171615472 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika

KATA PENGANTAR

Dengan Senantiasa mengharap rahmat dan ridho Allah S.W.T, atas karunianya Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika I ini akhirnya dapat diselesaikan. Seminar Nasional Pendidikan Matematika insya Allah merupakan kegiatan rutin yang diselenggarakan oleh Program Studi Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung tiap tahun. Kegiatan ini merupakan sebuah wadah bagi pendidik, peneliti dan pemerhati pendidikan matematika untuk mendifusikan kajian ilmiah serta untuk meningkatkan kerjasama diantara peserta.

Persoalan budaya dan karakter bangsa belakangan ini menjadi sorotan masyarakat. Keprihatinan terkait berbagai aspek kehidupan diungkap dan dibahas di media massa, Selain itu, para pemuka masyarakat, ahli, pengamat pendidikan, dan pengamat sosial mengangkat persoalan budaya dan karakter bangsa di berbagai forum seminar, baik pada tingkat lokal, nasional, maupun internasional. Persoalan yang muncul di masyarakat seperti korupsi, perilaku kekerasan dan perusakan, kejahatan seksual, pola hidup yang konsumtif, kehidupan politik yang tidak produktif, dan sebagainya menjadi topik pembahasan hangat. Berbagai alternatif penyelesaian telah diajukan seperti peraturan, undang-undang, dan penegakan hukum yang lebih kuat. Alternatif lain yang banyak dikemukakan untuk mengatasi atau mengurangi masalah budaya dan karakter bangsa seperti itu adalah pendidikan. Oleh karena itu, Seminar nasional pendidikan matematika I mengambil tema ―Membangun Pendidikan Karakter bagi Calon Pendidik‖ yang diselenggarakan di Kampus STKIP Siliwangi Bandung pada tanggal 7 Desember 2011.

Akhirnya, kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah ikut berpartisipasi atas penyelenggaraan Seminar Nasional Pendidikan Matematika ini sehingga berhasil dengan baik, khususnya kepada Kepala Dinas Pendidikan Kota Cimahi, Bapak Ketua STKIP Siliwangi Bandung beserta jajarannya, Ketua dan Sekretaris Program Studi Pendidikan Matematika, Steering Committee serta semua panitia yang telah membantu demi terselenggaranya kegiatan seminar ini.

Kami menyadari bahwa masih banyak kekurangan, kesalahan, dan kekhilafan dalam penyelenggaraan seminar ini. Oleh karena itu, dengan kerendahan hati kami mohon keikhlasan Bapak, Ibu Saudara/I peserta seminar untuk memaafkan kami.

SAMBUTAN KETUA PANITIA SEMINAR NASIONAL PENDIDIKAN MATEMATIKA PROGRAM STUDI PENDIDIKAN MATEMATIKA STKIP SILIWANGI BANDUNG

Assalamu’alaikum wr wb, Salam sejahtera bagi kita semua.

Bapak, Ibu, dan Saudara/I peserta seminar yang berbahagia.

Dengan senantiasa mengharapkan Rahmat dan Ridho Allah S.W.T karena telah mempertemukan kita pada acara seminar nasional pendidikan matematika di STKIP SILIWANGI Bandung dalam ke adaan sehat wal‘afiat semoga seminar ini dapat berjalan dengan lancar dan memberikan manfaat bagi kita semua, Amien. Seminar Nasional Pendidikan Matematika ini dengan tema, ―Pendidikan Karakter dalam

Pembelajaran Matematika bagi Para Calon Pendidik ‖, bertujuan untuk : 1) memberikan pemahaman kepada kita semua tentang arti pentingnya karakter dan bagaimana mengintegrasikan dalam pembelajaran matematika 2) mempublikasikan hasil-hasil penelitian atau kajian dalam lingkup pendidikan matematika, dan 3) membangun kesinambungan antara lembaga pendidikan, dan lembaga penelitian dalam mengembangkan dan mengaplikasikan karakter dalam pembelajaran matematika menuju masyarakat Indonesia yang bernafaskan Iman, Ilmu, dan Ikhsan. Kegiatan seminar ini diharapkan menjadi kegiatan tahunan Program Studi Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung.

Panitia seminar mengundang tiga narasumber sebagai pembicara utama, Ketiga orang tersebut adalah Bapak Prof. Dr. H. Wahyudin, M.Pd, Ibu Prof. Dr. Utari Sumarmo, dan Prof. H.E.T. Ruseffendi, PhD. Ketiga narasumber tersebut akan menyampaikan makalahnya dalam setiap sesi yang berbeda, selain makalah dari ketiga pembicara utama, panitia menerima 35 abstrak dan 29 makalah dari pemakalah dari berbagai propinsi untuk dipresentasikan dalam sesi paralel, dari kesemua pemakalah hanya 24 makalah yang akan dipresentasikan dalam sesi paralel tersebut. Seminar ini juga dihadiri oleh peserta pendengar yang terdiri dari Mahasiswa, Dosen, Guru dan Praktisi dunia pendidikan.

Seminar ini terselenggara berkat bantuan dan dukungan dari berbagai pihak. Oleh karena itu kami menyampaikan terima kasih kepada Bapak Ketua STKIP SILIWANGI beserta Jajarannya, Bapak Ketua dan sekretaris Program Studi Pendidikan Matematika. Sebagai ketua panitia, saya menyampaikan penghargaan kepada segenap anggota panitia dan semua pihak yang telah membantu demi terselenggaranya kegiatan seminar ini.

Kami menyadari bahwa masih banyak kekurangan, kesalahan, dan kehilafan dalam penyelenggaraan seminar ini. Oleh karena itu, dengan kerendahan hati kami mohon keikhlasan Bapak, Ibu Saudara/I peserta seminar untuk memaafkan kami.

Akhirnya, kami berharap seminar ini memberikan manfaat bagi kita yang hadir disini khususnya dan dunia pendidikan pada umumnya.

Wassalmu’alaikum wr wb.

Bandung, 7 Desember 2011 Ketua Panitia Seminar Nasional

Rafiq Zulkarnaen, S.Pd., M.Pd.

ii

NASKAH AKADEMIK MATEMATIKA SEKOLAH MENENGAH PERTAMA

OIeh : H.E.T. Ruseffendi

I. PENDAHULUAN

Naskah Akademik ini tidak memuat rasional umum dibuatnya Naskah Akademik itu, tetapi langsung mengenai Pendidikan Matematika di jenjang SMP. Sebabnya ialah karena yang secara umum itu sudah ditulis pada Naskah Akademik Satuan Pendidikan yang bersangkutan. Yang akan diuraikan di bagian pendahuluan ini adalah faktor-faktor yang menyebabkan keberhasilan dan ketidakberhasilan siswa belajar. Faktor-faktor itu adalah: Tujuan Pendidikan Nasional sampai dengan Tujuan Instruksional Khusus atau indikator, hakekat matematika, alasan matematika diajarkan, matematika sekolah, yang berkepentingan dengan matematika, hakekat pendidikan matematika, hakekat anak didik, teori belajar-mengajar matematika, guru dan LPTK, kebijaksanaan penguasa, keadaan masyarakat umum, khususnya matematikawan dan pendidik matematika.

