Manfaat Penelitian Komunitas Burung

10

1.6 Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan tambahan pembuktian secara empirik mengenai peranan burung dalam ekosistem, terutama fungsi ekologi dari burung pemakan buah yang dianggap sebagai penyebar biji dan membantu untuk suksesi vegetasi. Dengan demikian, 1 dapat memberikan informasi pentingnya keberadaan burung di alam, sehingga tidak hanya di pandang dari nilai nominal fisik burung tetapi juga nilai ekologinya, 2 dapat dijadikan informasi bahan pertimbangan bagi pengelola kawasan konservasi maupun perkebunan dalam menentukan strategi pengelolaan wilayahnya.

1.7 Status Penelitian

Penelitian mengenai burung pemakan buah telah banyak dilakukan oleh para peneliti di Eropa, Amerika Serikat, Amerika Selatan dan Asia khususnya di Jepang. Namun demikian, khususnya untuk burung pemakan buah yang ada di Indonesia masih sangat terbatas pada spesies tertentu seperti Julang dan Rangkong. Beberapa penelitian burung pemakan buah di Indonesia masih berupa pelengkap dari penelitian burung secara umum dan sebagian besar dilakukan oleh peneliti Jepang, Eropa dan Amerika. Penelitian burung pemakan buah belum ada yang dilakukan secara komprehensif di Pulau Jawa sampai saat ini. Oleh karena itu penelitian ini sangat perlu dilakukan. Dari segi pendekatan atau metodologi, menggunakan analisis yang lebih luas mulai dari: 1 analisis vegetasi, 2 analisis komunitas burung, 3 analisis morfometrik eksternal paruh burung maupun internal sistem pencernaan burung, 4 analisis ketersediaan buah secara fenologi lama pembungaan dan buah, kelimpahan, karakteristik eksternal buah dan kandungan nutrisi, 5 analisis perilaku makan yang meliputi perilaku makan harian, strategi mencari makan dan jarak terbang setelah makan, dan 6 interaksi antara burung pemakan buah dan tumbuhan buah pakan. Hasil analisis disajikan dalam bentuk guild klaster, kriteria burung pemakan buah yang sangat baik untuk penyebaran biji dan interaksi komunitas burung dengan suksesi vegetasi. Selain itu, fenologi lama pembungaan dan buah tumbuhan semak 11 didapatkan informasi yang lebih lengkap pada tingkat spesies tumbuhan semak. Ada hubungan penyebaran tumbuhan dengan burung penyebar biji untuk membantu regenerasi dan suksesi dari tumbuhan semak, melalui perilaku makan, jarak minimum penyebaran biji, komposisi biji-biji dalam feses dan kemampuan biji berkecambah. 12 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Habitat dan Penggunaannya Menurut Odum 1993 habitat didefinisikan sebagai suatu tempat dimana organisme tinggal atau biasa ditemukan orang. Habitat terdiri dari komponen abiotik dan biotik yang bersama-sama menyusun kumpulan sumberdaya yang secara langsung maupun secara tak langsung mendukung kehidupan hewan untuk hidup di tempat tersebut. Tumbuh-tumbuhan merupakan bagian dominan dari habitat, dan juga berperan menyediakan berbagai macam makanan, tempat sarang serta tempat berlindung bagi hewan Fleming 1992. Hutan primer, hutan sekunder dan semak merupakan habitat bagi burung, karena di semua tempat tersebut ditemukan berbagai jenis burung Wiens 1992. Tumbuhan yang terdapat di habitat tersebut merupakan faktor penting dalam kehidupan burung, karena beberapa bagian dari tumbuhan yaitu bagian generatif dan bagian vegetatif menjadi sumber makanan. Beberapa burung yang hidup di hutan memakan langsung material tumbuhan, seperti buah-buahan dan bunga Fleming 1992. Buah yang dimakan disebar bijinya bersama feses, dan 50-80 tumbuhan hutan tropik dilakukan penyebaran bijinya oleh burung Karr et al. 1992. Penggunaan habitat oleh burung berubah-ubah tergantung ketersediaan sumberdaya yang dibutuhkannya. Perubahan penggunaan struktur vertikal tumbuhan untuk aktivitas makan burung sangat dipengaruhi oleh penyebaran makanan di pohon tersebut. Hasil penelitian Nurwatha 1994 menunjukkan Burung cabai jawa Dicaeum trochileum, Cinenen kelabu Orthotomus ruficeps dan Burung-madu sriganti Nectarinia jugularis menggunakan lapisan tajuk yang berbeda pada habitat taman kota yang berbeda. Hal ini terkait dengan ketersediaan makanan pada ketinggian tumbuhan yang berbeda. Komposisi komunitas dan kebiasaan hidup burung dapat dipengaruhi oleh perubahan komposisi spesies tumbuhan dalam suatu habitat Lambert 1992. Sebagai contoh, perubahan habitat di hutan dataran rendah menjadi areal terbuka dan semak belukar, mengakibatkan beberapa spesies burung mengubah strata tempat mencari 13 makan dan memperluas daerah jelajahnya. Burung tidak memanfaatkan seluruh habitatnya, melainkan ada seleksi terhadap beberapa bagian dari habitat sesuai dengan yang dibutuhannya Wiens 1992. Pengaruh keterbatasan sumberdaya di habitat untuk burung dapat menyebabkan persaingan baik intra-spesies atau inter- spesies Karr et al. 1992.

