Komunitas Burung pemakan buah di Panaruban, Subang ekologi makan dan penyebaran biji tumbuhan semak

(1)

KOMUNITAS BURUNG PEMAKAN BUAH DI

PANARUBAN, SUBANG:

Ekologi Makan dan Penyebaran Biji Tumbuhan Semak

RUHYAT PARTASASMITA

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(2)

PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER

INFORMASI

Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa segala pernyataan dalam disertasi saya yang berjudul:

“KOMUNITAS BURUNG PEMAKAN BUAH DI PANARUBAN

SUBANG: Ekologi Makan dan Penyebaran Biji Tumbuhan Semak”

merupakan gagasan atau hasil disertasi saya sendiri dengan bimbingan dari Komisi Pembimbing, kecuali yang dengan jelas ditunjukkan rujukannya. Disertasi ini belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar pada program sejenis di perguruan tinggi lain.

Semua data dan informasi yang digunakan telah dinyatakan secara jelas dan dapat diperiksa kebenarannya. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka dibagian akhir disertasi ini,

Bogor, April 2009

Ruhyat Partasasmita NRP G361020121


(3)

ABSTRACT

RUHYAT PARTASASMITA. Frugivorous Bird Communities in Panaruban, Subang: Feeding Ecology and Shrubland Seed Dispersal. Under the direction of ANI MARDIASTUTI, DEDY DURYADI SOLIHIN, REVIANY WIDJAJAKUSUMA and SITI NURAMALIATI PRIJONO.

Java has been experiencing a heavy deforestation in the 16th century. Combined with a densely human population, most forests have changed into open land with shrubs and secondary vegetation. To recover disturbed vegetation the role of seed dispersal agents, e.g. frugivorous birds is really important. So, this paper describes the role of frugivorous birds as shrubland seed dispersal agents at Panaruban, Subang. The study was conducted since April 2005 until May 2006. Census of bird’s communities was carried out by point count method, frugivorous bird morphology character was undertaken by capture-mist netting and morphometric, fruit availability was estimated by extrapolation, feeding behavior was observed by behavior method, and interaction of frugivorous birds-plant was carried out by feces-seed content method and seed germination. Bird community hierarchy cluster contained 17 insectivorous guilds, 6 frugivorous guilds, and 3 granivorous and nectarivorous guilds. Frugivorous birds had gape width-height ratio of ≥ 0.90. The highest shrubland fruit abundance was at the secondary forest (63.86 weight kg.ha-1), while the lowest at KT10 (15.65 weight kg.ha-1). The highest feeding rate was 8 fruits/minute Breynia microphylla by Pycnonotus aurigaster, and 9 fruits/minutes by

Pycnonotus goiavier. It was dispersed with the shortest distance 176.4 m Melastoma affine by Pycnonotus aurigaster, while Pycnonotus goiavier dispersed the shortest distance Sambucus javanicus was 100.5 m. There was strong interaction between frugivorous bird-fruit by gape width-height and fruit diameter. Abundance and distribution of seed composition in feces varied among bird spesies and plant. Seed germination passing bird guts was more than pulp artificially removal and seed within intact seed.

.


(4)

ABSTRAK

RUHYAT PARTASASMITA. Komunitas Burung Pemakan Buah di Panaruban, Subang: Ekologi Makan dan Penyebaran Biji Tumbuhan Semak. Dibimbing oleh ANI MARDIASTUTI, DEDY DURYADI SOLIHIN, REVIANY WIDJAJAKUSUMAH, SITI NURAMALIATI PRIJONO.

Jawa telah sedang mengalami kerusakan hutan yang sangat besar sejak abad 16. Berkaitan dengan kepadatan populasi manusia, kebanyakan hutan sudah berubah jadi lahan terbuka yang ditumbuhi semak belukar dan vegetasi hutan sekunder di pulau-pulau di Indonesia, Pemulihan vegetasi yang telah mengalami kerusakan dibutuhkan peran agen penyebar biji, sebagai contoh burung-burung pemakan buah yang potensial. Dengan demikian, disertasi ini menjelaskan peranan burung-burung pemakan buah sebagai agen penyebar biji tumbuhan semak di Panaruban, Subang. Penelitian telah dilakukan mulai bulan April 2005 sampai Mei 2006. Sensus komunitas burung dilakukan dengan metoda titik hitung. Karakteristik morfologi burung pemakan buah dilakukan dengan penangkapan memakai jala kabut dan pengukuran morfologi. Ketersediaan buah diestimasi menggunakan metoda ekstrapolasi. Perilaku makan diamati menggunakan metoda perilaku, dan interaksi antara tumbuhan dan burung pemakan buah dilakukan dengan metoda analisis biji dalam feses burung yang tertangkap, serta kemampuan daya perkecambahan biji. Hasil yang didapat adalah klaster hirarki komunitas burung terdiri dari 17 guild insektivora, 6 guild frugivora, dan 3 guild masing-masing granivora dan nektarivora. Burung pemakan buah mempunyai rasio tinggi-lebar bukaan paruh ≥ 0,90. Kelimpahan buah tumbuhan semak tertinggi terdapat di hutan sekunder (63,86 kg basah.ha-1, sedangkan terendah di KT10 (15,65 kg basah.ha-1). Laju makan tertinggi dilakukan burung pada buah Breynia microphylla yaitu 8 buah/menit oleh

Pycnonotus aurigaster, dan 9 buah/menit oleh Pycnonotus goiavier. Jarak minimum penyebaran biji Melastoma affine 176,4 m oleh Pycnontus aurigaster, sedangkan

Pycnonotus goiavier menyebarkan biji Sambucus javanicus dengan jarak minimum yaitu 100,5 m. Terdapat interaksi yang kuat antara besar bukaan paruh burung pemakan buah dan diameter buah. Komposisi kelimpahan dan penyebaran biji dalam feses burung bervariasi menurut spesies burung dan spesies tumbuhan. Daya kecambah biji yang melalui pencernaan burung lebih tinggi dibanding biji yang dikupas kulit dan daging atau buah utuh.


(5)

RINGKASAN

RUHYAT PARTASASMITA. Komunitas Burung Pemakan Buah di Panaruban, Subang: Ekologi Makan dan Penyebaran Biji Tumbuhan Semak. Dibimbing oleh ANI MARDIASTUTI sebagai ketua, DEDY DURYADI SOLIHIN, REVIANY WIDJAJAKUSUMA, dan SITI NURAMALIATI PRIJONO masing-masing sebagai anggota komisi.

Banyak hutan telah mengalami kerusakan akibat berbagai aktivitas manusia, seperti penebangan liar, perubahan tataguna lahan hutan, dan aktivitas perladangan di Indonesia. Sebagai hasilnya banyak hutan berubah menjadi lahan terbuka dengan ditumbuhi tumbuhan semak. Pemulihan vegetasi yang telah mengalami kerusakan dibutuhkan peran agen penyebar biji, sebagai contoh burung-burung pemakan buah. Sebuah penelitian mengenai peranan burung-burung pemakan buah dalam suksesi tumbuhan semak telah dilakukan khususnya berkaitan dengan ekologi makan dan penyebar biji tumbuhan semak di Panaruban, Subang. Penelitian ini dilakukan pada bulan April 2005 sampai Mei 2006.

Untuk mengetahui kondisi vegetasi dilakukan dengan metoda sampling kuadrat dan diagram profil. Pengamatan keanekaan burung dilakukan dengan metoda titik hitung dan tangkap-lepas kembali. Karakteristik morfologi burung pemakan buah diukur meliputi morfologi eksternal dan morfologi sistem pencernaan. Ketersediaan buah diestimasi menggunakan metoda ekstrapolasi. Pengamatan terhadap karakteristik buah pakan dilakukan meliputi penampakan buah berdasarkan warna buah matang, berat basah buah, berat kering udara dari biji, bentuk dan diameter buah, dan jumlah biji per buah. Perilaku makan harian dan penggunaan makanan dilakukan dengan metoda ad-libitum dan sampling perilaku. Jarak terbang minimum burung pemakan buah setelah makan dilakukan dengan mengukur mulai dari batas terluar kanopi tumbuhan tempat makan ke batas terluar kanopi tumbuhan tempat bertengger pertama setelah makan. Komposisi biji dalam feses burung pemakan buah dikumpulkan melalui analisis feses pada burung yang tertangkap. Pengamatan perkecambahan biji dilakukan terhadap biji dalam buah utuh, biji yang dikupas kulit dan daging buahnya, dan biji dari feses burung pemakan buah. Analisis data dilakukan terhadap kerapatan, kelimpahan, frekuensi, dominansi, indeks nilai penting dan indeks keanekaan spesies tumbuhan. Kelimpahan, distribusi, indeks keanekaan, kemerataan komunitas burung, dan pengelompokan struktur burung berdasarkan klaster hirarki guild. Perbedaan keanekaan burung di tiap tipe vegetasi, fenologi perkembangan bunga dan buah dilakukan uji-t, lama kunjungan, lama waktu makan, laju makan, jarak terbang, jumlah kunjungan burung ke tumbuhan pakan dan daya kecambah dilakukan uji Chi-square. Interaksi burung dan tumbuhan buah dilakukan dengan uji regresi korelasi.

Hasil penelitian menunjukkan kerapatan tumbuhan semak di perkebunan teh yang tidak dikelola selama ≥5 tahun (KT5) (2,49 ind./m2), KT10 (1,23 ind./m2) dan hutan sekunder (1,05 ind./m2). Komunitas burung tercatat di KT5 sebanyak (58 spesies; 235 ind./ha), KT10 (39 spesies; 208 ind./ha) dan hutan sekunder (64 spesies; 204 ind./ha). Berdasarkan klaster hirarki komunitas burung dari 94 spesies terdiri


(6)

dari 17 guild insektivora, 6 guild frugivora, 4 guild masing-masing karnivora dan omnivora, serta 3 guild masing-masing granivora dan nektarivora. Burung pemakan buah mempunyai rasio tinggi bukaan paruh dan lebar bukaan paruh ≥ 0,90. Tebal

ventriculus burung pemakan buah sangat menentukan biji dapat keluar bersama feses dalam keadaan utuh. Kelimpahan buah tumbuhan semak tertinggi terdapat di hutan sekunder (63,86) kg basah.ha-1, sedangkan terendah di KT10 (15,65) kg basah/ha-1. Kandungan nutrisi karbohidrat tertinggi adalah 50,22% pada tumbuhan Rubus chrysophyllus, lemak (18,45%) pada Sambucus javanicus, dan protein (11,21%) pada

Lantana camara. Kunjungan burung Cucak kutilang (Pycnonotus aurigaster) lebih banyak ke tumbuhan Cecerenean (Breynia microphylla), sedangkan Merbak cerukcuk ke tumbuhan Harendong beureum (Melastoma affine). Kipapatong (Sambucus javanicus) dikunjungi lebih lama dibanding tumbuhan lain yaitu 130,5±17,0 detik untuk Pycnonotus aurigaster, dan 135,2±41,5 detik untuk Pycnonotus goiavier. Laju makan tertinggi dilakukan burung pada buah tumbuhan Cecerenean (Breynia microphylla) yaitu 8 buah/menit untuk Pycnonotus aurigaster, dan 9 buah/menit untuk Pycnonotus goiavier. Rata-rata jarak minimum penyebaran biji terjauh oleh

Pycnonotus aurigaster dilakukan setelah memakan buah tumbuhan Harendong

beureum (Melastoma affine) yaitu 176,4 m, sedangkan Pycnonotus goiavier setelah memakan tumbuhan Kipapatong (Sambucus javanicus) yaitu 100,5 m. Terdapat hubungan yang kuat antara besar bukaan paruh burung pemakan buah dengan diameter buah pakannya (R2 = 0,96). Komposisi kelimpahan dan penyebaran biji dalam feses burung bervariasi antara spesies burung dan spesies tumbuhan. Daya kecambah biji yang melalui pencernaan burung lebih tinggi dibanding biji yang dikupas kulit dan daging buah atau buah utuh.


(7)

© Hak cipta milik IPB, tahun 2009 Hak cipta dilindungi Undang-Undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritikan atau tinjauan suatu masalah.

b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.