1.1. Tujuan Pendidikan Nasional

Tujuan Pendidikan Nasional kita sangat ideal sebab, selain agar manusia Indonesia sehat jasmani dan rohani, cerdas, dan sebagainya tetapi juga agar manusia Indonesia bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa. Konsekuensinya, manusia Indonesia harus beragama. Sehingga bila hasil didikan kita itu tidak berag:rma itu berarti pendidikan kita itu gagal. Bila manusia hasil didikan kita tidak beragama, manusia-manusia Indonesia itu sama saja dengan hasil pendidikan yang sekuler.

Seperti kita ketahui, tujuan pendidikan nasional itu dijabarkan ke tujuan institusional, ke tujuan kurikuler, dan ke tujuan instruksional; di yang lama tujuan instruksional umum dan khusus, sedangkan di yang baru ke standar kompetensi, kompetensi dasar, dan indikator. Kedua-duanya sama saja merupakan jabaran dari aliran tingkah laku (behaviorist). Dalam tujuan institusional mengenai satuan pendidikan itu semestinya tercantum apakah sampai dengan SMP itu merupakan jenjang wajib belajar? Dan pada tujuan kurikulernya sudah tercantum tujuan pembentukan sikapnya. Masalahnya instrumen untuk melihat hasil belajar itu hampir semuanya hanya mengukur daerah pengetahuan dan keterampilan. Sedangkan daerah efektif sering terlupakan.

1.2. Hakekat Matematika

Matematika itu sebenarnya apa?

Matematika itu bisa berupa studi deduktif, ratunya ilmu, bahasa, seni, pelayan ilmu, dan aktivitas manusia. Berpendapat bahwa matematika itu adalah itu (studi deduktif misalnya) akan berpengaruh terhadap pembelajaran matematika di sekolah. Bila kita berpendapat matematika itu studi deduktif maka pembelajaran matematika di sekolah akan formal, miskin dari penerapan, di SMA-nya penuh dengan bukti, dan tidak kontekstual. Apakah pengembangan matematika itu ada atau tidak ada gunanya bagi orang yang berpendapat seperti itu tidak jadi masalah. Maksudnya, bila ada gunanya syukur, bila tidak ada tidak jadi masalah. Jadi, pengembangan matematika itu tidak menyangkut anak.

Begitu pula bila kita berpendapat bahwa matematika itu ratunya ilmu. Matematika itu akan indah sendiri, terpelihara dari kesalahan-kesalahan, dan akan maju sesuai dengan keinginan sendiri. Bila kita berpendapat bahwa matematika itu ratunya ilmu, kata metematika, ―Bila perlu aku, datanglah kepada ku‖.

Bila kita berpendapat, metematika itu sebagai bahasa, maka pembelajaran matematika di sekolah itu bisa beragam. Bagi anak-anak yang kurang mampu harus tidak formal dan bagi yang mampu bisa kepada yang formal dan bahkan bisa kepada sistem yang aksiomatik. Tetapi bagaimana pun bahasanya itu bahasa internasional, hemat, padat, cermat, singkat, dan tidak mendua arti. Misalnya

untuk jumlah bilangan asli dari 1 sampai dengan l00 adalah l + 2 + 3 +... + l00 atau 100 𝑖=1 𝑖 .

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung 1

Menunjukkan kebenaran jumlah sudut-sudut pada sebuah segitiga adalah bisa seperti di sekolah dasar yaitu memotong-motong sudutnya lalu menyambung-nyambungnya pada sebuah garis lurus, bisa juga dengan bukti formal secara deduktif. Matematika itu adalah seni, maksudnya ialah matematika itu sesuatu yang indah. Indahnya itu bukan saja pada bentuk-bentuk geometri yang indah seperti persegi atau persegipanjang padajendela, tabung pada penyanggah bangunan, bentuk simetris pada pintu dan lain-lain juga pada pembuktian yang secara deduktif. Pembuktian secara deduktif itu misalnya pembuktian jumlah sudut-sudut pada sebuah segitiga adalah 180o dan pembuktian jumlah dua buah bilangan ganjil adalah bilangan genap. Pada kedua cara itu, bukti bisa diselesaikan dalam satu-dua kalimat sedangkan dengan bukti cara biasa, sampai kiamat pun tidak akan selesai. Bila kita berpendapat matematika itu sebagai seni, pembelajaran matematikanya bisa tidak formal dan bisa formal juga.

Matematika adalah pelayan ilmu artinya matematika itu harus melayani bidang-bidang studi lain; melayani fisika, kimia, akutansi, dan lain-lain. Dalam hal ini, matematika yang diberikan di sekolah harus matematika sebagai ilmu terapan; bukan yang teori.

Kemudian matematika disebut kegiatan manusia karena matematika digunakan oleh manusia di segala lini kehidupan, seperti orang awam di pasar, supir angkot, pengemudi beca, siswa, mahasiswa, kantor-kantor, bidang studi lain, dan manusia dalam pengembangan teknologi tingkat tinggi. Bila demikian maka pembelajaran matematika di tingkat bawah harus kontekstual seperti PMRI (Pendidikan Matematika Realistik Indonesia).

Demikian sedikit uraian mengenai hakekat matematika.

1.3. Alasan Makanya Matematika Diajarkan di Sekolah

Mengapa Matematika diajarkan di Sekolah?

Alasan makanya matematika diajarkan di sekolah itu banyak. Pertama kegunaan dalam penerapan. Seperti sebagian sudah diuraikan di bagian l.2, matematika itu untuk orang-orang awam dalam kehidupan sehari-hari, untuk studi lanjut, untuk kenaikan kelas atau jenjang, sebagai pelajaran atau kuliah prasyarat, untuk membantu bidang studi lain, dan untuk pengembangan teknologi tingkat tinggi. Kedua, untuk mencerdaskan bangsa. Mengenai untuk mencerdaskan bangsa ini paling tidak terdapat tiga orang ahli yang pendapatnya bisa diacu: Hebb, Cattell, dan Thurstone. (Ruseffendi, 2006, h.111-112).

