluran usus, c:panjang ventrikulus, d:lebar ventrikulus
Bagian-bagian yang diukur meliputi panjang saluran pencernaan dari tenggorokan sampai proventikulus, dan panjang usus, panjang dan tebal
ventrikulus, serta berat basah ventrikulus setelah makanan dikeluarkan. Sampel burung yang telah diambil bagian sistem pencernaannya dibuat spesimen dan
disimpan di Laboratorium Taksonomi Hewan Jurusan Biologi FMIPA Unpad.
4.3.4 Ketersediaan Buah Pakan 4.3.4.1 Fenologi Tumbuhan Buah
Spesies tumbuhan buah yang ditemukan di lokasi pengamatan, serta buahnya berpotensi sebagai makanan burung sebanyak 26 spesies Lampiran 9.
Beberapa spesies tumbuhan tersebut mempunyai ukuran diameter buah proporsional dengan besar bukaan paruh burung pemakan buah. Berdasarkan
informasi penduduk, dan literatur sebanyak 18 spesies, buah tumbuhan tersebut dimakan burung, sedangkan berdasarkan hasil pengamatan hanya ditemukan 7
spesies tumbuhan yang buahnya dimakan burung pemakan buah serta biji-bijinya
ada dalam feses burung yang tertangkap jala kabut Lampiran 10.
Oleh karena itu, pengamatan fenologi tumbuhan buah dilakukan hanya pada 7 spesies tumbuhan dengan masing-masing spesies 4 individu. Spesies
tumbuhan tersebut adalah 1. Arben Rubus chrysophyllus, 2. Bungbrum Poligonum chinensis, 3. Cecerenean Breynia microphylla. 4. Harendong
beureum Melastoma affine, 5. Harendong bulu Clidemia hirta, 6. Kipapatong Sambucus javanicus dan 7. Saliara Lantana camara. Lamanya perkembangan
47
bunga dicatat dari mulai muncul kuncup bakal bunga sampai mekar dan kelopak bunga mahkota bunga rontok, sedangkan lama perkembangan buah dimulai
setelah kelopak bunga rontok sampai buah matang dan siap dimakan burung. Jumlah sampel ditentukan 12 individu tumbuhan tiap spesies tumbuhan buah
pakan burung, dengan masing-masing 4 individu di tiap tipe vegetasinya. Pengamatan perkembangan bunga dan buah dilakukan selama 3 bulan dengan
interval waktu pengamatan satu minggu.
4.3.4.2 Kelimpahan Buah Pakan
Pengamatan kelimpahan buah matang dilakukan dengan metoda estimasi ekstrapolasi Partasasmita 1998. Pengambilan data dilakukan setiap minggu
selama musim berbuah dari tumbuhan pakan burung. Penentuan spesies tumbuhan pakan burung berdasarkan pengamatan langsung bahwa buah dari tumbuhan
tersebut dimakan oleh burung pemakan buah, hasil analisis kandungan saluran pencernaan dan feses, serta informasi dari literatur dan penduduk lokal.
Pencuplikan data kelimpahan buah matang pada tumbuhan dilakukan estimasi jika pematangan buah secara serempak. Buah-buahan yang bersatu
membentuk tandan dihitung rata-rata jumlah buah per tandan. Sampel buah 50 tandan dihitung jumlah seluruh buahnya, lalu jumlah total buah tersebut di bagi
50, sehingga diperoleh rata-rata jumlah buah per tandan. Misal jumlah tandan 50 N, jumlah total seluruh buah dari 50 tandan adalah 950 n buah. Jadi rata-rata
jumlah buahtandan adalah nN atau 95050 = 19 buahtandan. Nilai rata-rata tersebut dijadikan acuan untuk menghitung jumlah buah pada kanopi, yaitu
dengan cara menghitung jumlah tandan dalam kanopi, kemudian dikali nilai rata- rata buah per tandan.
Buah-buah matang yang tidak berkelompok dalam tandan, melainkan menyebar tiap tangkai satu buah, pencacahan buah matangnya dilakukan dengan
menghitung seluruh buah matang yang berada pada tumbuhan tersebut. Perhitungan buah matang pada tumbuhan semak dan herba dilakukan dengan
mencacah seluruh buah pada kanopi tumbuhan tersebut. Pencuplikan
kelimpahan buah
matang dilakukan pada tiap spesies tumbuhan buah pakan burung di 10 unit contoh analisis vegetasi di tiap tipe
48
vegetasi. Data tersebut bertujuan untuk menghitung kelimpahan buah pakan burung masing-masing spesies tumbuhan pakan di lokasi penelitian.
4.3.4.3 Karakteristik Buah Pakan
Pengamatan terhadap karakteristik buah pakan burung meliputi penampakan buah berdasarkan warna buah matang, bentuk, diameter, berat basah
buah, berat kering udara dari biji, dan jumlah biji dalam buah Jordano 1983; Herrera 1988; Fukui 2003. Pengukuran diameter buah dan biji dilakukan dengan
menggunakan kaliper digital ketelitian 0,1 mm. Pengukuran berat basah buah dilakukan di lapangan setelah buah dipetik, lalu ditimbang dengan timbangan
digital ketelitian 0,1 gr. Jumlah biji per buah dihitung dengan cara mengelupaskan daging buah, kemudian jumlah biji yang terdapat didalamnya dihitung. Berat biji
kering udara ditimbang dengan timbangan digital ketelitian 0,1 gr Jordano 1995. Pencuplikan data karakteristik buah pakan burung dilakukan pada 7
spesies tumbuhan. Jumlah sampel buah tiap spesies tumbuhan pakan dicuplik 50 butir, dari 10 individu tumbuhan di tempat yang berbeda dari tiap tipe vegetasi.
Hal ini bertujuan untuk mengurangi bias data yang diperoleh dari variasi karakteristik buah secara individu tumbuhan.
Analisis kandungan nutrisi buah dilakukan terhadap buah segar dari 7 spesies tumbuhan buah pakan burung yang meliputi kandungan air dan protein
Kjeldahl, total lemak Soxhlet, dan karbohidrat Herrera 1987; Corlett 1998a. Tata kerja analisis kandungan nutrisi seperti tercantum pada Lampiran 4, 5 dan 6.
Pencuplikan data kandungan nutrisi buah pakan burung dilakukan masing-masing 3 ulangan pada tiap spesies buah pakan.
4.3.5 Perilaku Makan Burung Pemakan Buah 4.3.5.1 Perilaku Makan Harian
Pengamatan perilaku makan harian burung pemakan buah dilakukan pada burung Pycnonotus aurigaster dan Pycnonotus goiavier. Kedua spesies tersebut
dipilih berdasarkan hasil pengamatan lapangan bahwa spesies burung tadi terbukti sebagai pemakan buah dan penyebar biji. Hal ini terjadi karena pada feses
individu-indvidu yang tertangkap jala kabut banyak ditemukan biji. Sedangkan spesies burung pemakan buah lainnya berdasarkan literatur, pengamatan langsung
49
burung terlihat memakan buah dan keberadaan biji tumbuhan di dalam feses burung yang tertangkap tidak dijadikan objek pengamatan perilaku makan. Hal ini
karena spesies burung pemakan buah selain Pycnonotus aurigaster dan Pycnonotus goiavier
sangat sulit diamati karena sangat sensitif terhadap kehadiran pengamat seperti Pycnonotus bimaculatus. Selain itu beberapa yang lainnya
memiliki mobilitas yang sangat tinggi sehingga sangat sulit diikuti seperti Zosterops palpebrosus
dan Dicaeum spp. Pengamatan perilaku makan dilakukan dengan metode ad-libitum
Altmann 1974. Pencuplikan data perilaku makan harian dilakukan pada burung yang melakukan aktivitas makan di tumbuhan buah yang dijadikan tempat makan.
Kelompok burung pemakan buah yang baru datang ke tempat makan diamati, dipilih salah satu individu dari kelompok tersebut yang tampak jelas. Kemudian,
seluruh aktivitas harian dan aktivitas yang berhubungan dengan perilaku makan di catat mulai melakukan pencarian pakan sampai selesai makan. Pengamatan
penanganan buah dilakukan dengan cara menghitung lamanya waktu burung menangani buah sebelum ditelan. Pengamatan tersebut dilakukan sebanyak 25
kali ulangan pada tiap spesies tumbuhan pakan. Apabila individu burung tersebut pindah tempat dan sulit ditemukan, maka pencatatan aktivitas harian dilanjutkan
pada individu lain dari kelompok tersebut. Hal ini diasumsikan bahwa individu- individu pada spesies yang sama relatif melakukan aktivitas harian yang sama
pada waktu yang sama. Pengamatan aktivitas makan harian dilakukan pada pagi hari 6.00-10.00, dan sore hari 14.00-17.00. Pencuplikan data dilaksanakan
sebanyak 12 hari setiap bulan sekali selama 3 bulan.
4.3.5.2 Strategi Mencari Makan
Pengamatan perilaku makan burung pemakan buah Pycnonotus aurigaster
dan Pycnonotus goiavier dilakukan dengan metoda focal tree spesies di tumbuhan buah yang dijadikan tempat makan seperti yang dilakukan oleh
Wheelwright 1991. Pengamatan ini difokuskan pada rangkaian perilaku makan burung pemakan buah di tumbuhan buah yang dijadikan tempat makan.