(8)

KOMUNITAS BURUNG PEMAKAN BUAH DI

PANARUBAN, SUBANG:

Ekologi Makan dan Penyebaran Biji Tumbuhan Semak

RUHYAT PARTASASMITA

Disertasi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada

Program Studi Biologi

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(9)

Dosen penguji pada Ujian Tertutup 1. Dr. Ir. Yeni Aryati Mulyani, M.Sc

Dosen penguji pada Ujian Terbuka 1. Dr. Ir. Dewi M. Prawiradilaga, M.Sc


(10)

HALAMAN PENGESAHAN

Judul Disertasi : Komunitas Burung Pemakan Buah di Panaruban, Subang: Ekologi Makan dan Penyebaran Biji Tumbuhan Semak Nama : Ruhyat Partasasmita

NRP : G361020121

Program Studi : Biologi

Menyetujui, Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Ir. Ani Mardiastuti, M.Sc. Dr. Ir. Dedy Duryadi Solihin, DEA Ketua Anggota

Prof. drh. Reviany Widjajakusuma, M.Sc., Ph.D Dr. Ir. Siti Nuramaliati Prijono Anggota Anggota

Mengetahui,

Ketua Program Studi Biologi Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr. Ir. Dedy Duryadi Solihin, DEA. Prof. Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, MS Tanggal Ujian: 28 April 2009 Tanggal Lulus:


(11)

PRAKATA

Alhamdulillah, segala puji bagi Allah SWT atas limpahan rahmatNya dan perkenanNya sehingga tulisan ini dapat diselesaikan. Sholawat dan salam semoga dilimpahkan kepada Nabi Muhammad s.a.w, ahlul bait serta pengikutnya sampai akhir zaman, aamiin.

Tulisan ini berisi hasil penelitian tentang komunitas burung pemakan buah di Panaruban, Subang: ekologi makan dan penyebaran biji tumbuhan semak. Penelitian ini dilaksanakan untuk menyusun disertasi sebagai syarat memperoleh gelar Doktor dalam Program Studi Biologi di Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Untuk itu, penulis menyampaikan terimakasih yang sebesar-besarnya dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada Komisi Pembimbing yaitu Prof. Dr. Ir. Ani Mardiastuti, M.Sc., Dr. Ir. Dedy Duryadi Solihin, DEA., Prof. drh. Reviany Widjajakusuma, M.Sc., Ph.D dan Dr. Ir. Siti Nuramaliati Prijono atas segala kesabaran, ketelitian, pengertian dan dukungannya selama penulis menempuh program Doktor. Semoga Allah SWT membalasnya dengan pahala yang setimpal, senantiasa memberikan cahaya petunjukNya, kesehatan yang disyukuri serta rezeki yang berkah, aamiin.

Terimakasih penulis sampaikan kepada Rektor Institut Pertanian Bogor, Dekan Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, Dekan Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, dan Ketua Program Studi Biologi Institut Pertanian Bogor, Rektor, Dekan Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, dan Ketua Jurusan Biologi Universitas Padjadjaran yang telah memberi kesempatan kepada penulis untuk mengikuti Program Doktor. Tak lupa penulis sampaikan ucapan terimakasih kepada Ir. Imam selaku Direktur ADM PTPN VIII perkebunan teh Ciater Subang yang telah memberi ijin penulis melakukan penelitian di lokasi Afdeling III, juga kepada Kepala Bidang Zoologi, Puslit Biologi LIPI Cibinong yang telah memberi ijin pinjaman alat penelitian.

Terimakasih penulis sampaikan kepada Prof. Dr. Keisuke Ueda, Prof. Dr. Carlos M. Herrera, Prof. Dr. Pedro Jordano, Prof. Dr. Richard T. Corlett, Prof. Dr. Nathaniel T. Wheelwright, Prof. Dr. Douglas J. Levey, Prof. Dr. Juan Carlos Guix,


(12)

Prof. Dr. Mauro Galetti, Prof. Dr. Nike Reid, Prof. Dr. Seiki Takazuki, Dr. Kazuhito Kawakami, Dr. Kazuhiro Eguchi, dan Dr. Akiko Fukui, yang telah memberi berbagai paper publikasi, diskusi, perbaikan metoda dan bantuan alat lapangan. Tidak lupa juga penulis sampaikan terimakasih kepada Direktur IdeaWild Fund yang telah membantu menyediakan alat-alat lapangan.

Terimakasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya penulis sampaikan kepada Dr. Dede Setiadi MS yang telah berkenan sebagai tim penilai proposal disertasi. Terima kasih kepada Dr. Ir. Yeni Aryati Mulyani, M.Sc yang telah berkenan sebagai penguji luar komisi pada pelaksanaan Ujian Tertutup, Dr. Ir. Dewi Malia Prawiradilaga, M.Sc., dan Prof. Dr. Ir. Sambas Basuni, MS yang telah berkenan sebagai penguji luar komisi pada pelaksanaan Ujian Terbuka. Semoga Allah SWT membalasnya dengan pahala yang setimpal, senantiasa memberikan cahaya petunjukNya, kesehatan yang disyukuri serta rezeki yang berkah, aamiin.

Terimakasih khusus kepada Dr. Wilson Novarino, Dr. Hutwan Syarifudin, Drs. Prihadi Santoso MS, Drs. Joko Kusmoro, Tedi Setiadi S.Si, Puji Rahayu S.Si, Dea Rodiana S.Si, Mira Yustina S.Si, Ema Yustikasari S.Si, Erik FH S.Si, Ringga Amelia S.Si, Ferli Tiana S.Si, Felicia Lesmana S.Si, Muhamad Adriansyah S.Si, Jaya Permana S.Si, Farid Alfalakih S.Si, keluarga Bapak Udung, dan Bapak Wahyu yang telah banyak membantu persiapan lapangan, identifikasi sampel tumbuhan dan biji, dan pengolahan data. Hanya Allah SWT yang akan membalas kebaikan mereka, dengan yang lebih baik lagi, aamiin.

Terimakasih penulis ucapkan kepada teman-teman dari PILI terutama keluarga Iwan Setiawan S.Si, Muhamad Muhtar S.Si, dan Ida Anshori yang telah memberi tempat penginapan selama penulis mengikuti perkuliahan program doktor. Demikian pula penulis sampaikan ucapan terima kasih kepada Insan Kunia S.Hut, Lina dan keluarga besar wisma Dolpin yang telah banyak membantu dalam persiapan sidang komisi, seminar, sidang tertutup dan sidang terbuka program doktor di IPB. Penulis sampaikan ucapan terimakasih kepada rekan-rekan mahasiswa Program Studi Biologi Sekolah Pascasarjana IPB angkatan 2002/2003 terutama Dr. Elvia dan Dr. Edi Nurcahya, serta tante Ir. Tri Sumarno MP yang telah banyak mendukung secara


(13)

moril untuk menyelesaikan penulisan disertasi ini. Semoga Allah SWT membalas kebaikan mereka dengan balasan yang setimpal, aamiin.

Rasa terimakasih yang tak putus-putusnya penulis ucapkan kepada bapak Sasmita (almarhum) dan ibunda Alsih (almarhum) yang telah membesarkan, mendidik dengan penuh kasih sayang, yang selalu mendukung dan mendoakan dengan tulus, semoga Allah SWT membalasnya dengan pahala yang tak putus-putusnya, menyayanginya, memberikan tempat yang indah dan meridhoinya, aamiin. Untuk istri tersayang Dra. Monique Adithyawardhani dan anak-anaku tercinta Hanny Mardiah Utami, Fikri Abdillah Majied, Hilman Sya’ban Sulthoni, keluarga besar bapak Rio Utomo dan bapak Sasmita yang tidak dapat disebutkan satu persatu atas kesabaran, dukungan do’a dan bantuan moril maupun materiil. Semoga Allah SWT membalasnya dengan yang lebih baik lagi, aamiin.

Akhirnya, ucapan terimakasih penulis sampaikan kepada lembaga yang memberikan bantuan selama penulis menjalani program doktor, yaitu DIKTI melalui BPPS, JSPS dan DPP-SPP Unpad.

Tak ada gading yang tak retak, penulis menyampaikan maaf yang sedalam-dalamnya apabila ada kekurangan dalam menempuh pendidikan program doktor, dan semoga tulisan ini bermanfaat.

Bogor, April 2009 Ruhyat Partasasmita


(14)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Sumedang pada tanggal 15 Januari 1968 sebagai anak keempat dari pasangan Bapak Sasmita (almarhum) dan Ibu Alsih (almarhum). Pendidikan Sekolah Dasar diselesaikan pada tahun 1981 di SD Negeri Betok, Sekolah Menengah Pertama lulus tahun 1983 di SMP Negeri Sukamenak, Kecamatan Darmaraja, Kabupaten Sumedang, dan Sekolah Menengah Atas di SMA Negeri Situraja lulus tahun 1987.

Pada tahun yang sama penulis lulus seleksi masuk perguruan tinggi negeri melalui jalur SIPENMARU pada Jurusan Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Padjadjaran, lulus pada tahun 1992. Pada tahun 1995, penulis diterima di Program Studi Biologi pada Program Pascasarjana Institut Teknologi Bandung dengan sponsor dari TMPD DIKTI dan menamatkannya pada tahun 1998. Kesempatan untuk melanjutkan ke program doktor pada program studi yang sama diperoleh di Institut Pertanian Bogor dengan sponsor dari BPPS DIKTI pada tahun 2002.

Penulis bekerja sebagai dosen untuk mata kuliah Taksonomi Vertebrata, Ekologi Hewan, Konservasi Alam, Ornitologi, Konservasi Hewan dan Pengelolaan Satwa Liar di Laboratorium Taksonomi dan Ekologi Hewan, Jurusan Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Padjadjaran, sejak tahun 1997 sampai sekarang.

Sejak mengikuti program S3, penulis menjadi anggota perhimpunan peneliti burung Indonesia. Pada bulan Juni-Agustus tahun 2003, penulis mendapat kesempatan untuk mengikuti pelatihan bahasa Jepang di Pusat Studi Bahasa Jepang (PSBJ) kerjasama DIKTI-Unpad. Bulan Oktober-November tahun 2003 penulis mengikuti pelatihan metoda Birdbanding di Yamashina Institute for Ornitohology, Otayama, Jepang. Selain itu, penulis mendapat kesempatan mengikuti pelatihan menulis proposal dan karya ilmiah di Laboratory of Animal Ecology, Rikkyo University, Tokyo, Jepang. Bulan Juli 2005, penulis berpartisifipasi dalam Fourth


(15)

International Symposium/Workshop on Frugivores and Seed Dispersal di Griffith University, Brisbane, Australia.

Penulis menikah dengan Dra. Monique Adityawardhani pada tahun 1995, dan dikaruniai Allah SWT anak dengan satu orang putri diberi nama Hanny Mardiah Utami, serta dua orang putra yaitu Fikri Abdillah Majied dan Hilman Sya’ban Sulthoni. Alhamdulillah.


(16)

DAFTAR ISI

Hal.

DAFTAR TABEL ... iv

DAFTAR GAMBAR ... v

DAFTAR LAMPIRAN ... vi

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Kerangka Pemikiran ... 5

1.3 Rumusan Masalah ………. 7

1.4 Hipotesis ... 8

1.5 Tujuan Penelitian ... 8

1.6 Manfaat Penelitian ……….………. 10

1.7 Status Penelitian ... 10

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Habitat dan Penggunaannya ... 12

2.2 Komunitas Burung ... 13

2.2.1 Keanekaan Burung ... 14

2.2.2 Kelimpahan dan Distribusi Burung …………..……….. 15

2.3 Karakteristik Morfologi Burung Pemakan Buah ... 16

2.3.1 Morfologi Eskternal Burung Pemakan Buah ………….. 16

2.3.2 Morfologi Sistem Pencernaan Burung Pemakan Buah… 17 2.4 Ketersediaan Buah ... 19


(17)

2.4.2 Kelimpahan Buah ……….. 21

2.4.3 Karakteristik Buah ……… 22

2.4.3.1 Warna buah ...……… 22

2.4.3.2 Ukuran Buah dan Biji ………... 22

2.4.3.3 Nutrisi Buah ………. 24

2.5 Perilaku Makan ……….. 24

2.5.1 Waktu Aktivitas Makan ………..……….. 25

2.5.2 Preferensi Makan ………. 26

2.6 Interaksi Burung dan Tumbuhan Buah ... 27

2.6.1Penyebaran Biji ……….. 27

2.6.2 Daya Kecambah Biji ………..………. …. 29

3. KONDISI UMUM DAERAH PENELITIAN 3.1 Area Studi ... 31

3.1.1 Letak dan Luas ... 31

3.1.2 Topografi dan Iklim ... 31

3.1.3 Vegetasi ... 31

3.1.4 Fauna ... 32

4. BAHAN DAN METODE 4.1 Tempat dan Waktu Penelitian ……….……….…..…… 34

4.2 Alat dan Bahan Penelitian ... 34

4.3 Metode Pengumpulan Data ... 35

4.3.1 Diagram Metoda Penelitian ……….. 35

4.3.2 Analisis Vegetasi ………... 36

4.3.2 Komunitas Burung ... 38

4.3.2.1 Keanekaan Spesies Burung ………..……. 38

4.3.2.2 Kelimpahan dan Distribusi Burung ……….. 38

4.3.3 Karakteristik Morfologi Burung Pemakan Buah ... 39


(18)

