RENCANA AKSI NASIONAL ADAPTASI PERUBAHAN

(1)

ADAPTASI PERUBAHAN IKLIM

INDONESIA


(2)

I

I I

RENCANA AKSI NASIONAL

ADAPTASI PERUBAHAN IKLIM

INDONESIA

Dokumen ini sebagai masukan dalam proses penyusunan RAN Adaptasi

yang dikerjakan Bappenas – KLH – DNPI di tahun 2012


(3)

Dampak dan ancaman Perubahan iklim telah diakui sebagai ancaman terhadap lingkungan, sosial dan ekonomi suatu masyarakat. Adanya pergeseran cara memandang yang melihat faktor penyebab dan akibat perubahan iklim tidak lagi semata persoalan lingkungan hidup, namun lebih terkait dengan pola strategi pembangunan yang dijalankan selama ini. Akibatnya berpengaruh pada stabilitas ekonomi makro negara, regional bahkan global. Untuk merespon ancaman tersebut, pendekatan strategi pembangunan harus melibatkan seluruh sektor strategis pembangunan, mulai dari sektor yang berpengaruh pada kesediaan pangan sampai pada infrastruktur fisik melalui strategi pembangunan yang mengadopsi pengarusutamaan (m ainstream ing) perubahan iklim. Disisi lain persoalan koordinasi antar sektor masih menjadi kelemahan birokrasi dalam mewujudkan pembangunan yang menyeluruh, efektif dan efesien. Pasca konferensi perubahan iklim ke 13 di Bali, Desember 2007 (Conference of Parties / CoP13), Pemerintah Indonesia memiliki keinginan kuat untuk mengintegrasikan rencana , strategi dan implementasi kebijakan perubahan iklim.

Melalui Peraturan Presiden No. 46 Tahun 2008 mengenai Dewan Nasional Perubahan Iklim diharapkan strategi pembangunan dilakukan melalui koordinasi dan melibatkan seluruh sektor strategis pembangunan, mulai dari sektor yang berpengaruh pada kesediaan pangan sampai pada infrastruktur fisik melalui strategi pembangunan yang mengadopsi pengarusutamaan perubahan iklim. Sasaran kebijakan adalah memperkuat peran sektor pembangunan untuk mencapai target dan tujuannya melalui koordinasi antar sektor. Upaya Mitigasi dan Adaptasi perubahan iklim membutuhkan kerjasama yang kuat diantara sektor-sektor pembangunan. Kedua upaya tersebut membutuhkan sumber dana yang tidak sedikit. Agar pendanaan pembangunan saat ini berjalan secara optimal dan pembangunan yang akan dilakukan berpengaruh terhadap sektor lain maka dibutuhkan suatu lembaga yang dapat mengkoordinasikannya.

Dengan dibentuknya Dewan Nasional Perubahan Iklim yang diketuai langsung oleh Presiden Republik Indonesia Soesilo Bambang Yudhoyono menandakan bahwa persoalan perubahan iklim diakui sebagai persoalan ancaman utama pembangunan yang harus segera memperoleh perhatian prioritas dari pilihan-pilihan strategi pembangunan. Pembangunan yang meletakkan etika lingkungan dalam politik pembangunan menjadi prasyarat berjalannya koordinasi pembangunan yang memiliki perspektif perubahan iklim.

Adanya Rencana Aksi Adaptasi Nasional merupakan salah satu upaya untuk menjawab persoalan di atas. Rencana ini merupakan cermin kesiapan sektor untuk merespon dan mengantisipasi ancaman perubahan iklim melalui program yang didasari oleh proyeksi ancaman ke depan. Berharap pula bahwa rencana aksi ini dapat menjadi media informasi dan komuniaksi antar sektor sehingga integrasi dan koordinasi kegiatan dapat disiapkan sejak awal.

Kepada semua pihak yang telah terlibat secara aktif guna tersusunnya Rencana Aksi Adaptasi Nasional ini diucapkan banyak terima kasih dan penghargaannya.

Jakarta, Februari 2011. Ketua Harian

Rachmat Witoelar


(4)

Laporan ke 4 (fourth assessm ent report) yang dipublikasikan pertengahan April 2007 oleh kelompok kerja II IPCC - Intergovernmental Panel on Climate Change semakin memperkuat keyakinan akan dampak ancaman perubahan iklim terhadap umat manusia di bumi ini. Diantaranya adalah naiknya rata-rata temperatur suhu udara, naiknya permukaan air laut yang menyebabkan tenggelamnya pesisir dan pulau-pulau kecil.

Tentang Indonesia sendiri, disebutkan bahwa akan mengalami penurunan curah hujan di kawasan Selatan, sebaliknya kawasan Utara akan mengalami peningkatan curah hujan. Artinya kawasan yang menurun curah hujannya sangat berpotensi merusak sistem tanam pertanian, khususnya tanaman yang tidak memiliki potensi resitan terhadap kekeringan, krisis air untuk menopang kehidupan (air bersih) dan infrastruktur pembangkit listrik turbin. Di sisi lain, peningkatan curah hujan menjadi potensial ancaman banjir yang merusakan sarana dan prasarana serta lahan-lahan basah.

Dampak perubahan iklim yang menjadi ancaman besar lainnya apabila dikaitkan dengan kondisi geografis Indonesia adalah naiknya permukaan air laut (sea level rise). Ancaman terhadap naiknya permukaan air laut dan ancaman terhadap tenggelamnya pulau-pulau. Tenggelam atau hilangnya suatu pulau kecil merupakan salah satu fenomena yang akan pasti terjadi apabila dampak perubahan iklim tidak diindahkan. Hasil kajian yang dari Departemen Pekerjaan Umum serta Kementrian Lingkungan Hidup (Indonesia Report, 2007) memperkuat laporan IPCC diatas. Bahkan disebutkan dengan kenaikan sekitar 1 meter, diperkirakan sekitar 405,000 ha dari lahan pesisir termasuk kepulauan kecil akan banjir. Dampak yang (berpotensi) besar di beberapa area pesisir seperti wilayah pantai/ pesisir utara Jawa, pesisir timur Sumatra dan pesisir selatan Sulawesi. Hilangnya beberapa pulau kecil di garis terluar wilayah Indonesia juga menjadi ancaman serius akibat naiknya permukaan air laut serta intrusi air laut (garam) ke daratan/ pedalaman. Dikatakan pula bahwa pola panen saat ini kemungkinan (sudah) tidak dapat dilakukan kembali pada masa yang akan datang.

Pengarusutamaan strategi adaptasi ke dalam kebijakan tiap sektor di tingkat nasional dan lokal merupakan prioritas yang tidak bisa ditawar-tawar. Perumusannya yang melibatkan sektor-sektor yang terkait dan stakeholder lainnya serta mengikuti metodologi yang telah ada saat ini dipastikan menghasilkan sebuah dokumen yang aplikatif. Pada saat yang bersamaan menyusun peraturan pelaksana tentang perubahan iklim dan Dokumen Strategi Nasional/ Daerah Lainnya.

Berharap keluarnya Rencana Aksi Adaptasi Nasional ini dapat menjadi langkah awal keluarnya strategi yang lebih utuh dan menyeluruh. Dibutuhkan kerja-sama dan keinginan kuat diantara sektor untuk mewujdukannya. Terakhir, kekurangan yang ada pada dokumen rencana ini menjadi tantangan untuk memperbaikinya ke arah yang lebih baik.

Jakarta, Februari 2011

Ketua Kelompok Kerja Adaptasi DNPI

Imam Santoso Ernawi

V

VI

Sambutan

Ketua Kelompok Kerja

Adaptasi DNPI


(5)

PENGARAH

Rachmat Witoelar

Ketua Harian Dewan Nasional Perubahan Iklim / Utusan Khusus Presiden untuk Perubahan Iklim Agus Purnomo

Kepala Sekretariat Dewan Nasional Perubahan Iklim / Staf Khusus Presiden Bidang Perubahan Iklim Imam Santoso Ernawi

Ketua Kelompok Kerja Adaptasi DNPI / Dirjen Penataan Ruang Kementerian Pekerjaan Umum Emma Rachamawaty

Wakil Ketua I Kelompok Kerja Adaptasi DNPI / Asisten Deputi Bidang Adaptasi Kementerian Lingkungan Hidup Armi Susandi

Wakil Ketua II Kelompok Kerja Adaptasi DNPI / Institut Teknologi Bandung

KONTRIBUTOR

Andi Arief, Staf Khusus Presiden Bidang Bantuan Sosial dan Bencana; Yusni Emilia Harahap, Staf Ahli Menteri Bidang Lingkungan Hidup, Kementerian Pertanian; Irsal Las, Kepala Balai Besar lahan dan Sumber Daya Lahan Pertanian, Kementerian Pertanian; William M. Putuhena, Kepala Balai Hidrologi dan Tata Air Puslitbang Sumber Daya Air, Balitbang Kementerian Pekerjaan Umum; Pantja D. Oetojo, Kepala Balai Lalu Lintas dan Lingkungan Jalan, Puslitbang Jalan dan Jembatan, Kementerian Pekerjaan Umum; Iman Soedrajat, Direktur Penataan Ruang Wilayah Nasional, Direktorat Jenderal Penataan Ruang, Kementerian Pekerjaan Umum; Togap Simangunsong, Asisten Deputi Urusan Bencana, Kementerian Koordinator Kesejahteraan Rakyat; D. Anwar Musadad, Kepala Pusat Teknologi Intervensi Kesehatan Masyarakat , Balitbang Kesehatan, Kementerian Kesehatan; Hadi Sucahyono, Kasubdit Kebijakan dan Strategi, Dit. Bina Program, Ditjen Cipta Karya, Kementerian Pekerjaan Umum; Heru Santoso, Geotek-LIPI; Elnora Runtunuwu, Balai Besar lahan dan Sumber Daya Lahan Pertanian, Kementerian Pertanian; Agus Supangat, Koordinator Divisi Pengembangan Kapasitas dan Riset, Dewan Nasional Perubahan, iklim, Budi Haryanto, Ketua Departemen Kesehatan Lingkungan, Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Indonesia; Hendra Yusran Siry, Kepala Pelayanan Teknis Balai Besar Riset Sosial Ekonomi Kelautan dan Perikanan; Berny A Subky, Kementerian Kelautan Perikanan; Syofyan Hasan, Kementerian Kelautan Perikanan; Mustikorini Indri Jatiningrum, Kementerian Kesejahteraan Rakyat; Tutut Indra Wahyuni, Kementerian Kesehatan; Ann Natallia Umar, Kementerian Kesehatan;Kemal Taruc, UN Habitat; Pramita Harjati, Mercycorps; Budi Chairuddin, MercyCorps; Tri Prasetyo Sasimartoyo, WHO; Lilik Kurniawan, BNPB; Arifin Muhammad Hadi, Kepala Divisi Penanggulangan Bencana PMI Pusat; Avianto Muhtadi, Ketua Lembaga Penanggulangan Bencana dan Perubahan Iklim- Nahdlatul Ulama (LPBI-NU); Victor Remberth, UNJSPDRR; Chrisandini, WWF; Erna Witoelar, Kelompok Kerja Adaptasi DNPI

PENYUSUN

Ari Muhammad, Sekretaris Kelompok Kerja Adaptasi; Ardiyanto Aryoseno, Kelompok Kerja Adaptasi DNPI; Ade Rachmi Yuliantri, Kelompok Kerja Adaptasi DNPI

Pengarah, Kontributor

dan Penyusun


(6)

SAMBUTAN KETUA HARIAN DNPI... SAMBUTAN KETUA KELOMPOK KERJA ADAPTASI... PENGARAH, KONTRIBUTOR DAN PENYUSUN... DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL DAN MATRIKS...... DAFTAR GAMBAR... I. PENDAHULUAN... I.1 LATAR BELAKANG... I.2 METODOLOGI... I.3 SEKTOR UTAMA RENCANA AKSI NASIONAL ADAPTASI PERUBAHAN IKLIM... II. PEMETAAN TANTANGAN DAN PELUANG ADAPTASI PERUBAHAN IKLIM TIAP

SEKTOR... II.1 SEKTOR PERTANIAN... II.1.1 Latar Belakang... II.1.2 Justifikasi... II.1.3 Ancaman perubahan iklim pada sektor pertanian... II.1.4 Faktor-faktor yang turut mempengaruhi kerentanan akibat perubahan

iklim di sektor pertanian... II.1.5 Matriks... II.2 SEKTOR PESISIR, KELAUTAN, PERIKANAN DAN PULAU PULAU KECIL... II.2.1 Latar Belakang... II.2.2 Justifikasi... II.2.3 Kontribusi Ekonomi Sektor Kelautan dan Perikanan... II.2.4 Ancaman Dampak Perubahan Iklim pada Sektor Kelautan dan Perikanan... II.2.5 Matriks Rencana Aksi Adaptasi Perubahan Iklim pada Sektor Kelautan dan

Perikanan... II.3 SEKTOR KESEHATAN... II.3.1 Pendahuluan... II.3.2 Justifikasi... II.3.3 Ancaman Perubahan Iklim pada Bidang Kesehatan... II.3.4 Matriks... II.4 SEKTOR PEKERJAAN UMUM... II.4.1 Sub Bidang Sumber Daya Air... II.4.1.1 Justifikasi... II.4.1.2 Tingkat Kekritisan Sumber Daya Air:... II.4.1.3 Matriks... II.4.2 Sub Bidang Cipta Karya... II.4.2.1 Adapun tujuan Pembangunan Sub Bidang Cipta Karya adalah;... II.4.2.2 Isu strategis pembangunan Sub Bidang Cipta karya dipengaruhi oleh

6 (enam) hal, yaitu:... II.4.2.3 Matriks... II.4.3 Sub Bidang Jalan dan Jembatan... II.4.3.1 Prioritas pembangunan Infrastruktur Nasional adalah:...