Hebb mengatakan, bahwa kecerdasan manusia itu tergantung dari turunan dan lingkungan. Mengenai turunan, saya kira tidak diragukan lagi. Seorang anak cerdas karena orang tuanya cerdas. Kemudian lingkungan dapat mencerdaskan manusia ialah berdasarkan pengalaman orang-orang yang berwarna kulit hitam di Amerika Serikat. Selama beratus tahun mereka ada dalam keadaan sebagai budak belian dan ada diskriminasi; lingkungannya sangat jelek dan keadaannya terbelakang. Tetapi kemudian setelah mereka menjadi manusia bebas, banyak dari mereka yang menjadi politikus terkenal, dokter, ahli hukum, penyanyi, petinju, dan olahragawan lainnya. Dan matematika terutama untuk tingkat bawah dapat memperkaya lingkungan seperti mainan banyak yang bentuknya geometris, alat peraga dan media lainnya, dan permainan matematika.

Cattell berpendapat bahwa dalam otak manusia itu ada bagian yang Kristal dan bagian cair. Bagian yang kristal hanya dapat menyelesaikan soal-soal rutin yaitu sa'al-soal yang algoritmenya sudah ada. Sedangkan soal pemecahan masalah dan yang berkenaan dengan kreativitas hanya bisa diselesaikan dengan otak bagian cair. Dan soal-soal pemecahan masalah dan yang kreatif dalam matematika itu banyak. Selain itu dengan diberikannya soal-soal pemecahan masalah dan yang kreatif, kemampuan siswa dalam pemecahan soal itu akan optimal.

Thustone berpendapat ada 7 kemampuan dasar yang dapat dipakai untuk memilah-milah anak-anak pandai dari yang tidak. Tujuh kemampuan mental dasar itu adalah: kecepatan mengamati, fasih dalam kata-kata, penalaran, ingatan, kemampuan tilikan ruang, kemampuan verbal, dan kemampuan mengenai bilangan. Katanya bila kita membuat soal-soal berdasarkan ketujuh komponen kemampuan mental pokok itu dan andaikan seorang siswa memperoleh jawaban yang

2 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung 2 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung

1.4. Matematika untuk Sekolah Itu yang Mana?

Matematika sekolah itu yang mana?

Bila diperhatikan, matematika sekolah di Amerika Serikat itu ada matematika tradisional, New Math atau Matematika Modern, Back to The Basics, dan Matematika Kontemporer. Kemudian di sekolah dasar Belanda banyak yang menerapkan PMR (Pendidikan Matematika Realistik).

Seperti kita ketahui, matematika tradisional itu diberikan pada tahun 50-an ke belakang. Ciri- cirinya itu adalah materinya sedikit, penekanan pembelajarannya stimulus-respon yang menekankan kepada kecepatan, hafalan, hafalnya algoritma, dan yang serupa. Pada waktu itu karena alat-alat hitung cepat dan tepat belum banyak, cepatnya dan benamya kita menyelesaikan soal harus yang utama. Seperti kita ketahui rumus-rumus bagi sekolah dasar seperti luas lingkaran, keliling linekaran, isi bola, luas bola, dan isi kerucut harus dihapalkan tarrya adanya pengertian. Seperti kita ketahui tokohnya itu Thorndike.

Kemudian pada awal tahun 50-an timbul untuk pertama kali idea New Math yang kemudian di negara-negara lain yang menerapkannya berganti nama menjadi matematika Modern. Hampir semua negara di dunia menerapkannya. yang tidak menerapkan antara lain adalah Negeri Belanda. Seperti kita ketahui juga ciri-ciri pengajaran matematika modern itu adalah materinya sangat banyak, penekanan pada pengertian, penekanan pada istilah dan notasi yang ditepatkan, penekanan pada proses juga, menggunakan metode penemuan dan adanya permainan, dan banyak menggunakan alat peraga dan media pendidikan lainnya. Tokoh-tokohnya antara lain dalah J. Piaget, J.S. Bruner, dan J.P. Dienes. Bila dibandingkan banyak buku di SD kita di jaman Matematika tradisional dengan di jaman matematika modern, di jaman radisional itu hanya sebuah buku sedangkan di jaman matematika modern 25 buah (per semester sebuah buku siswa, per semester sebuah buku pedoman khusus, dan sebuah buku pedoman umum).

Pada tahun 1970 sewaktu matematika modern sedang berjalan, skor hasil belajar siswa Amerika Serikat dalam matematika menumn. Kesempatan ini oleh orang-orang yang tidak suka matematika modern dipakai alasan untuk menuduh matematika modern sebagai penyebabnya dan diusulkan tmtuk diganti. pada waktu itu para pendukung matematika modern membantah bahwa rendahnya hasil belajar anak-anak dalam matematika itu bukan karena matematika modern sebab dalam pelajaran-pelajaran lain pun skor siswa itu menurun. Walaupun begitu gerakan Back to The Basics tetap dilaksanakan. Hasilnya adalah sama tidak dapat meningkatkan hasil belajar siswa. Karena itu hidupnya hanya setahun. Dan setelah itu hilang. Selain itu tidak seperti matematika modern, gerakan back to the basics itu tidak ada falsafahnya, hanya meninggalkan topik-topik tertentu dari matematika modern seperti himpunan sebagai ilmu, bilangan dasar selain dua dan sepuluh, dan keketatan dalam istilatr dan notasi.

Oleh orang-orang Indonesia yang tidak menyukai metematika modern gerakan back to the basics itu dengan sengaja diartikan salah bahwa gerakan itu dipelesetkan menjadi gerakan meninggalkan metematika modern. Sehingga timbul isu dalam bentuk pertanyaan, "Bila di Negara asalnya matematika modern sudah ditinggalkan, mengapa kita sebaliknya?". Buku karangan M. Kline yang bedudul ―Why Johny can‘t add‖, dijadikan alasan agar di sekolah dasar diberikan Berhitung (matematika lama). Padahal M. Kline itu berpendapat juga bahwa matematika tradisional itu tidak baik. Yang ia tidak setujui ialah pengajaran matematika modern sebagai pengganti matematika tradisional tidak baik juga.

Pemerintah kita waktu itu terpengaruh oleh isu itu sehingga slogan CALISTUNG (dari baCa tuLIS hiTUNG) timbul. Padahal di Amerika Serikat slogan CALISTUNG itu diramaikan di jaman dulu, sewaktu yang mau bekerja di pabrik-Pabrik itu belum bisa membaca, manulis, dan berhitung.

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung 3

Seperti dikatakan Doll (1993, h.I74), ―The three R's ... were late-nineteenth-and early twentieth century creation to the needs of a developing industrial society‖. Sedangkan waktu itu (tahun 80- an) keadaan di kita lain. Sehingga slogannya, tepatnya bukan CALISTUNG tetapi CALISMAT.