4.3.3.2 Morfologi Sistem Pencernaan Burung Pemakan

Buah ... 45

4.3.4 Ketersediaan Buah Pakan ... 46

4.3.4.1 Fenologi Tumbuhan Buah ... 46

4.3.4.2 Kelimpahan Buah Pakan ... 47

4.3.4.3 Karakteristik Buah Pakan ... 48

4.3.5 Perilaku Makan Burung Pemakan Buah ... 48

4.3.5.1 Perilaku Makan Harian ………. 48

4.3.5.2 Strategi Mencari Makan ……… 49

4.3.5.3 Jarak Terbang Setelah Makan ... 50

4.3.6 Interaksi Burung dan Tumbuhan Buah ………. 51

4.3.6.1 Komposisi Biji pada Feses Burung ……... 51

4.3.6.2 Daya Kecambah ... 54

4.4 Analisis Data ………..……….... 55

4.4.1 Analisis vegetasi ... 55

4.4.2 Struktur Komunitas Burung ………... 57

4.4.2.1 Keanekaan Spesies Burung ………... 57

4.4.2.2 Kelimpahan dan Distribusi Burung ……….. 58

4.4.3 Karakteristik Burung Pemakan Buah ... 59

4.4.3.1 Morfologi Eksternal Burung Pemakan Buah ... 59

4.4.3.2 Morfologi Sistem Pencernaan Burung Pemakan Buah ………... 60

4.4.4 Ketersediaan Buah Pakan ... 60

4.4.4.1 Fenologi Tumbuhan Buah ... 60

4.4.4.2 Kelimpahan Buah Pakan ... 60

4.4.4.3 Karakteristik Buah dan Biji ... 61

4.4.5 Perilaku Makan Burung Pemakan Buah ... 61

4.4.5.1 Perilaku Makan Harian ………. 61

4.4.5.2 Strategi Mencari Makan ……… 61


(19)

4.4.6 Interaksi Burung dan Tumbuhan Buah ………. 63

4.4.6.1 Korelasi Besar Bukaan Paruh dengan Ukuran Buah Pakan ………..…………. 63

4.4.6.2 Komposisi Biji pada Feses Burung ………... 63

4.4.6.3 Daya Kecambah ... 64

5. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Struktur Vegetasi di Lokasi Penelitian ……….…...…….….. 65

5.2 Komunitas Burung …………... 72

5.2.1 Keanekaan Spesies Burung ………..……. 72

5.2.2 Pengelompokan Burung Berdasarkan Jenis Makanan yang Dimakannya ………. 76

5.2.3 Kelimpahan dan Distribusi Burung Pemakan Buah …... 80

5.3 Karakteristik Burung Pemakan Buah ... 83

5.3.1 Morfologi Eksternal Burung Pemakan Buah ... 83

5.3.2 Morfologi Sistem Pencernaan Burung Pemakan Buah ... 87

5.4 Ketersediaan Buah Pakan Burung Pemakan Buah …... 89

5.4.1 Fenologi Tumbuhan Buah Pakan ... 89

5.4.2 Kelimpahan Buah Pakan ... 92

5.4.3 Karakteristik Buah Pakan ... 94

5.4.3.1 Ukuran Buah dan Biji Pakan Burung ……… 96

5.4.3.2 Warna Buah Pakan Burung ……….. 97

5.4.3.3 Nutrisi Buah Pakan Burung ……….. 100

5.5 Perilaku Makan Burung Pemakan Buah ... 102

5.5.1 Perilaku Makan Harian ………..………….. 102

5.5.2 Perilaku Mencari dan Memetik Buah ……….. 104

5.5.3 Perilaku Perilaku Menangani dan Menelan Buah ... 105

5.5.4 Perilaku Setelah Makan Buah ……….. 107

5.5.5 Strategi Mencari Makan ……….. 108 5.5.5.1 Jumlah Kunjungan Burung ke Tumbuhan


(20)

Buah Pakan ………. 108

5.5.5.2 Lama Waktu Kunjungan Burung di Tumbuhan Buah Pakan ……… 109

5.5.5.3 Alokasi Waktu Kunjungan untuk Aktivitas Harian ………. 111

5.5.5.4 Lama Waktu Aktivitas Makan Buah ……... 113

5.5.5.5 Laju Makan ………. 114

5.5.5.6 Jarak Terbang Setelah Makan ... 116

6. PEMBAHASAN UMUM 6.1 Kondisi Vegetasi Habitat Komunitas Burung di Lokasi Penelitian ………. 119

6.2 Komunitas Burung Pemakan Buah ……… 122

6.3 Karakteristik Morfologi Burung Semak ………. 123

6.4 Ketersediaan Buah Pakan Burung ……….. 124

6.5 Perilaku Makan ………..……… 125

6.6 Interaksi Komunitas Burung Pemakan Buah Dengan Tumbuhan Buah ……… 126

6.6.1 Hubungan Besar Bukaan Paruh dengan Ukuran Buah Pakan ………. 126

6.6.2 Komposisi Biji pada Feses Burung ………... 127

6.6.3 Daya Kecambah ... 131

7. KESIMPULAN DAN SARAN 7.1 Kesimpulan ………...………. 134

7.2 Saran ……….. 136

DAFTAR PUSTAKA ... 137


(21)

DAFTAR TABEL

Hal. Tabel 1. Biji spesies tumbuhan yang terdapat pada sampel feses burung .. 53 Tabel 2. Rekapitulasi kondisi tipe vegetasi lokasi penelitian …….……… 64 Tabel 3. Rekapitulasi kondisi habitat Burung di tiga tipe vegetasi ……... 69 Tabel 4. Pengelompokan burung berdasarkan feeding guild di tiga tipe

vegetasi ………. 76

Tabel 5. Kelimpahan dan distribusi burung pemakan buah di tiga tipe

vegetasi ……… 80

Tabel 6. Karakteristik panjang paruh, panjang kepala dan berat burung yang berpotensi sebagai pemakan buah ……… 83 Tabel 7. Komposisi biji utuh dan tidak utuh pada feses burung yang

berpotensi sebagai pemakan buah ……… 83 Tabel 8. Ukuran besar bukaan paruh burung pemakan buah ………. 84 Tabel 9. Karakter morfometrik sistem pencernaan burung pemakan buah. 86 Tabel 10. Uji beda rata-rata (uji t) lama perkembangan bunga dan buah

paka burung ……….. 89

Tabel 11. Rata-rata kelimpahan buah pakan burung pemakan buah pada setiap 2 minggu pengamatan ……… 91 Tabel 12. Karakteristik buah dan biji ……….. 93 Tabel 13. Nisbah pemangsaan warna buah yang dimakan dan ketersediaan

warna buah dari spesies tumbuhan buah di habitat ……….. 98 Tabel 14. Kandungan nutrisi buah tumbuhan semak pakan burung ………. 100 Tabel 15. Persentase tumbuhan buah pakan yang dikunjungi burung

Pycnonotus aurigaster dan Pycnonotus goiavier ………. 106

Tabel 16. Lama waktu kunjungan burung Pycnonotus aurigaster dan

Pycnonotus goiavier di tiap spesies tumbuhan pakan ………….. 108


(22)

dan Pycnonotus goiavier plot tumbuhan pakan (detik) ………… 112 Tabel 18. Rata-rata laju makan buah tiap kunjungan burung Pycnonotus

aurigaster dan Pycnonotus goiavier di masing-masing spesies

tumbuhan pakan ……… 113

Tabel 19. Rata-rata jarak minimal potensi penyebaran biji oleh Pycnonotus

aurigaster dan Pycnonotus goiavier .…..……….. 114

Tabel 20. Rata-rata jumlah biji spesies tumbuhan yang terdapat pada feses

burung ……….……….. 126

Tabel 21. Persentase feses mengandung biji pada burung ……… 127 Tabel 22. Persentase Penyebaran biji spesies tumbuhan yang terdapat pada

feses burung ……….………... 128


(23)

DAFTAR GAMBAR

Hal. Gambar 1. Kerangka pemikiran pendekatan komunitas burung pemakan

buah: ekologi makan dan penyebaran biji tumbuhan semak ….... 6 Gambar 2. Skematik sistem pencernaan burung ……… 17 Gambar 3. Skematik beberapa tipe proventrikulus dan ventrikulus pada

burung pemakan buah ………... 18 Gambar 4. Diagram metoda penelitian ... 34 Gambar 5. Unit contoh yang digunakan untuk mengetahui struktur dan

komposisi vegetasi... 35 Gambar 6. Penggambaran koordinat pohon ... 36 Gambar 7. Pengukuran diameter pohon setinggi dada ... 36 Gambar 8. Pemasangan jala kabut. a) jala kabut yang dipasang di sekitar

pohon yang sedang berbuah, b) dipasang secara seri, c)

digulung ……… 41

Gambar 9. Cara memegang burung ……… 42

Gambar 10. Cara mengukur morfologi burung 43

Gambar 11. Sketsa sistem saluran pencernaan burung pemakan buah 45 Gambar 12. Jarak minimum burung menyebarkan biji ……… 50 Gambar 13. Pencucian biji dari feses burung ……….. 51 Gambar 14. Pengumpulan feses dengan metoda feces dropped count ………. 52 Gambar 15. Diagram pengujian daya kecambah biji tumbuhan pakan ……… 54 Gambar 16. Kondisi vegetasi di lokasi penelitian ………...………. 65 Gambar 17. Dendrogram struktur dan komposisi vegetasi tingkat semai dan

semak ……… 67

Gambar 18. Diagram profil tipe vegetasi di lokasi penelitian ………..……... 68 Gambar 19. Komunitas burung di lokasi penelitian ……… 72

Gambar 20. Komunitas burung pemakan buah 74


(24)

masing-masing klaster dianggap satu “guild” ………... 78 Gambar 22. Fenologi lamanya pembungaan dan buah (hari) tumbuhan buah

makanan burung pemakan buah ………... 90 Gambar 23. Proporsi warna buah yang dimakan burung pemakan buah ……. 97 Gambar 24. Perilaku umum burung pemakan buah memakan buah ………… 102 Gambar 25. Waktu aktivitas penggunaan plot spesies tumbuhan pakan oleh:

a) Pycnonotus aurigaster dan b) Pycnonotus goiavier …………. 110 Gambar 25 Kisaran besar bukaan paruh dengan diameter buah pakan dari


(25)

DAFTAR LAMPIRAN

Hal. Lampiran 1. Peta kawasan Panaruban ……… 147

Lampiran 2. Jumlah curah hujan dan hari hujan di lokasi penelitian …. 148 Lampiran 3. Lokasi Pengamatan perilaku makan dan plot tumbuhan

buah pakan burung Pycnonotus aurigaster dan

Pycnonotus goiavier di semak kebun teh 5 tahun (KT5) .. 149 Lampiran 4. Penentuan kadar protein dengan menggunakan metoda

Kjeldall ……….. 151

Lampiran 5. Penentuan kadar karbohidrat dengan metoda anthorane … 152 Lampiran 6. Penentuan kadar lemak dengan metoda soxhlet ………… 153 Lampiran 7. Foto perkebunan teh kawasan Panaruban ………. 154 Lampiran 8. Foto buah dan biji yang menjadi pakan burung pemakan

buah ………

155 Lampiran 9. Daftar spesies tumbuhan yang buahnya berpotensi

sebagai makan burung ………..

156 Lampiran 10. Keberadaan spesies tumbuhan buah di tiga tipe vegetasi 157 Lampiran 11. Karakteritik buah pakan burung dan burung pemakannya 159

Lampiran 12. Daftar spesies-spesies burung yang ditemukan di lokasi penelitian ………

161 Lampiran 13. Daftar spesies burung pada tiga tipe vegetasi yang

Berbeda ………..

165 Lampiran 14. Kelimpahan dan distribusi burung di tiga tipe vegetasi …. 168 Lampiran 15. Indeks keanekaan spesies burung di kebun teh tidak

dikelola selama ≥5 tahun ………

170 Lampiran 16. Indeks keanekaan spesies burung di kebun teh tidak

dikelola selama ≥10 tahun ……….