I X

X

Daftar Isi

III V VII IX XIII XIV 1 1 3 3 5 5 5 5 8 9 11 13 13 13 15 17 18 22 22 22 23 25 28 28 28 29 29 31 31 32 33 35 35


(7)

II.4.3.2 Tantangan Bidang Jalan terkait Dampak Perubahan Iklim... II.4.3.3 Matriks... II.4.4.1 Sub Bidang Penataan Ruang... II.4.4.2 Justifikasi... II.4.4.3 Kebijakan dan Strategi Tata Ruang Terhadap Perubahan Iklim... II.4.4.4 Matriks... III. STRATEGI ADAPTASI PERUBAHAN IKLIM NASIONAL... III.1 KEMAMPUAN ADAPTASI (ADAPTIVE CAPACITY)... III.2 KEBUTUHAN STRATEGI ADAPTASI DI INDONESIA... III.3 PENGARUSUTAMAAN ADAPTASI... III.4 ADAPTASI PERUBAHAN IKLIM DAN PENGELOLAAN RESIKO BENCANA... III.5 KELOMPOK KERJA ADAPTASI PERUBAHAN IKLIM...

36 37 37 38 39 41 43 43 48 49 50 50


(8)

TABEL 1.

PROSENTASE KONTRIBUSI SEKTOR TERHADAP PDB NASIONAL

TAHUN 2005-2006...

TABEL 2.

PERKEMBANGAN TENAGA KERJA SEKTOR PERTANIAN PADA TAHUN

2001-2006...

TABEL 3.

TINGKAT PENDIDIKAN TENAGA KERJA SEKTOR PERTANIAN...

TABEL 4.

PRODUK DOMESTIK REGIONAL BRUTO SEKTOR PERIKANAN TAHUN 2006...

TABEL 5.

DAERAH YANG EKONOMI PERIKANANNYA MEMPUNYAI LAJU PERTUMBUHAN

TERBESAR PADA PERIODE 2002-2006...

TABEL 6. TINGKATAN PENDIDIKAN TENAGA KERJA SEKTOR PERTANIAN...

TABEL 7.

BAHAYA DAN DAMPAK PERUBAHAN IKLIM TERHADAP SEKTOR KESEHATAN...

TABEL 8.

IDENTIFIKASI TINGKAT KERENTANAN DAN RISIKO PERUBAHAN IKLIM...

MATRIKS I.1.1...

MATRIKS II.3.4...

MATRIKS II.4.1.3...

MATRIKS II.4.2.3...

MATRIKS II.4.4.4... TABEL 9.

LUAS TANAMAN PADI TERKENA BENCANA BANJIR DAN KEKERINGAN DAN PUSO (ha) PADA TAHUN 1988-1997 (YUSMIN,2000)...

XI I I

XI V

Daftar Tabel dan Matriks

Daftar Gambar

GAMBAR 1.

KERANGKA KONSEP PELAKSANAAN ADAPTASI PERUBAHAN IKLIM

BIDANG KESEHATAN...

GAMBAR 2.

PROGRAM STRATEGIS INFRASTRUKTUR JALAN 2014 (RENSTRA KEMENTERIAN PU)...

GAMBAR 3.

JUMLAH TITIK PANAS PER-TAHUN DAN SOI (SOUTHERN OSCILLATION INDEX) DI

INDONESIA TAHUN 2002-2007...

GAMBAR 4.

EFEK PERUBAHAN IKLIM PDA LEVEL YANG BERBEDA... 7

8

10

16

16

24

24

45

11

25

29

33

7

35

45

48

41 39


(9)

Dampak yang (berpotensi) besar di beberapa area pesisir seperti wilayah pantai/ pesisir utara Jawa, pesisir timur Sumatra dan pesisir selatan Sulawesi. Hilangnya beberapa pulau kecil di garis terluar wilayah Indonesia juga menjadi ancaman serius akibat naiknya permukaan air laut serta intrusi air laut (garam) ke daratan/ pedalaman. Dikatakan pula bahwa pola panen saat ini kemungkinan (sudah) tidak dapat dilakukan kembali pada masa yang akan datang.

Oleh sebab itu dibutuhkan upaya ganda (double effort) dan kerja keras oleh negara-negara berkembang dan miskin. Mengingat hal tersebut, langkah antisipatif akan lebih efektif dan biaya yang dikeluarkan akan lebih rendah bila dibanding dengan upaya adaptasi yang dilakukan nanti pada saat keadaan sudah semakin memburuk dimana dampak sudah semakin besar sehingga upaya adaptasi akan membutuhkan biaya lebih mahal. Oleh sebab itu, sangatlah mendesak untuk segera melakukan upaya-upaya adaptasi, guna menyesuaikan ataupun mengurangi dampak-dampak ekstrem perubahan iklim.

Pengarusutamaan strategi adaptasi ke dalam kebijakan tiap sektor di tingkat nasional dan lokal merupakan prioritas yang tidak bisa ditawar-tawar. Terlepas apa yang terjadi pada negosiasi internasional perubahan iklim (yang alot dan tarik menarik antar pihak), pemerintah harus segera menyiapkan rencana aksi nasional. Perumusannya yang melibatkan sektor-sektor yang terkait dan pemangku kepentingan lainnya serta mengikuti metodologi yang telah ada saat ini dipastikan menghasilkan sebuah dokumen yang aplikatif.

Pendahuluan

I.1

Latar Belakang

Laporan kelompok kerja II dibawah IPCC (Inter-Governm ental Panel on Clim ate Change/ Panel antar Pemerintah) mengenai dampak dan adaptasi perubahan iklim yang di realese pada Bulan April 2007 menyebutkan bahwa Indonesia akan mengalami penurunan curah hujan di kawasan Selatan, sebaliknya kawasan Utara akan mengalami peningkatan curah hujan. Artinya kawasan yang menurun curah hujannya sangat berpotensi merusak sistem tanam pertanian, khususnya tanaman yang tidak memiliki potensi resitan terhadap kekeringan, krisis air untuk menopang kehidupan (air bersih) dan infrastruktur pembangkit listrik turbin. Di sisi lain, peningkatan curah hujan menjadi potensial ancaman banjir yang merusakan sarana dan prasarana serta lahan-lahan basah. Selain itu kejadian perubahan pola intensitas curah hujan lokal yang ekstrim juga sering terjadi di berbagai wilayah di Indonesia. Perubahan pola curah hujan tersebut makin sulit untuk diprediksi guna mengantisipasi dampak perubahan cuaca dan iklim yang akan terjadi.

Dampak perubahan iklim yang menjadi ancaman besar lainnya apabila dikaitkan dengan kondisi geografis Indonesia adalah naiknya permukaan air laut (sea level rise). Ancaman terhadap naiknya permukaan air laut dan ancaman terhadap tenggelamnya pulau-pulau. Tenggelam atau hilangnya suatu pulau kecil merupakan salah satu fenomena yang akan pasti terjadi apabila dampak perubahan iklim tidak diindahkan. Hasil kajian lain yang memperkuat laporan IPCC diatas menyebutkan bahwa dengan kenaikan sekitar 1 (satu) meter, diperkirakan sekitar 405,000 ha dari lahan pesisir termasuk kepulauan kecil akan banjir. (Kementerian Pekerjaan Umum, Indonesia Report, 2007).


(10)

Rangkaian kegiatan penyusunan dokumen strategi adaptasi yang sistematis dan terencana merupakan suatu kebutuhan yang mendesak. Adanya rencana aksi adaptasi merupakan keharusan dan prioritas utama rencana pembangunan strategi adaptasi itu sendiri di tingkat nasional. Langkah-langkah yang dapat dilakukan dalam tingkat nasional adalah adalah merumuskan dan menetapkan daftar kebutuhan masing-masing sektor, yang disertai perumusan program dan strategi implementasi adaptasi masing-masing-masing-masing sektor.

I.2 Metodologi

Rencana aksi nasional adaptasi perubahan iklim disusun melalui keterlibatan pemangku kepentingan (stakeholder) dari berbagai sektor. Adanya definisi berbagai terminologi perubahan iklim, khususnya yang terkait dengan adaptasi, yang disepakati secara nasional akan memudahkan dialog antar disiplin ilmu dan antar sektor.

Rencana aksi nasional perubahan iklim merupakan hal yang dinamis, yang akan terus diperbarui dengan adanya perkembangan data, informasi dan metodologi. Adanya mekanisme monitoring data yang sudah sistematis akan menjamin perbaruan data secara berkala.

Koordinasi Kelembagaan; sebagai tindak lanjut dari keterlibatan para pemangku kepentingan (stakeholder) dalam penyusunan rencana aksi nasional adaptasi perubahan iklim adalah dibutuhkannya integrasi dan keterkaitan koordinasi kelembagaan dari berbagai sektor dalam menyusun aksi adaptasi perubahan iklim di Indonesia. Koordinasi diperlukan agar dapat teridentifikasi secara jelas dan dalam menyusun strategi adaptasi terhadap perubahan iklim.

Sinergisitas Adaptasi dan Rencana Pembangunan Nasional/Daerah. Pendekatan yang mensinergikan antara persoalan adaptasi dan rencana pembangunan di tingkat nasional dan daerah menjadi peluang dalam mencapai tujuan dari pembangunan yang telah ditetapkan. Tantangan yang akan dihadapi adalah bagaimana pemahaman adaptasi perubahan iklim di tingkat pemerintahan maupun masyarakat hingga dapat disusun rencana aksi di tingkat yang lebih lokal.

I.3 Sektor Utama Rencana Aksi Nasional Adaptasi Perubahan Iklim

Rencana aksi nasional adaptasi perubahan iklim akan di prioritaskan pada lima (5) sektor utama, yaitu:

1. Sektor Pertanian

2. Sektor Pesisir, Kelautan, Perikanan dan Pulau Pulau Kecil

3. Sektor Kesehatan

4. Sektor Pekerjaan Umum :

3

4

1) Sumber Daya Air 2) Cipta Karya

3) Jalan dan Jembatan 4) Penataan Ruang


(11)

Pemetaan Tantangan Dan

Peluang Adaptasi Perubahan Iklim

Tiap Sektor

II.1

Sektor Pertanian

II.1.1 Latar Belakang

Perubahan iklim merupakan isu utama di dunia saat ini karena berdampak pada keberlanjutan dan eksistensi kehidupan manusia di bumi. Perubahan iklim ditandai dengan peningkatan temperatur global dan peningkatan muka air laut. Perubahan temperatur global berimplikasi pada perubahan pola temperatur permukaan bumi, sehingga mempengaruhi perubahan pola-pola cuaca yang ada dipermukaan bumi. Selanjutnya dampak tersebut berbeda dari suatu wilayah (lokasi) ke wilayah lainnya dipermukaan bumi ini.