Pengamatan dimulai dari kelompok burung datang ke tumbuhan buah pakan, kemudian dipilih individu dari kelompok tersebut yang tampak jelas bertengger di
tumbuhan pakan. Data yang dicatat yaitu: jumlah tumbuhan pakan yang
50
dikunjungi, lamanya tinggal di satu tumbuhan pakan, jumlah buah yang dimakan dalam waktu tertentu, dan lama waktu makan pada setiap kunjungan ke satu
tumbuhan pakan. Lokasi pengamatan untuk strategi mencari makan burung pemakan buah
Pycnonotus aurigaster dan Pycnonotus goiavier dipilih KT
5.
Pengamatan di KT
10
dan hutan sekunder tidak dapat dilakukan berdasarkan survai pendahuluan perilaku makan dan beberapa pertimbangan yaitu: 1 burung pemakan buah yang
sedang makan sangat sulit terlihat seluruh aktivitas makannya, terutama jika bergerak atau pindah pohon tidak bisa diikuti; 2 luas pandangan area pengamatan
sangat terbatas karena tumbuhannya yang tinggi; 3 tidak ditemukan lokasi yang dapat melihat dengan jelas seluruh area pengamatan perilaku makan. Pembuktian
buah yang dimakan hanya yang matang dilakukan percobaan di kandang. Buah yang muda, belum matang warna buah hanya sebagian yang berubah dan buah
matang diberikan ke 5 spesies burung pemakan buah masing masing 30 butir, hasilnya menunjukkan hanya buah matang yang dimakan.
4.3.5.4 Jarak Terbang Setelah Makan
Pengamatan jarak terbang dilakukan pada burung yang telah melakukan aktivitas makan. Hal ini dimaksudkan untuk mengetahui keberhasilan pemindahan
biji buah oleh burung pemakan buah. Keberhasilan burung menyebarkan biji sangat tergantung pada tahapan proses burung memakan buah itu sendiri dan jarak
terbang burung setelah memakan buah. Jika burung setelah memakan buah tetap diam di tumbuhan pakan
≥ 30 menit, maka burung tersebut dikategorikan tidak menyebarkan biji. Hal ini karena biji yang ditelan sudah dikeluarkan kembali
melalui defekasi. Menurut Fukui 2003 bahwa biji yang termakan burung pemakan buah hampir seluruhnya dikeluarkan bersama feses dalam kisaran waktu
± 20,8 menit setelah makan. Dengan demikian, biji yang termakan telah jatuh dibawah kanopi tumbuhan induknya. Pengukuran jarak minimal penyebaran biji
oleh burung pemakan buah dilakukan untuk mengetahui adatidaknya potensi burung menyebarkan biji tumbuhan pakan.
Jarak antara tumbuhan buah pakan yang dijadikan tempat makan tumbuhan induk ke tumbuhan tempat tenggeran pertama setelah makan disebut
jarak minimum burung pemakan buah menyebarkan biji. Jarak tersebut diukur
51
mulai dari batas terluar kanopi tumbuhan induk sampai batas terluar kanopi tumbuhan tempat bertengger atau sebagai tempat aktivitas yang lainnya. Jarak
terbang burung kemudian diproyeksikan pada bidang datar sehingga diketahui jarak penyebaran biji oleh burung Gambar 12.
Saliara
Jarak penyebaraan biji
Gambar 12. Jarak minimum biji disebarkan oleh burung
4.3.6 Interaksi Burung dan Tumbuhan Buah 4.3.6.1 Komposisi Biji dalam Feses Burung Pemakan Buah
Pencuplikan komposisi biji dalam feses burung pemakan buah dilakukan dengan 4 metode yaitu: 1 pengamatan langsung pada saat burung makan, 2 isi
saluran pencernaan, 3 feses burung yang tertangkap dan 4 feses yang jatuh di tempat tenggeran. Pengamatan langsung dilakukan pada saat burung memakan
berbagai jenis buah di tumbuhan pakan, pelaksanaan metode ini dilakukan bersamaan dengan pengamatan perilaku makan, sedangkan 3 metode yang lain
seperti di bawah ini.
A. Isi Saluran Pencernaan
Sampel burung dibedah untuk diukur karakter morfologi sistem pencernaannya dan bagian isi saluran pencernaannya dikumpulkan untuk
dianalisis komposisi biji buah yang dimakanannya Jordano 1988. Sampel tersebut dimasukkan ke dalam tabung yang telah diberi label, lalu diperiksa di
laboratorium. Jumlah sampel yang dicuplik tiap spesies burung pemakan buah
S a
l i
a r
a
52
adalah 5 unit, hal ini disesuaikan dengan sampel burung yang diukur karakter morfologi sistem pencernaannya.
Sampel isi saluran pencernaan dimasukan ke dalam saringan yang telah dilapisi 2 lapis kertas saring. Sampel tersebut disebar menggunakan kuas kecil
sambil dibilas dengan air mengalir secara perlahan-lahan Gambar 13. Bagian- bagian yang tersaring dipisahkan sesuai dengan bentuk, warna dan ukurannya.
Bagian-bagian tersebut diduga biji, dan dibilas kembali sampai bersih. Biji-bijian yang utuh atau serpihan dan buah dipindahkan ke cawan petri yang telah dilapisi
kertas saring. Biji-bijian dan buah yang telah kering dimasukan ke tabung yang berlabel.
Gambar 13. Pencucian biji dari feses burung Identifikasi biji-bijian dan buah dari isi saluran pencernaan burung yang
terkumpul dilakukan dengan 2 cara, yaitu: pertama mencocokkan dengan referensi dari beberapa buku yang ada, kedua mencocokkan dengan koleksi buah serta biji-
bijian spesimen biji yang diperoleh dari lokasi penelitian. Pemeriksaan biji dan buah dilakukan dengan menggunakan mikroskop stereo, karakter morfologi
dibandingkan dengan literatur atau sampel biji yang telah diketahui nama spesiesnya. Beberapa ciri yang dibandingkan diantaranya, bentuk, ukuran, tekstur,
warna, serta bagian-bagian lain yang dianggap penting Jordano 1988; Corlett 1998a. Jumlah buah atau biji tiap spesies dihitung pada masing-masing sampel.
Besar ukuran buah atau biji diukur dengan kaliper digital ketelitian 0,1 mm, demikian pula berat buah atau biji ditimbang dengan menggunakan timbangan
digital ketelitian 0,1 gr.
53
B. Analisis Biji dari Feses Burung yang Tertangkap
Sampel feses dikumpulkan dari burung-burung yang tertangkap jala kabut. Burung-burung yang tertangkap jala kabut dikeluarkan dari jala, kemudian
dimasukkan ke dalam kantong kain. Burung berada di dalam kantong kain selama 60 menit. Setelah 60 menit, burung dikeluarkan kemudian diidentifikasi dan
diukur morfometriknya untuk parameter 4.3.3.1, setelah itu burung dilepaskan lagi ke alam. Feses yang terkumpul di kantong kain kemudian dikeluarkan dan
disimpan di dalam kertas saring, lalu dimasukkan ke dalam amplop yang diberi label, setelah itu diperiksa di laboratorium. Hal ini sesuai dengan penelitian
Corlett 1998a bahwa burung yang tertangkap, bila dimasukan dalam kantong kain selama waktu 15-60 menit, individu-individu burung tersebut telah
mengeluarkan feses. Pencucian biji dari sampel feses burung pemakan buah serta identifikasi biji dilakukan sama seperti pada 4.3.6.1.A.
C. Analisis Biji dari Feses yang Jatuh di Tempat Tenggeran
Pengumpulan feses dengan metoda faeces dropped count Fukui 1995 dilakukan pada spesies burung yang sangat sulit ditangkap. Pencuplikan data
dilakukan 6 hari di setiap tipe vegetasi. Pencuplikan data dimulai dengan pemilihan pohon-pohon tenggeran yang sering digunakan burung untuk tempat
istirahat setelah makan. Di sekeliling bagian bawah pohonnya dipasang plastik putih untuk menampung feses burung yang jatuh dengan ukuran disesuaikan
dengan luas kanopi pohon.
Gambar 14. Pengumpulan feses dengan metoda feces dropped count Pemasangan plastik dilakukan pada pagi hari sebelum burung pemakan
buah datang dan bertengger di pohon tersebut. Pengamatan dilakukan pada jarak
54
50 m dari pohon tadi. Hal ini bertujuan untuk mendeteksi kehadiran dan mengidentifikasi burung pemakan buah yang bertengger. Ketika burung
bertengger di pohon tersebut, nama spesies burung dan posisi tenggerannya dicatat. Setelah burung yang bertengger terbang, keberadaan feses yang jatuh
diperiksa. Feses yang tertinggal dikumpulkan dan dimasukan ke dalam amplop, lalu diberi label sesuai dengan jenis burung yang bertengger sebelumnya. Feses
yang terkumpul di bawa ke laboratorium untuk diperiksa. Biji utuh atau buah yang terdapat dalam feses burung pemakan buah
ketiga metoda di atas, setelah diidentifikasi, selanjutnya disusun dalam daftar tabel biji yang terdapat pada feses burung pemakan buah Tabel 1.
