Pendidikan Karakter di Jepang

B. Pendidikan Karakter di Jepang

Untuk membangun pendidikan karakter di sekolah-sekolah negara kita ada baiknya kita belajar dari pendidikan karakter di Jepang. Mengapa harus Jepang? Pertama, masyarakat Jepang merupakan salah satu grup masyarakat yang paling homogen baik secara ras, kultur, dan etnisnya. Hal ini

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung 43 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung 43

Untuk memberi gambaran tentang karakter masyarakat Jepang, penulis membaginya dalam dua bagian yaitu:

1. Pada Saat Terjadi Gempa dan Tsunami di Jepang

Ketika gempa besar dan tsunami menghantam bagian timurJepang, masyarakat Jepang telah menunjukkan kepada dunia sebagai bangsa yang berkarakter kuat yang ditunjukkan dengan sikap sebagai berikut:

a. Mereka mampu menempatkan kepentingan umum dan keselamatan bersama jauh di atas kepentingan pribadi dalam keadaan genting sekalipun. Pada malam setelah gempa, orang- orang yang mengungsi di salah satu sekolah dasar, bisa tetap mengantre dengan sabar untuk mendapatkan makanan dalam keadaan gelap gulita sekalipun (Christian, 2011)

b. Mereka memiliki kemauan melakukan otokritik untuk bangkit kembali dengan semangat kebersamaannya tersebut sekalipun dalam kondisi krisis akibat gempa bumi dan tsunami, disusul radiasi nuklir akibat bocornya PLTN Fukushima Daiichi. Pakar bencana dan gempa Jepang mengakui setelah gempa dan tsunami mengakui, bencana kali ini melampaui perkiraan dan antisipasi yang telah dilakukan. Mereka sudah menerapkan sistem pencegahan tsunami, juga pendidikan kepada masyarakat agar waspada bencana. Ternyata bencananya lebih besar dari perhitungan.Namun, mereka yakin mampu belajar dari bencana ini untuk bersiap diri lebih baik mengantisipasi bencana berikutnya. (Patristik, 2011)

c. Masyarakat Jepang sangat kuat dan tidak mengeluh di saat distribusi bantuan datang tersendat. Di beberapa titik pengungsian di Kesennuma, Miyagi, nyaris tak ada keluhan dari para pengungsi sekalipun mereka dalam kondisi sulit, misalnya tak ada pemanas di tengah suhu di bawah nol derajat celsius. Mereka bersikap tenang dan antre dengan tertib. (Patristik, 2011)

d. Media massa di Jepang juga kooperatif dan memiliki peran penting dalam membangun karakter bangsa. Saat ada bencana besar, seluruh jam tayang iklan di televisi dibeli pemerintah untuk menyiarkan layanan masyarakat perihal bagaimana seharusnya berbagi dan berbuat baik. (Patristik, 2011)

44 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung

2. Pendidikan Karakter di Persekolahan

Karakter mental dan kepribadian masyarakat Jepang itu tentu bukan datang begitu saja. Pendidikan dan sekolah memiliki peran besar di dalamnya, berjalan dinamis dengan tradisi dan nilai-nilai yang ditanamkan keluarga. Pembinaan karakter merupakan salah satu pilar utama pendidikan yang dilakukan sejak dini di Jepang.

a. Di Tingkat Pendidikan Usia Dini (Houikuen dan Youchien)