Walaupun berkontribusi relatif kecil (sekitar 7%) terhadap emisi GRK nasional, namun sektor pertanian, terutama subsektor tanaman pangan, mengalami dampak perubahan iklim yang cukup besar. Di sisi lain, sektor pertanian berperan penting dalam kehidupan dan perekonomiannasional, terutama sebagai penghasil utama bahan pangan, bahan baku industri dan bioenergi.Sektor pertanian juga mengasilkan jasa lingkungan dan berbagai fungsi lainnya seperti penyedia lapangan kerja bagi sekitar 40% angkatan kerja Indonesia, penyumbang pertumbuhan ekonomi. menjaga ketahanan pangan

II.1.2 Justifikasi

Selain dari perubahan iklim masih memiliki banyak persoalan khususnya dalam meningkatkan pengelolaan usaha tani dan memperkuat kapasitas para petani dalam mendorong produktivitas petani terhadap tingkat

kesejahteraan mereka dan PDB Nasional , sektor pertanian terbukti mampu memberikan kontribusi positif

2

terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia . Saat Indonesia mengalami krisis ekonomi tahun

3

1997/ 1998 dimana ekonomi kita mengalami penurunan pertumbuhan sebesar 13,68 persen (BPS, 2000),

4

sektor pertanian sebaliknya mengalami pertumbuhan 0,26 persen dan mampu menyerap tenaga kerja

5

sebesar 60 persen dari angkatan kerja nasional . Sektor ini pun mampu memberikan nilai tambah produksi sebesar 18,04 persen. Dengan kondisi ini tak heran jika sumbangan sektor ini bagi PDB mencapai angka 17 persen dan penyediaan lapangan pekerjaan. Berdasarkan data BPS pada tahun 2004 tercatat 43,3 persen dan tahun 2005 mengalami peningkatan menjadi 44,0 persen. Pada tahun 2006 penyerapan tenaga kerja

6

mencapai 44,5 persen . Besarnya angka penyediaan lapangan pekerjaan sangat terkait dengan sifat padat karya di sektor tersebut (lihat tabel 2).

1

(lihat tabel 1)

1Sektor pertanian merupakan sektor yang menyerap tenaga kerja tertinggi, yaitu sebesar 44,5 persen pada tahun 2006 (BPS). Namun demikian, kontribusi sektor pertanian dalam Produk Domestik Bruto (PDB) hanya sebesar 13,3 persen.

2Berdasarkan data BPS (Agustus 2006) disebutkan bahwa kontribusi sektor pertanian terhadap PDB Nasional menempati urutan ketiga setelah sektor industri dan perdagangan-hotel-restoran, yaitu berkisar 13,3 persen. PDB sektor pertanian tersebut sebagian besar masih didominasi oleh sub sektor Tanaman Bahan Makanan (TBM), meskipun cenderung fluktuatif. Tempat selanjutnya diduduki oleh sub sektor perkebunan diikuti perikanan dan peternakan.

3Akibat krisis ekonomi ini, terjadi penurunan jumlah tenaga kerja sebanyak 6,4 juta orang.

4Karena kondisi krisis tahun 1997-1998, sector ini memperoleh penurunan anggaran belanja. Pada tahun 1998, kontribusi sektor pertanian terhadap pendapatan PDB secara absolut masih menurun, walaupun sektor pertanian merupakan satu-satunya sektor ekonomi yang mengalami pertumbuhan positif (0,26 persen), di antara perpaduan retrogesi seluruh sektor ekonomi yang mencapai minus 14 persen per tahun”.

5Dalam periode dan kondisi perekonomian yang sama terbentuk 21.30 juta unit usaha kecil berupa rumah tangga petani (… ..).

6Bila seluruh anggota keluarga diperhitungkan maka hamper 80 persen dari total penduduk Indonesia mengembangkan hidupnya pada sector agribisnis masih merupakan basis ekonomi sebagian besar rakyat Indonesia (Simatupang, 1997).


(12)

Sulawesi Utara merupakan contoh wilayah yang dimana sektor pertanian menunjukkan pertumbuhan positif yang menguatkan ekonomi mikro mereka sehingga pertanian memerankan sangat penting dan strategis dalam pembangunan perekonomian masyarakat Sulawesi Utara. Walaupun pada tahun 2007 mengalami penurunan apabila dibandingkan dengan tahun 2006 dimana sektor ini memberikan kontribusi sebesar 19,7 persen, namun kembali pada tahun 2008 sektor pertanian mengalami peningkatan 1,1 persen menjadi 7,5 persen (dari tahun 2007 yang tumbuh sebesar 6,1 persen). Pertumbuhan ini melampaui target yang ditetapkan untuk tahun 2005-2010. Pertumbuhan ini tentunya memberikan kontribusi positif terhadap penyediaan bahan pangan, bahan baku industri, pengentasan kemiskinan, penyediaan lapangan kerja dan sumber pendapatan masyarakat.

Bagi Indonesia, pertanian merupakan sektor utama perekonomian. Bagi Negara berkembang lainnya, keberhasilan sektor ini menjadi prasyarat keberhasilan sektor industri dan jasa (El-said M, 2001), oleh sebab itu kebijakan sektor pertanian sangat dipengaruhi dengan keberhasilan pembangunan di sektor-sektor lainnya (Sadaulet dan de Janvry, 1995).

Tabel 1. Prosentase Kontribusi Sektor terhadap PDB Nasional Tahun 2005-2006

Tabel 2. Perkembangan Tenaga Kerja Sektor pertanian pada Tahun 2001-2006

II.1.3 Ancaman perubahan iklim pada sektor pertanian

Hasil lokakarya internasional mengenai "Perubahan Iklim dan Masa Depan Pertanian Asia", yang dilaksanakan pada bulan Oktober 2009 di Nepal, Kathmandu, menyampaikan keprihatinan dan perhatian terhadap Negara-negara di kawasan Asia dan Negara-negara yang memiliki tingkat kerentanan cukup tinggi karena Negara-negara tersebut tersebut memiliki kemampuan yang tak memadai untuk

7

menyesuaikan diri dengan lingkungan hidup yang berubah . Pertemuan ini menyerukan kepada para pemimpin sektor pertanian di wilayah Asia agar menyesuaikan diri dengan lingkungan hidup yang berubah.

Indonesia, melalui Kementrian Pertanian telah menempatkan ancaman variabilitas dan perubahan iklim

8

(pemanasan global) sebagai ancaman terhadap sumber daya lahan dan lingkungan pertanian . Di sisi lain sektor ini ditempatkan sebagai sektor yang juga memberikan kontribusi terhadap pemanasan gas rumah kaca melalui Lahan dan budidaya pertanian. Intervensi kebijakan yang pada persoalan pendanaan, teknologi, kelembagaan dan sosial ekonomi menjadi sangat penting. Oleh sebab itu, kementrian ini telah menyusun strategi untuk mengantisipasi persoalan dan ancaman perubahan iklim, baik mitigasi maupun adaptasi. Diharapkan kebijakan yang dilahirkan terintagrasi dan menyeluruh dari sisi aspek yang mempengaruhinya.

Dampak perubahan iklim yang telah dipetakan oleh Kementrian Pertanian diantaranya adalah degradasi sumberdaya lahan dan air, infrastrukur (irigasi), banjir dan kekeringan dan penciutan serta degradasi lahan yang berpotensi mengancam penurunan produktivitas, produksi, mutu hasil, efesiensi dan lainnya yang berujung kepada Ketahanan Pangan dan pada akhirnya terhadap kehidupan social dan ekonomi serta kesejahteraan petani dan masyarakat produsen.

Lapangan Usaha

2005

Triwulan I Triwulan II

2006

Triwulan I Triwulan II

Laju Tumbuh

Pertanian, ternak, hutan dan ikan

Pertambangan dan Penggalian

Industri Pengolahan

Listrik, Gas dan Air Bersih

Konstruksi

Perdagangan, Hotel dan restoran

Pengangkutan dan Komunikasi

Keuangan, Real Estate dan Jasa Perusahaan

Jasa-jasa

PDB

PDB Tanpa Migas

14,5 9,2 27,8 0,9 6,3 16,2 6,4 8,5 10,2 100 90,5 13,9 10,1 27,9 0,9 6,3 16,1 6,5 8,4 10,0 100 89,4 13,5 10,2 28,8 0,9 6,4 15 7,0 8,3 9,8 100 88,6 13,3 10,5 28,9 0,9 6,5 14,9 7,0 8,2 9,8 100 87,7 4,5 4,5 3,1 5,7 7,7 4,7 12,2 5.2 5,7 4,9 5,5

* Laju Pertumbuhan Semester I 2006 terhadap Semester I 2005 Sumber: BPS

Tahun Angkatan Kerja Nasional (Juta Orang) 2001 2002 2003 2004 2005 2006 Rata-rata

* Sampai Februari 2006 Sumber: BPS 2006 diolah

Tenaga Kerja Pertanian (Juta Orang)

Prosentasi (Nas/ Pertanian, %)

89,7 39,7 44,3

91,7 40,6 44,3

92,8 43,0 46,4

93,7 40,6 43,3

94,9 41,8 44,0

95.2 42,3 44,5

93,0 41,4 44,5

7

8

7Lokakarya regional ini diselenggarakan oleh Federasi Internasional mengenai Prosedur Pertanian dan Federasi Kerja Sama Nasional Nepal (NCFN). Lokakarya tersebut diikuti oleh 30 peserta dari 12 negara, yaitu India, Pakistan, Bangladesh, Sri Lanka, Jepang, Israel, Filipina, Indonesia, Armenia, Kamboja, Vietnam dan Thailand.

8Ancaman lainnya diluar persoalan perubahan dan variabilitas iklim adalah konversi/ alih fungsi lahan pertanian, terutama Lahan Sawah Irigasi, degradasi lahan, air dan lingkungan pertanian (pencemaran, dll.) dan perluasan lahan terlantar serta Keterbatasan potensi dan ketersediaan sumber daya lahan untuk ekstensifikasi pertanian, khususnya dalam mendorong ketahanan pangan dan bioenergi.


(13)

Karena perubahan pola curah hujan dan kejadian iklim ekstrim mengakibatkan areal padi sawah di beberapa wilayah/ daerah mengalami kekeringan. Luas areal yang mengalami kekeringan meningkat dari 0,3-1,3 persen menjadi 3,1-7,8 persen. Sementara itu, luas real padi yang mengalami puso, meningkat dari 0,004-0,41 persen menjadi 0,04-1,87 persen. Di sisi lain, akibat banjir, luas areal yang mengalami kerusakan meningkat dari 0,75-2,68 persen menjadi 0,97-2,99 persen dan mengakibatkan puso dari 0,24-0,73 persen menjadi 8,7-13,8 persen. Akibat itu semua, potensi peningkatan penurunan produksi dari 2,4-5 persen menjadi lebih dari 10 persen9.

Akibat lainnya yang ditimbulkan oleh perubahan iklim terhadap sector pertanian adalah peningkatan suhu udara yang mengakibatkan penurunan produksi pangan seperti padi, jagung dan kedelai sekitar 10,0-19,5 persen selama 40 tahun yang akan datang. Penciutan lahan dan degradasi sawah produktif sekitar 292-400 ribu hektar atau 3,7% di Jawa akibat peningkatan muka air laut diproyeksikan sampai dengan tahun 2050. Kondisi ini berdampak serius terhadap pertanian di daerah pesisir. Contoh kasus terjadi di Kabupaten Karawang dan Subang dimana produksi beras berkurang sekitar 300,000 ton, produksi jagung berkurang 5,000 ton karena genangan. Naiknya permukaan air laut juga menimbulkan salintas dan instrusi air laut yang mengancam sumber air bersih.

II.1.4 Faktor-faktor yang turut mempengaruhi kerentanan akibat perubahan iklim di sektor pertanian.

Pengelolaan sumberdaya air berhadapan dengan 4 (empat) jenis kerentanan yang sangat mempengaruhi

11

keberlanjutan sumberdaya air yaitu kerentanan fisik, social, ekonomi dan lingkungan .

Konsumsi dan kebutuhan air di sektor pertanian sebesar 80% dari kebutuhan total air, jauh dibandingkan dengan industri dan rumah tangga yang hanya 20%. Kondisi lingkungan yang semakin memprihatinkan turut memperparah terhadap krisis air. Misalnya beberapa daerah aliran sungai (DAS) mengalami degradasi akibat sedimentasi yang sangat memprihatinkan, hal ini khususnya banyak terjadi di pulau Jawa ditambah dengan perubahan penggunaan dan peruntukkan pada kawasanya hulu-nya.

Menurut pendapat beberapa perwakilan petani yang disampaikan dalam kegiatan focus group discussion 12

yang diselenggarakan oleh Kelompok Kerja Adaptasi Dewan Nasional Perubahan Iklim/ DNPI ketersediaan air merupakan faktor utama bagi mereka. Hampir 60 persen sawah di Indonesia merupakan sawah tadah hujan. Kondisi ini menjadikan sektor pertanian kita berada pada posisi yang rentan akibat kekeringan karena perubahan iklim.