Tabel 1. Biji spesies tumbuhan yang terdapat pada sampel feses burung
Spesies Burung A Spesies Tumbuhan
Spesies 1 Spesies 2
Spesies 3 Spesies 4
Spesies ke N Sampel
1 Sampel
2 Sampel ke n
4.3.6.2 Daya Kecambah
Untuk mengetahui kualitas biji pada sampel yang diperoleh dari feses burung pemakan buah dilakukan uji kemampuan perkecambahan biji Fukui
1995; Herrera et al. 1994. Percobaan daya kecambah biji dilakukan pada 7 spesies tumbuhan utama sebagai pakan burung. Biji dan buah dibagi dalam tiga
kelompok seperti yang dilakukan Fukui 1995 Gambar 15. Kelompok I, biji- bijian yang berasal dari feses burung pemakan buah. Kelompok II, biji-bijian yang
berasal dari spesies tumbuhan yang sama tetapi tanpa melalui saluran pencernaan burung pemakan buah, dengan kulit dan daging buah dibuang. Kelompok III, biji-
bijian yang masih terbungkus kulit maupun daging buah yang berasal dari spesies tumbuhan yang sama. Pada kelompok II dan III, masing-masing 10 biji atau buah
yang utuh dipilih dari tiap spesies tumbuhan. Pada kelompok I, masing-masing 10 biji dipilih dari tiap spesies tumbuhan pada masing-masing spesies burung
pemakan buah. Media tanam yang baik untuk membuktikan daya kecambah biji adalah
pasir, kertas atau kapas Widyajati et al. 2008. Pasir yang digunakan sebagai media adalah yang relatif homogen. Biji dan buah tadi ditanamkan pada 2 tempat
55
media yang berbeda, yaitu pasir dan kapas. Kedalam penanaman buah dan biji pada media pasir 1 cm, sedangkan pada media kapas biji atau buah diletakan di
atas kapas Widyajati 2008, kemudian disiram dan disimpan pada suhu kamar. Penyiraman dilakukan setiap 2 kali sehari dan banyaknya air yang disiramkan
disesuaikan dengan kebutuhan untuk menjaga media tetap lembab. Pengamatan perkecambahan biji dilakukan interval waktu 1 minggu selama tiga bulan.
Pengujian biji tersebut dimaksudkan untuk membuktikan bahwa burung pemakan buah dapat membantu menyebarkan biji dan secara langsung terhadap suksesi
vegetasi.
Gambar 15. Diagram pengujian daya kecambah biji tumbuhan pakan
4.4.1 Analisis Data Vegetasi
Untuk mengetahui struktur dan komposisi vegetasi setiap tipe komunitas, maka setiap tipe vegetasi dianalisis kerapatan, kelimpahan, frekuensi, dominansi
dan indeks nilai penting INP spesies tumbuhannya. Parameter tadi dihitung dengan menggunakan rumus Setiadi Muhadiono 2001, yaitu:
Kumpulan buah
Biji diinkubasi pada pasir dan kapas lembab 27
C; 90 hari Kelompok I
biji dari feses Kelompok II
biji dibuang kulit dan daging
buahnya Kelompok III
biji didalam buah utuh
Persentase perkecambahan
56
a Kerapatan indha = jumlah individu suatu spesies di setiap petak dibagi
jumlah seluruh petak × 10
4
b Kelimpahan
= jumlah individu suatu spesies di setiap petak dibagi jumlah seluruh petak
c Kelimpahan relatif = kelimpahan suatu spesies tumbuhan dibagi kelimpahan
seluruh spesies tumbuhan × 100 . d
Frekuensi = jumlah petak ditemukan suatu spesies tumbuhan dibagi
jumlah seluruh petak e
Frekuensi relatif = frekuensi suatu spesies tumbuhan dibagi frekuensi
seluruh spesies tumbuhan × 100 . Dominansi menggambarkan penutupan dari suatu spesies tumbuhan,
makin besar penutupan maka semakin tinggi nilai dominansinya. Untuk menghitung dominansi pada vegetasi berbentuk semai dan semak dilakukan
dengan cara menaksir persentase penutupan tajuk, sedangkan vegetasi berbentuk pohon dilakukan dengan menghitung luas bidang dasar, yaitu
pengukuran diameter batang setinggi dada Setiadi Muhadiono 2001.
f Dominansi = jumlah luas bidang dasar suatu spesies tumbuhan dibagi
luas total petak contoh g Dominasi relatif
= dominansi suatu spesies tumbuhan dibagi dominasi total spesies tumbuhan × 100 .
h Indeks Nilai Penting INP = Kelimpahan relatif Kr + Frekuansi relatif Fr + Dominasi relatif Dr
Indeks keanekaan spesies tumbuhan dihitung dengan menggunakan rumus Shannon Krebs 1989; Magurran 2004.
log
1 i
e s
i i
p p
H
∑
−
− =
dengan H’: merupakan nilai indeks diversitas Shannon p
i
: merupakan proporsi kelimpahan spesies ke i atau niN ni : jumlah individu spesies ke i
N : jumlah total indvidu seluruh spesies Mengetahui kesamaan struktur komposisi vegetasi tingkat semai dan
semak dilakukan analisis klaster dan dihitung nilai jarak Euclidean dan
57
digambarkan dalam bentuk dendrogram. Analisis tersebut dilakukan dengan menggunakan software Minitab versi 13.
4.4.2 Struktur Komunitas Burung 4.4.2.1 Keanekaan Spesies burung
Kekayaan spesies burung dibanding satu tipe vegetasi dengan vegetasi yang lainnya. Spesies burung dikelompokan berdasarkan suku dan nama spesies,
feeding guild MacKinnon 2000; Corlett 1998b. Pengelompokan berdasarkan
jenis makanannya dibagi menjadi: a. Pemakan hewan karnivora, b. Pemakan tumbuhan termasuk buah frugivora, c. Pemakan tumbuhan termasuk biji-bijian
granivora, d. Pemakan hewan dan tumbuhan omnivora, e. Pemakan nektar nektarivora, dan f. Pemakan serangga insektivora.
Keanekaan spesies di masing-masing tipe vegetasi dihitung menggunakan rumus indeks diversitas Shannon Krebs 1989; Magurran 2004
log
1 i
e s
i i
p p
H
∑
−
− =
dengan H’: merupakan nilai indeks diversitas Shannon p
i
: merupakan proporsi kelimpahan spesies ke i atau niN ni : jumlah individu spesies ke i
N : jumlah total indvidu seluruh spesies Varian keanekaan spesies burung antar tipe vegetasi dilakukan menggunakan
rumus Magurran 2004
2 2
2
2 1
ln ln
var N
S N
p p
p p
H
i i
i i
− −
− =
∑ ∑
dengan varH’: merupakan varian keanekaan spesies p
i
: merupakan proporsi kelimpahan spesies ke i atau niN S : jumlah spesies
N : jumlah total indvidu seluruh spesies Perbedaan indeks keanekaan spesies burung antar tipe vegetasi dilakukan
menggunakan uji t Magurran 2004
2 1
2 1
2 1
var var
H H
H H
t +
− =
58
dengan t : merupakan nilai uji t H
1
’: indeks keanekaan spesies Shannon di lokasi 1 H
2
’: indeks keanekaan spesies Shannon di lokasi 2 N
1
: jumlah individu seluruh spesies di lokasi 1 N
2
: jumlah individu seluruh spesies di lokasi 2 dengan nilai derajat bebas:
[ ] [
]
2 2
2 1
2 1
2 2
1
var var
var var
N H
N H
H H
df +
+ =
dengan df : merupakan derajat bebas H’: indeks keanekaan spesies Shannon
N
1
: jumlah individu seluruh spesies di lokasi 1 N
2
: jumlah individu seluruh spesies di lokasi 2 Tingkat kemerataan evenness dihitung mengunakan rumus Krebs 1989;
Magurran 2004 S
H J
ln =
dengan J’ : merupakan tingkat kemerataan spesies burung H’: indeks keanekaan spesies Shannon
S : jumlah spesies
4.4.2.2 Kelimpahan dan Distribusi Burung
Analisis kelimpahan spesies burung dilakukan berdasarkan jumlah individu burung suatu jenis pada daerah tertentu. Kelimpahan tersebut
didefinisikan berdasarkan luas area yang diteliti menggunakan kategori kepadatan burung. Perhitungan dilakukan mengikuti rumus dari Reynolds et al. 1980 Ding
et al. 1997 yaitu:
C r
n D
.
2
π =
Dengan D : kepadatan jenis burung indha C : jumlah titik hitung
r : radius titik hitung m
59
π : konstanta 3,14286 n : jumlah burung yang dijumpai individu
Untuk mengetahui sebaran spesies burung dilihat dari parameter frekuensi. Perhitungan frekuensi relatif dilakukan dengan rumus :
Semakin tinggi nilai Fr menunjukkan semakin merata penyebaran suatu jenis di suatu lokasi.
Untuk mengetahui pengelompokan struktur burung berdasarkan guild dilakukan klaster hirarki seperti pada Wiens 1992 dan perbandingan burung
berdasarkan kelompok makanan yang dimakannya.
4.4.3 Karakteristik Burung Pemakan Buah 4.4.3.1 Morfologi Eksternal Burung Pemakan Buah
Karakteristik morfologi burung yang diukur meliputi panjang paruh, panjang kepala, lebar bukaan paruh, tinggi bukaan paruh, panjang tarsus, panjang
sayap, rentang sayap, panjang ekor, panjang total dan berat tubuh. Parameter tersebut dihitung menggunakan uji rata-rata Fowler Cohen 1986:
Dengan χ : merupakan nilai rata-rata
ҳ
1
: nilai data ke-1 ҳ
n
: nilai data ke-n n : banyak
data Standar deviasi dihitung dengan rumus:
S=
2 1
1 −
−
∑
n χ
χ …………………………………..Rumus 2
Dengan S: merupakan standar deviasi
1
χ
:data yang diambil χ : rata-rata data
n : jumlah data yang diambil
n X
x x
n
+ +
= .......