Houikuen atau setingkat penitipan anak merupakan

yurisdiksi Kementerian Kesehatan dan Kesejahteraan Jepang, sedangkan youchien atau TK, diawasi oleh Kementrian Pendidikan Jepang. Meski dilaksanakan oleh kementerian yang berbeda, aktivitas di dua jenis sekolah ini sama-sama ditekankan pada pengembangan kecerdasan sosial dan emosional, serta keseimbangan tubuh dan daya pikir. Di TK, anak-anak menghabiskan waktu dengan beragam permainan yang ditujukan untuk menumbuhkan kepekaan sosial serta

semangat kebersamaan, karakter yang kemudian kita lihat melekat pada bangsa Jepang. Guru- guru maupun siswa TK sering memperdengarkan yelyel seperti ‗tomodachi ni naro‘ (mari berteman), ‗saigo made gambaru‘ (berusaha sampai selesai), atau ‗kokoro kara otagai o tasukete mimashou‘ (mari saling menolong dengan tulus). Seluruh aktivitas sekolah selalu dilakukan dengan semangat kebersamaan (tomodachi, shinsetsu, nakayoku), semangat kerja keras (gambaru), antusiasme (genki), dan tanggung jawab (jibun no koto o jibun de suru). Pada akhir pendidikan TK, ketika anak harus memberikan kesan singkat seusai menerima diploma, banyak dari mereka, bahkan hampir semuanya, akan berbicara tentang gambaru, tomodachi, dan jibun no koto o jibun de suru tersebut. Proses internalisasi hasil pendidikan karakter terlihat sangat jelas (Christian, 2011)

b. Di Tingkat Sekolah Dasar (shougakkou)

Seperti dapat dilihat di film-film layar kaca, siswa-siswi SD negeri Sakura pergi dan pulang sekolah dengan berjalan kaki. Sekitar pk 07.15 setiap kelompok yang terdiri dari lima atau enam siswa berangkat menuju sekolah. Pukul tiga atau empat sore mereka pulang dalam kelompok-kelompok dan setiap kelompok dipimpin seorang ketua. Berjalan kaki dan pergi- pulang berkelompok sifatnya wajib bagi para siswa SD, tanpa pandang bulu. Ada 3 hal yang terkandung dari kewajiban di atas. Semangat juang, kebersamaan, dan Tanggung jawab yang ditanamkan dan dipraktikkan secara langsung. Bandingkan dengan tata-cara dan kebiasaan siswa-siswi SD di negeri kita. Siswa dapat pergi dan pulang secara bebas dalam

arti boleh sendiri, bersama teman, atau diantar pembantu. Mereka pun boleh berjalan kaki, naik kendaraan umum, atau naik mobil orangtuanya. Tidak ada pendidikan etos kerja & kebersamaan. Pendidikan seperti mencuci piring juga diajarkan di sekolah. Di Jepang tidak dikenal yang namanya pembantu rumah tangga. Ketika libur sekolah anak-anak SD meliburkan ibu mereka dari kegiatan mencuci piring di dapur dan pekerjaan itu mereka gantikan (Setiawan, 2011).

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung 45 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung 45

Pada tingkat sekolah menengah (chuugakkou) dan sekolah menengah atas (koukou) pola pendidikan serupa pun masih diterapkan, namun dengan cara yang berbeda. Pada murid diharapkan dapat dengan aktif memberikan pendapat atau jawaban mengenai suatu masalah umum yang diberikan oleh gurunya. Bahkan para murid pun dengan berani memberitahu yang benar apabila sang guru salah dalam memberi jawaban. Pada musim panas, sekitar pertengahan Agustus, setiap tahun juga diadakan Pertandingan Baseball (Yakyuu) yang