Akibat dari isu itu di kita terjadi perubahan ke Kurikulum 1984 kemudian ke Kurikulum 1994, yang kekhasannya berbau matematika tradisional sehingga buku-buku lama yang sudah mati (tidak dipakai), bermunculan kembali. Sedangkan di negara-negara maju waktu itu tetap pengajaran matematika modern. Bahkan sudah dilibatkan kalkulator dalam pembelajaran matematika.

Mengingat telah ditemukannya hasil teknologi canggih seperti kalkulator dan komputer, pada tahun 80-an Amerika Serikat menerapkan kedua alat itu dalam pengajaran matematika. Menurut ceriteranya hasil penelitian penggunaan kalkulator dalam pengajaran matematika sudah dikumpulkan: oleh Suydam pada tahun 1977 sebanyak 40 buah, oleh Marylindquist pada tahun 1984 sebanyak 150 buah, dan oleh Reys pada tahun 1987 sebanyak 200 buah. Hasilnya konsisten: 47,5% keunggulan bagi pengguna kalkulator, 45% sama saja, dan hanya 7,5% keunggulan bagi yang tidak menggunakan kalkultor (Ruseffendi, 1990a, h.74-75). Di Inggris pun demikian pula. Linggard, Johnson, dan O‘Brien mengatakan, ―pada ulangan/ujian pada umunnya, kalkulator boleh dipergunakan....Yang penting ialah kita harus menghasilkan anak-anak yang dapat berpikir, mampu menyelesaikan soal pemecahan masalah (problem solving), kreatif dapat memilih matematika mana yang diperlukan dan mara yang tidak, dan semacamnya‖. (Ruseffendi, 1990b, h. 38-39).

Mengenai penggunaan kalkulator dalam pengajaran matematika pernah timbul pro dan kontra seperti dikemukakan oleh majalah Tempo dan Koran harian Pikiran Rakyat.

Majalah Tempo pada tanggal 16 Juli 1983 mengetengahkan pendapat dari beberapa guru SD, Kepala Sekolah SD, dosen IKIP, dan dosen Non-IKIP. Mereka itu adalah: Lasmaria guru SD simpang Limun Medan, purnomo sidi kepala SD Ungaran III Jawa Tengah, Wirasto dosen UGM, Suwarsono dosen IKIP Sanata Dharma Andi Hakirn Nasution guru besar IPB, dan Gunarso guru besar ITB. Tempo menyimpulkan,

Singkat kata yang cenderung pro maupun kontra pemakaian kalkulator terutama untuk siswa SD masih mengajukan persyaratan. Ialah, minimal, para murid itu telah menguasai konsep hitung- menghitung. Bila belum, tidak saja bisa ‗membuat anak malas berpikir', tetapi bisa mengacaukan konsep matematika pula. (1983, h.27).

Pada tanggal 24 Agustus 1987, Pikiran Rakyat mengemukakan pendapat yang berbeda dari pendapat-pendapat di atas. Menurut Ruseffendi,

Kalkulator itu tidak akan membuat siswa malas berpikir, bodoh, tidak kreatif dan tidak terampil berhitung. Tetapi sebaliknya akan membuat siswa menjadi cerdas, kreatif, pengetahuannya menjadi lebih luas dan dalam, serta berjiwa eksploratif. Penggunaan kalkulaior dapat dimulai di kelas 1 sekolah dasar (Pikiran Rakyat, l987).

Mengenai penggunaan komputer di Amerika Serikat, di Sekolah Dasar digunakan bahasa komputer LOGO dan di sekolah lanjutannya dalam menyelesaikan soal-soal matematika waktu itu menggunakan bahasa komputer Basic.

Selanjutnya, cirri-ciri pengajaran matematika tahun 80-an di Amerika Serikat itu (Ruseffendi, 2006, h. 80-81).

1. Masalah menjadi sentralnya pengajaran matematika.

2. Keterampilan dasar harus lebih daripada keterampilan berhitung.

3. Untuk semua tingkat, pengajaran matematika harus menggunakan kalkulator dan komputer sedini mungkin.

4. Efektivitas dan efisiensi pengajaran matematika harus diterapkan.

5. Pengukuran hasil belajar siswa harus lebih daripada hanya dengan alat evaluasi yang tradisional.

6. Semua siswa harus diberi matematika yang lebih banyak melalui program-program yang lebih fleksibel.

4 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung

7. Guru-guru dan teman-temannya supaya meningkatkan diri dalam keprofesionalannya.

8. Masyarakat luas sesuai dengan keperluannya supaya mendukung matematika diberikan di sekolah.

Mengingat dapat diterapkannya komputer dalam pengajaran matematika, apakah matematika yang akan dikembangkan itu matematika kontinu (dengan batang kalkulus) atau matematika deskrit. salah satu keuntungan matematika deskrit, kita bisa menghitung/menyelesaikan soal-soal seperti berikut dengan kalkulus tidak. Soal-soal itu misalnya:

Sekarang akan disampaikan pengajaran matematika yang lain, yaitu matematika realistik di Negeri Belanda. Mereka mengembangkannya sejak tahun 70-an dimulai di sekolah dasar. Jadi sewaktu Negara-negara di dunia menerapkan pengajaran matematika modern, mereka tidak. Kata Treffers, Negeri Belanda tidak menerapkan matematika modern, ―Contrary to most other countries in the Western World, New Math did not get an opportunity to manifest in Dutch primary school‖. (1991,

h. 13).

Kita lihat sepintas sasaran atau tujuan pembelajaran matematika untuk siswasiswa sekolah dasar di Negeri Belanda.

1. General ability

1) The students can count forward and backward with changing units.

2) The students can do addition tables and multiplication up to ten.

3) The students can do easy mental-arithmetic problem in a quick way with insight in the operations.

4) The students can estimate by determining the answers globally, also with fractions and decimals.

5) The students have insight in the structure of whole numbers and the place-value sistem of decimals.

6) The students can use the calculator with insight.

7) The students can convert into a mathematical problem, simple problems which are not presented in a mathematical way.

2. Written algorithms

8) The students can apply the standard algorithms, or variation of these, for the basic operations addition, substraction, multiplication and division, in easy context situations.

3. Ratio and percentage

9) The students can compare ratio and percentages.

10) The students can do simple problems on ratio.

11) The students have understanding ofthe concept percentage and can carry out practical calculations with percentages presented in simple context situation.

12) The students undestand the relation between ratios, fractions, and decimals.

4. Fractions

13) The students know that fractions and decimals several different situalions.