Rendahnya tingkat pendidikan masyarakat cenderung berpotensi terhadap tingginya kerentanan (lihat tabel 3). Hal ini pula yang terjadi pada para tenaga kerja di sektor pertanian. Oleh sebab itu adanya peningkatan kapasitas, baik mengenai cara meningkatkan produktifitas, memahami iklim (contoh yang

telah dikembangkan oleh Kementrian Pertanian adalah sekolah iklim) dan wirausaha agribisnis melalui pelatihan dan penguatan para petani menjadi salah solusi.

Tabel 3 . Tingkat Pendidikan Tenaga Kerja Sektor Pertanian

Matriks Rencana Aksi Adaptasi Perubahan Iklim pada Sektor Pertanian mendefinisikan amanat dari peraturan perundangan yang terkait dengan program adaptasi dampak perubahan iklim dengan menyelaraskan dengan kebutuhan teknologi dan jangka waktu rencana aksi

Tahun Tingkat Pendidikan 2000 2001 2002 2003 2004 2005 (Feb) Total <SD 14.618,5 14.194,1 14.260,2 12.158,9 11.815,7 12.473,8 SLTP 18.873,9 18.104,3 18.705,4 20.635,2 18.253,8 19.616,6 >SLTA 4.767,9 5.200,3 5.348,2 7.557,7 6.567,1 6.913,8 2005 (Nop) 2006 (Feb) % 2006 (Feb)

11.080,7 11.783,0 27,8 20.217,5 20.812,5 49,2 7.367,5 7.188,0 17,0 40.676,7 39.751,0 40.636,2 43.047,5 38.930,9 41.869,1 41.309,8 42.323,2 100

Sumber: BPS

9 Litbang, Kementrian Pertanian.

10Kerentanan adalah suatu keadaan penurunan ketahanan akibat pengaruh eksternal yang mengancam kehidupan, mata pencaharian, sumberdaya alam, propert y, infrastruktur, produktivitas ekonomi dan kesejahteraan. Kerentanan sosial, misalnya, adalah sebagian dari produk kesenjangan sosial, yaitu faktor sosial yang mempengaruhi atau membentuk kerentanan berbagai kelompok dan yang juga mengakibatkan penurunan kemampuan untuk menghadapi bencana, bencana kekeringan, bencana banjir, degradasi kualitas air dlsbnya. Dalam konteks perubahan iklim, kerentanan merupakan hasil dari potensi dampak dikurangi dengan upaya adaptasi (Kerentanan = Potensi dampak – Adaptasi). Kerentanan terhadap perubahan iklim berkurang apabila langkah adaptasi dilakukan. Potensi dampak bergantung Eksposure dan Sensitivitas.

11Budi Wignyosukarto, Pengelolaan Sumberdaya Air ditengah Kerentanan Sosial dan Lingkungan. 12Diselenggarakan pada 26 November 2010


(14)

II.1.5 Matriks

Dalam mewujudkan implementasi kebijakan, terdapat beberapa tantangan yang menyebabkan belum teroptimalkannya kebijakan di dalam implementasinya namun di sisi lain terdapat peluang yang dapat dimanfaatkan dalam mendorong diimplementasikannya kebijakan yang telah dimiliki oleh Kementrian Pertanian.

1. UU No: 16 Tahun 2006, Tentang Sistem Penyuluhan Pertanian, Perikanan dan Kehutanan 2. UU No: 41 Tahun 2009, Tentang

Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan.

3. Peraturan Menteri Petanian No: 39/ Permentan/ OT.140/ 6/ 2010 Tentang Pedoman Perizinan Usaha Budidaya Tanaman Pangan.

Tanaman pangan dan hortikultura

1. Perbaikan manajemen pengelolaan air, termasuk sistem dan jaringan irigasi.

2. Pengembangan teknologi panen air (embung, dam parit) dan efisiensi penggunaan air seperti irigasi tetes dan mulsa. 3. Pengembangan jenis dan varietas tanaman yang toleran

terhadap stres lingkungan seperti kenaikan suhu udara, kekeringan, genangan (banjir), dan salinitas.

4. Pengembangan teknologi pengelolaan tanah dan tanaman untuk meningkatkan daya adaptasi tanaman

5. Pengembangan sistem perlindungan usahatani dari kegagalan akibat perubahan iklim atau crop weather insurance.

1. UU No: 18 Tahun 2004, Tentang Perkebunan.

2. UU No: 16 Tahun 2006, Tentang Sistem Penyuluhan Pertanian, Perikanan dan Kehutanan 3. Peraturan Menteri Pertanian No:

14/ Permentan/ PL.110/ 2/ 2009 Tentang Pedoman Pemanfaatan Lahan Gambut Untuk Budidaya Kelapa Sawit.

Tanaman perkebunan

1. Pengembangan komoditas yang mampu bertahan dalam cekaman kekeringan dan kelebihan air.

2. Penerapan teknologi pengelolaan tanah dan tanaman untuk meningkatkan daya adaptasi tanaman.

3. Pengembangan teknologi hemat air.

4. Penerapan teknologi pengelolaan air, terutama pada lahan yang rentan terhadap kekeringan.

1. UU No: 6 Tahun 1967 Tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Peternakan dan Kesehatan Hewan (Lembaran Negara tahun 1967 Nomor 10, Tambahan Lembaran Negara Nomor: 2824)

2. UU No: 16 Tahun 2006, Tentang Sistem Penyuluhan Pertanian, Perikanan dan Kehutanan

Pengelolaan peternakan

1. Pengembangan ternak yang adaptif terhadap

lingkungan yang lebih ekstrim (kekeringan, suhu tinggi, genangan).

2. Pengembangan teknologi silase untuk mengatasi kelangkaan pangan musiman.

3. Pengembangan sistem integrasi tanaman-ternak (crop livestock system, CLS) untuk mengurangi risiko dan optimalisasi penggunaan sumberdaya lahan.

1. Sektor pertanian berperan penting dalam perekonmian nasional terutama pengahsil pangan, bahan baku industry, bioenergi.

2. Masih rendahnya komitmen dan dukungan para pemangku kepentingan terhadap keseimbangan program aksi disektor pertanian.

3. Sektor pertanian juga sebagai penyedia lapangan kerja sekitar 40% angka kerja Indonesia

Kekayaan sumber daya alam (negara agraris dan maritim) yang perlu dikelola dengan baik didukung oleh keberadaan sumber daya manusia.

TANTANGAN

PELUANG

Kebijakan Program Aksi


(15)

II.2

Sektor Pesisir, Kelautan, Perikanan dan Pulau Pulau Kecil

II.2.1 Latar Belakang

Sebagian besar sumber pendapatan ekonomi bangsa Indonesia sangat bergantung kepada kondisi iklim dan perubahannya. Sektor kelautan dan perikanan yang merupakan sektor dengan potensi sumber pendapatan ekonomi yang tinggi sangat bergantung dan rentan terhadap perubahan iklim. Kondisi cuaca ekstrim misalnya, yang dipicu dan dipacu oleh fenomena perubahan iklim mempengaruhi pola penangkapan dan budidaya perikanan, yang pada akhirnya mempengaruhi pendapatan ekonomi bangsa.

Fenomena perubahan iklim akibat pemanasan global saat ini telah menjadi ancaman, terhadap kondisi lingkungan hidup dan memberikan dampak pada aspek sosial, ekonomi bahkan aspek keamanan dan pertahanan suatu bangsa. Dalam lingkup lokal, ancaman fenomena perubahan iklim berpotensi menimbulkan gangguan ekonomi secara mikro. Bila ancaman tersebut terlambat untuk diantisipasi secara nasional maka dapat dipastikan terjadi gangguan ekonomi secara makro.

Fenomena perubahan iklim semakin memperparah persoalan pengelolaan dan tata kelola lingkungan laut, pesisir dan perairan umum, seperti tekanan pertambahan penduduk, eksploitasi dan degradasi lingkungan, peningkatan pencemaran akibat aktifitas industri dan perumahan. Situasi tersebut menjadikan Indonesia semakin rentan (m ore vulnerable) dalam menghadapi ancaman dan dampak perubahan iklim. Hal ini berimplikasi pada semakin besarnya tantangan yang harus dibenahi yang membutuhkan upaya luar biasa, mulai dari rencana pembangunan, dukungan pendanaan dan teknologi.

Untuk menekan tingkat kerentanan tersebut bisa dilakukan melalui pembangunan yang memperhatikan manajemen lingkungan hidup dan memperdulikan dampak kerugian yang ditimbulkan oleh suatu pembangunan terhadap ekologi serta ekosistem pesisir, laut dan perairan umum. Peningkatan ketahanan ekonomi masyarakat (com m unit y econom ic resiliences) juga merupakan langkah menekan tingkat kerentanan melalui upaya memperkuat kesiapan perekonomian dan penduduk agar lebih tahan terhadap dampak negatif perubahan iklim.

II.2.2 Justifikasi

Untuk mengantisipasi ancaman dan dampak perubahan iklim sekaligus mengurangi tingkat kerentanan sangat diperlukan kebijakan mengantisipasi potensi ancaman dan mengadaptasi dampak yang ditimbulkan oleh fenomena perubahan iklim. Kebijakan antisipasi tersebut bisa direfleksikan dalam bentuk rencana aksi adaptasi perubahan iklim. Dokumen ini merupakan Rencana Aksi Nasional Adaptasi Perubahan Iklim yang disusun sebagai upaya menginventarisasi dan mendokumentasikan upaya aksi adaptasi perubahan iklim.

Dokumen ini diharapkan bisa menjadi rujukan untuk aksi adaptasi dan antisipasi terhadap ancaman pertumbuhan ekonomi dan capaian pembangunan sektor kelautan dan perikanan yang telah ditetapkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) dan Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP). Sistematika penulisan dokumen diawali dengan gambaran dan analisa atas kontribusi ekonomi sektor kelautan dan perikanan, dilanjutkan dengan tinjauan atas atas ancaman perubahan iklim di sektor kelautan dan perikanan.

13

13Iklim adalah keadaan cuaca rata-rata dalam periode waktu yang panjang pada suatu wilayah tertentu. Pengenalan cuaca dan iklim menyangkut semua peristiwa yang terjadi di atmosfir yang diantaranya radiasi surya, suhu udara, tekanan udara, angin, hujan dan awan, kelembaban udara, penguapan, keseluruhannya disebut juga unsur-unsur cuaca. Peristiwa-peristiwa yang terjadi untuk daerah yang sempit atau disekitar lokasi usaha tertentu disebut iklim mikro (micro climate) (Darsiman, 2007).


(16)

Tabel 4. Produk Domestik Regional Bruto Sektor Perikanan Tahun 2006

Tabel 5. Daerah yang ekonomi perikanannya mempunyai laju pertumbuhan terbesar pada periode 2002-2006

1. 2. 3. 4. 5. 6.

16,58 Sulawesi Tenggara 12,55 Papua Barat 10,74 Sulawesi Selatan 8,62

Lampung 8,4

Sulawesi Tengah 7,5

1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.

Lampung 11.37

D.I Yogyakarta 9.67 Sulawesi Barat 9.64

Jawa Timur 8.70

Papua 8.53

Bali Sulawesi Tengah

8.15 8.02

15

16

Pada bagian akhir ditampilkan matriks Rencana Aksi Nasional Adaptasi Perubahan Iklim Bidang Kelautan dan Perikanan yang merangkum kebijakan program aksi, kebutuhan teknologi, kebutuhan pendanaan, proses keterlibatan stakeholder serta periode waktu yang diperlukan untuk menjalankan rencana aksi.

II.2.3 Kontribusi Ekonomi Sektor Kelautan dan Perikanan

14

Kontribusi sektor kelautan dan perikanan terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) mengalami peningkatan

15

dari tahun ke tahun . Pada tahun 2007 kontribusi PDB dari kegiatan usaha perikanan terhadap PDB nasional sebesar 2.74 persen yang terdiri dari 2,45 persen industri primer (penangkapan dan pembudidaya)

16

dan 0,29 persen dari industri sekunder (pengolahan hasil perikanan) . Kontribusi sektor ini pada tahun

17

2009 naik menjadi 3,12 persen dari tahun sebelumnya yang hanya 2,75 persen . Hal ini menujukkan rata-rata pertumbuhan sektor perikanan naik mencapai lima (5) persen per tahun

Krisis global tahun 2009 berimbas pada kontribusi sektor kelautan dan perikanan. Produksi perikanan Indonesia tahun 2009 yang mencapai 10,06 juta ton hanya menghasilkan nilai ekspor perikanan Rp. 2,3 miliar yang merupakan penurunan nilai ekspor sebesar 15 persen dibanding tahun 2008.