1
………………………………….Rumus 1
60
Untuk mengetahui nisbah bukaan paruh dilakukan perbandingan antara tinggi dan lebar bukaan paruh. Nilai nisbah yang mendekati 1 menunjukkan
bentuk bukaan paruh burung yang sangat memungkin dapat menelan buah secara keseluruhan.
4.4.3.2 Karakter Morfologi Sistem Pencernaan Burung Pemakan Buah
Analisis karakter morfologi sistem pencernaan burung dilakukan menggunakan uji rata-rata Fowler Cohen 1986 dengan Rumus 1, dan standar
deviasi dihitung dengan Rumus 2. 4.4.4 Ketersediaan Buah Pakan
4.4.4.1 Fenologi Tumbuhan Pakan
Fenologi jenis tumbuhan pada tiap lokasi pengamatan diketahui dengan menghitung nilai rata-rata waktu pembungaan dan berbuah, sedangkan untuk
membandingkan beda rata-rata periode perkembangan bunga dan perkembangan buah digunakan uji t.
t = …………………………..Rumus 3
Dengan t : merupakan nilai uji t
:
rata-rata populasi ke 1 : rata-rata sampel populasi ke 2
1
: jumlah sampel ke 1
2
: jumlah sampel ke 2 S
1 2
: varian populasi ke 1 S
2 2
: varian populasi ke 2
4.4.4.2 Kelimpahan Buah Pakan
Kelimpahan buah pada tiap spesies tumbuhan pakan dihitung berdasarkan jumlah berat buah dalam seluruh plot dibagi luas seluruh plot. Hasil pembagian
tersebut dikali 10
4
sehingga diperoleh jumlah berat buah dalam satuan hektar.
61
4.4.4.3 Karakteristik Buah dan Biji
Analisis karakteristik buah pakan dan biji yang diukur dilakukan menggunakan uji rata-rata Fowler Cohen 1986 dengan Rumus 1, dan standar
deviasi dihitung dengan Rumus 2. Untuk mengetahui preferensi karakteristik warna buah dipilih oleh burung
dilakukan perhitungan nisbah pemangsaan.
4.4.5 Perilaku Makan Burung Pemakan Buah 4.4.5.1 Perilaku Makan Harian
Aktivitas makan harian dianalisis secara deskriptif, untuk mengetahui alur perilaku umum burung pemakan buah memakan buah, kemudian digambarkan
dalam bentuk diagram alir.
4.4.5.2 Strategi Mencari Makan
1 Jumlah kunjungan ke tumbuhan buah
Strategi mencari makan burung dianalisis untuk mengetahui perbedaan jumlah kunjungan burung pemakan buah ke tumbuhan pakan dengan mengunakan
uji Chi-square Fowler Cohen 1986: χ
2
∑ ……………………………………………….…………………… 4
Dengan O : merupakan frekuensi kunjungan E : merupakan frekuensi perkiraan kunjungan
2 Lama kunjungan di tumbuhan buah
Lama kunjungan burung di tumbuhan buah pakan dihitung dengan mengunakan rumus:
T = ∑
Dengan T : rata-rata waktu kunjungan detikkunjungan T
i :
waktu aktivitas burung berada di tumbuhan buah ke i n : jumlah kunjungan burung ke tumbuhan buah ke i
62
Untuk mengetahui perbedaan lama kunjungan burung di tumbuhan buah pakan dilakukan perhitungan dengan Rumus 4.
3 Alokasi waktu kunjungan untuk aktivitas harian
Untuk mengetahui waktu aktivitas kunjungan burung di pohon pakan dilakukan dengan cara menghitung persentase aktivitas makan buah, makan
serangga, berjemur dan membersihkan badan. Lamanya waktu melakukan aktivitas makan tiap kunjungan dihitung menggunakan rumus:
Waktu aktivitas makan buah di plot tumbuhan buah
∑
=
i i
i
xb t
tb detik kunjungan
Dengan: tb
i
: waktu aktivitas makan selama di tumbuhan buah ke i xb
i
: jumlah kunjungan aktivitas makan buah di tumbuhan buah ke i t
i
: waktu aktivitas makan setiap kunjungan di tumbuhan buah ke i Rata-rata waktu aktivitas makan di tumbuhan buah
∑
= Pl
tbi tb
detik kunjungan spesies tumbuhan Dengan:
: waktu aktivitas makan buah di stasiun i tumbuhan induk tbi
: waktu aktivitas makan selama di tumbuhan buah spesies i Pl
: jumlah plot tumbuhan buah spesies i Untuk mengetahui perbedaan lama waktu makan buah tiap kunjungan
burung per spesies tumbuhan buah dilakukan dengan Rumus 4. 4
Laju konsumsi buah Laju aktivitas makan buah oleh burung dihitung menggunakan rumus:
∑
= n
mb M
Dengan: mb : banyaknya buah yang dimakan di tumbuhan ke i n : total kunjungan aktivitas makan di tumbuhan ke i
M : buah yang dimakan per kunjungan aktivitas makan di tumbuhan ke i
Laju konsumsi buah dihitung dengan rumus:
63
Dengan: : laju makan di tumbuhan spesies i buahmenit
M: buah yang dimakan per kunjungan di tumbuhan spesies i T : waktu aktivitas makan di tumbuhan spesies i
Untuk mengetahui perbedaan laju konsumsi buah per kunjungan burung pada tiap spesies tumbuhan pakan dianalisis dengan Rumus 4.
4.4.5.3 Jarak Terbang Setelah Makan
Jarak minimum penyebaran biji dihitung berdasarkan jarak terbang burung setelah makan dari pohon pakan ke pohon tenggeran berikutnya. Analisis jarak
minimum penyebaran biji dilakukan menggunakan uji rata-rata Fowler Cohen 1986 dengan Rumus 1, dan standar deviasi dihitung dengan Rumus 2.
Untuk mengetahui perbedaan jarak minimum penyebaran antara jenis burung pada tiap-tiap spesies tumbuhan pakan dilakukan dengan Rumus 4.
4.4.6 Interaksi Burung dan Tumbuhan Buah 4.4.6.1 Korekasi Besar Bukaan Paruh dengan Ukuran Buah Pakan
Analisis hubungan antara lebar bukaan paruh dengan ukuran pakan buahnya yang dapat ditelan langsung oleh burung pemakan buah dilakukan
dengan uji korelasi. Adapun persamaan korelasi tersebut, mengacu pada Fowler Cohen 1986:
r =
∑ ∑ ∑
∑ ∑
∑ ∑
persamaan regreasi b=
∑ ∑ ∑
∑ ∑
y=a+bx
4.4.6.2 Komposisi Biji pada Feses Burung
Perhitungan komposisi biji pada feses burung dilakukan hanya pada feses yang diperoleh dari burung yang tertangkap. Hal ini karena pengamatan dengan
metoda faeces dropped count tidak diperoleh feses burung pemakan buah. Sedangkan sampel feses yang diperoleh dari metoda analisis feses dari isi saluran
pencernaan tidak ditemukan biji. Selain itu, komposisi biji dalam feses tidak bisa dibandingkan antar tipe vegetasi, karena banyaknya sampel yang diperoleh tiap
tipe vegetasi sangat berbeda. Sebagai contoh, walaupun burung Zosterops
64
palpebrosus, Pycnonotus aurigaster dan Dicaeum trigonostigma banyak
ditemukan di tiga tipe habitat tetapi sebagian besar sampel burung yang tertangkap diperoleh di KT
5.
Oleh karena itu untuk menghindari bias, perhitungan dilakukan secara keseluruhan data.
a Kelimpahan biji pada feses burung
Analisis kelimpahan biji pada feses dihitung dengan menggunakan rumus:
Nilai kelimpahan relatif Kr setiap jenis biji menunjukkan perbandingan dominasi satu jenis biji terhadap seluruh jenis biji yang terdapat di dalam sampel
feses. Kelimpahan relatif Kr setiap jenis biji diklasifikasikan menjadi tiga kelompok mengikuti penggolongan oleh Jorgensen 1974 dalam van Helvoort
1981: a. tidak dominan Kr: 0-2 , b. sub dominan Kr: 2–5 dan c. dominan Kr: 5.
b Frekuensi kehadiran biji pada feses burung
Perhitungan frekuensi relatif jenis biji dalam feses dilakukan dengan rumus :
Semakin tinggi nilai Fr menunjukkan semakin merata buah tersebut digunakan oleh berbagai spesies burung pemakan buah.
4.4.6.3 Daya Kecambah
Data daya perkecambahan dihitung nilai persentase perkecambahan untuk tiap kelompok biji, sedangkan untuk mengetahui perbedaan antara perlakuan
media dilakukan uji chi-square. Untuk mengetahui perbedaan daya kecambah antara biji spesies tumbuhan yang utuh dengan kulit dan daging buah kontrol,
biji yang dikupas daging dan kulit buahnya, serta biji yang melewati saluran pencernaan burung perlakuan, dilakukan deskripsi berdasarkan nilai persen biji
yang berkecambah.