171 Lampiran 17. Indeks keanekaan spesies burung di Hutan sekunder …… 172


(26)

Lampiran 18. Analisis vegetasi tumbuhan tingkat semai di kebun teh tidak produktif ≥ 5 tahun blok afdeling III PTPN VII Ciater, Paruban, Subang pada tahun 2005 ………. 174 Lampiran 19. Analisis vegetasi tumbuhan tingkat semak di kebun teh

tidak produktif ≥ 5 tahun blok afdeling III PTPN VII Ciater, Paruban, Subang pada tahun 2005 ……… 175 Lampiran 20. Analisis vegetasi tumbuhan tingkat semai di kebun teh

tidak produktif ≥ 10 tahun blok afdeling III PTPN VII

Ciater, Paruban, Subang pada tahun 2005 ………. 176 Lampiran 21. Analisis vegetasi tumbuhan tingkat semak di kebun teh

tidak produktif ≥ 10 tahun blok afdeling III PTPN VII

Ciater, Paruban, Subang pada tahun 2005 ……… 177 Lampiran 22. Analisis vegetasi tumbuhan tingkat semai di hutan

sekunder Panarubahan, Subang tahun 2005 ………..

178 Lampiran 23. Analisis vegetasi tumbuhan tingkat semak di hutan

sekunder Panarubahan, Subang tahun 2005 ………..

179 Lampiran 24. Analisis vegetasi tumbuhan tingkat pohon di hutan

sekunder Panarubahan, Subang tahun 2005 ……….

180 Lampiran 25. Karakter morfometrik burung yang berpotensi sebagai

pemakan buah ………

181 Lampiran 26. Fenologi pembungaan dan buah tumbuhan buah pakan

burung ………..

182 Lampiran 27. Kondisi vegetasi semak di kebun teh tidak dikelola ≥ 5

tahun ……….

183 Lampiran 28. Kondisi vegetasi semak di kebun teh tidak dikelola ≥ 10

tahun ………..

184 Lampiran 29. Kondisi vegetasi semak di hutan sekunder ……… 185 Lampiran 30. Keberadaan tumbuhan semak burung di tiga tipe vegetasi 186 Lampiran 31. Keberadaan burung pemakan buah dan spesies tumbuhan

pakannya di tipe vegetasi KT5 ………...


(27)

Lampiran 32. Keberadaan burung pemakan buah dan spesies tumbuhan pakannya di tipe vegetasi KT10 ……….

188 Lampiran 33. Keberadaan burung pemakan buah dan spesies tumbuhan

pakannya di tipe vegetasi HS ………


(28)

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Komunitas burung merupakan salah satu komponen biotik ekosistem yang berperan dalam menjaga keseimbangan dan kelestarian alam. Peran tersebut dapat tercermin dari posisi tropik yang ditempatinya. Sebagai contoh, beberapa burung pemakan nektar dan buah berperan dalam proses penyerbukan bunga dan penyebaran biji. Hubungan antara burung pemakan buah dengan tumbuhan buah pakannya membentuk pola interaksi yang saling menguntungkan.

Tumbuhan buah mendapat keuntungan dari interaksi dengan burung pemakan buah, yaitu biji-bijinya dapat disebar jauh dari tempat hidup dirinya. Hal ini terutama pada tumbuhan yang mempunyai berat buah maupun biji yang tidak dapat disebarkan oleh angin. Selain itu, proses perkecambahan bijinya akan lebih cepat tumbuh karena kulit dan daging buah dihancurkan burung pada saat ingesti (penanganan di paruh), dan digesti (pencernaan) di tembolok, ventrikulus serta usus. Proses tersebut juga menyebabkan kulit ari dari biji akan terbuka, air lebih mudah masuk kedalam biji, dan dorman biji berakhir.

Burung pemakan buah mendapat keuntungan dari interaksi dengan tumbuhan buah, karena buah umumnya banyak tersedia dan mudah dimakan dibandingkan jika harus berburu makanan lain seperti serangga. Hal ini terutama terjadi, jika ketersediaan buah berlimpah di tumbuhan tempat aktivitas hariannya. Dengan demikian, nutrisi dari buah yang meliputi karbohidrat, lemak, protein, vitamin dan mineral lainnya cukup tersedia untuk kebutuhan burung. Banyak keuntungan yang dapat diperoleh burung dari penggunaan tumbuhan buah pakan. Akan tetapi ini sangat tergantung pada struktur morfologi paruh dan perilaku makan burung itu sendiri.

Kumpulan tempat-tempat tumbuhan pakan yang dapat digunakan burung pemakan buah sering disebut patch sumberdaya makanan. Patch sumberdaya makanan terkumpul dalam habitat yang didefinisikan sebagai tipe komunitas tumbuhan berbeda. Habitat lebih luas dari satu daerah jelajah individu-individu burung dalam satu kelompok yang menempati tempat yang sama, sedangkan


(29)

individu-individu kelompok lain menempati habitat yang berbeda, namun sebaran

patch sumberdaya dalam habitat dapat berbeda (Huntingford 1984). Beberapa

tumbuhan dalam patch sumberdaya makanan dimanfaatkan oleh burung sebagai pakan atau perlindungan. Semakin kecil (200 m2) patch sumberdaya tumbuhan pakan, maka dapat berpengaruh langsung terhadap taktik perilaku makan secara individu.

Kelimpahan buah matang di patch akan mempengaruhi kehadiran burung pemakan buah. Ketersediaan buah di habitat yang ditempati merupakan salah satu faktor utama bagi kehadiran populasi burung pemakan buah tersebut (Jordano 1992, 2000), sehingga lahan pertanian bahkan daerah pemukiman penduduk dapat menjadi habitat penting, apabila di daerah tersebut ketersediaan makanan (buah) berlimpah.

Seleksi makanan dalam pencarian pakan oleh burung merupakan strategi dalam mengoptimalkan perolehan makanan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Burung semakin selektif memilih jenis makanan, maka alokasi waktu untuk mencari makanan tersebut akan semakin lama. Oleh karena itu, kemungkinan pada burung pemakan buah yang terspesialisasi (kisaran jenis makanan buahnya yang sempit) harus menghabiskan waktu lebih lama di tumbuhan buah pakan, karena tidak mempunyai pilihan untuk diversifikasi ke makanan lainnya (Wheelwright 1991). Sedangkan burung generalis (kisaran makanan buahnya yang luas baik jenis maupun ukurannya) mempunyai kesempatan yang banyak untuk memilih alternatif makanan jenis lain. Dengan demikian, aspek penting dari perilaku makan burung adalah lamanya waktu yang digunakan burung berada di dalam kanopi tumbuhan pakan.

Sebagai suatu unit fungsional dalam ekosistem, burung berperan dan berinteraksi baik secara individu, populasi maupun pada tingkat komunitas terhadap fauna lain, flora, lingkungan fisik dan manusia. Sebagai contoh, bentuk interaksi antara burung pemakan buah dan tumbuhan buah ditemukan di kawasan hutan dan semak (Herrera 1989). Penelitian mengenai interaksi antara burung pemakan buah dan tumbuhan buah, telah banyak dikaji dan dipublikasikan khususnya penyebaran biji oleh burung-burung di Eropa (Herrera 1998; Jordano 1995, 2000). Di Asia khususnya di Asia Tenggara, penyebaran biji oleh burung belum menjadi topik yang


(30)

banyak diteliti, dan hanya beberapa agen penyebar biji seperti Julang dan Rangkong, itupun statusnya sebagai pelengkap dari beberapa penelitian saja (Corlett 1998b, 2002; Leighton 1982; Suryadi 1994).

Disisi lain, penyebaran biji merupakan suatu proses kunci yang sangat penting dalam dinamika vegetasi alami. Peran penyebar biji sangat penting untuk regenerasi dan memulihan vegetasi yang telah mengalami perubahan, baik karena pengaruh alam sendiri maupun dampak kegiatan pemanfaatan oleh manusia. Hubungan antara keberadaan burung pemakan buah dan penyebar biji pada habitat tropika merupakan topik khusus yang menarik untuk dikaji. Hal ini, karena pada beberapa abad terakhir telah banyak pengaruh manusia dalam menurunkan keanekaan hayati termasuk avifauna dan tumbuhan buah di dalamnya.

Pada beberapa tahun terakhir, hutan banyak mengalami kerusakan akibat penebangan liar, perubahan tata guna lahan hutan, aktivitas perladangan dan kebakaran di Indonesia. Akibat kerusakan tersebut, hutan berubah menjadi lahan terbuka dan semak belukar. Burung yang kehidupannya sangat tergantung pada ketersediaan buah sebagai makanan utama, mungkin menjadi rentan (vulnerable) bahkan punah secara lokal. Hilangnya agen penyebar biji tumbuhan mungkin sebagai akibat kerusakan hutan dalam jangka panjang.

Regenerasi dan pemulihan vegetasi yang telah mengalami kerusakan sangat membutuhkan bantuan agen penyebaran biji-bijian. Di dalam endozoochori, keberhasilan penyebaran biji ditentukan melalui tiga proses secara subtantif yaitu produksi buah, penyebaran biji oleh binatang, dan daya kecambah biji-biji yang disebar (Fukui 1995). Penyebaran biji tersebut dapat dilakukan oleh burung pemakan buah. Sebagai contoh, spesies tumbuhan semak di hutan sekunder di Hong Kong sebagian besar (80%) biji tumbuhan disebarkan oleh burung (Corlett 1996). Data tersebut menunjukkan ada preferensi burung terhadap pakan buah tertentu secara positif sangat mempengaruhi regenerasi komunitas tumbuh-tumbuhan di lokasi tersebut (Herrera et al. 1994).

Salah satu kelompok burung yang lebih teradaptasi dengan kondisi di vegetasi yang terdegradasi adalah Pycnonotidae, Dicaeidae, dan Zosteropidae. Spesies-spesies


(31)

dari familia tersebut mempunyai kemampuan adaptasi yang tinggi pada berbagai tipe vegetasi, serta sangat toleransi terhadap berbagai perubahan vegetasi. Burung tersebut, selain memakan madu, nektar dan buah, juga memakan jenis insekta yang berada di tumbuhan buah tersebut. Sebagai buktinya, burung Pycnonotidae, Dicaeidae, dan Zosteropidae dapat dijumpai dengan mudah di berbagai tipe vegetasi seperti hutan sekunder, semak belukar, lahan pertanian, bahkan di lingkungan pedesaan dan perkotaan.

Vegetasi semak di hutan sekunder maupun di kawasan pertanian banyak ditumbuhi oleh tumbuhan yang ukuran buahnya sesuai dengan besar bukaan paruh burung, sehingga sering dimanfaatkan sebagai pakannya. Salah satu tempat yang banyak ditumbuhi tumbuhan semak adalah kawasan Panaruban Ciater Subang. Pada kawasan tersebut, terdapat kebun teh yang telah menjadi semak belukar dan banyak dijumpai tumbuhan semak seperti Clidemia hirta, Melastoma affine dan Polygonum chinensis. Di hutan sekundernya banyak ditumbuhi tumbuhan semak seperti Breynia microphylla, Clidemia hirta, Debregeasia longifolia, Lantana camara, Melastoma affine dan Sambucus javanicus (Nurwatha et al. 2004).

Menurut hasil penelitian Bhat & Kumar (2001), Corlett (2002) dan Sody (1989) beberapa spesies tumbuhan semak disebarkan oleh burung pemakan buah di daerah subtropik seperti Ficus spp., Lantana camara, dan Solanum spp. Adanya potensi ini memberikan peran positif pada proses suksesi tumbuhan di alam, karena penyebaran biji merupakan proses dinamis, yang dimulai dari biji yang disebar jauh dari tumbuhan induknya kemudian tumbuh ditempat yang cocok (Herrera & Jordano 1981; Pijl 1992).

Berdasarkan uraian diatas, tampak betapa pentingnya kehadiran burung pemakan buah di habitatnya, terutama untuk penyebaran biji-bijian dalam proses suksesi vegetasi setelah mengalami gangguan. Mengingat pentingnya penelitian ini untuk menjadi model upaya reboisasi vegetasi secara alami bagi habitat yang telah mengalami gangguan, seperti kebakaran hutan atau penghutanan kembali kawasan pertanian yang tidak produktif. Sementara, penelitian secara komprehensif mengenai


(32)

interaksi komunitas burung pemakan buah dengan tumbuhan buah masih sangat jarang khususnya di Indonesia.

1.2 Kerangka Pemikiran

Di alam, komunitas burung berhubungan erat dengan komponen habitat lain yang menyusunnya diantaranya komposisi dan struktur vegetasi. Perubahan vegetasi sejalan dengan waktu suksesi juga akan mempengaruhi komunitas burung baik dalam keanekaan, kelimpahan, dan penyebaran. Komunitas burung yang berubah terutama pada burung yang menduduki tingkat tropik 1 dan 2, diantaranya burung frugivora, nektarivora dan insektivora. Komposisi burung frugivora sangat dipengaruhi oleh perubahan vegetasi karena ketersediaan makanan dan karakteristik dari makanannya. Hal ini karena terkait erat dengan morfologi sistem pencernaan digesti maupun

ingesti burung pemakan buah.