Pada 2010, produksi ditargetkan mencapai 10,76 juta ton dan 22,39 juta ton pada tahun 2014. Guna mendukung pertambahan produktifitas, Pemerintah menyiapkan insentif peningkatan produksi perikanan

18

lewat dana alokasi khusus (DAK) sebesar Rp 1,7 triliun .

14

Lingkup bidang kelautan menjadi tujuh sektor, yaitu perikanan, pertambangan, industri kelautan, jasa kelautan, bangunan kelautan, pariwisata bahari, dan perhubungan laut. Dari tujuh sektor itu, yang memiliki sumbangsih paling besar adalah sektor pertambangan yaitu sebanyak 9,1 persen sementara sektor perikanan sebesar 2,7 persen.

15

Kontribusi sub sektor perikanan terhadap PDB total meningkat 4,35 persent dan 2,18 persent pertahun sejak 2002. Pada tahun 2007 kontribusi sub sektor periknan terhadap PDB kelompok pertanian mencapai 17,69 persent atau senilai Rp. 96,822 milyar. Sub sektor perikanan memiliki pertumbuhan tahunan PDB tertinggi sejak tahun 2002 dibanding sub sector lainnya dalam kelompok pertanian, yaitu 19,36 persen per tahun. Sementara itu pertumbuhan PDB Nasional hanya mencapai 16,85 persen pertahun sejak tahun 2002.

16

Sumbangan PDB pengolahan hasil perikanan terhadap PDB nasional sangat kecil sehingga tidak banyak pengaruh terhadap kenaikan kontribusi PDB perikanan secara menyeluruh 17

Pusat Data Statistik dan Informasi. 18

Dr. Fadel Muhammad, Menteri Kelautan dan Perikanan pada Rakornas Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) menyatakan bahwa KKP bakal merestrukturisasi armada perikanan nasional. KKP akan memberlakukan zero growth (pertumbuhan nol) armada perahu tanpa motor. Untuk perahu tempel, pertumbuhan armada dibatasi 2% per tahun dan kapal dengan tonase di bawah 5 gros ton (GT) sekitar 3%. Untuk kapal berukuran 5-10 GT dan 10-30 GT akan ditingkatkan menjadi 8% dan 12% untuk mengejar target pertumbuhan 55% dalam lima tahun ke depan. Restrukturisasi ini dimaksudkan agar kapal ikan Indonesia mampu beroperasi di zona ekonomi eksklusif (ZEE).

Maluku

No Provinsi Kontribusi (%)


(17)

II.2.4 Ancaman Dampak Perubahan Iklim pada Sektor Kelautan dan Perikanan

Ancaman dampak perubahan iklim pada sektor kelautan dan perikanan berdasarkan identifikasi Working Group I of the Intergovernm ental Panel on Clim ate Change (WG1-IPCC) dan laporan keempat (Fourth Assesment Report) dari Intergovernmental Panel on Climate Change tahun 2007 dapat dijabarkan sebagai berikut :

1. Kenaikan temperatur air laut

2. Peningkatan frekuensi dan intensitas kejadian cuaca ekstrim (badai, siklon)

3. Perubahan pola variabilitas iklim alamiah (El-Nino, La-Nina, IPO) yang menimbulkan bahaya lanjutan berupa perubahan pola curah hujan dan aliran sungai dan perubahan pola sirkulasi angin dan arus laut

4. Kenaikan muka air laut

Ancaman tersebut di atas dapat saling mempengaruhi satu dengan lainnya dan berpotensi mengalami berbagai gaya-gaya iklim atau bahaya-bahaya yang dipicu oleh perubahan iklim sekaligus.

Dampak perubahan iklim yang menjadi ancaman besar lainnya apabila dikaitkan dengan kondisi geografis Indonesia adalah naiknya permukaan air laut (sea level rise). Ancaman terhadap naiknya permukaan air laut dan ancaman terhadap tenggelamnya pulau-pulau kecil. Tenggelam atau hilangnya suatu pulau kecil merupakan salah satu fenomena yang akan pasti terjadi apabila dampak perubahan iklim tidak diindahkan.

Data Departemen Kelautan dan Perikanan menunjukkan bahwa dalam kurun waktu hanya dua tahun, yaitu 2005–2007, Indonesia telah kehilangan 24 pulau kecil di Nusantara. Lokasi ke-24 pulau yang tenggelam tersebut adalah sebagai berikut: tiga pulau di Nanggroe Aceh Darussalam (NAD), tiga pulau di Sumatera Utara, tiga di Papua, lima di Kepulauan Riau, dua di Sumatera Barat, satu di Sulawesi Selatan, dan tujuh di kawasan Kepulauan Stereribu, Jakarta.

Mayoritas pulau kecil yang tenggelam tersebut diakibatkan oleh erosi air laut yang diperburuk oleh kegiatan penambangan untuk kepentingan komersial. Selain itu, bencana tsunami Aceh 2004 juga berdampak pada tenggelamnya tiga pulau kecil setempat. Kehilangan pulau-pulau kecil ini terutama yang berada di daerah perbatasan dengan negara lain akan berdampak hukum yang merugikan Indonesia. Karena dengan kehilangan pulau-pulau tersebut (yang semula jadi penentu tapal batas Indonesia dengan negara tetangga) wilayah perairan Indonesia akan berkurang. Hal ini perlu diantisipasi mengingat kemungkinan di wilayah tersebut terdapat sumber mineral.

Bank Pembangunan Asia (Asian Developm ent Bank/ ADB) memprediksi, permukaan bakal naik setinggi 40 sentimeter pada akhir abad ini. Kondisi ini membahayakan penduduk yang tinggal di pesisir pantai. Lembaga internasional ini menilai Indonesia dan Thailand belum menunjukkan upaya konkret dalam mengatasi ancaman ini. Padahal bencana iklim mengakibatkan kerugian ekonomi 6-7 persen dari total produk domestik bruto pada 2100. Saat ini kerugian ekonomi dari bencana iklim masih 2,6 persen dari produk domestik bruto.

Makna yang disampaikan diatas adalah bahwa dampak perubahan iklim pada bidang kelauatan dan perikanan akan dirasakan secara luas oleh komunitas yang tinggal didaerah pesisir, seperti terjadinya banjir

dan erosi akibat kenaikan permukaan air laut, terjadinya perpindahan penduduk, pengeluaran untuk menjaga dan mengelola pantai menjadi meningkat dan juga berpotensi meningkatnya intensitas badai tropis. Akibat dampak dari hal-hal diatas akan menurunkan aktivitas perekonomian dan dampak yang terlokalisasi (pada daerah tertentu saja) juga dapat merusak perekonomian lokal.

II.2.5 Matriks Rencana Aksi Adaptasi Perubahan Iklim pada Sektor Kelautan dan Perikanan

Penyusunan Rencana Aksi Adaptasi Perubahan Iklim pada Sektor Kelautan dan Perikanan perlu merujuk Undang-Undang, Peraturan Pemerintah dan Peraturan Menteri sebagai modal dasar untuk dapat mengatur pelaksanaan adaptasi perubahan iklim. Peraturan perundangan yang terkait dengan pada sektor kelautan dan perikanan, antara lain:

1. Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.

2. Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang.

3. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana.

4. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang

2005-2025.

5. Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2006 tentang Sistem Penyuluhan Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan.

6. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah.

7. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan, yang kemudian direvisi menjadi Undang-Undang No. 45 Tahun 2009.

8. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional.

Matriks Rencana Aksi Adaptasi Perubahan Iklim pada Sektor Kelautan dan Perikanan mendefinisikan amanat dari peraturan perundangan yang terkait dengan program adaptasi dampak perubahan iklim dengan menyelaraskan dengan kebutuan teknologi dan jangka waktu rencana aksi.


(18)

1. Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.

2. Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2007 tentang Konservasi Sumberdaya Ikan.

3. Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor Per.16/MEN/2008 tentang Perencanaan Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil. 4. Peraturan Menteri Kelautan dan

Perikanan Nomor Per.17/MEN/2008 tentang Kawasan Konservasi di Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil.

5. Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor Per.18/MEN/2008 tentang Akreditasi terhadap Program Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil.

6. Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor Per.20/MEN/2008 tentang Pemanfaatan Pulau-pulau Kecil dan Perairan di Sekitarnya.

7. Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor Per.08/MEN/2009 tentang Peran Serta dan Pemberdayaan Masyarakat dalam Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil.

8. Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor Per.14/MEN/2009 tentang Mitra Bahari.

Kerentanan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil

1. Identifikasi dan pemetaan kawasan kerentanan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil.

2. Penyusunan Rencana Zonasi Rinci atau Zone Development Plan.

3. Relokasi atau penataan ulang tata ruang wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil

4. Penerapan dan perbaikan pengelolaan terpadu ekosistem pesisir dan pulau-pulau kecil.

5. Rehabilitasi dan Restorasi Ekosistem Pesisir dan Laut 6. Pengembangan teknologi sistem peringatan dini

untuk pengurangan resiko kerentanan. 7. Penerapan sempadan pantai dan teknologi

perlindungan pantai secara alami (mangrove, bukit pasir, terumbu karang dan hutan pantai) dan buatan (breakwater, tembok laut, reklamasi, beach nourishment, rumah panggung)

8. Pengembangan sistem perlindungan aset wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil dari resiko dampak perubahan iklim.

9. Pengembangan Desa Pesisir yang Tahan terhadap Bencana (Coastal Resilience Village).

10. Pengembangan dan Pengelolaan Kawasan Konservasi.

11. Pengembangan Daerah Perlindungan Laut. 12. Pengembangan Desa Pesisir/ Kawasan Minapolitan

Bersih dan Lestari.

1. Undang-Undang No: Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan

2. Undang-Undang No: 27 Tahun 2007, Tentang Sistem Penyuluhan

Pertanian, Perikanan dan Kehutanan. 3. Peraturan Pemerintah Nomor 54

Tahun 2002 tentang Usaha Perikanan. 4. Peraturan Pemerintah Nomor 60

Tahun 2007 tentang Konservasi Sumberdaya Ikan

5. Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun 2007 tentang

Perikanan Budidaya Pantai, Laut Dan Perairan Umum

1. Perbaikan manajemen lahan budidaya.

2. Pengembangan teknologi pakan rendah berbasis sumberdaya lokal dan efisiensi penggunaannya. 3. Pengembangan jenis dan varietas benih ikan yang

toleran dan adaptif terhadap stres lingkungan (kenaikan temperature perairan, kekeringan, genangan dan salinitas).

4. Pengembangan sistem terpadu budidaya ikan dengan pertanian (mina padi), kehutanan (wana mina) dan peternakan untuk meningkatkan daya adaptasi ikan.

Penyelenggaraan Penelitian dan Pengembangan Perikanan.

1. Undang-Undang No: Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan.

2. Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor PER.15/ MEN/ 2005 tentang Penangkapan Ikan

3. Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor PER.16/ MEN/ 2006 tentang Pelabuhan Perikanan 4. Peraturan Menteri Kelautan dan

Perikanan Nomor Nomor

PER.18/ MEN/ 2006 tentang Skala Usaha Pengolahan Hasil Perikanan.

5. Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor PER.01/ MEN/ 2007 tentang Pengendalian Sistem Jaminan Mutu dan Keamanan Hasil Perikanan. 6. Peraturan Menteri Kelautan dan

Perikanan Nomor PER.05/ MEN/ 2008 tentang Usaha Perikanan Tangkap. 7. Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun

2007 tentang Penyelenggaraan Penelitian dan Pengembangan Perikanan.

Perikanan Tangkap

1. Pengembangan teknologi dan sistem informasi peta prakiraan penangkapan ikan.

2. Penerapan teknologi alat tangkap dan kapal tangkap yang ramah lingkungan dan adaptif terhadap perubahan iklim ekstrem.

3. Pengembangan teknologi pasca penangkapan dan pengolahan hasil tangkapan.

4. Pengembangan teknologi perlindungan pelabuhan perikanan.

5. Pengembangan sistem perlindungan usaha penangkapan ikan dari tidak melaut/ menangkap akibat dampak perubahan iklim.

1. Besarnya biaya yang diperlukan untuk melakukan beberapa program aksi adaptasi di sektor kelautan dan perikanan.

2. Wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil merupakan bagain yang paling rentan terhadap dampak perubahan iklim.

3. Masih kurangnya data dan informasi kelautan dan perikanan, dan sebagian besar masih bersifat sporadis.

4. Belum adanya peraturan perundangan atau payung hukum yang jelas mengenai adaptasi perubahan iklim.

5. Belum adanya Rencana dokumen Hirarki perencanaan pengelolaan wilayah pesisir dn pulau-pulau kecil Kabupaten/ Kota.

Dalam mewujudkan implementasi kebijakan, terdapat beberapa tantangan yang menyebabkan belum teroptimalkannya kebijakan di dalam implementasinya namun di sisi lain terdapat peluang yang dapat dimanfaatkan dalam mendorong diimplementasikannya kebijakan yang telah dimiliki oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan.

