12
BAB II LANDASAN TEORI
Dalam bab ini akan diuraikan teori yang akan digunakan untuk pemecahan masalah. Kajian teori tersebut meliputi: 1 penelitian terdahulu yang relevan,
berisi tinjauan topik-topik sejenis yang dilakukan penelitian terdahulu 2 teori yang relevan, teori-teori yang digunakan sebagai landasan analisis dalam
penelitian, 3 prinsip kesopanan, prinsip yang menguatkan teori tentang kesantunan berbahasa. Di bawah ini akan di uraikan mengenai ketiga hal tersebut.
2.1 Penelitian Terdahulu yang Relevan
Ada beberapa penelitian sejenis yang relevan dengan apa yang diteliti dan dituliskan kembali oleh peneliti dalam tulisan ini. Penelitian-penelitian itu adalah
sebagai berikut. Penelitian Gunarwan yang berjudul Persepsi Kesantunan Direktif di dalam
Bahasa Indonesia di antara Beberapa Kelompok Etnik di Jakarta. Penelitian ini dilakukan pada tahun 1992 dan dimuat di buku PELLBA 5 hal. 179-202. Hasil
penelitian mengisyaratkan bahwa memang ada kesejajaran di antara ketaklangsungan tindak ujaran direktif dan kesantunan pemakaiannya. Hanya saja
kesejajaran itu tidak selamanya berlaku. Artinya, semakin tidak langsung bentuk ujarannya tidak selalu berarti semakin santun penggunaannya. Tampaknya bagi
anggota guyup tutur bahasa Indonesia, setidak-tidaknya bagi responden penelitian ini, ada titik optimal yang di seberang itu ketaklangsungan lalu mengisyaratkan
daya force sindiran, yang dinilai kurang sopan oleh mereka. Penelitian Oktaviani Pratiwi pada tahun 2003 dengan judul Kesantunan
Berbahasa Elit Politik Dalamtayangan Di Metro Tv: Today’s Dialogue dan Save Our Nation. Penelitian ini menemukan mengenai berbagai bentuk kesantunan
berbahasa dalam media elektronik. Dari penelitian yang dilakukan, peneliti menyimpulkan bahwa kesantunan berbahasa seseorang tidak ditentukan dari
jabatan, kedudukan. Kesimpulan ini bertentangan dengan pendapat Brown dan Levinson yang mengatakan bahwa semakin tinggi jabatan atau kedudukan
seseorang semakin santunlah bahasanya. Dalam penelitian ini, sebagian elit politik masih menggunakan bahasa
yang tidak santun. Oleh karena itu, peneliti merumuskan kaidah-kaidah kesantunan berbahasa bagi elit politik. Peneliti merumuskan kaidah ini setelah
meneliti tentang pelanggaran-pelanggaran maksim oleh elit politik dan mendapatkan indikator tuturan yang santun.
Berdasarkan analisis data, peneliti mendapatkan pelangggaran-pelanggaran maksim sebagai berikut. Pertama, pelanggaran prinsip kesantunan berbahasa yang
dilakukan oleh elit politik adalah pelanggaran prinsip kerja sama, pelanggaran prinsip kesantunan berbahasa, dan pelanggaran konsep muka Brown dan
Levinson. Kedua, bentuk tuturan yang tidak santun yang dilakukan elit politik dalam acara Today’s Dialogue dan Save Our Nation adalah tuturan yang
menyinggung, melukai mitra tutur serta berpotensi merusak citra diri penutur dan mitra tutur. Ketiga, faktor yang membuat elit politik tidak santun ketika bertutur
adalah a penutur tidak dapat menahan emosi, b penutur memaksakan pendapat,
c penutur memojokkan mitra tutur, d penutur mengkritik secara langsung. Keempat, bentuk tuturan yang santun yang dilakukan elit politik ternyata tidak
selalu mematuhi ketiga aturan kesantunan berbahasa. Bentuk tuturan yang santun dapat berupa pelanggaran salah satu aturan kesantunan dalam rangka untuk
mematuhi aturan lainnya. Kelima, indikator tuturan elit politik yang dikatakan santun adalah bila tuturan tersebut a menanggapi mitra tutur dengan positif, b
menyampaikan pendapat dengan lugas, c mengungkapkan ketidaksetujuan tanpa memojokkan mitra tutur, d mengutarakan kritik dengan ‘guyonan’, e bertutur
dengan rendah hati, f menggunakan cara yang santun ketika bertutur. Keenam, fakta pemakaian bahasa oleh elit politik adalah masih banyak tuturan elit politik
yang menggunakan bahasa yang kurang santun karenanya masih perlu diperbaiki. Berbahasa dengan santun bukan hanya dapat menjaga hubungan dengan
orang lain namun juga dapat membentuk citra diri yang baik bagi penutur sendiri. Oleh karena itu, penutur hendaknya memperhatikan kaidah-kaidah kesantunan
ketika bertutur. Bila penutur mampu bertutur dengan santun, akan memperoleh manfaat ganda yaitu menjaga relasi dengan orang lain sekaligus membentuk citra
diri yang positif. Penelitian dilakukan oleh Ventianus Sarwoyo 2009. Penelitian ini
berjudul Tindak Ilokusi dan Penanda Tingkat Kesantunan Tuturan di dalam Surat Kabar. Penelitian ini berusaha menemukan jawaban terhadap dua persoalan atau
masalah utama, yakni: a jenis tindak ilokusi apa saja yang terdapat dalam tuturan di surat kabar? dan b penanda apa saja yang terdapat dalam tuturan atau
ujaran tersebut?