Interaksi antara burung pemakan buah dan karakteristik buah serta ketersediaannya membentuk perilaku makan yang spesifik. Keberhasilan peran komunitas burung pemakan buah dalam penyebaran biji sangat ditentukan oleh karakteristik morfologi burung, karakteristik buah, ketersediaan buah dan perilaku makan dari burungnya. Berdasarkan uraian di atas, kerangka pemikiran suatu pendekatan kajian ekologi komunitas burung pemakan buah mengenai ekologi makan dan penyebaran biji tumbuhan terlihat pada Gambar 1.


(33)

Gambar 1. Kerangka pemikiran pendekatan komunitas burung pemakan buah: ekologi makan dan penyebaran biji tumbuhan semak


(34)

1.3 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang dan kerangka pemikiran, untuk memecahkan masalah dari berbagai kasus tersebut, perlu dilakukan penelitian yang lebih komprehensif. Penelitian tersebut meliputi: 1) kondisi vegetasi tempat hidup burung, 2) keanekaan serta kelimpahan spesies burung pemakan buah di tiap tipe vegetasi terutama yang berperan dalam penyebaran biji, 3) karakteristik morfologi paruh maupun sistem pencernaan burung pemakan buah. Pengetahuan mengenai perilaku makan burung, jumlah biji yang disebarkan burung pada tiap aktivitas kunjungan serta jarak minimal burung menyebarkan biji setelah dimakan buah akan memberi gambaran potensi burung tersebut sebagai penyebar biji atau tidak. Penelitian hubungan antara karakteristik morfologi paruh, sistem pencernaan burung dengan ukuran buah sangat berkaitan erat dengan perilaku memilih buah oleh burung, sehingga memungkinkan kehadiran biji di feses burung tersebut. Kelimpahan biji utuh yang dikeluarkan bersama feses burung dapat menentukan kategori burung pemakan buah sebagai penyebar biji atau predator biji. Sedangkan persentase daya kecambah biji dari feses menunjukkan peran burung membantu suksesi dari tumbuhan tersebut.

Berkaitan dengan uraian di atas, maka yang menjadi permasalahan utama dalam kegiatan penelitian ini adalah:

a. Bagaimanakah kondisi vegetasi di lokasi penelitian?

b. Bagaimanakah keanekaan, kelimpahan dan distribusi burung pemakan buah di lokasi penelitian?

c. Bagaimanakah karakteristik morfologi eksternal (morfometri) paruh dan saluran pencernaan burung pemakan buah?

d. Bagaimanakah fenologi, ketersediaan dan karakteristik buah pakan burung pemakan buah?

e. Bagaimanakah perilaku makan burung pemakan buah?

f. Bagaimanakah interaksi antara burung pemakan buah dan tumbuhan semak yang buahnya dimakan burung dalam penyebar bijinya untuk suksesi tumbuhan semak?


(35)

1.4 Hipotesis

Berdasarkan permasalahan di atas, maka hipotesis yang diuji adalah sebagai berikut:

1. Ada perbedaan keanekaan, kelimpahan dan distribusi vegetasi di tiap tipe habitat.

2. Ada perbedaan keanekaan, kelimpahan dan distribusi burung pemakan buah pada tiap tipe vegetasi.

3. Ada perbedaan karakteristik morfologi paruh burung pemakan buah dibanding granivora dan insektivora, serta ada hubungan antara karakteristik saluran pencernaan burung pemakan buah dengan biji yang dikeluarkan bersama fesesnya.

4. Ada perbedaan fenologi waktu perkembangan bunga dan buah, kelimpahan buah, karakteristik buah diantara spesies tumbuhan semak buah pakan, dan terdapat warna buah tertentu yang disukai oleh burung pemakan buah.

5. Ada perbedaan perilaku makan pada sampel spesies burung pemakan buah (burung Cucak kutilang Pycnonotus aurigaster dan Merbah cerukcuk

Pycnonotus goiavier), dan jarak minimum biji disebarkan dari tumbuhan induk lebih dari 10 meter.

6. Ada korelasi antara besar bukaan paruh burung pemakan buah dengan ukuran maksimum buah pakannya, terdapat hubungan spesies burung pemakan buah dengan spesies tumbuhan buah pakannya, dan daya kecambah biji yang melalui pencernaan burung pemakan buah lebih tinggi daripada buah yang utuh atau buah yang dikupas.

1.5 Tujuan Penelitian

Berdasarkan latar belakang, kerangka pemikiran, permasalahan dan hipotesis yang diuraikan sebelumnya, maka yang menjadi tujuan utama penelitian ini adalah mengungkapkan ekologi makan dari burung pemakan buah dan peran burung tersebut sebagai penyebar biji dalam membantu suksesi vegetasi semak di kebun teh dan hutan sekunder dengan penekanan pada:


(36)

1. Menggambarkan kondisi komposisi dan struktur vegetasi semak di kebun teh dan hutan sekunder terkait dengan :

a. Keanekaan dan kepadatan spesies tumbuhan semak serta semai. b. Diagram profil tipe vegetasi.

c. Kondisi habitat burung di vegetasi.

2. Mengungkap komunitas burung yang terkait dengan: a. Keanekaan spesies.

b. Pengelompokan guild. c. Kelimpahan dan distribusi.

3. Mengungkap karakteristik burung pemakan buah yang terkait dengan: a. Morfologi eksternal (morfometri paruh) burung pemakan buah. b. Morfologi sistem pencernaan burung pemakan buah.

4. Ketersediaan buah pakan burung pemakan buah yang terkait dengan: a. Fenologi lama perkembangan bunga dan buah.

b. Kelimpahan buah.

c. Karakteristik buah yang meliputi, warna buah, ukuran buah, ukuran biji, jumlah biji, dan kandungan nutrisi buah.

5. Perilaku makan burung pemakan buah yang terkait dengan:

a. Perilaku makan harian yang meliputi: perilaku mencari dan memetik buah, perilaku menangani dan menelan buah serta perilaku setelah makan.

b. Strategi mencari makan yang meliputi: jumlah kunjungan burung ke tumbuhan buah pakan, lama waktu kunjungan burung di tumbuhan buah pakan, alokasi waktu kunjungan untuk aktivitas makan, lama waktu aktivitas makan, laju makan dan jarak terbang setelah makan.

6. Interaksi antara burung dan tumbuhan buah yang terkait dengan:

a. Hubungan besar bukaan paruh dengan ukuran diameter buah pakan. b. Komposisi biji dalam feses burung pemakan buah.


(37)

1.6 Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan tambahan pembuktian secara empirik mengenai peranan burung dalam ekosistem, terutama fungsi ekologi dari burung pemakan buah yang dianggap sebagai penyebar biji dan membantu untuk suksesi vegetasi. Dengan demikian, 1) dapat memberikan informasi pentingnya keberadaan burung di alam, sehingga tidak hanya di pandang dari nilai nominal fisik burung tetapi juga nilai ekologinya, 2) dapat dijadikan informasi bahan pertimbangan bagi pengelola kawasan konservasi maupun perkebunan dalam menentukan strategi pengelolaan wilayahnya.

1.7 Status Penelitian

Penelitian mengenai burung pemakan buah telah banyak dilakukan oleh para peneliti di Eropa, Amerika Serikat, Amerika Selatan dan Asia khususnya di Jepang. Namun demikian, khususnya untuk burung pemakan buah yang ada di Indonesia masih sangat terbatas pada spesies tertentu seperti Julang dan Rangkong. Beberapa penelitian burung pemakan buah di Indonesia masih berupa pelengkap dari penelitian burung secara umum dan sebagian besar dilakukan oleh peneliti Jepang, Eropa dan Amerika. Penelitian burung pemakan buah belum ada yang dilakukan secara komprehensif di Pulau Jawa sampai saat ini. Oleh karena itu penelitian ini sangat perlu dilakukan. Dari segi pendekatan atau metodologi, menggunakan analisis yang lebih luas mulai dari: 1) analisis vegetasi, 2) analisis komunitas burung, 3) analisis morfometrik eksternal (paruh) burung maupun internal (sistem pencernaan) burung, 4) analisis ketersediaan buah secara fenologi lama pembungaan dan buah, kelimpahan, karakteristik eksternal buah dan kandungan nutrisi, 5) analisis perilaku makan yang meliputi perilaku makan harian, strategi mencari makan dan jarak terbang setelah makan, dan 6) interaksi antara burung pemakan buah dan tumbuhan buah pakan.

Hasil analisis disajikan dalam bentuk guild klaster, kriteria burung pemakan buah yang sangat baik untuk penyebaran biji dan interaksi komunitas burung dengan suksesi vegetasi. Selain itu, fenologi lama pembungaan dan buah tumbuhan semak


(38)

didapatkan informasi yang lebih lengkap pada tingkat spesies tumbuhan semak. Ada hubungan penyebaran tumbuhan dengan burung penyebar biji untuk membantu regenerasi dan suksesi dari tumbuhan semak, melalui perilaku makan, jarak minimum penyebaran biji, komposisi biji-biji dalam feses dan kemampuan biji berkecambah.


(39)

2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Habitat dan Penggunaannya

Menurut Odum (1993) habitat didefinisikan sebagai suatu tempat dimana organisme tinggal atau biasa ditemukan orang. Habitat terdiri dari komponen abiotik dan biotik yang bersama-sama menyusun kumpulan sumberdaya yang secara langsung maupun secara tak langsung mendukung kehidupan hewan untuk hidup di tempat tersebut. Tumbuh-tumbuhan merupakan bagian dominan dari habitat, dan juga berperan menyediakan berbagai macam makanan, tempat sarang serta tempat berlindung bagi hewan (Fleming 1992). Hutan primer, hutan sekunder dan semak merupakan habitat bagi burung, karena di semua tempat tersebut ditemukan berbagai jenis burung (Wiens 1992).

Tumbuhan yang terdapat di habitat tersebut merupakan faktor penting dalam kehidupan burung, karena beberapa bagian dari tumbuhan yaitu bagian generatif dan bagian vegetatif menjadi sumber makanan. Beberapa burung yang hidup di hutan memakan langsung material tumbuhan, seperti buah-buahan dan bunga (Fleming 1992). Buah yang dimakan disebar bijinya bersama feses, dan 50-80% tumbuhan hutan tropik dilakukan penyebaran bijinya oleh burung (Karr et al. (1992).

Penggunaan habitat oleh burung berubah-ubah tergantung ketersediaan sumberdaya yang dibutuhkannya. Perubahan penggunaan struktur vertikal tumbuhan untuk aktivitas makan burung sangat dipengaruhi oleh penyebaran makanan di pohon tersebut. Hasil penelitian Nurwatha (1994) menunjukkan Burung cabai jawa (Dicaeum trochileum), Cinenen kelabu (Orthotomus ruficeps) dan Burung-madu sriganti (Nectarinia jugularis) menggunakan lapisan tajuk yang berbeda pada habitat taman kota yang berbeda. Hal ini terkait dengan ketersediaan makanan pada ketinggian tumbuhan yang berbeda.

Komposisi komunitas dan kebiasaan hidup burung dapat dipengaruhi oleh perubahan komposisi spesies tumbuhan dalam suatu habitat (Lambert 1992). Sebagai contoh, perubahan habitat di hutan dataran rendah menjadi areal terbuka dan semak belukar, mengakibatkan beberapa spesies burung mengubah strata tempat mencari


(40)

makan dan memperluas daerah jelajahnya. Burung tidak memanfaatkan seluruh habitatnya, melainkan ada seleksi terhadap beberapa bagian dari habitat sesuai dengan yang dibutuhannya (Wiens 1992). Pengaruh keterbatasan sumberdaya di habitat untuk burung dapat menyebabkan persaingan baik intra-spesies atau inter-spesies (Karr et al. 1992).

2.2 Komunitas Burung

Komunitas burung berdasarkan terminologi adalah suatu kumpulan populasi dari spesies-spesies burung yang hidup di suatu habitat serta saling berinteraksi, membentuk sistem komposisi, struktur, perkembangan dan peranannya sendiri (Wiens 1992). Luasnya batasan yang melingkupi, menjadikan suatu komunitas sangat komplek, sehingga dalam memperlajarinya sering dilakukan pembagian-pembagian kajian. Morin (1999) menyatakan bahwa parameter penting dalam mempelajari suatu komunitas adalah taxocene dan guild.