65
5. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Struktur Vegetasi di Lokasi Penelitian
Daerah penelitian merupakan bagian dari wilayah perkebunan teh yang tidak dirawat selama
≥5 tahun KT
5
dan ≥10 tahun KT
10
milik perkebunan teh PTPN VIII, serta hutan sekunder milik Perum Perhutani. Pihak pengelola
perkebunan teh membiarkan wilayah tersebut menjadi semak belukar. Tujuannya agar daerah tersebut dapat berfungsi menjadi zona penyangga antara kawasan
perkebunan teh produktif dengan kawasan hutan sekunder. Kedua lokasi KT
5
dan KT
10
sedang mengalami suksesi vegetasinya yang ditandai dengan adanya perubahan spesies tumbuhan semai, semak, kerapatan spesies tumbuhan semak
dan jumlah strata vegetasi Tabel 2. Tabel 2. Rekapitulasi kondisi tipe vegetasi lokasi penelitian
No Kategori Tipe vegetasi
KT
5
KT
10
HS 1
Luas habitat ha 45
35 200
2 Jumlah strata vegetasi
2 3
4 3
Jumlah spesies tumbuhan semai 15 16
15 4
Jumlah spesies tumbuhan semak
10 11
15 5
Jumlah spesies tumbuhan pohon
2 6
Kerapatan spesies tumbuhan semai indm
2
57,90 58,10
45,50 7
Kerapatan spesies tumbuhan semak indm
2
2,49 1,23
1,05 8 Keanekaan
spesies tumbuhan
semai 2,21
1,78 1,39
9 Keanekaan spesies
tumbuhan semak
1,19 1,47
1,79 10
Penutupan lahan Sangat baik
Kurang Sangat baik
KT
5
: kebun teh yang di biarkan menjadi semak belukar ≥5 tahun, KT
10
: kebun teh yang di biarkan menjadi semak belukar
≥10 tahun, HS: hutan sekunder
Struktur vegetasi di ketiga lokasi penelitian tampak menunjukkan sedang dalam proses suksesi dengan terjadi peningkatan jumlah strata vegetasi tumbuhan
dan jumlah spesies tumbuhan semak Gambar 16, Lampiran 27-29. Namun kerapatan spesies tumbuhan semai dan semak serta indeks keanekaan spesies
66
tumbuhan semai cenderung menurun. Semakin tua usia suksesi vegetasi maka semakin banyak tumbuhan semak yang hadir sehingga meningkatkan indeks
keanekaan spesies, akan tetapi sebaliknya kehadiran jumlah individu tumbuhannya lebih sedikit yang berakibat menurunkan kerapatan dari spesies
tersebut Tabel 2.
a
b c
Gambar 16. Kondisi vegetasi di lokasi penelitian. a:KT
5
, b: KT
10
, c:hutan sekunder
Tahapan suksesi tampak terjadi perubahan pada penutupan lahan. Penutupan lahan di KT
10
menjadi kurang dibandingkan KT
5
dan hutan sekunder Tabel 2, Gambar 16, Lampiran 27-29. Dari Gambar 16 tampak KT
10
lebih homogen dibanding KT
5
dan hutan sekunder. Hal ini karena di KT
10
, beberapa
67
spesies tumbuhan yang pada saat kategori semai banyak, tetapi setelah menjadi bentuk tumbuhan semak banyak yang tidak mampu beradaptasi karena ternaungi
oleh tajuk tumbuhan teh, diantaranya spesies Harendong bulu Clidemia hirta. Hasil analisis vegetasi menunjukkan bahwa spesies Harendong bulu Clidemia
hirta memiliki kerapatan 144.000 indha pada saat vegetasi semai, dan semak
sebanyak 6.563 indha, spesies tersebut masih memiliki indeks nilai penting tertinggi di KT
10
. Selain itu, di KT
5
dan hutan sekunder penyebaran dan kelimpahan tumbuhan semai hampir merata terutama pada familia Graminae
seperti Pollinia ciliate, Digitaria segitera dan Panicum palmatifolium Lampiran 18-23.
Daerah hutan sekunder yang menjadi lokasi penelitian adalah pada mulanya merupakan hutan tanaman industri Kayu putih Eucalyptus deglupta
dan Kayu afrika Maesopsis eminii. Sekarang daerah ini sudah tidak kelola sehingga banyak ditumbuhi spesies tumbuh-tumbuhan lainnya seperti Puspa
Schima wallichii, Calik angin Mallotus conchinchinensis, Mara Macaranga triloba
, dan Kareumbi Homolanthus populnea. Hasil analisis vegetasi untuk kerapatan individu spesies tumbuhan semak
pakan burung seperti Harendong bulu Clidemia hirta tampak terjadi penurunan di KT5 sebanyak 12.813 indha, KT10 6.563 indha dan hutan sekunder 1.125
indha Lampiran 18-23. Namun pada hutan sekunder muncul tumbuhan Kipapatong Sambucus javanicus yang berlimpah sebagai pakan burung pemakan
buah yaitu sebesar 3.063 indha, spesies tersebut pada tipe vegetasi sebelumnya sangat sedikit.
Hasil analisis indeks kesamaan menunjukkan bahwa struktur dan komposisi vegetasi tingkat semai dan semak mempunyai kesamaan lebih kecil
pada tipe habitat sama dibanding antara semak atau semai pada habitat yang berbeda Gambar 17. Struktur dan komposisi vegetasi tumbuhan semai dan
semak mempunyai indeks kesamaan lebih besar pada KT
5
dan KT
10
dibanding dengan hutan sekunder.
68
Gambar 17. Dendrogram struktur dan komposisi vegetasi tingkat semai dan semak. KT
5
: kebun teh yang di biarkan menjadi semak belukar ≥5
tahun, KT
10
: kebun teh yang di biarkan menjadi semak belukar ≥10
tahun, HS: hutan sekunder Perbedaan
indeks kesamaan
struktur dan komposisi vegetasi baik tumbuhan semai maupun semak tercermin dari indeks nilai penting, kelimpahan
dan dominasi relatif. Pada habitat hutan sekunder tampak terdapat spesies yang mempunyai indeks nilai penting yang sangat mencolok yaitu Jukut banyodah
Pollinia ciliata sebesar 136,00, sedangkan di KT5 dan KT10 mempunyai indeks nilai penting yang relatif tidak jauh berbeda Lampiran 18-24.
Gambar 18, menunjukkan diagram profil tumbuhan memiliki 2 strata untuk di KT
5
, 3 strata di KT
10
dan 4 strata di hutan sekunder. Pada strata 1, lapisan yang lebih rapat oleh tumbuhan semak yaitu KT
5
dan hutan sekunder, sedangkan KT
10
lebih jarang. Tampak diagram profil horizontal untuk beberapa spesies tumbuhan semak yang buahnya dijadikan makanan burung penyebarannya
hanya ditempat tertentu saja yaitu di sekitar pinggiran petak dengan jumlah individu dan spesies lebih sedikit di KT
10
dibanding KT
5
dan hutan sekunder.
69
Gambar 18. Diagram profil tipe vegetasi di lokasi penelitian A:
kebun teh yang di biarkan menjadi semak belukar ≥5 tahun KT
5
, B: kebun teh yang di biarkan menjadi semak belukar
≥10 tahun KT
10
, C: hutan sekunder HS, 1: Clidemia hirta, 2:Melastoma affine, 3:Eupathorium odoratum, 4: Lantana camara, 5: Sambucus javanicus, Ca;
Mallotus cocchichinensis , Cr: Breynia microphylla, Ka: Maesopsis eminii, Kd: Eucalyptus
deglupta , Kp: Caliadra haematocephala, Kn: Chincona succirubra, Ma: Macaranga triloba, Pt:
Alshopila glauca , Pu: schima walichii, dan Th: Thea chinensis
KT
10
memiliki jumlah strata, jumlah spesies tumbuhan semai maupun semak lebih banyak dibanding KT
5
Tabel 2, Lampiran 18-22. Namun lapisan bawah kebun memiliki vegetasi semak relatif lebih terbuka yang mengakibatkan
beberapa spesies burung yang sering menggunakan semak menurun jumlah
70
populasinya. Kondisi lapisan bawah terbuka di KT
10
kurang menyediakan sumberdaya makanan, tempat tenggeran, dan tempat sarang sehingga kurang
nyaman digunakan kelompok burung semak Table 3, Gambar 16, Lampiran 27,28.
Ketersediaan sumberdaya ranting-ranting dan buah pohon teh kurang dimanfaatkan oleh burung di KT
10
. Hal ini terbukti selama pengamatan tidak ada satu spesies burungpun yang menggunakan buah teh sebagai pakannya. Selain itu,
vegetasi semak yang rapat di KT
5
lebih sesuai digunakan burung semak sebagai habitat tempat sarang Tabel 3.
Tabel 3. Rekapitulasi kondisi habitat burung di tiga tipe vegetasi
No Kategori Tipe vegetasi
KT
5
KT
10
HS
1 Tempat berlindung burung
Sangat baik Kurang
Baik 2
Tempat bersarang burung semak
Tersedia banyak Kurang tersedia Tersedia banyak
3 Tempat makan burung
Sangat banyak Kurang
Sangat banyak 4
Tempat bertengger burung semak
Sangat banyak Kurang
Banyak 5 Gangguan
predator Kurang
predator telur Banyak
predator telur, alap-alap
Sangat banyak predator telur,
alap-alap, elang
6 Gangguan dari
manusia Kurang pejalan
kaki Banyak
pengambil kayu bakar dan
benalu teh Sangat banyak
pengambil kayu bakar dan rumput,
pemburu binatang
KT
5
: kebun teh yang di biarkan menjadi semak belukar ≥5 tahun, KT
10
: kebun teh yang di biarkan menjadi semak belukar
≥10 tahun, HS: hutan sekunder
Keberadaan KT
5
, KT
10
dan hutan sekunder sangat penting untuk menunjang kelangsungan hidup komunitas burung termasuk burung pemakan
buah karena menyediaan tempat perlindungan dan tempat bertengger. Tabel 3 dan Gambar 16 menunjukkan bahwa KT
10
kurang mendukung dibanding KT
5
dan hutan sekunder sebagai habitat burung semak karena lebih homogen dan sangat
sedikit tumbuhan semaknya. Hal ini mengindikasikan bahwa semakin kompleks kondisi vegetasinya akan semakin sesuai dengan kebutuhan tempat bagi
kehidupan burung. Selain itu, vegetasi yang komplek akan menyediakan berbagai
71
jenis makanan termasuk buah-buahan yang menjadi konsumsi burung pemakan buah.