Dari tujuan di atas, ada dua hal yang merupakan hasil dari penelitian ini. Pertama, ditemukan ada empat jenis tindak ilokusi yang muncul di dalam surat
kabar. Keempat jenis tindak ilokusi tersebut adalah: tidak ilokusi direktif, komisif, representatif, dan ekspresif. Pengungkapan keempat tindak ilokusi tersebut
terwujud dalam tiga bentuk atau jenis tuturan, yakni tuturan imperatif, deklaratif dan interogatif. Tindak ilokusi direktif merupakan tindak ilokusi yang paling
banyak ditemukan dalam tuturan di surat kabar. Bentuk pengungkapannya terwujud tuturan imperatif dan non-imperatif. Tuturan imperatif yang menyatakan
tindak ilokusi direktif itu masih dapat dibagi-bagi lagi menjadi: tuturan imperatif langsung atau biasa, imperatif larangan, imperatif permintaan, imperatif
permohonan, imperatif harapan, imperatif anjuran, dan imperatif persilaan; sedangkan tuturan non-imperatifnya terdiri dari tuturan deklaratif dan interogatif.
Tindak ilokusi repesentatif dan komisif pada dasarnya diungkapkan dengan bentuk pengungkapan yang menggunakan tuturan deklaratif, sedangkan tindak
ilokusi ekspresif diungkapkan dengan bentuk tuturan deklaratif dan interogatif atau pun kombinasi keduanya.
Kedua, ditemukan juga enam jenis penanda tingkat kesantunan tuturan di dalam surat kabar, yakni: analogi, diksi atau pilihan kata, gaya bahasa,
penggunaan keterangan atau kata modalitas, penyebutan subjek yang menjadi tujuan tuturan, dan bentuk tuturan. Enam jenis penanda inilah yang
memungkinkan mitra tutur atau pendengar bisa berpersepsi atau memberikan penilaian terhadap tinggi rendahnya tingkat kesantunan tuturan di dalam surat
kabar. Selain itu, penanda-penanda ini sesungguhnya juga bisa digunakan sebagai
strategi-strategi dalam berkomunikasi demi mewujudkan tuturan yang lebih santun sehingga komunikasi yang tercipta menjadi harmonis dan lancar.
Penelitian yang dilakukan V. Yuliani dengan judul Implikatur dan Penanda Lingual Kesantunan Iklan Layanan Masyarakat ILM di Media Luar
Ruang Outdoor Media. Penelitian ini mencoba menjelaskan mengenai jenis- jenis implikatur dalam Iklan Layanan Masyarakat berbahasa Indonesia di luar
ruang ILM. Penelitian tersebut menemukan dua hasil, yakni pertama, ditemukan empat jenis implikatur yang digunakan dalam ILM; tindak tutur langsung literal,
tindak tutur langsung tidak literal, tindak tutur tidak langsung literal, tindak tutur tidak langsung tidak literal. Kedua, jenis-jenis penanda lingual yang menunjukkan
kesantunan sebuah ILM yakni partikel -lah, pilihan kata atau diksi berkonotasi positif, pilihan kata denotasi bermakna halus, konjungsi demi, untuk yang
menyatakan kuat tujuan bermakna baik, interjeksi kesyukur-an, peringatan, ajakan, modalitas pengingkaran, jenis kalimat deklaratif, imperatif, dan
interogatif, gaya bahasa epizeuksis, anafora, asonansi, aliterasi, personifikasi, hiperbola, ILM yang dipersepsikan kurang hingga tidak santun ditandai dengan
pengungkapan kalimat imperatif secara langsung dan pilihan kata diksi denotasi yang bermakna kasar.
2.2 Landasan Teori