Kebijakan Program Aksi Kebijakan Program Aksi

TANTANGAN

19

20

II.2.6 Matriks

5. Pengembangan teknologi pengelolaan lahan budidaya untuk meningkatkan daya adaptasi ikan. 6. Pengembangan teknologi budidaya di lahan kritis,

rusak, dan gambut.

7. Pengembangan sistem perlindungan usaha perikanan dari kegagalan akibat dampak perubahan iklim.


(19)

6. Meningkatkan dan perluasan skala program aksi adaptasi sektor kelautan dan perikanan.

7. Memonitor dan memverifikasi program adaptasi sektor kelautan dan perikanan.

1. Pemanfaatan dan pengintegrasian pengetahuan, kearifan dan nilai-nilai lokal dan tradisional yang bisa saling bersinergi dengan program aksi adaptasi.

2. Potensi praktek-praktek adaptasi yang telah ada dan bisa dijadikan ajang pembelajaran untuk peningkatan dan perluasan upaya adaptasi sektor kelautan dan perikanan.

II.3 Sektor Kesehatan

II.3.1 Pendahuluan

Dalam menghadapi isu perubahan iklim di bidang kesehatan, Kementrian Kesehatan menyusun Strategi Adaptasi Dampak Perubahan Iklim yang dapat dilaksanakan baik di tingkat pusat maupun di daerah dan diharapkan dapat dilaksanakan dengan langkah-langkah adaptasi yang ditunjang oleh tingginya kesadaran, sikap mental dan prilaku masyarakat, sehingga dapat memberikan kontribusi yang bermakna terhadap peningkatan kemampuan selaras dengan visi Kementrian Kesehatan yakni mewujudkan masyarakat dalam mewujudkan kesehatan yang optimal menuju masyarakat yang produktif dan mandiri dengan pembudayaan hidup bersih dan sehat.

Disamping itu, perubahan iklim juga memicu semakin berkurangnya keanekaragaman hayati sehingga dapat menyebabkan langkanya bahan baku obat dari tumbuhan.

Sementara itu, degradasi lahan dan perubahan fungsi ekosistem dapat menyebabkan perubahan penyebaran vektor penyakit dan penurunan sumber daya air. Hal itu bisa berujung pada keterbatasan akses air bersih dan sanitasi yang sehat.Peningkatan temperatur udara sebesar 2-3 derajat celsius akan

19

meningkatkan jumlah penderita penyakit tular vektor sebesar 3-5 persen .

Untuk mengantisipasi ancaman perubahan iklim ini, pada bulan Mei 2011, Kementrian Kesehatan telah menerbitkan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 1080 Tahun 2011 tentang Strategi Adaptasi Sektor Kesehatan Terhadap Dampak Perubahan Iklim.

II.3.2 Justifikasi

Dalam pelaksanaan adaptasi perubahan iklim di Bidang Kesehatan, telah disusun Tim Koordinasi Adaptasi Sektor Kesehatan. Disamping itu, Kementrian Kesehatan juga telah menyusun startegi adaptasi sektor kesehatan terhadap perubahan iklim, pedoman faktor resiko perubahan iklim dan modul perubahan iklim.

Dalam upaya menanggulangi perubahan iklim, sektor kesehatan mengupayakan adaptasi. Kerangka konsep pelaksanaan adaptasi sektor kesehatan tergambarkan sebagaimana dibawah ini (gambar 1):

TANTANGAN

PELUANG

Gambar 1. Kerangka Konsep Pelaksanaan Adaptasi Perubahan Iklim Bidang Kesehatan

ROADMAP

STRATEGI ADAPTASI

TIM KOORDINASI ADAPTASI PERUBAHAN

IKLIM

NSPK: Pedoman Modul

IMPLEMENTASI (PROGRAM DAN KEGIATAN)


(20)

Tabel 6. Tingkat Pendidikan Tenaga Kerja Sektor Pertanian

Tabel 7. Bahaya dan Dampak Perubahan Iklim terhadap Sektor Kesehatan

Bahaya Perubahan Iklim

Bahaya Perubahan Iklim

Bahaya lebih lanjut terhadap sektor kesehatan

Kenalan aliran permukaan dan kelembaban tanah, menyebabkan:

º Banjir.

º Gangguan

keseimbangan air.

º Tanah longsor

Bersama kenaikan temperatur akan menurunkan aliran per-mukaan, menyebabkan:?

º Penurunan ketersediaan air.

º Kekeringan.

Dampak perubahan Iklim

º? Banjir dan gangguan keseimbangan air dapat berpengaruh terhadap kondisi sanitasi dan penyebaran penyakit bawaan air seperti diare.

º Banjir dan gangguan keseimbangan air dapat berpengaruh terhadap gagal panen sehingga dapat menyebabkan malnutrisi. º Curah hujan berpengaruh terhadap tipe dan

jumlah habitat perkembangbiakan vektor penyakit.

º Perubahan curah hujan bersama dengan perubahan temperatur dan kelembabab dapat meningkatkan atau mengurangi kepadatan populasi vektor penyakit serta kontak manusia dengan vektor penyakit.

Faktor-faktor yang menyebabkan Indonesia rentan dari sisi kesehatan akibat perubahan iklim diantaranya adalah masih adanya penduduk Indonesia yang belum menerapkan budaya hidup bersih dan sehat, masih ada wilayah di Indonesia yang mendapatkan pelayanan kesehatan terbatas, termasuk adanya penduduk yang memiliki akses terbatas terhadap pelayanan kesehatan karena kendala jarak, belum memadainya sarana dan prasarana kesehatan khususnya dalam merespon dampak perubahan iklim serta terbatasnya informasi dan data terkait resiko di sektor kesehatan akibat perubahan iklim.

Guna mengantisipasi dan menyiasati ancaman dan kondisi kerentanan tersebut, dikembangkan alternatif strategi adaptasi, yang mencakup:

1. Memperkuat sistem kewaspadaan dini dan tanggap darurat terhadap bencana di masyarakat. 2. Memperkuat kajian kerentanan dan penilaian resiko sektor kesehatan akibat perubahan iklim. 3. Mengembangkan kerangka kerja kebijakan yang didukung dengan peraturan

perundangan dan pengaturannya.

4. Mengembangkan perencanaan dan pengambilan keputusan berdasarkan bukti

(evidence) berbasis wilayah.

5. Meningkatkan kerjasama lintas sektor.

6. Meningkatkan partisipasi masyarakat dan swasta serta perguruan tinggi/ akademisi.

7. Memperkuat kemampuan pemerintah daerah.

8. Mengembangkan jaringan kerja (net working) dan berbagi (sharing) informasi.

II.3.3 Ancaman Perubahan Iklim pada Bidang Kesehatan

Pengaruh kenaikan temperatur, perubahan pola curah hujan, kenaikan muka laut dan meningkatnya frekuensi dan intensitas iklim ekstrim terhadap jalur kontaminasi mikroba, transmisi dinamis, agro ekosistem dan hidrologi serta sosio ekonomi dan demografi yaitu dapat menimbulkan dampak terhadap kesehatan baik secara langsung maupun tidak langsung.

Dampak kesehatan akibat perubahan iklim diantaranya polusi udara yang berpengaruh terhadap kesehatan, penyakit yang berhubungan dengan air dan makanan (water and food borne diseases), penyakit yang berhubungan dengan vektor (vector borne diseases), malnutrisi, mental disorders, heat stress (lihat pada tabel 1) .

Perubahan iklim dapat berpengaruh terhadap kondisi lingkungan, sosial dan sistem kesehatan. Ketiga kondisi tersebut akan berdampak terhadap kesehatan. Dampak perubahan iklim terhadap kesehatan dapat terjadi secara langsung maupun tidak langsung:

Mempengaruhi kesehatan manusia secara langsung berupa paparan langsung dari perubahan pola cuaca (temperatur, curah hujan, kenaikan muka air laut, dan peningkatan frekuensi cuaca ekstrim). Kejadian cuaca ekstrim dapat mengancam kesehatan manusia bahkan kematian (tabel 2). Misalnya, perubahan curah hujan, salinitas dapat meningkatkan atau mnegurangi kepadatan populasi vektor penyakit. Selain itu, secara langsung berpengaruh terhadap kejadian bencana seperti banjir, longosr dan angin puting beliung. Berdasarkan data dari PPK Kementrian Kesehatan, selama tahun 2009 telah terjadi 287n kejadian bencana yangterdiri dari 14 jenis kejadian bencana, antara lain banjir, longsor, angin puting beliung dan kebakaran hutan.

Mempengaruhi kesehatan manusia secara tidak langsung. Mekanisme yang terjadi adalah perubahan iklim mempengaruhi faktor lingkungan seperti perubahan kualitas lingkungan (kualitas air, udara, dan makanan), penipisan lapisan ozon, penurunan sumber daya air, kehilangan fungsi ekosistem, dan degradasi lahan yang pada akhirnya faktor-faktor tersebut akan mempengaruhi kesehatan manusia.

Climate Change

Regional weather changes • Heatwaves • Extreme weather • Temperature • Precipation

Modulating influences Microbial contamination pathways Transmission dynamics Agro-ecosystems, hydrology Socioeconomic, demographics Health Effects Temperature-related

illness and death

Extreme weather-related health effects Air pollution-related health

effects Water and fod-borne

diseases Vector-borne and rodent-borne diseases Effect of food and water

shortages Mental, nutritional, infectious and other health effects


(1)

Undang-Undang Nomor. 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang

1. Penyediaan akses dan pengolahan terhadap data dan informasi terkait perubahan iklim terhadap tata ruang

1.1 Pemutakhiran data mengenai perubahan penggunaan lahan akibat perubahan iklim 1.2 Pengolahan data geospasial

2. Perencanaan ruang

2.1 Identifikasi kawasan (kabupaten/ kota) yang mengalami dampak perubahan iklim 2.2 Percepatan proses revisi RTRW Provinsi

dan/ atau Kabupaten/ Kota yang terkena dampak perubahan iklim (poin 2.1)

2.3 Penyiapan rencana detil tata ruang kawasan yang responsif secara fisik, secara teknologi, dan secara sosial

3. Pemanfaatan ruang

3.1 Penyediaan ruang terbuka hijau perkotaan minimal dengan luas 30% dari luas wilayah dalam rangka penurunan temperatur

3.2 Urban restoration

4. Pengendalian ruang

4.1 Arahan peraturan zonasi pada kawasan yang terkena dampak perubahan iklim

4.2 Arahan perijinan

4.3 Perangkat insentif disinsentif

4.4 Arahan sanksi berupa sanksi administratif

5. Peningkatan kapasitas kelembagaan

3.1 Pengembangan kegiatan adaptasi (capacit y building) aparat

3.2 Penyusunan model pemetaan ruang yang responsif terhadap perubahan iklim di k wilayah dan awasanperkotaan

6. Pembinaan penataan ruang

6.1 Penyiapan NSPK

6.2 Sosialisasi rencana tata ruang dan NSPK

7. Pengawasan

7.1 Pemantauan dan evaluasi 7.2 Pelaporan


(2)

dibawah konvensi telah menyepakati alokasi untuk inisiatif prioritas strategi adaptasi (Strategic Priorit y on Adaptation / SPA) sebesar $50 juta.

Berdasarkan tinjauan Nicholas Stern (Ekonomi Perubahan iklim), Perubahan iklim merupakan sebuah 21

rintangan besar untuk pengurangan kemiskinan berkelanjutan di seluruh dimensi-dimensinya . Ancaman perubahan iklim terhadap pembangunan berkelanjutan (sustainable development) akan memperlambat pencapaian pembangunan berkelanjutan, baik langsung maupun tidak langsung. Untuk mendorong berkelanjutan, maka pembangunan harus secara tegas memasukkan persoalan adaptasi perubahan iklim serta mendorong kemampuan adaptasinya.

Khusus mengenai Indonesia, laporan IPCC tersebut menyebutkan bahwa kawasan Selatan akan mengalami penurunan curah hujan dan sebaliknya kawasan Utara akan mengalami peningkatan curah hujan. Ancaman kekeringan akibat gejala El-Nino tentunya pula (kembali) menjadi faktor pendorong kebakaran hutan yang selama ini telah menghilangkan jutaan hektar lahan hutan. Dampak perubahan iklim yang menjadi ancaman besar lainnya apabila dikaitkan dengan kondisi geografis Indonesia adalah naiknya permukaan air laut (sea level rise). Ancaman terhadap naiknya permukaan air laut dan ancaman terhadap tenggelamnya pulau-pulau. Tenggelam atau hilangnya suatu pulau kecil merupakan salah satu fenomena yang akan pasti terjadi apabila dampak perubahan iklim tidak diindahkan.