Menurut Kaspari (2001) taxocene adalah pengelompokan secara ekologi berdasarkan kelompok taksa tertentu. Penentuan suatu komunitas berdasarkan

taxocene terbatas pada organisme yang secara taksonomi relatif sama dan

mendominasi komunitas tersebut, seperti komunitas burung. Taxocene merupakan unit dasar dalam penelitian makroekologi dan mempunyai parameter seperti kelimpahan dan keanekaan. Guild merupakan kumpulan spesies yang memanfaatkan suatu sumber daya dengan cara yang sama. Wiens (1992) menyatakan bahwa elemen kunci dari definisi guild adalah spesiesnya syntopic, kesamaan di antara spesies lebih ditentukan oleh kesamaan mereka dalam memanfaatkan suatu sumber daya dibandingkan secara taksonomi. Konsep guild diperkenalkan untuk mengklarifikasi beberapa kekeliruan sehubungan dengan konsep relung (niche), yang sebelumnya lebih banyak ditekankan pada seperangkat kondisi yang memungkinkan suatu spesies untuk tetap eksis dalam lingkungannya (Wiens 1992). Oleh karena itu, beberapa peneliti membatasi komunitas burung dengan batasan taksonomi dan guild yang berbeda, sehingga menjadi beberapa kelompok kecil dari burung seperti komunitas


(41)

burung air, paserin kecil, pemangsa, pemakan nektar, dan pemakan buah (Wiens 1992).

Komposisi spesies dari komunitas burung lokal ditentukan oleh penambahan spesies melalui pembentukan kolonisasi baru dan kehilangan spesies melalui kepunahan lokal. Perubahan tersebut terjadi dalam skala ruang dan waktu (Wiens 1992). Hal tersebut terkait dengan adanya perubahan habitat (Balen 1999). Habitat didominasi vegetasi semak, komposisi spesies burung yang menempatinya lebih banyak dari familia Sylviidae. Akan tetapi, habitat telah banyak ditumbuhi vegetasi pancang dan pohon komposisi spesies burung yang menempati bertambah dari familia Cuculidae, Picidae dan Capitonidae (Hadiprayitno 1999).

2.2.1 Keanekaan burung

Keanekaan spesies berhubungan dengan kekayaan (jumlah) spesies dalam suatu komunitas dan jumlah individu masing-masing spesies dalam komunitas tersebut (Krebs 1989; Wiens 1992). Keanekaan spesies adalah suatu karakteristik tingkatan komunitas berdasarkan organisasi biologisnya yang dapat digunakan untuk menyatakan struktur komunitas. Komponen utama keanekaan spesies adalah kekayaan jenis dan equitabilitas dalam pembagian individu yang merata diantara jenis (Odum 1993). Keanekaan spesies cenderung lebih rendah dalam ekosistem yang homogen dan lebih tinggi dalam ekosistem yang alami dan kompleks. Peningkatan jumlah spesies burung juga berkaitan dengan pertambahan luas habitat (Wiens 1992). Struktur komunitas dan kekayaan spesies burung berbeda antara suatu habitat dengan habitat yang lainnya (Johnsing & Joshua 1994). Keanekaan spesies di suatu habitat ditentukan oleh faktor seperti struktur vegetasi, komposisi spesies tumbuhan, sejarah habitat, tingkat gangguan dari predator dan manusia (Welty & Baptista 1988) serta ukuran luas habitat (Wiens 1992). Oleh karena itu, kondisi suksesi vegetasi berkaitan erat dengan perubahan komposisi spesies yang menempatinya (Alikodra 1990).

Penelitian mengenai hubungan keanekaan spesies burung dengan tahapan suksesi telah dilakukan di beberapa tempat. Welty & Baptista (1988) mendapatkan


(42)

spesies burung yang dominan berbeda di tiap tahapan suksesi proses reklamasi suatu lahan basah. Tiga tahun setelah reklamasi, spesies burung yang dominan adalah

Anthus pratensis. Emberiza schoeniculus menjadi burung yang dominan pada tempat tersebut setelah lahan menjadi bentangan lumpur yang lembek. Pada bentangan lumpur yang keras (19 tahun setelah reklamasi), spesies burung yang dominan adalah

Montacilla flava. Selanjutnya ketika lahan tersebut telah berubah menjadi padang rumput, spesies burung yang dominan adalah Alanda arvensis.

Hal serupa ditemukan Hadiprayitno (1999) di Gunung Tangkuban Parahu Jawa Barat, di habitat pinus yang berbeda usia. Di hutan pinus usia kurang dari 5 tahun ditemukan 6 spesies burung di dominasi oleh Cica-koreng jawa (Megalurus palustris); hutan pinus usia 6-10 tahun ditemukan 7 spesies burung di dominasi Kacamata biasa (Zosterops palpebrosus); hutan pinus berusia 11-15 tahun ditemukan 13 spesies burung di dominasi Kacamata biasa (Zosterops palpebrosus) dan Bentet kelabu (Lanius schach); dan hutan pinus berusia >15 tahun ditemukan 21 spesies burung didominasi Kacamata biasa (Zosterops palpebrosus)dan Gelatik-batu kelabu (Parus major).

2.2.2 Kelimpahan dan Distribusi Burung

Kelimpahan spesies burung dapat dinyatakan dengan jumlah individu suatu spesies di suatu habitat tertentu dalam waktu tertentu (Wiens 1992). Pada beberapa penelitian sering dinyatakan dengan kelimpahan relatif, yaitu jumlah total individu atau biomas suatu spesies dibandingkan jumlah total individu atau biomas seluruh spesies pada areal yang diamati (Morin 1999).

Menurut Wiens (1992) ada tiga model kelimpahan spesies yang bisa dijumpai dalam suatu komunitas yaitu: 1) jika secara numerik sebagian kecil spesies dalam komunitas mendominasi cukup besar, maka kelimpahan cenderung tidak seimbang. Model ini cenderung terjadi pada komunitas yang hanya memiliki sedikit spesies. Spesies dominan menguasai ruang tertentu dalam komunitas, sementara spesies lainnya menguasai bagian yang terpisah. Model ini dikenal juga dengan istilah


(43)

diantara mereka tanpa ada tumpang tindih. Jika kelimpahan sesuai dengan ukuran relung, distribusi dari kelimpahan spesies cenderung seimbang dengan hanya sedikit dominan secara numerik oleh sebagian kecil spesies. Model ini sesuai dengan yang dipopulerkan oleh MacArthur yaitu Broken Stick Model, 3) distribusi dan kelimpahan burung sesuai dengan distribusi log normal, terutama jika komunitas disusun oleh banyak spesies. Jika kelimpahan relatif dari spesies dibentuk oleh banyak faktor bebas yang saling berperan, faktor tersebut akan berlipat sehingga membentuk distribusi log normal

Menurut Karr et al. (1992) kelimpahan dan distribusi spesies burung di habitatnya dipengaruhi oleh kondisi struktur vegetasi. Ketersediaan stratifikasi vertikal vegetasi dapat memberikan pengaruh yang besar terhadap keberadaan dan kepadatan spesies burung. Oleh karena itu, kerusakan struktur maupun komposisi vegetasi hutan akibat kebakaran mempengaruhi distribusi dan kelimpahan burung karena terjadi perubahan struktur dan komposisi vegetasi (Ding et al. 1997; Hadiprayitno 1999). Selain itu, distribusi spesies burung juga dipengaruhi oleh fragmentasi habitat dan ketersediaan sumberdaya di habitat seperti makanan (Hobson & Bayne 2000, Haslem & Bennett 2008). Menurut Fleming (1992) kelimpahan buah yang tinggi berhubungan erat dengan kepadatan burung pemakan buah.

2.3 Karakteristik Burung Pemakan Buah 2.3.1 Morfologi Burung Pemakan Buah

Spesies-spesies burung berdasarkan jenis makanan yang dimakannya dapat dibagi 7 kategori (MacKinnon 1995), yaitu frugivora (pemakan buah), granivora (pemakan biji), insektivora (pemakan serangga), karnivora (pemakan daging dan bangkai), nektarivora (pemakan nektar), omnivora (pemakan segala misalnya buah dan serangga), dan piscivora (pemakan ikan). Kelompok spesies burung berdasarkan makanan tersebut mempunyai karakteristik yang berbeda satu dengan yang lainnya (Jordano 1992, 2000).

Berat tubuh burung pemakan buah merupakan faktor utama yang menentukan intensitas burung memakan buah. Kebutuhan jumlah makanan buah berhubungan erat


(44)

dengan besar tubuh burung pemakan buah (Herrera 1984a). Burung seperti

Acrocephalus spp. memakan buah yang ukuran sedang dengan komposisi volume

makanannya antara 30-70%. Ukuran tubuh yang kecil memakan buah berukuran kecil pula seperti Sylvia sp. dan Erithacus sp. (Jordano 1992, 2000).

Ukuran tubuh burung pemakan buah mempengaruhi intensitas memakan buah dengan cara membatasi jumlah maksimum dari buah-buahan yang ditelan dan daging buah yang dicerna (Herrera 1985). Sebagai contoh, rata-rata jumlah buah Prunus

mahaleb yang dimakan tiap kunjungan makan adalah 1,5 buah/kunjungan untuk

Phoenicurus ochrusus (16,0 g); 9,0 buah/kunjungan untuk Turdus vircivorus (107,5 g), dan 21,0 buah/kunjungan untuk Columba palumbus (460,0 g) (Jordano & Schupp 2000). Oleh karena itu, berat tubuh sangat menentukan banyaknya jumlah maksimum biji yang dapat disebar oleh burung pemakan buah setelah makan (Jordano 1992, 2000).

Perbedaan cara mengambil buah oleh burung pemakan buah menunjukkan hubungan yang sangat erat dengan ekomorfologi dari burung tersebut, khususnya dengan morfologi sayap, karakteristik paruh dan morfologi alat gerak (Jordano 1986). Karakteristik bentuk dan ukuran paruh burung pemakan buah mempunyai peranan terhadap kerusakan biji dan keberhasilan penyebaran biji. Burung pemakan buah yang mempunyai ukuran paruh kecil dan kokoh seperti Emberiza spp. cenderung hanya dapat memakan daging buah, sedangkan bijinya dimuntahkan (Jordano 1992).

Besar bukaan paruh menunjukkan hubungan yang erat dengan ukuran buah yang dimakan; semakin besar bukaan paruh semakin besar pula ukuran buah yang dapat dimakan (Wiens 1992; Fukui 1995). Burung yang memiliki ukuran bukaan paruh kecil hanya memakan buah-buahan yang kecil, karena keterbatasan ukuran bukaan paruhnya (Wheelwright 1988; Herrera 1985).

2.3.2 Morfologi Sistem Pencernaan Burung Pemakan Buah

Burung mempunyai sistem pencernaan yang sangat berbeda dibanding mamalia, seperti tidak mempunyai gigi dan langit-langit mulut yang lunak, sehingga waktu ingesti di mulut lebih cepat. Secara umum sistem pencernaan burung terdiri


(45)

dari bagian rongga mulut, oesophagus, proventiculus, ventriculus, usus halus, usus besar dan kloaka (Pettingil 1970; Proctor & Lynch 1993). Pada beberapa burung yang mengalami spesialisasi berdasarkan makanan, beberapa bagian sistem pencernaannya mengalami modifikasi. Bagian sistem pencernaan yang termodifikasi khususnya pada burung pemakan buah adalah oesophagus. Oesophagus tidak dapat melebar pada kelompok burung Dicaeidae, sedangkan pada burung Ploceidae dan Pycnonotidae dapat melebar (Gambar 3). Modifikasi juga terjadi pada bagian proventiculus dan

ventriculus. Pada kedua bagian tersebut ototnya semakin tipis sehingga dapat melewatkan biji secara utuh ke usus halus, usus besar dan kloaka (Jordano 1986).

Gambar 2. Skema sistem pencernaan burung (Proctor & Lynch 1993;hal 181)

Ciri umum modifikasi sistem pencernaan burung pemakan buah meliputi: (i)

oesopagus tereduksi dan proventrikulus yang sederhana, (ii) terdapat dinding ventrikulus yang tipis, atau tidak mempunyai otot ventrikulus (rempela), (iii) posisi lateral dari ventrikulus dan hampir langsung dari oesophagus ke usus halus, serta (iv) panjang usus halus yang relatif pendek (Jordano 1992, 2000).


(46)

Gambar 3. Skema beberapa tipe proventrikulus dan ventrikulus pada burung pemakan buah. Sumber: Jordano (2000;hal 143).