Ketiga tipe vegetasi tersebut menyediakan tempat mencari makan untuk kelompok burung predator. Hal ini karena di ke-3 tipe vegetasi tersebut tersedia
mangsa yang berlimpah berupa burung dan spesies hewan lainnya. Hampir setiap hari di KT
5
dan KT
10
didatangi oleh burung elang. Kondisi yang relatif terbuka dan jarang terdapat tumbuhan yang menjulang tinggi memudahkan burung
predator mengintai mangsanya.
.
Tingginya kehadiran spesies burung di KT
5
dan hutan sekunder disebabkan karena banyak jenis tumbuhan yang dapat dijadikan tempat mencari
makan, serta beberapa bagian dari tumbuhan dapat dimakan oleh burung diantara buah, nektar dan madu bunga Lampiran 9-10, 31-33. Beberapa tumbuhan semak
yang buahnya dijadikan makanan burung adalah Arben Rubus chrysophyllus, Bungbrum Poligonum chinensis, Cecerenean Breynia microphylla, Harendong
beureum Melastoma affine, Harendong bulu Clidemia hirta, Harendong nagri Leucosyke capitellata, Kayu afrika Maesopsis eminii, Kipapatong Sambucus
javanicus , Saliara Lantana camara, dan Sauheun Panicum palmifolium
Lampiran 9, 31-33. Kehadiran burung yang tinggi juga menyebabkan peningkatan gangguan
pada habitatnya. Berbagai spesies binatang termasuk burung diburu oleh penduduk setempat maupun penduduk luar daerah Ciater. Hal ini karena daerah
tersebut memiliki banyak spesies burung yang sangat potensial untuk diperdagangkan seperti burung Anis merah Zoothera citrina, Jalak tunggir-
merah Scissirostrum dubium, burung Kacamata biasa Zosterops palpebrosus, Ayam hutan merah Gallus gallus dan familia Columbidae Lampiran 12.
Gangguan pada ketiga lokasi penelitian dari manusia selain sebagai tempat berburu binatang, juga daerah tersebut potensial sebagai tempat mencari rumput
dan kayu bakar Tabel 3, Lampiran 28c. Setiap hari berkisar antara 15-25 orang pencari kayu bakar mengambil berbagai tumbuhan dan 10-15 orang mengambil
rumput untuk sapi dan domba di lokasi KT
10
dan hutan sekunder, baik mengambil ranting tumbuhan maupun menebang batangnya. Selain itu, beberapa penduduk
sering menggunakan daerah KT
10
sebagai tempat mencari benalu teh dan tanaman
72
obat lainnya seperti tumbuhan Sulibra Cinchona sucirubra serta tumbuhan pakis untuk media tanaman anggrek.
5.2 Komunitas Burung 5.2.1 Keanekaan burung
Keanekaan spesies burung menunjukkan sangat tinggi di lokasi penelitian. Jumlah spesies burung yang ditemukan di seluruh lokasi pengamatan sebanyak 94
termasuk ke dalam 28 familia. Jumlah tersebut diperoleh dari sensus menggunakan metoda titik hitung, jala kabut dan sigi yaitu 58 spesies ditemukan
di kebun teh yang tidak dikelola ≥5 tahun KT
5
, 39 spesies di kebun teh yang tidak dikelola
≥10 tahun KT
10
dan 64 spesies di hutan sekunder gambar 19, Lampiran 13. Akan tetapi, spesies burung yang tercatat di titik hitung sebanyak
34 spesies di KT
5
dengan jumlah individu sebanyak 705 individu, 28 spesies di KT
10
dengan jumlah individu sebanyak 622 individu, dan 49 spesies hutan sekunder dengan jumlah individu sebanyak 618 individu, sedangkan sisanya
merupakan spesies burung yang tercatat di luar titik hitung Point Count. Beberapa spesies burung tersebut yaitu: Elang hitam Ictinaetus malayensis dan
Elang jawa Spizaetus bartelsi dari familia Accipitridae; Bubut alang-alang Centropus bengalensis dari familia Cuculidae; Layang-layang gua Hirundo
daurica dari familia Apodidae; dan Jalak tunggir merah Scissirostrum dubium
dari familia Sturnidae Lampiran 13 14.
G
K s
b
N d
b T
t j
h t
f Gambar 19.
KT
5
: kebun te sekunder, sing
burung terlamp
Seca semua lokas
sebanyak 1 Nectarinidae
spesies Lam dijumpai di
burung yang Tingginya k
terlepas dar Breynia m
javanicus ,
hirta , dan K
tumbuhan ta familia Sylv
sering ditem Komunitas
eh tidak dikelol katan nama bu
pir pada lampir
ara keseluruh si pengamat
3, sedangk e, Muscicap
mpiran 12,13 KT
10
, dan g ada di KT
kehadiran sp ri banyakny
microphylla ,
Harendong Kaliandra C
adi banyak viidae, Musc
mukan ulat m burung di lo
la ≥ 5 tahun, K
urung berwarna ran 13
han, komuni tan adalah d
kan urutan pidae, dan T
3. Beberapa 56,9 ditem
T
10
64,10 pesies burun
ya ditemuka , Saliara
beureum M Caliandra ha
didatangi ol icapidae, da
maupun seran okasi penelit
KT
10
: kebun teh a merah adalah
itas burung y dari familia
terbanyak Timaliidae
a spesies yan mukan di h
ditemukan ng dari ke 3
an tumbuhan Lantana c
Melastoma af aematocepha
leh komunit an Timaliidae
ngga. tian
h tidak dikelola h frugivora, sin
yang kehadir Sylviidae, d
berikutnya yang masin
ng ditemuka hutan sekund
di hutan se tiga familia
n semak di camara
, K affine
, Hare ala
di lokas tas burung p
e karena pad
a ≥ 10 tahun, H
ngkatan nama s
rannya lebih dengan juml
berturut-tur ng-masing s
an di KT
5
5 der, sedangk
ekunder Ga a tersebut di
iantaranya C Kipapatong
endong bulu si pengamata
pemakan ser da batang, da
73 HS : hutan
pesies
h banyak di lah spesies
rut familia ebanyak 9
0,0 juga kan spesies
ambar 19. i atas tidak
Cecerenean Sambucus
u Clidemia an. Spesies
rangga dari an daunnya
74
Kepadatan individu burung tampak di KT
5
235 ind.ha lebih tinggi dibanding KT
10
208 ind.ha dan hutan sekunder 204 ind.ha. Kehadiran jumlah spesies burung lebih tinggi cenderung di struktur vegetasi yang lebih komplek
yaitu hutan sekunder diikuti oleh KT
5
dan KT
10
. Kesamaan spesies burung tampak lebih tinggi antara KT
5
-HS dibanding KT
5
-KT
10
atau KT
10
-HS Gambar 19. Jumlah spesies frugivora yang sama antara tipe habitat tampak KT
10
-HS 9 spesies lebih tinggi dibanding KT
5
-HS 6 spesies dan KT
5
-KT
10
6 spesies
.
Jumlah spesies burung lebih tinggi di KT
5
dibanding dan KT
10
dapat tercermin pula dari indeks keanekaan spesies Shanon-Wiener Lampiran 15, 16.
Perbedaan di atas disebabkan karena kondisi vegetasi semak yang lebih rapat dan kompleks di KT
5
sehingga menyediakan sumberdaya yang cukup bagi penghuninya Tabel 2-3, Gambar 16, Lampiran 18-19,31. Hal ini menunjukkan
ada hubungan yang erat antara komunitas burung dengan indeks keanekaan habitat, bahwa burung sangat tergantung pada keanekaan dan kompleksitas
tumbuhan, karena tumbuhan dapat menyediakan berbagai macam sumberdaya yang dibutuhkan burung Chettri et al. 2005. Dengan demikian, struktur vegetasi
merupakan salah satu faktor kunci yang mempengaruhi kekayaan spesies burung pada tingkat lokal Wiens 1992.
G
K s
t m
p K
l M
C m
k t
m Gambar 20.