14) The students can locate fractions and decimals on a number line and can convert fractions into decimals; also with calculator.

15) The students can compare, add, substract, devide, and multiply simple fractions in simple context situations by means of models.

5. Measurement

16) The students can read the time and calculate time intervals; also with the help of a calculator.

17) The students can do calculations with money in daily_life context situations.

18) The students know the current units of measurement for length, area, volume, time, speed, weight, and temperature, and can apply these in simple context situations.

19) The students can read simple tabres and diagrams and produce them based on own investigations of simpre coitext situations.

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung 5

6. Geometry

20) The students have some basic cohcepts with which they can organize and describe space in a geometiical way.

21) The students can reason geometrically using block building, ground plans, maps pictures, and data about place, directions, distance, and scale.

22) The students can explain shadow images, can compound shape, and can divise and identify nets of reguler objects.

Tujuan pembelajatan matematika di atas bukan untuk SMP tetapi untuk SD. Walaupun begitu kita bisa memanfaatkannya.

1. Tujuan pembelajaran matematika disana ditulis secara sederhana; tidak menjelimet.

2. Kita akan mengetahui dimulainya topik-topik untuk SMp.

3. Siswa harus dapat menggunakan kalkulator.

4. Soal-soal/permasalahannya harus kontekstual Mengapa mereka menerapkan PMR, karena menurut Treffers , dilihat dari segi matematisasi horizontal dan vertikal, PMR itu memiliki kedua-duanya sedang yang mekanistik, empiristik dan strukturalis tidak. Treffers menggambarkannya dalam sebuah bagan sebagai berikut. (1991, h. 32). Matematisasi horizontal maksudnya ialah bila kita akan menanamkan konsep matematika, konsep itu terwujud dalam dunia nyata. Contoh konsep pecahan dibawakan dengan menyajikan serabi yang dipotong-potong. Sedangkan matematisasi vertical adalah penerapan sifat-sifat dari matematika itu sendiri. Misalnya 2 + 3 = 3 + 2; 45 = 40 + 5.

Matematisasi horizontal

Catatan: + Artinya ada

- Artinya tidak ada

Mengenai pengelompokan matematika sekolah yang lain adalah dari Keitel (dalam Ernest, 1991, h. 218). Menurut dia, penelompokan matematika sekolah itu,

1. New Math, concerned largely with the introduction of modern mathematical content into the curriculum, pure or applied.

2. Behaviorist, based on behaviorist psychology, the analisys of content into behavioural objectives, and in some cases, the use of program instruction.

3. Structuralist, based on the psychological acquisition of the structures and processes of mathematics, typified by approaches of bruner and dienes.

4. Formative, based on the psychological structures of personal develovement (e.g. Piaget‘s theory).

5. Integrated-environment, an approach using a multi-disciplinary context, and using the environment both as a resource and motivating factor.

Berdasarkan kapada pendapat Keitel itu kita melihat bahwa nomor 5 diatas sesuai dengan pembelajaran tematik yang diterapkan di kelas 1, 2, dan 3 sekolah dasar. Jadi pembelajaran di kelas

1, 2 dan 3 itu harus tematik. Sedangkan dalam PMR (I) yang belum tentu sama dengan pembelajaran yang tematik. Selain itu yang dimaksud dengan realistik pada PMR (I) itu tidak selalu harus ada di dunia nyata seperti dikatakan heuvel-Panhuizen (1998),

...the Dutch reform of mathemati cs education was called ‗realistic‘ is not just connection with the real-world, but related to the emphasis that RME puts on offering the students problem situations which they can imagine....For the problems Jo be presented to the students this means that the context can be a real-world context but this is not always necessary. The fantasy world of fairy tales and even the formal world of mathematics can be very suitable contexts for

a problem, as long as they are real in the student‘s mind.

6 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung

Dari uraian yang agak panjang itu kita mengetahui bahwa matematika yang dapat diberikan itu banyak; beragam. Mulai dari yang tidak formal sampai dengan yang sangat formal, mulai dari yang penerapannya banyak sampai kepada yang penerapannya minim. Yang berikutnya yang akan diuraikan itu adalah menganai yang berkepentingan dengan matematika.

1.5. Yang Berkepentingan dengan Matematika

Seperti telah disinggung pada sub judul alasan matematika diajarkan di sekolah, yang berkepentingan itu banyak. Tetapi ada dua kelompok yang berkepentingan yang bisaaanya terlupakan yaitu pemerintah dan matematika itu sendiri.

Di bagian depan sudah disampaikan yang berkepentingan dengan matematika yaitu manusia pada umumnya atau orang awam, siswa, mahasiswa, bidang-bidang studi lain, petugas di kantor dan lapangan, para peneliti, dan manusia di tingkat tinggi yang tugasnya mengembangkan teknologi tingkat tinggi. yang dua lagi yang telah disebutkan di bagian atas adalah pemerintah dan matematika itu sendiri.

Perhatikan sebuah hasil pertandingan intemasional tingkat SMP dalam matematika yang disebut TIMSS. Peringkat Indonesia di lomba itu adalah 34 dari 38. Sedangkan peringkat 1 adalah Singapur dan peringkat 5 adalah Jepang. Dan diantara kedua negara itu adalah Korea, Taiwan, dan Hongkong.

Alasan apa pun untuk dapat diterima mengapa nilai matematika kita itu rendah dibandingkan nilai mereka, tidak ada. Misalnya karena kita orangnya kecil dan pendek, bagitu pula mereka; karena rambut kita berwama hitam, bagitu pula warna rambut mereka; karena kita makan nasi, bagitu pula mereka. Berbeda dengan bila kita bermain sepak bola dengan orang bule dan kita kalah. Orang- orang akan menerima alasan itu bila dikatakan karena orang kita kecil-kecil dan pendek.

Dalam keadaan seperti di atas karena secara internasional peringkat matematika anak-anak kita itu rendah, yang berwajib (dalam hal ini pemerintah) harus segera mencari solusinya. Sebab selain berkewajiban juga paling mungkin dan berwenang untuk berbuat. Jadi pemerintah termasuk yang berkepentingan karena pemerintah harus memperbaikinya.

Terakhir yang berkepentingan itu matematika itu sendiri. Kata matematika, ―Agar aku tidak hilang dari peredaran, pelajarilah aku‖. Bila tidak dipelajari, sesuatu itu bisa hilang. Sebagai contoh dulu anak-anak SD di JABAR mengetahui Aksara Sunda. Sekarang hilang dari peredaran karena tidak dipelajari. Contoh kedua, dulu kami siswa SMA mengetahui dan menguasai Ilmu Ukur Lukis. Sekarang anak-anak SMA tidak mengetahuinya karena Ilmu Ukur Lukis itu tidak dipelajari. Berikutnya yang akan diuraikan itu adalah pendidikan matematika. Apakah itu disiplin ilmu atau ilmu rekayasa.