E=oesophagus, PV=proventiculus, M=otot ventriculus, DU=duodenum, EXO=exocarp biji, SEM=biji, INT=usus halus

Burung-burung yang terspesialisasi sebagai pemakan serangga, memiliki otot ventrikulus lebih tebal dibandingkan pemakan buah (Gambar 3). Burung pemakan buah memiliki mekanisme proses pencernaan yaitu menghancurkan kulit buah dilakukan di ventrikulus yang sederhana dan bijinya dilewatkan melalui usus halus (Jordano 1992, 2000). Beberapa biji ditemukan hancur di feses burung, disebabkan pada saat penanganan buah tersebut di paruhnya.

2.4 Ketersediaan Buah

Buah merupakan bagian tumbuhan yang banyak mengandung nutrisi, sehingga burung lebih menyukai buah dibandingkan bagian lain dari tumbuhan. Selain itu, buah lebih mudah dipetik, ditangani dan ditelan oleh burung pemakan buah. Karakteristik buah yang diduga sebagai alasan dipilih oleh hewan pemakannya adalah penampilan buah (ukuran buah, berat daging buah terhadap berat buah, jumlah dan ukuran biji), kandungan nutrisi (karbohidrat, lipid, protein dan mineral), dan metabolit sekunder (Jordano 1992, 2000). Secara keseluruhan, ciri tadi memberi keuntungan kepada pemakannya yaitu total daging buah yang dapat dimakan dan kandungan nutrisi yang dapat diserap pada proses digesti (Herrera & Jordano 1981).


(47)

Ketersediaan buah di alam untuk burung dapat dilihat dari aspek kualitatif mencakup fenologi pembungaan dan buah, serta karakteristik buah berupa bentuk dan warna, aspek kuantitatif mencakup kelimpahannya (Radis 1997).

2.4.1 Fenologi Pembungaan dan Buah

Pola-pola fenologi tumbuhan buah di daerah tropik bervariasi dan kompleks. Komunitas tumbuhan buah mempunyai fase berbuah secara musiman. Spesies tumbuhan buah di daerah subtropik mengalami pembungaan dan menghasilkan buah pada musim semi, ketika suhu lingkungan meningkat, dan menghasilkan buah matang pada musim dingin. Oleh karena itu, ketersediaan buah maksimum di daerah subtropik cenderung terjadi di musim dingin (November-Januari), bertepatan dengan migrasi burung pemakan buah dari Palaearctic (Corlett 1998a; Noma & Yumoto 1997).

Fenologi pembungaan dan buah menunjukkan perbedaan di daerah tropik Asia dengan di subtropik. Fenologi pembungaan cenderung terjadi di musim kemarau dan buah matang pada musim hujan (Kimura et al. 2001). Kelimpahan buah tersedia secara maksimum tampak kurang mencolok di daerah tropik (Borges 1993; Corlett 1998b), tetapi beberapa spesies tumbuhan tertentu tampak sangat mencolok ketersediaannya antara musim kemarau dan musim hujan, seperti buah puspa dan kayu putih (Partasasmita 1998).

Fenologi tumbuhan tidak secara teratur menyesuaikan dengan musim panas dan musim hujan (Kimura et al. 2001). Walaupun seluruh studi mendeteksi siklus tahunan di tingkat komunitas, tetapi mempunyai hubungan yang lemah di tingkat populasi (Corlett & LaFrankie 1998; Corlett 1998b). Spesies tumbuhan buah tidak seluruhnya mempunyai fenologi berbuah supra-annual yaitu setiap individu tumbuhan buah mengalami periode berbuah yang terus-menerus sepanjang tahun. Akan tetapi, siklus tahunan atau dua tahunan tumbuhan berbuah juga tidak umum. Tumbuhan berbuah kadang-kadang terjadi beberapa kali dalam satu tahun, terutama spesies tumbuhan semak dengan periode berbuah yang hampir sama dari setiap individunya (Corlett & LaFrankie 1998; Corlett 1998b).


(48)

Pergantian musim berpengaruh terhadap penurunan jumlah buah masak di hutan subtropik dan hutan tropik pada beberapa tumbuhan. Sebagian besar pengaruh pergantian musim terjadi pada lamanya periode fase perkembangan buah, dan proses pematangan buah. Proses pematangan buah selalu lebih dari 1,5 bulan di hutan tropik, sedangkan di hutan subtropik lebih dari 4 bulan (Herrera 1984a).

2.4.2 Kelimpahan Buah

Kelimpahan buah sangat bervariasi pada ruang dan waktu. Distribusi horizontal dari tumbuhan buah berhubungan dengan kekayaan spesies tumbuhan dalam komunitas, sehingga menentukan pola distribusi sparsial buah di habitat. Jika tingkat suksesi dari vegetasi berbeda, maka kelimpahan buah untuk pemakan buah beda pula (Herrera 1985; Jordano 1992, 2000). Tumbuhan buah di hutan subtropik yang paling banyak adalah tumbuhan semak pada saat suksesi, tetapi tumbuhnya sangat sensitif terhadap naungan. Tumbuhan semak tersebut terkonsentrasi di daerah terbuka dan pinggiran hutan serta menjadi jarang di bagian dalam hutan (Herrera 1985).

Kelimpahan buah sangat dipengaruhi oleh musim dan keadaan lingkungan seperti curah hujan. Pembungaan cenderung menghasilkan buah lebih sedikit ketika menjelang musim hujan di daerah tropik. Hal ini karena curah hujan yang tinggi menghambat proses pembungaan, perkembangan buah dan pematangan buah (Kimura et al. 2001). Variasi pencahayaan dan kelembaban lingkungan berpengaruh secara langsung terhadap variasi fenologi di tingkat komunitas (Jordano 1992, 2000).

Kepadatan buah terjadi selalu di bawah 105 buah/ha (10 kg berat kering/ha) di hutan subropik. Tumbuhan semak di dataran rendah Mediterania memiliki jumlah kepadatan buah hampir sama dengan di beberapa hutan tropik, yaitu 80 kg berat kering/ha, dan kepadatan buah mencapai lebih dari 1,4 x 106 buah/ha/tahun (Herrera 1984a; Jordano 1995). Hutan hujan tropik menghasilkan banyaknya buah yang bervariasi. Umumnya kepadatan buah antara 180 - 1000 kg berat kering/ha, sedangkan semak di pegunungan berkisar antara 1- 8 kg berat kering/ha (Blake et al. 1990;Jordano 1992, 2000).


(49)

2.4.3 Karakteristik Buah 2.4.3.1 Warna Buah

Sebagian besar burung pemakan buah memakan buah yang hampir matang atau matang (Corlett 1998a, 1998b). Akan tetapi, beberapa burung paruh bengkok cenderung memakan buah yang masih muda seperti burung Nymphicus holandricus

(Jones 1987) dan Psittacula alexandri (Partasasmita 1998). Buah berdaging di daerah subtropik umumnya mempunyai warna matang hitam atau merah (Corlett 1996). Pada umumnya ketersediaan buah matang berwarna coklat, kuning dan hijau lebih rendah di suatu habitat. Akan tetapi buah-buahan yang dimakan burung memiliki warna yang lebih cerah dibandingkan warna buah-buahan yang dimakan hewan mamalia (Leighton & Leighton 1983). Suryadi (1994) menemukan warna makanan burung rangkong lebih didominasi warna buah merah dan ungu.

Beberapa burung mempunyai mata yang bersel tetrachromatik dan dapat membedakan warna permukaan benda dalam kisaran ultraviolet (300-400 nm) dari spektrum (Corlett 1998b; Schmidt 2002). Sedangkan tipe sel trichromatik dimiliki mamalia terbatas pada primata, meliputi seluruh monyet dan kera (Osorio et al. 2004; Corlett 1998b). Seluruh mamalia herbivora lainnya mempunyai mata yang bersel

dichromat atau malam hari tidak bisa membedakan pola warna dengan jelas.

Perubahan pada primata dari memiliki tipe sel dichromatik menjadi trichromatik

merupakan hasil evolusi sebagai bentuk adaptasi terutama bagi primata pemakan buah. Hasil perubahan tersebut mempermudah pemakan buah mendeteksi keberadaan buah-buahan yang berada diantara daun-daunan (Corlett 1998b; Schmidt 2002). 2.4.3.2 Ukuran Buah dan Biji

Berat buah dan biji lebih bervariasi di daerah garis katulistiwa seperti Singapura (Corlett 1998b) dan pinggiran daerah tropika seperti di Hongkong (Corlett 1996). Buah-buahan terkecil di daerah tersebut mempunyai berat segar ± 5 mg, terbesar ± 1 kg dengan berat biji ± 0,02 mg (Melastomataceae dan Rubiaceae), dan 5-10 g (Anacardiaceae, Burseraceae, Lauraceae, Myristicaceae dan Palmae) (Corlett


(50)

1998b). Berat buah beringin yang dimakan rangkong di pulau Sulawesi berkisar antara 0,08 – 15,3 g dengan diameter buah 5,43 –30 mm (Suryadi 1994).

Ukuran buah dan biji berinteraksi dengan karakteristik hewan penyebarnya yang potensial. Buah berukuran besar banyak tersedia di habitat, tetapi burung kesulitan untuk memakannya jika buah tersebut harus ditelan seluruhnya (Leighton & Leighton 1983). Buah yang berdiameter kecil (<8 mm) dapat dimakan oleh seluruh vertebrata pemakan buah. Akan tetapi hewan-hewan besar tidak menyukainya walaupun kadang-kadang memakannya, jika kepadatan buah tinggi atau satu pengambilan dapat diperoleh jumlah buah yang banyak (Corlett 1998b). Ukuran diameter buah (8-13 mm) berpotensi sebagai makanan untuk seluruh burung pemakan buah, tetapi hanya beberapa spesies burung yang memakannya seperti burung Zosteropidae dan Dicaeidae (Corlett 1998b). Ukuran diameter buah 22 mm dapat ditelan oleh beberapa spesies burung tertentu saja, seperti burung Enggang, Merpati buah, Kuau besar, Anis, Jalak, Bentet, dan Gagak (Leighton & Leighton 1983; Corlett 1998b; Ueda & Arima 2005). Diameter buah lebih dari 30 mm mungkin diluar kemampuan seluruh burung untuk menelannya. Namun ukuran buah seperti itu masih dapat dimakan oleh kebanyakan mamalia pemakan buah (Corlett 1998b).

Sebagai contoh, ukuran diameter buah Ficus drupacea adalah 20 mm dan hanya dimakan oleh mamalia pemakan buah yang lebih besar (Leighton & Leighton 1983). Akan tetapi, di Thailand burung yang sering memakan buah Ficus drupacea

adalah Cabai (Dicaeum tangkas) dengan cara dipatuk sebagian-sebagian, dan hanya Rangkong yang menelan buah secara keseluruhan (Corlett 1998b).

Ukuran biji buah sangat berpengaruh terhadap kisaran buah yang dimakan oleh vertebrata. Ukuran buah di atas ambang, bijinya secara teratur dijatuhkan, diludahkan atau dimuntahkan tanpa melewati lambung. Ukuran biji buah yang dimuntahkan oleh kelompok monyet adalah ± 3-5 mm yaitu (Corlett & Lucas 1990; Corlett 1998b), walaupun hewan-hewan lebih kecil banyak menelan dan membuangnya melalui feses (Corlett & Lucas 1990). Burung dapat memakan buah dalam kisaran ukuran buah yang lebar, kecuali buah yang berukuran terlalu besar untuk ditelan dan terlalu keras untuk di patuk (Corlett 1998b).


(51)

2.4.3.3 Nutrisi Buah

Menurut Corlett (1996), komponen utama karakteristik 153 spesies buah (30% tumbuhan buah berdaging) didominasi buah-buahan berbiji tunggal di Hongkong. Buah-buahan tersebut mempunyai lapisan daging buah yang banyak mengandung air, lemak, karbohidrat dan berbiji banyak. Dari 58 spesies tumbuhan yang banyak mengandung karbohidrat menunjukkan bahwa burung pemakan buah memakan buah yang mengandung banyak hexosa, sementara mamalia memakan buah yang mengandung banyak hexosa dan sukrosa di Hongkong (Ko et al. 1998; Corlett 1998b). Menurut Cipollini (2000) metabolit sekunder membantu lebih dari satu fungsi adaptasi buah berdaging untuk dipilih sebagai pakan oleh burung.

Buah Ficus spp. termasuk jenis pakan yang sering dimakan oleh burung. Walaupun buah tersebut memiliki kandungan serat yang tinggi dan nilai nutrisi yang rendah (Corlett 1998b). Di Hongkong, 8 spesies tumbuhan buah memiliki kisaran kandungan nutrisi dalam daging buahnya yang hampir sama, yaitu 45-71% total larutan karbohidrat, 9-25% serat, 2-11% protein dan 1-6% lemak (Corlett 1996). Beberapa burung pemakan buah sangat tergantung kebutuhan hidupnya pada ketersediaan buah Ficus spp. seperti Merpati hijau dan Rangkong. Kandungan nutrisi buah Ficus spp diduga telah mencukupi kebutuhan burung-burung tadi (Kinnaird 1992).