diikuti oleh seluruh sekolah seantero Jepang. Melalui seleksi yang ketat, setiap prefektur diwakili oleh satu sekolah. Pada sekolah yang telah lolos akan diadu kembali dalam suatu Kejuaraan yang bernama Koushien, yang diadakan di Lapangan Koushien, di Kobe, Prefektur Hyougo. Mereka bertanding dengan sepenuh tenaga walaupun hari terik dan hujan turun. Teman-teman dan guru pun datang dari tempat yang jauh untuk mendukung tim yang bertanding. Setiap akhir pertandingan walaupun ada tim yang menang atau kalah, walaupun ada yang menangis ataupun tersenyum gembira, selalu diakhiri oleh pemberian hormat, dan saling bersalaman (rei). Disinilah salah satu bukti nyata pendidikan karakter Jepang. Para murid diajarkan untuk berusaha dengan keras dan bekerja sama dalam tim, tapi walaupun kalah ataupun gagal, mereka diajarkan untuk menerimanya dengan lapang dada, dan tidak berbuat curang. Satu hal yang sangat patut dicontoh. Fenomena unik lainnya dapat dilihat pada siswa SLTP dan SMU di sana. Mereka dibolehkan bersepeda ke sekolah, tetapi tidak diizinkan mengendarai sepeda motor apalagi mobil pribadi. Kalau pun terlalu jauh siswa boleh pergi dengan bus kota atau kereta api. Padahal kita semua mafhum bahwa Jepang adalah produsen utama kendaraan bermotor. Perhatikan perilaku siswa-siswi SLTP dan SMU kita, tidak sedikit yang ke sekolah dengan mobil bahkan mengemudinya sendiri. Kita pun sering mendengar keluhan para orangtua yang anak-anaknya mogok sekolah lantaran tidak dibelikan sepeda motor. Betapa manjanya anak-anak kita.

d. Ada kerjasama yang baik antara sekolah dan orang tua siswa dalam pendidikan karakter

Bersama dengan sekolah, keluarga merupakan faktor utama pengembangan karakter di Jepang. Kerja sama dan komunikasi antara pihak keluarga dan sekolah dilakukan sangat intensif melalui buku sekolah, surat elektronik, atau telepon. Meski orang Jepang terkenal sangat sibuk, mereka merasa "wajib" menghadiri upacara hari pertama sekolah putra-putri mereka. Hal ini menunjukkan perhatian orangtua terhadap pendidikan anak-anaknya serta komitmen mereka terhadap budaya sekolah. Dari sinilah kerjasama, komunikasi serta harmoni antara sekolah dan keluarga demi pendidikan anak mulai terbangun. Orangtua juga dengan sukarela membuat sendiri, semacam tas kecil yang berisi bekal makan siang, sejenis celemek untuk pelajaran memasak di sekolah, baju khusus untuk kegiatan souji (membersihkan kelas setelah pulang sekolah), dan keperluan sekolah lainnya (Christian, 2011)

e. Adanya penanaman faham kepada siswa untuk tidak memandang mulia satu jenis pekerjaan dan memandang hina pekerjaan lainnya.

Hal ini dapat dilihat dari jawaban spontan anak-anak bila ditanya cita-cita mereka. Menjadi juru masak, penjual bunga, penjual buku dan sejenisnya yang sederhana adalah cita-cita mereka. Cita-cita seperti ini merupakan refleksi dan hanya dapat terjadi di masyarakat yang tidak memandang mulia satu jenis pekerjaan dan hina pekerjaan lainnya. Berbeda dari bocah Jepang yang umumnya bercita-cita sederhana, bocah Indonesia umumnya bercita-cita tinggi seperti menjadi insinyur dan dokter. Tetapi tidak adanya character building dalam pendidikan menyebabkan rendahnya kemauan serta semangat juang masyarakat maupun para petinggi

46 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung 47

kita. Daya tahan lemah dan gampang menyerah. Akibatnya, cita-cita tinggi para bocah muncul tanpa ruh dan di masa berikutnya menjadi keinginan sekadar bisa hidup. Celakanya, sekadar hidup itupun seringkali juga ditempuh via jalan pintas (Setiawan, 2011).