III.1 Kemampuan Adaptasi

Melalui skenario optimis IPCC, dimana dunia mengambil tindakan substansial untuk memotong emisi gas rumah kaca saat ini, gas rumah kaca atmosfer diperkirakan mencapai 450 ppm, menaikkan suhu global sebesar 2?C. Laporan ke-empat dari Intergovernmental Panel on Climate Change atau IPCC akhir tahun 2007 menyebutkan perubahan suhu akhir-akhir ini telah berdampak kepada banyak sistem fisik dan biologis alam. Tingkat kemungkinan ancaman perubahan iklim disebutkan high confidence, memiliki angka prosentase kebenaran sekitar 80%. Laporan kelompok kerja yang bertanggung jawab atas pengetahuan dan teknologi (Scientific & Technology) bahkan memperkirakan akhir abad 21, suhu bumi akan naik sebesar 1,8–4 C, sedangkan permukaan air laut akan naik setinggi 28 – 43 cm, jika tidak ada upaya serius menurunkan konsentrasi Gas Rumah Kaca (GRK). Laporan ini menunjukkan bahwa pemanasan global hingga tahun 2030 akan sedikit dipengaruhi oleh emisi gas rumah kaca dalam 20 tahun mendatang karena kelambanan dalam system iklim.

Perkiraan Bank Dunia (2006) yang menyebutkan biaya atau bantuan pendanaan dari negara-negara maju untuk kegiatan adaptasi di negara berkembang dan miskin hanya akan terkumpul sebesar US$ 500 milyar. Padahal kerugian global akibat perubahan iklim mencapai US$ 4,4 triliun. Perdana Menteri Inggris, Gordon Brown mengajak negara-negara maju untuk menginvestasikan US$100 juta per tahun di negara-negara berkembang untuk mendukung low carbon growth. Most Vulnerable Countries Civil Societ y menyebut paling kecil dibutuhkan UD$50 juta –dari sedikitnya US$150 juta untuk kebutuhan negara-negara berkembang pada persoalan perubahan iklim. The Global Environment Facilit y (GEF), pengelola pendanaan adaptasi

20Ditulis oleh Ari Muhammad

21Negara berkembang berada pada keadaan geografis yang merugikan yang umumnya sudah berada pada kondisi lebih panas dan mereka juga menderita dari variasi curah hujan yang tinggi. Sebagai hasilnya, pemanasan lebih lanjut akan membawa biaya tinggi dan keuntungan yang sedikit bagi negara miskin. Mereka umumnya sangat bergantung pada pertanian, sektor yang paling sensitive terhadap iklim dibandingkan semua sektor ekonomi, dan menderita karena kurangan fasilitas kesehatan dan pelayanan masyarakat yang berkualitas rendah. Pendapatan rendah dan kerentanan mereka membuat adaptasi terhadap perubahan iklim menjadi sulit. Karena kerentanan-kerentanan ini, perubahan iklim sangat mungkin mengurangi pendapatan yang sudah rendah dan meningkatkan tingkat penyakit dan kematian di negara berkembang.

Strategi Adaptasi Perubahan

20


(3)

Gambar 3. Jumlah titik panas per-tahun dan SOI (Southern Oscillation Index) di Indonesia tahun 2002-2007

Tabel 9. Luas tanaman padi terkena bencana banjir dan kekeringan dan puso (ha) pada tahun 1988-1997 (Yusmin, 2000)

nilai SOI positif = La Nina Nilai SOI negatif = El Nino

Sumber: Australian Bureau of Meteorology

Tahun 2000 2001 2002 2003 2004 2005 (Feb) Total Total Total Total 14.618,5 14.194,1 14.260,2 12.158,9 11.815,7 12.473,8 18.873,9 18.104,3 18.705,4 20.635,2 18.253,8 19.616,6 4.767,9 5.200,3 5.348,2 7.557,7 6.567,1 6.913,8 2005 (Nop) 2006 (Feb) % 2006 (Feb)

11.080,7 11.783,0 27,8 20.217,5 20.812,5 49,2 7.367,5 7.188,0 17,0 40.676,7 39.751,0 40.636,2 43.047,5 38.930,9 41.869,1 41.309,8 42.323,2 100 2005 (Nop) 2006 (Feb) % 2006 (Feb)

11.080,7 11.783,0 27,8 20.217,5 20.812,5 49,2 7.367,5 7.188,0 17,0 41.309,8 42.323,2 100

Sumber: http:/ / iklim.dirgantara-lapan.or.id

Kotak 1: Bencana yang terkait iklim di Indonesia

Data yang dimuat dalam OFDA/ CRED International Disaster Database (2007), menyebut bahwa setelah tahun 1990-an merupakan periode dimana terdapat sepuluh bencana terbesar di Indonesia sepanjang periode tahun 1907 dan 2007. Sebagian besar bencana tersebut sangat terkait dengan iklim, seperti banjir, kekeringan, kebakaran hutan dan ledakan penyakit. Total kerugian ekonomi mencapai kurang lebih 26 milyar dimana 70% dikontribusikan oleh iklim.

Laporan lain yang dibuat oleh Departemen Pekerjaan Umum bekerjasama dengan Kementri-an Negara Lingkungan Hidup (Country Report, 2007) menyebutkan bahwa dampak ancaman perubahan iklim yaitu naiknya permukaan air laut akan menjadi ancaman terhadap beberapa industri seperti; anjungan minyak dan gas di laut, transportasi, perikanan, pertanian dan ekowisata serta perkampungan masyarakat pesisir. Dengan kenaikan sekitar 1 meter, diperkirakan sekitar 405,000 ha dari lahan pesisir termasuk kepulauan kecil akan banjir.

Berbagai studi/ kajian yang dikumpulkan oleh Panel ilmiah untuk perubahan iklim atau IPCC/

Intergovernm ental Panel on Clim ate Change dan lembaga-lembaga riset lainnya yang berasal dari luar negeri dan dalam negeri menunjukkan tingkat kerentanan (vulnerabilit y) negara ekonomi berkembang dan terbelakang yang relatif tinggi, plus kapasitas adaptasinya yang relatif rendah.

º Berdasarkan hasil pemantauan kekeringan pada tanaman padi selama 10 tahun terakhir (1993-2002) yang dilakukan Departemen Pertanian, diperoleh angka rata-rata lahan pertanian yang terkena kekeringan mencapai 220.380 ha dengan lahan puso mencapai 43.434 ha atau setara dengan kehilangan 190.000 ton gabah kering giling (GKG). Sedangkan, yang terlanda banjir seluas 158.787 ha dengan puso 39.912 ha (setara dengan 174.000 ton GKG) (Boer, 2003). Menurut Departemen Pertanian, dalam periode Januari-Juli 2007, tercatat bahwa luas lahan pertanian yang mengalami kekeringan adalah 268.518 ha; 17.187 ha diantaranya mengalami puso (gagal panen). Hal tersebut berimplikasi pada penurunan produksi padi hingga 91.091 ton GKG.

º Penurunan curah hujan akibat variabilitas iklim maupun perubahan musiman disertai dengan peningkatan temperatur telah menimbulkan dampak signifikan pada cadangan air. Pada tahun-tahun kejadian El Niño Southern Oscillation (ENSO), volume air di tempat penampungan air menurun cukup berarti (jauh di bawah normal), khususnya selama musim kering (Juni-September). Banyak pembangkit listrik memproduksi listrik jauh di bawah produksi normal pada tahun-tahun tersebut. Data dari 8 waduk (4 waduk kecil dan 4 waduk besar di Pulau Jawa) menunjukkan bahwa selama tahun-tahun kejadian ENSO pada tahun 1994, 1997, 2002, 2003, 2004, dan 2006, sebagian besar pembangkit listrik yang dioperasikan di 8 waduk tersebut memproduksi listrik di bawah kapasitas normal (Indonesia Country Report, 2007).

º Peningkatan temperatur air laut khususnya saat El Niño 1997 telah menyebabkan masalah serius pada ekosistem terumbu karang. Wetlands International (Burke et al., 2002) melaporkan bahwa El Niño pada tahun tersebut telah menghancurkan sekitar 18% ekosistem terumbu karang di Asia Tenggara. Pemutihan terumbu karang (coral bleaching) telah terjadi di banyak tempat seperti bagian Timur Pulau Sumatera, Jawa, Bali dan Lombok. Di Kepulauan Seribu sekitar 90-95% terumbu karang yang berada di kedalaman 25 m sebagian telah mengalami pemutihan.

º Variasi cuaca seperti ENSO, telah memberikan kontribusi terhadap penyebaran penyakit seperti malaria, demam berdarah, diare, kolera, dan penyakit akibat vektor lainnya. World Health Organization (WHO) juga menyatakan bahwa penyebaran penyakit malaria dipicu oleh terjadinya curah hujan di atas normal dan dipengaruhi juga oleh pergantian cuaca yang kurang stabil, seperti setelah hujan lebat cuaca berganti


(4)

III.2 Kebutuhan Strategi Adaptasi di Indonesia

Gambar 4. Efek Perubahan Iklim pada Level yang Berbeda

climate change: Global warming

first order effects: Rainfall changes, extreme events and disasters

second order effects: Droughts, floods, fires, plagues

Ÿ forest fires

Ÿ changes in structure and function of the ecosystem

Ÿ structural changes of ecosystems

Ÿ changes in bio-geo chemical cycles

Ÿ productivit y increase

Ÿ Latitudinal migraion of ecosystems

forest ecosystems and forest sector: Autonomous adaptation capacity

other natural and human systems menjadi panas terik matahari yang menyengat. Hal tersebut mendorong perkembangbiakan nyamuk

dengan cepat

º Di Indonesia, peningkatan curah hujan di atas normal terjadi khususnya pada tahun-tahun La Niña. Kasus demam berdarah dengue (DBD) juga ditemukan meningkat signifikan pada tahun-tahun terakhir ini. Berdasarkan data kejadian DBD di berbagai kota besar di Indonesia, laju kejadian DBD di Pulau Jawa dalam kurun waktu 1992 hingga 2005 meningkat secara konsisten (Indonesia Country Report, 2007)

º Data Departemen Kelautan dan Perikanan menunjukkan bahwa dalam kurun waktu hanya dua tahun, yaitu 2005–2007, Indonesia telah kehilangan 24 pulau kecil di Nusantara. Lokasi ke-24 pulau yang tenggelam tersebut adalah sebagai berikut: tiga pulau di Nanggroe Aceh Darussalam (NAD), tiga pulau di Sumatera Utara, tiga di Papua, lima di Kepulauan Riau, dua di Sumatera Barat, satu di Sulawesi Selatan, dan tujuh di kawasan Kepulauan Seribu, Jakarta. Mayoritas pulau kecil yang tenggelam tersebut diakibatkan oleh erosi air laut yang diperburuk oleh kegiatan penambangan untuk kepentingan komersial. Selain itu, bencana tsunami Aceh 2004 juga berdampak pada tenggelamnya tiga pulau kecil setempat. Kehilangan pulau-pulau kecil ini terutama yang berada di daerah perbatasan dengan negara lain akan berdampak hukum yang merugikan Indonesia. Karena dengan kehilangan pulau-pulau tersebut (yang semula jadi penentu tapal batas Indonesia dengan negara tetangga) wilayah perairan Indonesia akan berkurang. Hal ini perlu diantisipasi mengingat kemungkinan di wilayah tersebut terdapat sumber mineral.

º Dari segi ekonomi, menurut World Disaster Report (2001), kerugian akibat bencana iklim di tingkat global yang terjadi sekarang dibanding dengan yang terjadi di tahun 1950-an sudah meningkat 14 kali, yaitu mencapai US$ 50-100 milyar per tahun. Demikian juga jumlah kematian akibat bencana iklim meningkat 50% per dekadenya. Pada tahun 2050, apabila pemanasan global terus terjadi dan tidak ada upaya-upaya adaptasi yang terencana dilakukan dari sekarang, maka diperkirakan kerugian ekonomi akibat bencana iklim akan meningkat mencapai US$ 300 milyar per tahun dan jumlah kematian bisa mencapai 100 ribu orang per tahun (SEI, IUCN, dan IISD, 2001). Upaya adaptasi yang dilakukan sejak dini akan dapat mengurangi kerugian akibat bencana secara signifikan. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa setiap 1 USD yang dikeluarkan untuk melakukan upaya adaptasi dapat menyelamatkan sekitar 7 USD biaya yang harus dikeluarkan untuk pemulihan akibat dampak dari bencana iklim (Biemans et al., 2006).