2.5 Perilaku Makan

Berdasarkan terminologi, perilaku makan terdiri dari serangkaian aktivitas makan yang dimulai dari mencari makanan, menangani sampai dengan memakannya (menelan). Hewan termasuk burung dalam menangani makanannya dilakukan dengan berbagai cara. Sebagai contoh, makanan diambil kemudian ditelan langsung atau diputar-putar bahkan dibanting-banting terlebih dahulu sebelum dimakan, jika makanan tersebut masih hidup seperti ikan, katak dan ular (Welty & Baptista 1988; Huntingford 1984).

Burung pemakan buah juga bervariasi dalam cara penanganan makanannya. Sebagai contoh, Rangkong akan mengapit buah di antara paruhnya dalam waktu 2-4


(52)

detik, kemudian dilemparkan ke atas, lalu ditangkap oleh paruhnya dan langsung ditelan (Suryadi 1994). Betet jawa menangani buah dengan cara dipegang oleh kakinya, kemudian buah digaruk dan disobek kulit buahnya serta dimakan sebagian-sebagian daging buahnya jika ukuran buah besar (Partasasmita 1998). Buah yang ditelan secara keseluruhan oleh burung berpotensi disebarkan bijinya, sedangkan buah yang dimakan sebagian-sebagian cenderung kurang berpotensi disebar bijinya (Wheelwright 1991).

2.5.1 Waktu Aktivitas Makan

Aktivitas makan hewan diurnal dimulai pada pagi hari sampai sore hari menjelang tidur. Burung melakukan aktivitas terbang pada umumnya bersifat bimodal, pagi hari meningkat kemudian pada siang hari menurun dan meningkat kembali pada sore hari. Fluktuasi tersebut ada hubungannya dengan kebutuhan makanan oleh burung (Marsden 1995), sedang tinggi rendahnya frekuensi aktivitas makan diduga dipengaruhi oleh suhu lingkungan dan perubahan intensitas cahaya matahari (Smith 1990). Pada pagi hari hewan berusaha untuk makan sebanyak-banyaknya dan energi yang diperoleh pada pagi hari dipergunakan untuk aktivitas siang dan sore hari. Aktivitas makan meningkat pada sore hari diduga sebagai strategi untuk tetap mempunyai energi pada malam hari (Marsden 1995). Pemilihan waktu aktivitas makan dipengaruhi juga oleh ketersediaan makanan, kesesuaian tempat, ada tidaknya pesaing dan predator (Krebs & Davis 1978).

Burung pemakan buah memiliki cara-cara tertentu dalam melakukan aktivitas makan, yaitu dengan mengambil buah sambil bertengger dekat dengan tandan buah, cara ini paling sering dipergunakan. Menurut Jordano (1992, 2000) burung pemakan buah mempunyai empat strategi manuver terbang yang berbeda untuk mengambil makanan dari tempat tenggerannya, yaitu pertama berhenti (hovering), metode ini digunakan oleh kelompok burung bondol (manakins), sikatan (flycatchers) dan Thraupidae; kedua memperlambat (stalling), dipakai oleh luntur (trogons); ketiga menyambar (swooping) dan memperlambat (stalling), memetik buah sambil terus bergerak dari satu tenggeran ke tenggeran yang lain, metoda ini digunakan oleh


(53)

kebanyakan familia Cotingidae; dan keempat mengambil buah dari tenggeran sambil berjalan memilih dan menggapai buah, kadang-kadang sambil menggantung (hanging) di dahan. Dua strategi pertama merupakan strategi yang paling umum digunakan burung pemakan buah.

2.5.2Preferensi Makan

Setiap organisme untuk melangsungkan kehidupannya memerlukan makanan. Setiap makanan yang dimakan oleh hewan dapat ditinjau dari dua aspek yaitu aspek kualitatif dan kuantitatif. Aspek kuantitatif mencakup kelimpahannya di habitat dan aspek kualitatif meliputi ukuran, warna, palatabilitas, nilai gizi dan kemudahan dicerna (Krebs & Davis 1978).

Preferensi terhadap jenis pakan tertentu diduga dipengaruhi oleh warna, berat dan besar ukuran pakan, kelimpahan jenis pakan, dan kandungan nutrisinya. Pada burung yang berperan menentukan pola hidup dan jenis pakannya adalah ukuran tubuh, bentuk paruh dan sistem pencernaannya (Wiens 1992). Hubungan antara jenis makanan yang dikonsumsi oleh berbagai jenis burung dengan ketersediaannya di lingkungan dapat memperlihatkan fenomena pengalihan preferensi. Misalnya, apabila ketersediaan suatu jenis pakan di lingkungan rendah, maka penggunaan jenis pakan itu relatif rendah (tidak menampakkan preferensi), tetapi apabila ketersediaannya meningkat, maka hewan akan memperlihatkan preferensi yang tinggi terhadap jenis pakan tersebut (Smith 1990).

Seleksi pakan oleh hewan termasuk burung adalah merupakan strategi dalam mengoptimalkan perolehan energi untuk memenuhi kebutuhan hidupnya (Huntingford 1984; Krebs & Davis 1978). Semakin selektif pakan yang dimakan, maka waktu untuk mencari pakan tersebut akan semakin lama (Wheelwright 1991). Lamanya aktivitas makan burung akan menunjukkan kuantitas perolehan makanan. Semakin lama burung melakukan aktivitas makan di tumbuhan pakan, maka akan semakin banyak buah yang dimakan. Strategi tersebut sebagai bentuk mengoptimalkan perolehan sumberdaya pakan (Krebs & Davis 1978). Menurut Wheelwright (1991) burung pemakan buah harus tetap berada di tumbuhan pakan


(1)

Lampiran 28. Kondisi vegetasi semak di kebun teh tidak dikelola ≥ 10 tahun A

B C

A: bagian pingiran petak kebun teh banyak ditumbuhan tumbuhan semak, B: bagian tengah petak dengan lapisan bawah jarang tertutup tumbuhan semak, C: pengambil kayu bakar tumbuhan teh dan jenis tumbuhan kayu yang lainnya.


(2)

Lampiran 29. Kondisi vegetasi semak di hutan sekunder A

B

A: bagian hutan sekunder banyak ditumbuhan tumbuhan semak, B: bagian dalam hutan sekunder dengan lapisan bawah tertutup tumbuhan semak.


(3)

Lampiran 30. Keberadaan tumbuhan semak burung di tiga tipe vegetasi No Nama daerah Nama ilmiah Tipe vegetasi

KT5 KT10 HS 1 Arben Rubus chrysophyllus V V V 2 Bungbrum Poligonum chinensis V V V 3 Cecereneaan Breynia microphylla V V v

5 Hamerang Ficus annulata - - V

6 Harendong beureum Melastoma affine V V V 7 Harendong bulu Clidemia hirta V V V 8 Huru batu Ediandra rubescens - - V 9 Jeungjing Albizzia stipulata - - V 10 Jukut bayondah Pollinia ciliata V V V 11 Jukut bulu Digitaria segitera V V V 12 Jukut aawian Echinochloa cruss-galli - - V 13 Calincing gunung Oxalis corniculata - - V 14 Sawuheun Panicum palmatifolium V V V 15 Suplir Adiantum caudatum V - - 16 Jalantir Erigeron sumatrensis V V - 17 Areuy patuk manuk Thunbergia alata V V V 18 Kacang babi Visia faba - - V 19 Sintrong Crassocephalum crepidioides V - - 20 Gewor Commelina bengalensis V - - 21 Putri malu Mimosa pudica - V - 22 Pungpurutan Urena lobata - V - 23 Paku rane Selaginella plana - - V 24 Jukut piit Digitaria sanguinalis - - V 25 Kaliandra Caliandra haematocephala V V - 26 Kayu afrika Maesopsis eminii V V V 27 Kembang orok-orok Clotararia alata - - V 28 Kirinyuh Eupathorium odoratum V V V 29 Ki sero Polygosma velutina - - V 30 Kiseureuh Piper adunctum V - V 31 Kipapatong Sambucus javanicus V V V 32 Paku sayur Asplenia spp. V V - 33 Paku tiang Cyathea contaminans V V - 34 Pongang cucuk Trevesia sundaica - - V

35 Puspa Schima wallichii - V -

36 Saliara Lantana camara V V V


(4)

Lampiran 31. Keberadaan burung pemakan buah dan spesies tumbuhan pakannya di tipe vegetasi KT5

No. Nama burung Spesies tumbuhan pakan

a b c d e f g h i j k l m n o p q r

1 Zosterops palpebrosus V - V V V V - - V - - V - - - V V -

2 Pycnonotus aurigaster V - V V V V - - V - - V - - - V - -

3 Dicaeum trochileum - - - V V V - - - - - - V - -

4 Dicaeum sangunolentum

- - - V V V - - - - - - V - -

5 Dicaeum trigonostigma - - - V - V - - - - - - V - -

6 Dicaeum concolor - - - V - V - - - - - - V - -

7 Pycnonotus goiavier V - V V V V - - V - - V - - - V - -

8 Macropygia emiliana - - - V - - - - -

a:Rubus chrysophyllus, b:Ficus benjamina, c:Polygonum chinensis, d:Breynia microphylla.e:Melastoma affine, f:Clidemia hirta, g:Medinilla rubicunda, h:Leucosyke capitellata,i:Maesopsis eminii, j:Debregesia longifolia, k:Litsea casiefolia, l:Sambucus javanicus,m:Vitex vubescens, n:Ficus rostata, o:Laportea stimulans, p:Lantana camara, q:Panicum palmifolium, r:Ficus ribes


(5)

Lampiran 32. Keberadaan burung pemakan buah dan spesies tumbuhan pakannya di tipe vegetasi KT10

No. Nama burung Spesies tumbuhan pakan

a b c d e f g h i j k l m n o p q r

1 Zosterops palpebrosus V - V V V V - - V - - V - - - V V -

2 Pycnonotus aurigaster V - V V V V - - V - - V - - - V - -

3 Dicaeum trochileum - - - V V V - - - V - -

4 Dicaeum sangunolentum - - - V V V - - - V -

5 Dicaeum trigonostigma - - - V - V - - - V - -

6 Dicaeum concolor - - - V - V - - - V - -

7 Macropygia unchal - - - V - - -

8 Megalaima armillaris - - - V - - -

9 Zosterops montana V - - V V V - - - V - - -

10 Ptilinopus porphyreus - - - V - - -

a:Rubus chrysophyllus, b:Ficus benjamina, c:Polygonum chinensis, d:Breynia microphylla.e:Melastoma affine, f:Clidemia hirta, g:Medinilla rubicunda, h:Leucosyke capitellata,i:Maesopsis eminii, j:Debregesia longifolia, k:Litsea casiefolia, l:Sambucus javanicus,m:Vitex vubescens, n:Ficus rostata, o:Laportea stimulans, p:Lantana camara, q:Panicum palmifolium, r:Ficus ribes


(6)

Lampiran 33. Keberadaan burung pemakan buah dan spesies tumbuhan pakannya di tipe vegetasi HS

a:Rubus chrysophyllus, b:Ficus benjamina, c:Polygonum chinensis, d:Breynia microphylla.e:Melastoma affine, f:Clidemia hirta, g:Medinilla rubicunda, h:Leucosyke capitellata,i:Maesopsis eminii, j:Debregesia longifolia, k:Litsea casiefolia, l:Sambucus javanicus,m:Vitex vubescens, n:Ficus rostata, o:Laportea stimulans, p:Lantana camara, q:Panicum palmifolium, r:Ficus ribes

No. Nama burung Spesies tumbuhan pakan

a b c d e f g h i j k l M n o p q r

1 Zosterops palpebrosus V - V V V V - - V V - V - - - V V -

2 Pycnonotus aurigaster V - V V V V - V V V - V - - - V - -

3 Dicaeum trochileum - - - V V V V - - V - - - V - -

4 Dicaeum sangunolentum - - - V V V V - - V - - - - V V - -

5 Dicaeum trigonostigma - - - V - V V - - V - - - V - -

6 Macropygia unchal - V - - - V - - - V V - - - V

7 Megalaima armillaris - V - - - - - - V - - - V - - - -

-8 Zosterops montana V - V V V V V - - V - V V - V V - -

9 Macropygia emiliana - V - - - V - - - - V - - - V

10 Megalaima corvina - V - - - V - - - V - - -

11 Megalaima haemacephala

- V - - - V - - - V - - -

12 Pycnonotus bimaculatus V - V - - V - - - V - V V - - V - -