1.6. Apakah Pendidikan Matematika Itu Suatu Disiplin Ilmu?

Apakah pendidikan matematika itu suatu disiplin ilmu atau suatu ilmu rekayasa? Sesuatu itu disebut ilmu rekayasa bila ilmu itu bisa dikaitkan dengan ilmu lain sehingga kombinasinya menjadi serasi. Seperti arsitektur, adalah ilmu rekayasa. Dalam arsitektur, kita mengaitkan yang satu dengan yang lain agar bentuknya atau profilnya menarik. Bagitu pula seorang disainer (designer). Ia bukan seorang pengembang ilmu tetapi seorang perekayasa. Kembali kepada pertanyaan di atas apakah pendidikan matematika itu disiplin ilmu atau ilmu rekayasa.

Bila pendidikan matematika itu ilmu rekayasa, maka seorang ahli pendidikan matematika itu menghubungkan topik-topik matematika dengan cara mengajar, alat bantu dan lain-lain sehingga pembelajarnya berhasil. Jaman dahulu, saya kira sebelum terwujudnya Kurikulum PGBK memang pendidikan matematika itu seperti itu. Jadi pendidikan matematika itu suatu ilmu rekayasa. Tetapi sekarang, dalam mengembangkan sesuatu, model pembelajaran misalnya, untuk dapat melihat cocok tidaknya model pembelajaran itu kita harus melakukan penelitian; seperti kita ketahui. dalam penelitian itu kita menggunakan metode ilmiah. Seperti kita ketahui juga sesuatu itu disebut metode

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung 7 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung 7

1.4. Hakekat Anak Didik

Apakah seorang anak itu bentuk mikro seorang dewasa?

Bila anak itu bentuk mikro dari orang dewasa, tentunya seorang anak dan seorang dewasa segalanya sama. Bedanya hanya dalam besar-kecilnya tubuh. Tetapi kenyataanya tidak begitu. Antara lain, berpikir anak itu lain dari berpikirnya orang dewasa Perhatikan, misalnya dalam contoh-contoh berikut.

Seorang anak yang hukum kekelan materinya belum ada, akan mengatakan banyak air dalam gelas kecil tetapi tinggi itu lebih banyak daripada yang ada dalam gelas besar dan pendek walaupun ia melihat air dalam gelas kecil itu dicurahkan dari gelas besar dan pendek yang sama. Seorang anak yang hukum kekelan bilangannya belum ada, akan mengatakan kelereng yang ada di atas lebih banyak daripada yang di bawah.

Berikutnya, anak kecil yang diminta untuk mengambilkan sebuah potlot dari seonggokan potlot dan pulpen akan mengambilnya dengan benar. Tetapi bila seluruhnya ―Ambil potlot yang pendek‖ mungkin ia akan mendapat kesukaran. Apalagi bila suruhannya misalnya, ―Ambil potlot pendek yang berwarna merah‖. Jadi variabel-variabel yang ada pada anak kecil itu banyaknya masih terbatas.

1.8. Teori Belajar-Mengajar Matematika

Apa teori belajar-mengajar itu?

Teori belajar adalah ilmu yang berbicara mengenai kesiapan siswa untuk belajar. misalnya dalam teori belajar matematika dibicarakan usia berapa tahun anak dapat memahami bilangan, dalam usia berapa tahun siswa dapat menjumlahkan bilangan dalam usia berapa tahun siswa dapat berpikir formal, dalam berapa tahun usia dapat berpikir deduktif dan lain-lain.

sedangkan teori mengajar adarah ilmu yang berbicara mengenai cara membawa anak untuk bisa mbnjadi dapat sesuatu setelah ia siap untuk dapat sesuatu itu. Contoh, andaikan seorang anak pada usia 5 tahun sudah memiliki hukum kekekalan bilangan. Daram teori mengajar anak, kita itu berpikir bagaimana caranya mengajar anak itu agar ia lebih memahami bilangan. Seperti dalam kehidupan sehari-hari andaikan seorang anak yang berusia satu tahun sudah mulai siap untuk bias berjalan, maka bapaknya itu bisaanya mencarikan kendaraan roda tiga atau empat untuk menempatkan/mendudukkan anak itu di tengah-tengahnya. Berpikir menyediakan kendaraan itulah yang disebut teori mengajar.

Teori belajar-mengajar dalam matematika itu banyak, ada yang sejaran, ada yang tidak sejalan, bahkan dalam hal tertentu ada yang bertentangan. Teori belajar mengajar dalam pembelajaran matematika yang sering digunakan antaralain adalah dari Piaget, Bruner, Dienes, Gagne, Skinner, vigotsky, dan van Hiele. Teori konstruktivisme dari piaget dan Vigotsky adalah cocok untuk pembelajaran matematika seperti PMR(I) tetapi dalam hal tenentu bertentangan dengan aliran tingkah laku dari skinner, sebab dalam PMR(I) pembelajaran matematika itu dari bawah ke atas (bottom up) sedangkan pembel ajaran matematika yang berdasarkan aliran tingkah laku adarah dari atas ke bawah (top down). Selain itu pada pembelajaran seperti PMR(I) interaksi siswa dapat ke semua arah (gambar (1)), sedangkan pada pemberajaran dari aliran tingkah laku dapat seperti gambar (2) (dua arah) dan bahkan bisa.seperti gambar (3) (satu arah). Gambar_gambar itu nampak di bawah ini.

8 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung

Berikutnya yang akan diuraikan, yang dapat mempengaruhi hasil belajar siswa adalah guru dan LPTK-nya; termasuk di dalamnya siswa dan mahasiswa, dosen, dan sekolah sebagai lembaga.

1.9. Guru dan LPTK

Dalam suatu pembelajaran kita tidak bisa lepas dari kurikulum sekolah yang direncanakan (C), kurikulum yang diajarkan guru (J), dan hasil belajar siswa (kurikulum yang diserap siswa (S)). Begitu juga di LPTK antara kurikulum yang direncanakan (C), kurikulum yang dosen kuliahkan (J), dan yang mahasiswa peroleh (S). Hubungan antara C, J, dan S dalam keadaan normal/baik pun dapat seperti di samping ini. Di LPTK misalnya, tidak semua materi kurikulum bisa diajarkan dosen kepada mahasiswa, dan tidak semua materi dapat dicernakan oleh calon guru. Apalagi bila ada dalam keadaan tidak normal, misalnya dosen tidak memberi kuliah sepenuhnya, cara mengevaluasinya asal-asalan,

dan mahasiswa calon gurunya tidak diseleksi secara ketat (seadanya). Bila demikian mutu guru yang dihasilkan oleh LPTK seperti itu akan besar dampak negatifnya ke mutu siswa tamatan sekolah.