Sumber:

http:/ / w w w.setneg.go.id/ index.php?option=com_content&task=view&id=1696&Itemid=195

Walau indikator negara atau wilayah yang dikategorikan rentan masih menjadi perdebatan di sidang Subsidiary Body for Scientific and Technological Advice (badan pembantu UNFCCC yang menangani masalah-masalah teknis dan ilmiah), namun Indonesia sebagai negara yang masih banyak memiliki persoalan pembangunan sosial dan ekonomi serta lingkungan hidup akan semakin terdorong ke dalam wilayah yang sangat rentan dengan kemampuan daya tahan (resilience) yang rendah. Bencana salah urus tersebut menyebabkan kerugian ekonomi yang besar. tentunya faktor perubahan iklim akan mempercepat dan memperparah kondisi rentan dan lemahnya daya tahan tadi.

Dari sisi geografis, Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia dengan panjang garis pantai lebih dari 81.000 km serta lebih dari 17.508 pulau dan luas laut sekitar 3,1 juta km2 sehingga w ilayah p esisir dan laut an Indonesia dikenal seb agai negara dengan kekayaan dan keanekaragaman hayati (biodiversit y) laut terbesar di dunia dengan memiliki ekosistem pesisir

22

seperti mangrove, terumbu karang (coral reefs) dan padang lamun (sea grass beds) (Dahuri et al. 1996).

Oleh sebab itu penguatan kapasitas adaptasi menjadi hal yang krusial dan urgent. Kuat atau lemahnya kapasitas adaptasi dapat dilihat dari sisi eksternal seperti daya dukung ekosistem dan lingkungan saat ini, juga sisi internal yang dilihat dari kesiapan perangkat regulasi dan kelembagaan, anggaran serta sumberdaya manusia.


(5)

III.3 Pengarus-utamaan Adaptasi

III.4 Adaptasi Perubahan Iklim dan Pengelolaan

Resiko Bencana

III.5 Kelompok Kerja Adaptasi Perubahan Iklim

Dalam perspektif bencana, dengan dikeluarkannya Undang-undang tentang Penanggulangan Bencana (UU Nomor 24 tahun 2007) maka pengelolaan resiko bencana harus menjadi satu potret utuh dimana pencegahan bencana terkait dengan upaya adaptasi. Oleh sebab itu adanya strategi dan harmonisasi agenda nasional atau daerah mengenai adaptasi terhadap perubahan iklim ke dalam strategi penanggulangan bencana di masing-masing wilayah menjadi langkah yang mendesak dan tepat.

Sampai saat ini, informasi dan pemahaman yang terintegrasi dan menyeluruh terkait bencana dan adaptasi akibat perubahan iklim di Indonesia masih merupakan sesuatu yang langka dalam pengelolaan bencana atau kebijakan perubahan iklim. Informasi dan pemahamn banyak yang masih terkotak-kotak dan partial sehingga derajat kapasitas penanggulangan bencana dan adaptasi ditempatkan dalam kotak yang berbeda. Kondisi ini berpengaruh pada strategi penanggulangan bencana dan adaptasi yang diberlakukan atau akan menjadi rencana kebijakan pembangunan nasional atau daerah.

Oleh sebab itu dalam kerangka pengintegrasian persoalan penanggulangan bencana dalam bingkai adaptasi perubahan iklim, dibutuhkan adanya pemahaman yang utuh antara adaptasi perubahan iklim dan prosedur serta sistem penanggulangan bencana melalui kemampuan untuk mengidentifikasi praktek pengurangan resiko dan dampak bencana dalam bingkai adaptasi perubahan iklim. Dengan demikian proyek adaptasi sepatutnya turut dalam memberikan pemikiran dan konsepnya m engenai penanggulangan bencana dalam bingkai adaptasi perubahan iklim dan menyusun strategi kampanye dan pendidikan mengenai perubahan iklim dan penanggulangan bencana di daerah masing-masing.

Aktifitas yang saat ini telah dilakukan untuk memperkuat kapasitas adaptasi oleh beberapa sektor dan departemen harus juga menyentuh persoalan regulasi, sebaliknya tidak semata menjawab persoalan teknis. Kebijakan besar yang dituangkan ke dalam Rencana Aksi Nasional Adaptasi Perubahan Iklim (RAN-API) harus dipertajam melalui instrumen-instrumen lainnya untuk mendukung implementasinya.

Berbagai dokumen rencana aksi, baik yang telah dikeluarkan oleh KLH dengan Rencana Aksi Mitigasi dan Adaptasi Perubahan Iklim (RAN MAPI) pada tahun 2007, kemudian disusul dengan dokumen Perencanaan Pembangunan Nasional: Indonesia Menjawab Perubahan Iklim (dikenal dengan istilah yellow book), yang dikeluarkan oleh Bappenas. Dokumen ini mencakup Policy Matrix tiga tahunan yang dibagi menjadi tiga bagian: mitigasi, adaptasi, dan isu lintas-sektoral. Untuk kegiatan adaptasi difokuskan kepada sektor pesisir dan kelautan, pertanian dan sumber daya air.

Pada tahun 2009, Pemerintah melalui Badan Perencanaan Pembangunan Nasional/ Bappenas meluncurkan peta jalan bagi sektor-sektordalam mengimplementasikan kebijakan perubahan iklim di Indonesia (Indonesia Climate Change Sectoral Roadmap/ ICCSR) pada tahun 2009 yang diharapkan menjadi pedoman bagi semua pihak dalam mencegah dan mengurangi dapak perubahan iklim. Pada tahun itu juga, diperkenalkan Indonesia Climate Change Trust Fund (ICCTF), sebuah lembaga di ‘bawah naungan’ Bappenas untuk menutupi kebutuhan kegiatan yang telah dipetakan tadi. Dana yang dipakai bersumber hibah negara maju.Terdapat strategi sembilan (9) sektor yang ada pada dokumen ICCSR, yaitu; 1) Kehutanan, 2) energi, 3) industri, 4) transportasi, 5) limbah, 6) pertanian, 7) kelautan dan perikanan, 8) sumber daya air dan 9) kesehatan

Tingkat intervensi kebijakan harus dilihat dengan perkembangan informasi yang ada serta kebutuhan nyata wilayah atau pulau tersebut. Oleh sebab itu analisa dan respon dampak perubahan ekosistem, sosial/ ekonomi serta budaya (termasuk menggali dan menggunakan kearifan lokal) merupakan prioritas yang harus dilakukan oleh pemerintah.

Dengan mendorong pengarusutamaan adaptasi perubahan iklim kedalam agenda pembangunan nasional atau daerah, pertimbangan-pertimbangan risiko dan dampak perubahan iklim diterjemahkan tidak saja dalam rencana strategis jangka menengah, namun juga ke dalam kebijakan dan struktur kelembagaan. Pengarusutamaan strategi adaptasi ke dalam kebijakan tiap sektor di tingkat nasional dan lokal merupakan prioritas yang tidak bisa ditawar-tawar. Perumusannya yang melibatkan sektor-sektor yang terkait dan stakeholder lainnya serta mengikuti metodologi yang telah ada saat ini dipastikan menghasilkan sebuah dokumen yang aplikatif.

Bentuk adaptasi yang menjadi sasaran dari kolektivitas komponen-komponen adalah terwujudnya sistem dan kebijakan ke arah yang mendukung adaptasi yang direncanakan, yang merupakan hasil keputusan kebijakan berdasarkan kesadaran dan komitmen serta adaptasi publik, yaitu yang diinisiasi dan dilaksanakan oleh pemerintah di setiap level (adanya kebutuhan bersama).’Kedua pendekatan’ ini muncul sebagai respon dampak perubahan iklim terhadap sektor-sektor strategis yang berpengaruh pada nilai budaya, sosial dan ekonomi masyarakat.

Kehadiran kebijakan pada level Nasional dan Daerah dalam mengantisipasi ancaman dan dampak perubahan iklim sangat diperlukan unt uk m enilai kesiapan dan ‘kesungguhan’ m elalui perangkat/ instrument yang dimilikinya. Tinggi atau rendahnya antisipasi ini sangat menentukan terhadap peluang ancaman yang ditimbulkan terhadap target pertumbuhan ekonomi dan capaian pembangunan lainnya yang telah ditetapkan dalam rencana pembangunan jangka menengah dan panjang. Sebagian besar sumber pendapatan ekonomi bangsa Indonesia sangat bergantung kepada kondisi iklim.

Pertanian, perkebunan dan perikanan adalah contoh dari sektor utama pembangkit ekonomi sekaligus pilar penyangga ketahanan pangan. Oleh sebab itu adanya faktor luar terhadap kondisi iklim yang dapat mengganggu sudah pasti berpengaruh buruk pada sumber-sumber ekonomi tadi. Dalam lingkup lokal ancaman dan dampak perubahan iklim berpotensi menimbulkan gangguan ekonomi secara mikro. Bila saja ancaman perubahan iklim ini terlambat untuk diantisipasi secara nasional maka dapat dipastikan terjadi gangguan ekonomi secara makro. Artinya begitu besar tantangan yang harus dibenahi yang membutuhkan upaya luar biasa, mulai dari rencana pembangunan, dukungan pendanaan dan tentunya teknologi.


(6)

Namun tentunya, belum terpenuhinya langkah-langkah atau upaya tadi bukan berarti tak ada upaya serius yang harus dilakukan karena ancaman dan dampak perubahan iklim serta iklim ekstrem telah dirasakan pengaruhnya. Kembali, yang paling rentan tentunya adalah masyarakat yang sumber kehidupannya bergantung pada iklim dan masyarakat yang tak memiliki pilihan disaat tempat tinggalnya mengalami dampak yang ditimbulkannya seperti banjir dan longsor disaat hujan turun dengan intensitas yang tinggi dan ancaman kebakaran hutan, kekeringan, krisis air bersih di saat kemarau panjang.

Sebagai salah satu kelompok kerja (pokja) di Dewan Nasional Perubahan Iklim, pokja adaptasi berjalan pada koridor tugas yang dimandatkan oleh Peraturan Presiden (Perpres) nomor 46 tahun 2008, yaitu (turut memfasilitasi) perumusan kebijakan, strategi, program nasional adaptasi dan mengkoordinasikannya serta (membantu fungsi) pemantauan dan evaluasi pelaksanaan kegiatan. Dalam konferensi dan pertemuan-pertemuan internasional mengenai perubahan iklim, pokja adaptasi memiliki tugas untuk memperkuat posisi Indonesia. Arah strategis penanganan perubahan iklim DNPI adalah mewujudkan pembangunan rendah emisi karbon dan pembangunan berkelanjutan yang mampu beradaptasi terhadap perubahan iklim. Oleh karenanya, program dari Pokja ini diarahkan pula untuk mendukung kebijakan strategis DNPI, yaitu diprioritaskan pada upaya penguatan kapasitas adaptasi pada tingkat nasional dan daerah. Pada tingkat daerah, fokus perhatian terhadap pengembangan kegiatan adaptasi dalam perencanaan pembangunan daerah.

Peran yang dijalankan dimaknai sebagai katalisator untuk mengintegrasikan rencana dan pelaksanaan kegiatan yang dilakukan oleh sektor-sektor yang bertanggungjawab langsung dengan lingkup program, kegiatan/ aktifitasnya. Dengan demikian isu strategis yang muncul adalah menempatkan peran, tugas dan fungsi pokja yang mampu mengkoordinasikan dan mengharmonisasikan kebijakan sektor terkait strategi menghadapi ancaman dan dampak perubahan iklim.

Oleh sebab itu langkah yang harus dilakukan pokja adalah mempersiapkan kerangka kerja yang menjadi prioritas dengan capaian kerja yang terukur. Peran memfasilitasi inisiatif daerah untuk memasukkan perubahan iklim ke dalam kebijakan lokal menjadi peran yang juga dilakukan oleh pokja ini. Adanya urgensi kebutuhan, akan menjadi salah satu keinginan kuat daerah. Kharakteristik geografi, demografi dan topografi masing-masing wilayah menjadi alasan adanya pendekatan yang berbeda. Peluang lebih dekat untuk mengetahui iklim mikro lebih mudah untuk dilakukan dan validitas kebijakan yang dirumuskan lebih dapat dipertanggungjawabkan karena didasari oleh data proyeksi iklim mikro di wilayah atau daerah tersebut. Sehingga upaya adaptasi lebih merupakan tindakan proaktif dari kecenderungan yang akan terjadi.