KT
5
: kebun te sekunder, sing
Juml sekunder tam
tersebut ham memiliki ju
pengguna t Komunitas b
lokasi penel Merbah ceru
Cabai Dica menurut be
karena prop tumbuhan se
Indek memiliki ni
Komunitas
eh tidak dikelol katan nama sp
lah spesies b mpak sama.
mpir sama L umlah buru
tajuk poho burung frugi
litian dianta ukcuk Pycn
aeum spp.,
eberapa liter porsi terbesa
emak. ks keanekaa
lai lebih be burung pem
la ≥ 5 tahun, K
esies burung te
burung frugiv Hal ini kare
Lampiran 31 ung frugivo
on seperti ivora yang s
aranya spesi onotus goiav
bahkan Tep ratur dikate
ar pakannya an spesies m
esar di lokas makan buah
KT
10
: kebun teh erlampir pada l
vora yang sa ena keberada
1-33, sedan ra lebih ba
Macropygia ering mengg
ies Kacamat vier
, Cucak pus pipi-pera
egorikan seb a serangga,
menurut Shan si hutan sek
h tidak dikelola lampiran 13
ama di KT
5
d aan tumbuha
gkan KT
10
d anyak kare
a, Ptilinop gunakan tum
ta biasa Zo k kutilang P
ak Stachyri bagai burun
ditemukan non-weiner d
kunder diban
a ≥ 10 tahun, H
dengan KT
10
an buah paka dengan huta
na kehadira us,
dan M mbuhan sema
osterops pal Pycnonotus a
is melanotho ng pemakan
juga mem dan tingkat k
nding 2 loka
75 HS : hutan
dan hutan an di ketiga
n sekunder an burung
Megalaima .
ak di ketiga lpebrosus
, aurigaster
, orax
yang n serangga
makan buah kemerataan
asi lainnya
76
Lampiran 15-17. Berdasarkan analisis uji-t menunjukkan perbedaan spesies yang sangat nyata antara KT
5
dengan KT
10
3,59 dan hutan sekunder 15,66, demikian pula antara KT
10
dengan hutan sekunder 12,33. Terjadinya perbedaan yang mencolok antara hutan sekunder dengan KT
5
dan KT
10
lebih disebabkan karena kehadiran spesies burung yang jarang bahkan tidak menggunakan vegetasi
semak sebagai tempat aktivitasnya seperti mencari makan, bersarang dan berlindung. Komunitas burung tadi diantaranya familia Capitonidae, Sturnidae
dan Dicruridae Lampiran 13.
5.2.2 Pengelompokan Burung Berdasarkan Jenis Makanan yang Dimakannya
Ke-94 spesies burung yang ada di lokasi penelitian dikelompokkan menjadi 6 kategori berdasarkan makanan yang dimakannya feeding guild
mengacu pada buku panduan lapangan dari MacKinnon 1995, Corlett 1998b dan Fukui 1995, yaitu frugivora, granivora, insektivora, karnivora, nektarinivora
dan omnivora Lampiran 12. Pengelompokan burung berdasarkan feeding guild seperti burung frugivora, berdasarkan proporsi terbanyak makanan yang
dimakannya Herrera 1984b; Jordano 2000. Burung frugivora adalah komposisi makanan berupa buah lebih banyak dibandingkan serangga atau jenis makanan
lainnya. Selain itu, penentuan kategori frugivora buah-buahan sebagai makanan utamanya pada penelitian ini diutamakan juga berdasarkan ditemukannya sisa
makanan berupa biji-biji dari feses burung. Apabila jumlah individu burung dari suatu spesies yang tertangkap memiliki feses yang mengandung biji lebih dari
50, maka spesies tersebut dikategorikan burung kelompok frugivora, diantaranya burung dari familia Dicaeidae, Pycnonotidae dan Zospteropidae.
Ketiga familia di atas ditemukan banyak biji dalam fesesnya disamping jenis makanan lainnya, terutama pada saat banyak tumbuhan sedang berbuah.
Berdasarkan keterangan di atas, dalam penelitian ini, ketiga familia burung tadi menjadi kelompok frugivora, sehingga jumlah spesies yang termasuk dalam
kategori frugivora menjadi lebih banyak dibanding pengelompokan berdasarkan dari MacKinnon 1995 Tabel 4, Lampiran 12. Hal ini sesuai dengan beberapa
peneliti seperti Corlett 1995, 1996,1998b, 2002; Herrera 1984a, 1985; Jordano 2000; Fukui 1995, 2003; Yamaguchi 2005; Spiegel Nathan 2005; Sanz
77
Green 2005; dan Terakawa et al. 2005, bahwa familia Dicaeidae, Pycnonotidae dan Zospteropidae sering dijadikan kajian burung pemakan buah.
Oleh karena itu jumlah terbanyak di setiap tipe vegetasi adalah kelompok burung insektivora, diikuti kelompok frugivora, sedangkan paling sedikit adalah
omnivora Tabel 4. Tabel 4. Pengelompokan burung berdasarkan feeding guild di tiga tipe vegetasi
No Kelompok feeding
guild burung
Tipe vegetasi Total
KT
5
KT
10
HS 1 Frugivora
87 107
1313 1616
2 Granivora 51 21 33 53
3 Insektivora
2915 1813 3122 5028 4
Karnivora 41 20 64 74 5
Nektarivora 66 66 86 97 6
Omnivora 64 11 31 74 Jumlah
5834 3928 6449 9462
KT
5
: kebun teh yang di biarkan menjadi semak belukar ≥5 tahun, KT
10
: kebun teh yang di biarkan menjadi semak belukar
≥10 tahun, HS: hutan sekunder, angka tidak dalam kurung adalah data burung diambil dengan metoda titik hitung dan jala kabut, angka dalam kurung adalah data burung
diambil dengan metoda titik hitung
Jumlah spesies burung insektivora yang lebih banyak dibanding kelompok feeding guild
yang lainnya karena sebagian besar dari burung tersebut adalah burung semak. Hal ini adalah suatu yang sangat umum pada komunitas burung
karena ketersediaan makanan berupa serangga sangat tersebar luas dibanding jenis makanan lainnya. Serangga dapat dijumpai diberbagai lapisan vegetasi maupun
bagian dari tumbuhan seperti di bunga, daun, ranting, dan batang. Oleh karena itu serangga dapat dijadikan sebagai makanan utama atau makanan alternatif dari
burung, jika makanan utama yang lain tidak tersedia. Hal senada ditemukan Novarino 2008 kelompok burung insektivora lebih banyak dibanding frugivora
dan granivora di habitat semak daerah Jorong Sipisang Sumatera Barat. Dominansi kelompok insektivora juga tercatat di komunitas burung di Kalimantan
Wong 1986; Gaither 1994; Sodhi 2002, Pahang Zakaria et al. 2005, Sumatera Novarino Salsabila 1999; Novarino et al. 2006, Jawa Prawiradilaga et al.
2002; Sodhi et al. 2005, dan Sulawesi Waltert et al. 2005. Keanekaan tumbuhan di ketiga tipe vegetasi yang sedang mengalami
suksesi dan berbatasan dengan hutan primer, bisa menyebabkan daerah ini
78
mempunyai keanekaan serangga tinggi, sehingga pemakan serangga menjadi berlimpah. Selain itu, menurut Dale et al. 2000 dan Gates Giffen 1991
daerah pinggiran hutan dapat menampung kelompok burung yang menyukai bagian tengah hutan interior species atau kelompok spesies yang menyukai
daerah terbuka exterior species. Burung-burung pemakan buah frugivora yang kadang-kadang memakan
serangga terdiri spesies yang umum dijumpai di berbagai tipe habitat hutan sekunder seperti genus Megalaima, Macropygia, Ptilinopus, dan Pycnonotus
MacKinnon et al. 2000. Pycnonotus merupakan genus yang umum dijumpai dengan penyebaran luas Fukui 1995; Corlett 1998b; Williams 2002. Demikian
pula dengan Dicaeum dan Zosterops yang merupakan genus umum dijumpai di berbagai daerah dan habitat di pulau Jawa Mackinnon et al. 2000. Selain sangat
umum dijumpai, ketiga genera ini juga mempunyai jumlah yang sangat banyak, kemampuan adaptasi dengan perubahan lingkungan yang tinggi sehingga dapat
dijumpai di perkebunan, perkampungan, bahkan di taman-taman kota. Burung pemakan biji granivora adalah kategori yang jarang dijumpai
pada komunitas burung di KT
5
, KT
10
dan hutan sekunder Tabel 4. Kategori ini biasanya dijumpai melimpah di daerah terbuka yang tersebar di sekitar daerah
pertanian dan perumahan. Beberapa spesies yang tergolong pemakan biji dijumpai dalam penelitian ini karena dipengaruhi oleh letak lokasi penelitian yang dekat
dengan perumahan penduduk, ladang pertanian padi huma, serta 1,5 km ke arah utara dari daerah penelitian merupakan pesawahan. Lonchura leucogastroides,
Lonchura punctulata dan Streptopelia chinensis merupakan burung pemakan biji
yang umum dijumpai di Jawa MacKinnon et al. 2000, sementara Erythrura hyperythra
merupakan burung yang lebih menyukai daerah perbatasan dengan hutan tetapi dekat daerah pertanian Lampiran 14.
Pengelompokan spesies burung berdasarkan kategori cara makan, tempat mencari makan dan jenis makanan guild dari 94 spesies yang terdapat di lokasi
penelitian diperoleh sebanyak 37 guild. Cara pengelompokan tersebut kedalam kategori guild menurut Farias Jaksic 2006 masih menjadi perdebatan.
Pengelompokan suatu spesies ke dalam guild pada suatu komunitas dapat dilakukan dengan pendekatan a priori atau a posteriori Wiens 1992. Namun
79
dalam penelitian ini dilakukan pendekatan a posteriori yaitu kriteria yang ditentukan berdasarkan hasil analisis terhadap pengamatan yang dilakukan.