Kurikulum LPTK yang betul-betul solid untuk pengembangan pendidikan bidang studi menurut saya adalah PGBK yang disusun oleh dosen LPTK tahun 1980. Dengan kurikulum itu jelas LPTK bukan pengembang ilmu rekayasa lagi. Tetapi sayang baru berusia lima tahun, yaitu baru menghasilkan satu angkatan, kurikulum itu dituduh sebagai biang rendahnya mutu siswa SL. Menurut saya, tuduhan itu salah sasaran. Kurikulum yang berpengaruh waktu itu adalah kurikulum LPTK sebelumnya yang justru bobot bidang studinya sangat banyak.

Sebagai pengganti kurikulum PGBK adalah kurikulum Team Basic Science LPTK yang diprakarsai oleh FMIPA ITB; kerjasama dengan IKIP Bandung. Bedanya antara Kurikulum PGBK dengan Kurikulum Team Basic Science antara lain adalah: Kurikulum PGBK (KPGBK) memuat mata kuliah Kapita Selekta Matematika SL sedangkan Kurikulum Team Basic Science (KTBS) tidak; bobot bidang studi di KPGBK 40% sedangkan di KTBS 60% lebih; KTBS memuat mata kuliah bersama dari matematika, fisika, kimia dan biologi, sedangkan KPGBK tidak. Tetapi KTBS ydng dianggap sebagai penyelamat mutu hasil belajar MIPA di SL sampai sekarang belum ada hasilnya padahal usianya sudah 20 tahun (sudah 15 angkatan).

Adanya perbedaan penekanan bidang studi.di negara lain pun ada misalnya di Negeri Belanda. Di Twente, mahasiswa tamatan PGBK kita setelah mengambil beberapa mata kuliah-di sana yang non matematika lanjut dibolehkan mengambil gelar doktor setelah menulis disertasi. Sedangkan di Utrecht, syarat untuk menjadi mahasiswa 52 pendidikan matematika saja harus bergelar BA dalam matematika. Materi di S2nya ialah dalam satu tahun hanya matematika, dalam satu semester berikutnya masih matematika. Baru dalam semester berikutnya menempuh pendidikan matematika

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung 9 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung 9

sewaktu saya mengambil gelar doktor di osu Amerika Serikat, saya bercerita mengenai visi dan misi IKIP-IKIP di Indonesia beserta perannya dibandingkan dengan Universitas. Ketua program pendidikan matematika berkomentar, ―Bila Amerika Serikat memiliki IKIP-IKIP seperti Indonesia, banyak masalah pendidikan matematika di Amerika Serikat yang bisa dipecahkan‖, katanya. Sedangkan kebijaksanaan kita terbalik; IKIP-IKIP yang sudah ada dilebur menjadi Fakuitas Pendidikan Bidang Studi atau Program Pendidikan Bidang Studi di Universitas. Tidaklah kebijaksanaan kita itu akan bernasib sama seperti di Amerika Serikat?

Mengapa ketua program itu mengatakan begitu karena peran dan pendidikan guru di sana, menurut saya ―menyedihkan‖ seperti dikatakan Gardner,‖One-fifth of all 4 year colleges in the United States must accept every high school graduate within the State regardless of program followed or grade...even if they do not follow a demanding course of study in high school or perform well‖. (1983,

h. 20). Selanjutnya dikatakan, ‖Too many teachers are being drawn from the bottom quarter of graduating high school and colege students‖. (h.22).

Lebih-lebih, menurut saya, bila kepada tamatan Sl calon guru itu diembel-embeli dengan harus menempuh pendidikan profesi dalam jangka waktu tertentu. Dan tamatan Sl murninya pun akan diberi kesempatan mengambil sejumlah mata kuliah untuk bisa menjadi guru. Adilnya kepada tamatan S1 LPTK pun harus diberi kesempatan untuk menjadi S1 matematikawan.

Alasan kepada diharuskannya Sl tamatan LPTK menempuh program khusus bila ingin menjadi guru, mungkin karena tamatan fukuitu, kedokteran pun diharuskan seperti itu. Saya kira ini tidak bisa disamakan sebab bila seorang dokter membuat kesalahan, akibalnya akan sangat fatal. Selain itu, saya kira, pendidikan kedokteran Sl menjadi 7 tahun pun saya kira peminat menjadi dokter itu tidak akan berkurang, sebab tamat fakultas kedokteran itu menjanjikan. Sedangkan tamat LPTK, lain.

Menurut saya bila tamatan Sl LPTK itu tidak atau kurang menguasai bidang studi, solusinya bukan ditambah jenjang untuk pendidikan profesi, tetapi pertama penggarapan Kapita Selektanya lebih lama dan setiap calon guru itu sewaktu selesai SMP-nya harus nilainya baik dalam matematika IPA, dan bahasa. Dididik bagaimana pun kalau tidak memiliki potensi, hasilnya akan tetap jelek.

Kemudian, menurut saya pendidikan matematika itu suatu disiplin ilmu bukan ilmu rekayasa sehingga programnya itu mestinya menyatu (concurrent). Dan sebaiknya, selama waktu tertenfu mereka (calon guru) itu harus diasramakan. Sehingga pembentukan kepribadian guru dan pendidikan karakter budaya bangsa terwujud. Terwujudnya pendidikan karakter itu memerlukan waktu yang lama. Jadi dalam program yang menyatu itu calon-calon guru akan melihat perilaku, cara mengajar, cara penilaian, sikap, dan sebagainya yang baik dari seorang dosen yang baik. Jangan seperti berikut. Kata Bapak dosen senior (alm), ―Saya menatar guru sekolah dasar mengenai materi baru dalam matematika modern antara lain himpunan. Salah seorang guru bertanya kepada saya bagaimana caranya mengajarkan himpunan di sekolah dasar‖. Kemudian beliau jawab sambil marah, kok tanya sama saya, semestinya Anda yang seharusnya lebih mengetahui‖. Jawaban beliau itu wajar sebab baliau tidak pernah memperoleh pendidikan guru yang sebenarnya.