2.2 Komunitas Burung

Komunitas burung berdasarkan terminologi adalah suatu kumpulan populasi dari spesies-spesies burung yang hidup di suatu habitat serta saling berinteraksi, membentuk sistem komposisi, struktur, perkembangan dan peranannya sendiri Wiens 1992. Luasnya batasan yang melingkupi, menjadikan suatu komunitas sangat komplek, sehingga dalam memperlajarinya sering dilakukan pembagian-pembagian kajian. Morin 1999 menyatakan bahwa parameter penting dalam mempelajari suatu komunitas adalah taxocene dan guild. Menurut Kaspari 2001 taxocene adalah pengelompokan secara ekologi berdasarkan kelompok taksa tertentu. Penentuan suatu komunitas berdasarkan taxocene terbatas pada organisme yang secara taksonomi relatif sama dan mendominasi komunitas tersebut, seperti komunitas burung. Taxocene merupakan unit dasar dalam penelitian makroekologi dan mempunyai parameter seperti kelimpahan dan keanekaan. Guild merupakan kumpulan spesies yang memanfaatkan suatu sumber daya dengan cara yang sama. Wiens 1992 menyatakan bahwa elemen kunci dari definisi guild adalah spesiesnya syntopic, kesamaan di antara spesies lebih ditentukan oleh kesamaan mereka dalam memanfaatkan suatu sumber daya dibandingkan secara taksonomi. Konsep guild diperkenalkan untuk mengklarifikasi beberapa kekeliruan sehubungan dengan konsep relung niche, yang sebelumnya lebih banyak ditekankan pada seperangkat kondisi yang memungkinkan suatu spesies untuk tetap eksis dalam lingkungannya Wiens 1992. Oleh karena itu, beberapa peneliti membatasi komunitas burung dengan batasan taksonomi dan guild yang berbeda, sehingga menjadi beberapa kelompok kecil dari burung seperti komunitas 14 burung air, paserin kecil, pemangsa, pemakan nektar, dan pemakan buah Wiens 1992. Komposisi spesies dari komunitas burung lokal ditentukan oleh penambahan spesies melalui pembentukan kolonisasi baru dan kehilangan spesies melalui kepunahan lokal. Perubahan tersebut terjadi dalam skala ruang dan waktu Wiens 1992. Hal tersebut terkait dengan adanya perubahan habitat Balen 1999. Habitat didominasi vegetasi semak, komposisi spesies burung yang menempatinya lebih banyak dari familia Sylviidae. Akan tetapi, habitat telah banyak ditumbuhi vegetasi pancang dan pohon komposisi spesies burung yang menempati bertambah dari familia Cuculidae, Picidae dan Capitonidae Hadiprayitno 1999.