Gambar 21. Klaster hirarki 94 spesies burung menjadi 37 guild di lokasi penelitian, masing-masing klaster dianggap satu guild
80
Berdasarkan penentuan diatas, guild tersebut terdiri dari 6 guild frugivora, 3 guild masing-masing granivora dan nektarivora, 17 guild insektivora dan 4 guild
masing-masing karnivora dan omnivora Gambar 21. Hal serupa dinyatakan Rakotomanana 1998 dan Aleixo 1999 bahwa pengelompokan bisa dilakukan
berdasarkan pola makan, kebiasaan makan, tempat mencari makan, atau pemilihan tempat mencari makan pada tingkat vegetasi. Karr et al. 1992
mengelompokan guild berdasarkan tiga karakter utama yaitu: 1 strata vegetasi utama yang digunakan oleh spesies-spesies tersebut untuk mencari makan, seperti
daerah tajuk atau strata bawah, 2 spesies makanan seperti serangga, buah, biji dan nektar, 3 teknik atau substrat tempat mencari makan yang utama, seperti
menelisik dedaunan, menangkap sambil melayang, dan mencari di dahan pohon.
5.2.3 Kelimpahan dan Distribusi Burung Pemakan Buah
Secara keseluruhan, dari 94 spesies burung yang ditemukan di seluruh tipe vegetasi lokasi penelitian terdiri atas 1945 individu dari 63 spesies burung yang
bisa dimasukan dalam perhitungan kelimpahan dan distribusi. Jumlah spesies burung tersebut tercakup dalam 23 familia Lampiran 12. Berdasarkan hasil
pengamatan, di semua tipe vegetasi diperoleh data yang menunjukkan bahwa Kacamata biasa Zosterops palpebrosus memiliki kelimpahan individu tertinggi
dengan nilai kepadatan 103 ind.ha di KT
5
, 105 ind.ha di KT
10
, dan 45 ind.ha di hutan sekunder. Spesies burung lainnya yang tercatat sebagai spesies dengan
jumlah individu terbanyak tiap hektarnya yaitu secara berturut-turut Tepus pipi- perak Stachyris melanothorax dan Cinenen jawa Orthotomus sepium dengan
kepadatan berkisar 7-14 ind.ha, dan 5-13 ind.ha Lampiran 14. Menurut Fleming 1992 kepadatan burung frugivora berkaitan dengan kelimpahan buah
yang tinggi. Selain ketiga spesies tadi, kelimpahan spesies burung tidak merata pada
tiap tipe vegetasinya. Sebagai contoh burung Merbah cerukcuk Pycnonotus goiavier
mencapai 14 ind.ha pada tipe vegetasi KT
5
, akan tetapi pada KT
10
dan hutan sekunder tidak ditemukan. Demikian pula dengan burung Perenjak sayap-
garis Prinia familiaris di hutan sekunder dan KT5 ditemukan 11-13 ind.ha, sedangkan di KT
10
hanya 2 ind.ha Lampiran 14. Hal berbeda yang terjadi pada
81
familia Dicaeidae, secara umum kelimpahan individu spesies dari familia Dicaeidae lebih banyak di KT
10
4-11 ind.ha dibanding KT5 3-7 ind.ha dan hutan sekunder 0-4 ind.ha. Perubahan struktur vegetasi pada habitat yang
sedang mengalami suksesi mempengaruhi struktur habitat dan ketersediaan makanan yang diperkirakan ditanggapi oleh burung Karr 1976.
Tabel 5. Kelimpahan dan distribusi burung pemakan buah di tiga tipe vegetasi
No. Nama Ilmiah
Tipe vegetasi
KT
5
KT
10
HS D Fr D Fr D Fr
1 Zosterops palpebrosus
103 100,00
105 100,00
45 86,67
2 Pycnonotus aurigaster
8 60,00
2 13,33
2 13,33
3 Dicaeum trochileum
7 66,67
4 40,00
4 33,33
4 Dicaeum sanguinolentum
4 33,33
12 80,00
4 26,67
5 Dicaeum trigonostigma
4 33,33
11 80,00
4 33,33
6 Dicaeum concolor
3 33,33
4 46,67
7 Pycnonotus goiavier
14 93,33
8 Macropygia emiliana
V V
1 6,67
9 Macropygia unchal
V V
1 20,00
10 Megalaima armillaris
V V
3 26,67
11 Zosterops Montana
V V
5 20,00
12 Megalaima corvina
7 66,67
13 Ptilinopus porphyreus
1 20,00
14 Megalaima haemacephala
5 46,67
15 Pycnonotus bimaculatus
5 40,00
16 Alophoixus bres
5 33,33
Total 8 sp
10 sp 13 sp
KT
5
: kebun teh yang di biarkan menjadi semak belukar ≥5 tahun, KT
10
:kebun teh yang di biarkan menjadi semak belukar
≥10 tahun, HS: hutan sekunder, D: kepadatan burung per ha, FR: frekuensi relative, V: ditemukan spesies burung di habitat tetapi tidak tercatat di titik hitung
Beberapa spesies burung mempunyai kelimpahan yang kecil juga hanya ditemukan di tempat tertentu saja, diantaranya Cucak kutilang Pycnonotus
aurigaster , Cucak gunung Pycnonotus bimaculatus, Merbah cerukcuk
Pycnonotus goiavier dan familia Capitonidae Tabel 5. Kondisi ini disebabkan karena spesies burung khususnya familia Capitonidae dan Cucak gunung
Pycnonotus bimaculatus lebih menyukai tumbuhan yang tinggi untuk aktivitasnya. Oleh karena itu, di tipe vegetasi KT
5
dan KT
10
tidak nyaman digunakan burung tersebut disebabkan kurang tersedia pohon yang tinggi.
Selain itu, spesies Cucak gunung sangat sensitif terhadap kehadiran dan aktivitas manusia, sehingga sangat sulit ditemukan di KT
5
dan KT
10.
Di kedua
82
tempat tersebut lebih banyak aktivitas manusia dibanding di hutan sekunder seperti mencari kayu bakar, menyabit rumput, mencari anggrek dan benalu dari
pohon teh. Disamping itu, Cucak gunung lebih menyukai tempat tenggeran maupun tempat mencari makan di vegetasi yang lebih rapat dan tinggi.
Ketersediaan sumberdaya tumbuhan yang sesuai dengan kebutuhan burung untuk aktivitasnya menunjukkan bahwa tempat tersebut relatif nyaman dan mendukung
untuk kelangsungan hidupnya Karr 1976, 1980. Krebs Davis 1978 menyatakan bahwa bentuk tumbuhan suatu habitat menyediakan beraneka macam
sumberdaya seperti makanan, tempat bersarang dan tempat berlindung. Pycnonotus goiavier
dan Pycnonotus aurigaster lebih menyukai tipe vegetasi yang lebih terbuka serta tidak terlalu sensitif terhadap kehadiran aktivitas
manusia sehingga mempunyai kelimpahan lebih tinggi di KT
5
dan KT
10
Tabel 5. Hal ini karena burung tersebut lebih adaptif dengan tipe vegetasi peralihan dari
kondisi terbuka ke hutan sekunder. Pada vegetasi yang lebih rapat dengan pohon- pohon yang tinggi seperti hutan sekunder homogen, atau hutan sekunder
campuran bahkan di hutan primer, kedua burung cucak tadi tidak ditemukan. Hal senada ditemukan oleh Hadiprayitno 1999, bahwa di hutan pinus usia 5 dan 10
tahun yang banyak semak belukarnya lebih mudah ditemukan kedua burung cucak tadi dibanding di hutan sekunder campuran di Gunung Tangkuban Perahu.
Hasil pengamatan menunjukkan bahwa Kacamata biasa Zosterops palpebrosus
dan Merbah cerukcuk Pycnonotus goiavier merupakan spesies burung dengan frekuensi perjumpaan paling tinggi di KT
5
Lampiran 14. Hampir sama dijumpai di KT
10
, burung Kacamata biasa Zosterops palpebrosus ditemukan di semua titik hitung, sedangkan Merbah cerukcuk Pycnonotus
goiavier tidak ditemukan. Menurut Karr et al. 1992 kelimpahan dan distribusi
spesies burung di habitatnya dipengaruhi oleh kondisi struktur vegetasi. Ketersediaan stratifikasi vertikal vegetasi dapat memberikan pengaruh yang besar
terhadap keberadaan dan kepadatan spesies burung. Perubahan penyebaran burung terjadi pula di hutan sekunder yang secara
struktur dan komposisi vegetasinya lebih komplek. Penyebaran Kacamata biasa Zosterops palpebrosus dan Tepus pipi-perak Stachyris melanothorax
mengalami penurunan yaitu hanya ditemukan masing-masing di 13 dan 7 titik
83
hitung Lampiran14. Perubahan struktur dan komposisi vegetasi dari sederhana menjadi lebih kompleks dapat menurunkan kehadiran dan penyebaran spesies
tertentu, akan tetapi memunculkan spesies yang lainnya Hadiprayitno 1999. Demikian pula kerusakan struktur maupun komposisi vegetasi hutan akibat
kebakaran mempengaruhi distribusi dan kelimpahan burung Ding et al. 1997; Hadiprayitno 1999. Nilai frekuensi yang tinggi menunjukkan bahwa spesies
burung tersebut dapat beradaptasi dengan baik, meskipun terdapat perbedaan kondisi vegetasi. Burung kelompok ini digolongkan kedalam spesies burung yang
sangat umum atau “common species” pada kondisi habitat yang sesuai MacKinnon et al. 2000.
5.3 Karakteristik Burung Pemakan Buah 5.3.1 Morfologi Eksternal Burung Pemakan Buah