Selain perlunya dimiliki kepribadian guru oleh seorang guru dan karakter budaya bangsa, yang dihadapi guru sekarang-sekarang ini lebih berat. Sebab, yang bersekolah dan yang berkemampuan kurang itu makin banyak. Bila jaman saya dulu yang diterima di SMP dari kelas VI SD yang banyaknya sekitar 90 orang itu hanya 2 orang, sekarang? Menurut saya selain karena kualitas tamatan yang masuk ke LPTK itu rendah, bisa jadi juga karena ulah dari beberapa LPTK sendiri: lamanya/banyak kali kuliah dalam satu set4ester sering paling lama 8X yang seharusnya 16X; karena kekurangan pelamar, ada yang menerima seluruhnya; dalam UAS ada yang membiarkan mahasiswa saling meniru; dan ada yang meluluskan semua yang ikut UAS dengan berpikir nanti pun kalau sudah jadi guru akan bisa. Benarkah itu?

10 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung

1.10. Kebijaksanaan Penguasa

Peran penguasa dalam pengambilan keputusan bagi pelaksanaan sesuatu itu sangat besar. Bahkan sering lebih kuat daripada hasil penelitian. Sebagai contoh keunggulan siswa sebagai pengguna kalkulator dalam pengajaran matematika dibandingkan dengan yang tidak, menurut penelitan adalah 6:1. Walauprin begitu, karena penguasa tidiak memberi lampu hijau kalkulator boleh digunakan di sekolah, di sekolah-sekolah kita kalkulator itu tidak digunakan, sampai sekarang.

Contoh kedua, pada tahun 80-an pemerintah menginginkan agar dalam kurikulum matematika itu ada unsur ―Tung‖. Kebijaksanaan ini diambil dari slogan CALISTUNG. Saya kira, pemerintah waktu itu terpengaruh oleh isu bahwa Amerika Serikat dan Inggris sudah meninggalkan

matematika modem. Padahal khususnya di Amerika Serikat hanya ada gerakan Back to the Basic yang usianya hanya satu tahun. Dan di Inggris waktu itu tetap pengajaran matematika modern; buku-buku yang kita sadur, waktu itu di sana tetap dipakai. Akibat dari kebijaksantan itu – yang mengrut saya keliru - buku-buku matematika lama dan buku-buku berhitung lama yang semasa matematika modern sudah dikubur, bermunculan kembali.

Seperti sudah disampaikan peran penguasa (pemerintah) itu sangat penting dan menentukan. Karena itu pembantu-pembantunya yang akan menjadi pembisik-pembisiknya harus orang-orang yang ahli dalam bidangnya.

1.11. Matematikawan dan Pendidik Matematika (math educators)

Para matematikawan dan pendidik matematika (mathematics educators) dalam pendidikan matematika di sekolah dapat berperan besar dan dapat sedikit. Pada tahun 70-an sewaktu matematika lama diganti oleh matematika modern peran para matematikawan dan pendidik matematika sangat besar. Perannya itu adalah merumuskan digantinya matematika lama dengan matematika modern, memilih atau menulis buku sumber, melakukan pemilihan buku sumber, penggarapan yang harus didahulukan buku siswa atau penguasaan guru. Selain itu besar perannya itu dalam menentukan bentuk penataran bagi guru-guru; serempak (masal) seperti pengajaran matematika modern atau bertahap seperti PMRI.

Tetapi bila di DEPDIKNAS sudah banyak ahlinya, baik matematikawan, pendidik matematika dan para penelitinya maka peran para matematikawan dan pendidik matematika dari universitas itu akan sangat mengurang; mungkin satu sama lain akan menjadi pelengkap atau pesaing.

II. KEADAAN PENDIDIKAN MATEMATIKA DI KITA SEKARANG

Pendidikan matematika di kita itu sudah melalui berbagai jaman dan berbagai kebijaksanaan. Tetapi apa yang sudah kita lakukan itu nampaknya tanpa bekas. Pengajaran matematika modern yang menekankan kepada pengertian, proses, dan penemuan tidak berbekas. CBSA yang pernah diproyekkan, dilupakan saja. Hasilnya, guru tetap mengajar dengan ceramah atau ekspositori, siswa belajar pasif, dan hasil belajar siswa tetap minim. Mengapa? Mungkinkah karena: materi matematikanya salah, gurunya kurang profesional, suasana belajar tidak konduksif, siswanya kurang dibina, materi kurikulumnya tidak sesuai dengan kemampuan siswa atau mungkin karena suasana masyarakat kita itu sedang kacau? Bila yang direncanakan dan dilaksanakan secara besar- besaran hasilnya seperti itu, bagaimana rencana kita dalam pemolesan kurikulum dengan sasaran budaya karakter bangsa, kewirausahaan, manusia aktif dan ekonomi keratif? Nanti kita lihat melalui uraian dengan butiran-butiran permasalahan di atas.

2.1. Salahkah Materi Matematika Sekolah Kita?

Perubahan yang paling besar dilihat dari berbagai segi termasuk materi matematika adalah pada perubahan dari matematika tradisional ke matematika modern. Karena itu perubahan dari

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung 11 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung 11

Contoh kedua masih mengenai masalah ini.

Pada suatu waktu sekitar tahun 2009, seorang Dosen senior berceritera kirakira, "Pak Rus saya mengajn mahasiswa ITB sebanyak 30 orang lalu saya menggambar sebuah lingkaran di papan tulis. Saya penyuruh mereka mencari titik pusat. Seorang pun tidak ada yang bisa. Bila mahasiswa ITB tidak bisa, apalagi mahasiswa PT lain", katanya. Dapatkah dari contoh 2 ini disimpulkan bahwa mahasiswa kita makin bodoh?

Menurut saya yang salah di kedua contoh itu bukan mahasiswa atau yang menjawab, tetapi kedua dosennya. Masalahnya, selama ini generasi muda itu belajar geometrinya terutama geometri transformasi. Untuk pertanyaan yang pertama, bila dalam geometri Euclids benar bahwa setiap persegipanjang itu adalah jajarangenjang. Tetapi dalam geometri rransformasi harus pikir-pikir dulu.

Mengenai pertanyaan kedua juga sama, mereka (mahasiswa) itu tidak mengetahui geometri Euclids apalagi yang deduktif seperti mencari pusat lingkaran. Generasi tua mengenai hal itu menguasai karena sejak di SMP pun masalah itu sudah diterima.

Perubahan besar kedua walaupun tidak sebesar revolusi kesatu antara lain ialah mengenai diterapkannya hasil teknologi canggih sedini mungkin dan masalah menjadi sentralnya pengajaran matematika. Di negara asalnya revolusi itu terjadi pada awal tahun 80-an. Di kita tidak banyak berubah karena pertama kalkulator tidak pemah secara resmj dibolehkan dipakai, kedua komputer di sekolah-sekolah masih belum banyak.