2.2.1 Keanekaan burung

Keanekaan spesies berhubungan dengan kekayaan jumlah spesies dalam suatu komunitas dan jumlah individu masing-masing spesies dalam komunitas tersebut Krebs 1989; Wiens 1992. Keanekaan spesies adalah suatu karakteristik tingkatan komunitas berdasarkan organisasi biologisnya yang dapat digunakan untuk menyatakan struktur komunitas. Komponen utama keanekaan spesies adalah kekayaan jenis dan equitabilitas dalam pembagian individu yang merata diantara jenis Odum 1993. Keanekaan spesies cenderung lebih rendah dalam ekosistem yang homogen dan lebih tinggi dalam ekosistem yang alami dan kompleks. Peningkatan jumlah spesies burung juga berkaitan dengan pertambahan luas habitat Wiens 1992. Struktur komunitas dan kekayaan spesies burung berbeda antara suatu habitat dengan habitat yang lainnya Johnsing Joshua 1994. Keanekaan spesies di suatu habitat ditentukan oleh faktor seperti struktur vegetasi, komposisi spesies tumbuhan, sejarah habitat, tingkat gangguan dari predator dan manusia Welty Baptista 1988 serta ukuran luas habitat Wiens 1992. Oleh karena itu, kondisi suksesi vegetasi berkaitan erat dengan perubahan komposisi spesies yang menempatinya Alikodra 1990. Penelitian mengenai hubungan keanekaan spesies burung dengan tahapan suksesi telah dilakukan di beberapa tempat. Welty Baptista 1988 mendapatkan 15 spesies burung yang dominan berbeda di tiap tahapan suksesi proses reklamasi suatu lahan basah. Tiga tahun setelah reklamasi, spesies burung yang dominan adalah Anthus pratensis . Emberiza schoeniculus menjadi burung yang dominan pada tempat tersebut setelah lahan menjadi bentangan lumpur yang lembek. Pada bentangan lumpur yang keras 19 tahun setelah reklamasi, spesies burung yang dominan adalah Montacilla flava . Selanjutnya ketika lahan tersebut telah berubah menjadi padang rumput, spesies burung yang dominan adalah Alanda arvensis. Hal serupa ditemukan Hadiprayitno 1999 di Gunung Tangkuban Parahu Jawa Barat, di habitat pinus yang berbeda usia. Di hutan pinus usia kurang dari 5 tahun ditemukan 6 spesies burung di dominasi oleh Cica-koreng jawa Megalurus palustris ; hutan pinus usia 6-10 tahun ditemukan 7 spesies burung di dominasi Kacamata biasa Zosterops palpebrosus; hutan pinus berusia 11-15 tahun ditemukan 13 spesies burung di dominasi Kacamata biasa Zosterops palpebrosus dan Bentet kelabu Lanius schach; dan hutan pinus berusia 15 tahun ditemukan 21 spesies burung didominasi Kacamata biasa Zosterops palpebrosus dan Gelatik-batu kelabu Parus major.

2.2.2 Kelimpahan dan Distribusi Burung

Kelimpahan spesies burung dapat dinyatakan dengan jumlah individu suatu spesies di suatu habitat tertentu dalam waktu tertentu Wiens 1992. Pada beberapa penelitian sering dinyatakan dengan kelimpahan relatif, yaitu jumlah total individu atau biomas suatu spesies dibandingkan jumlah total individu atau biomas seluruh spesies pada areal yang diamati Morin 1999. Menurut Wiens 1992 ada tiga model kelimpahan spesies yang bisa dijumpai dalam suatu komunitas yaitu: 1 jika secara numerik sebagian kecil spesies dalam komunitas mendominasi cukup besar, maka kelimpahan cenderung tidak seimbang. Model ini cenderung terjadi pada komunitas yang hanya memiliki sedikit spesies. Spesies dominan menguasai ruang tertentu dalam komunitas, sementara spesies lainnya menguasai bagian yang terpisah. Model ini dikenal juga dengan istilah Relung Preemption Model , 2 beberapa spesies mungkin berbagi relung secara acak 16 diantara mereka tanpa ada tumpang tindih. Jika kelimpahan sesuai dengan ukuran relung, distribusi dari kelimpahan spesies cenderung seimbang dengan hanya sedikit dominan secara numerik oleh sebagian kecil spesies. Model ini sesuai dengan yang dipopulerkan oleh MacArthur yaitu Broken Stick Model, 3 distribusi dan kelimpahan burung sesuai dengan distribusi log normal, terutama jika komunitas disusun oleh banyak spesies. Jika kelimpahan relatif dari spesies dibentuk oleh banyak faktor bebas yang saling berperan, faktor tersebut akan berlipat sehingga membentuk distribusi log normal Menurut Karr et al. 1992 kelimpahan dan distribusi spesies burung di habitatnya dipengaruhi oleh kondisi struktur vegetasi. Ketersediaan stratifikasi vertikal vegetasi dapat memberikan pengaruh yang besar terhadap keberadaan dan kepadatan spesies burung. Oleh karena itu, kerusakan struktur maupun komposisi vegetasi hutan akibat kebakaran mempengaruhi distribusi dan kelimpahan burung karena terjadi perubahan struktur dan komposisi vegetasi Ding et al. 1997; Hadiprayitno 1999. Selain itu, distribusi spesies burung juga dipengaruhi oleh fragmentasi habitat dan ketersediaan sumberdaya di habitat seperti makanan Hobson Bayne 2000, Haslem Bennett 2008. Menurut Fleming 1992 kelimpahan buah yang tinggi berhubungan erat dengan kepadatan burung pemakan buah. 2.3 Karakteristik Burung Pemakan Buah 2.3.1 Morfologi Burung Pemakan Buah