f. Adanya pendekatan kultural atau pendekatan budaya dalam membangun karakter individu dan bangsanya. Filosofinya sederhana, kalau seseorang mau aktif berolah budi dan berolah rasa melalui budaya khususnya kesenian bangsanya maka secara otomatis akan tertanam karakter yang baik dan mantap pada dirinya. Dalam skala bangsa juga demikian adanya, kalau suatu bangsa mau aktif berolah budi dan berolah rasa maka akan tertanam karakter yang baik dan mantap pada bangsanya. Pendekatan kultural tersebut terlihat pada beberapa sekolah di Jepang; mulai masuk lingkungan sekolah sudah terasa nuansa budayanya. Dari segi fisik banyak meski tidak semua sekolah yang dibangun dengan bangunan khas Jepang dengan segala asesorinya. Ketika masuk di dalam bangunan sekolah banyak didapati aneka tulisan yang ditulis dengan tulisan Jepang, Huruf Kanji, Huruf Hiragana dan/atau Huruf Katakana, yang disajikan secara artistik. Umumnya tulisan itu berisi slogan yang melukiskan semangat berbakti kepada bangsa dan negara. Di samping aneka tulisan juga terlihat banyak lukisan dinding (kake-jiku) serta aneka tanaman bunga (chabana) yang memperindah suasana persekolahan. Kesenian tradisional Jepang diajarkan di sekolah; misalnya saja seni merangkai bunga (ikebana), seni teater khas Jepang (kabuki), seni lipat kertas dan kain (origami), seni lukis cukil kayu atau (ukiyo-e), seni sandiwara boneka tradisional Jepang (bunraku), seni drama musik Jepang klasik atau (noh), seni bercerita humor gaya Jepang (rakugo), permainan tradisional air atau (onsen), seni upacara minum teh (chato atau cha no yu), dan masih banyak yang lain. Ketika saya mengunjungi Showa University yang berada di Tokyo pun ternyata berbagai seni tersebut, khususnya seni merangkai bunga dan seni upacara minum teh, juga dibelajarkan kepada para mahasiswanya. Menurut pengampunya, merangkai bunga bukanlah sekadar seni akan tetapi lebih daripada itu ialah merangkai kesinambungan antara batin seseorang dengan keindahan alami (Supriyoko, 2011).

g. Pendidikan karakter langsung dipraktekkan dalam kehidupan sehari-hari. Kalau ada orangtua siswa bertemu dengan guru maka sang orangtua tersebut apa pun status sosialnya pasti menghormat sang guru. Katakanlah Sang orangtua tersebut adalah pejabat tinggi, pasti tetap memberikan penghormatan yang cukup bagi sang guru. Di Jepang, guru adalah profesi yang sangat dihormati oleh semua orang. Kalau ada orangtua (sepuh) masuk kereta, dan di dalam kereta terse-but sudah tidak tersedia tempat duduk karena semuanya telah berisi maka dapat dipastikan anak muda akan memberikan tempat duduknya tersebut kepada sang orangtua. Kalau kita naik atau turun lift bersama anak-anak muda Jepang maka hampir dapat dipastikan yang memencet tombol lift adalah anak-anak muda Jepang tersebut; dan keluar atau masuk lift pun kita yang lebih tua akan dipersilakan lebih dulu keluar dari atau masuk ke dalam lift. Praktik pendidikan karakter tersebut dipraktikkan oleh orang Jepang tidak hanya di negaranya akan tetapi di mana saja mereka berada. Pernah sekolah dan pesantren yang berlokasi di Sleman Yogyakarta ketamuan orang Jepang yang sangat terkenal, Prof Hideo Moriyama, dosen dan pejabat di Kyushu University, Jepang, beserta isteri dan asistennya yang nota bene berpendidikan doktor. Mereka bertiga sengaja menginap di pesantren. Dan ketika tidur, mereka tidak mau di kamar yang disediakan tersendiri akan tetapi memilih tidur bersama para santriwan dan santriwati yang nota bene kebanyakan adalah anak yatim dan dhuafa.

Itulah pendidikan karakter ala Jepang yang langsung dipraktikkan. Pendidikan seperti itu pantas kita jadikan referensi untuk mengembangkan dan membentuk karakter bangsa (Supriyoko, 2011).