2.2.1 Teori Kesantunan Berbahasa
Salah satu hal yang penting untuk diperhatikan ketika berkomunikasi adalah menjaga sopan santun, khususnya sopan santun berbahasa. Di dalam sopan santun
berbahasa itulah sesungguhnya sikap hormat penutur kepada mitra tutur akan tercermin. Agar pemahaman kita semakin jelas tentang wujud bahasa yang santun
dan wujud bahasa yang tidak santun, berikut akan disajikan berbagai teori atau
pandangan dari beberapa ahli mengenai kesantunan berbahasa.
Pranowo dalam bukunya Berbahasa Secara Santun 2009 menyatakan bahwa setiap penutur dapat berbahasa santun dengan cara seperti berikut: 1
Menggunakan tuturan tidak langsung biasanya terasa lebih santun jika dibandingkan dengan tuturan yang diungkapkan secara langsung, 2 pemakaian
bahasa dengan kata-kata kias terasa lebih santun dibandingkan dengan pemakaian bahasa dengan kata-kata ligas, 3 ungkapan memakai gaya bahasa penghalus
terasa lebih santun dibandingkan dengan ungkapan biasa, 4 tuturan yang dikatakan berbeda dengan yang dimaksud biasanya tuturan lebih santun, 5
tuturan yang dikatakan secara implisit biasanya lebih santun dibandingkan dengan tuturan yang dikatakan secara eksplisit. Cara-cara tersebut dapat digunakan sesuai
dengan keperluan diri penutur untuk menciptakan kesantunan dalam
berkomunikasi. Kesantunan berbahasa memang sangat perlu dilakukan, karena
kesantunan merupakan salah satu hasil kebudayaan yang diwariskan oleh nenek moyang. Budaya berbahasa yang santun itu diciptakan agar tercipta suatu sikap
saling menghormati dan menghargai.
Grice dalam Pranowo 2009 mengajukan 4 kaidah agar tuturan dapat menjadi santun yaitu: prinsip kerja sama yang meliputi a prinsip kualitas jika
berbahasa, apa yang dikatakan harus didukung oleh data, b prinsip kuantitas jika berbahasa, apa yang dikatakan cukup seperlunya saja, tidak ditambah dan
tidak dikurangi, c prinsip relevansi jika berbahasa, yang dikatakan harus ada relevansinya dengan pokok yang dibicarakan, dan d prinsip cara jika
berbahasa, disamping harus memikirkan pokok masalah yang dibicarakan, juga bagaimana cara menyampaikannya. Pemikiran Grice ini dikatakan cukup baik,
setidaknya sudah mulai memikirkan perlunya ada kaidah berbahasa diluar kaidah tata bahasa. Namun, jika dicermati, pemikiran Grice tersebut hanya cocok untuk
menyampaikan informasi, tetapi justru dapat mengancam keharmonisan hubungan sosial. Sejalan dengan pendapat austin di atas adalah pedapat Searle 1979.
Searle menyatakan bahwa dalam satu tindak tutur sekaligus terkandung tiga macam tindakan yaitu 1 pengujaran berupa kata atau kalimat, 2 tindak
proposisional berupa acuan dan prediksi, 3 tindak ilokusi dapat berupa
pernyataan, pertanyaan, janji, perintah, dan sebagainya.
Untuk melengkapi teori Grice, Leech 1983 dalam bukunya mengajukan 7 prinsip kesantunan yang disebut dengan istilah maksim yaitu a maksim
kebijaksanaan, b maksim kedermawanan, c maksim pujian, d maksim kerendahan hati, e maksim kesetujaun, f maksim simpati, g maksim
pertimbangan. Prinsip kesantunan Leech ini oleh beberapa ahli pragmatik dipandang sebagai usaha ”menyelamatkan muka Grice, karena prinsip kesantunan
Grice sering tidak dipatuhi daripada diikuti di dalam praktik penggunaan bahasa
yang sebenarnya. Hal ini terjadi karena cooperative principles Grice hanya cocok untuk berkomunikasi secara formal. Berhubungan dengan bermacam-macam
maksud yang dikomunikasikan oleh penutur dalam suatu tuturan, Leech 1983 mengemukakan sejumlah aspek yang senantiasa harus dipertimbangkan dalam
rangka studi pragmatik. Adapun aspek-aspek situasi tuturan itu meliputi : 1 penutur atau penulis dan lawan tutur atau penyimak, 2 konteks tuturan, 3
tujuan tuturan, 4 tuturan sebagai bentuk tindakan atau aktivitas, dan 5 tuturan sebagai produk tindak verbal Wijaya:27- 31.
Dengan mengacu pendapat Leech 1983, Tarigan 1987:34-37 mengemukakan lima aspek situasi tuturan, yaitu pembicara atau penulis dan
penyimak atau pembaca, konteks tuturan, tujuan tuturan, tindak lokusi, dan ucapan sebagai produk tindak verbal. Berdasarkan uraian tersebut, dapat
disimpulkan bahwa selain unsur waktu dan tempat, unsur yang paling penting dalam suatu tuturan adalah aspek-aspek tuturan itu sendiri. Manfaat dari aspek-
aspek situasi tuturan adalah memudahkan dalam menentukan hal-hal yang tergolong dalam bidang kajian pragmatik. Selain aspek-aspek tuturan itu, dalam
tindak komunikasi seharusnya antara penutur dan lawan tutur saling mengetahui faktor-faktor penentu tindak komunikasi. Adapun faktor-faktor penentu tindak
komunikasi meliputi : 1 siapa yang berbahasa dengan siapa, 2 untuk tujuan apa, 3 dalam situasi apa, 4 dalam konteks apa, 5 jalur yang mana, 6 media
apa, dan 7 dalam peristiwa apa Suyono 1990:3. Dell Hymes 1978 dalam Pranowo 2009: 100 menyatakan bahwa ketika
seseorang berkomunikasi hendaknya memperhatikan beberapa komponen tutur
yang diakronimkan dengan istilah SPEAKING. Masing-masing akronim merupakan inisial dari istilah-istilah berikut: S setting and scene latar mengacu
pada tempat dan waktu terjadi komunikasi. P participants peserta mengacu pada orang yang terlibat dalam komunikasi O1 dan O2. E ends tujuan
komunikasi mengacu pada tujuan yang ingin dicapai dalam komunikasi. A act sequence pesan yang ingin disampaikan mengacu pada bentuk dan pesan yang
ingin. Bentuk pesan dapat disampaikan dalam bahasa tulisan atau bahasa lisan misalnya, berupa permintaan, sedangkan isi pesan adalah wujud permintaan. K
key kunci mengacu pelaksanaan percakapan. Maksudnya, bagaimana pesan itu disampaikan kepada mitra tutur cara penyampai. N norms norma yaitu
pranata sosial kemasyarakatan yang mengacu pada norma perilaku partisipan dalam berkomunikasi. G genres ragam, register mengacu pada ragam bahasa
yang digunakan, misalnya ragam formal, ragam santai dan sebagainya. Austin 1978 dalam Pranowo 2009: 106 ujaran dalam tindak
komunikasi selalu mengandung tiga unsur yaitu 1 tindak lokusi berupa ujaran yang dihasilkan oleh seorang penutur, 2 tindak ilokusi berupa maksud yang
terkandung dalam ujaran. Dan 3 tindak perlokusi berupa efek yang ditimbulkan oleh ujaran. Searle menyatakan bahwa dalam satu tindak tutur sekaligus
terkandung tiga macam tindakan yaitu pengujaran yaitu 1 pengujaran utterance act berupa kata atau kalimat, 2 tindak proposisi proposisional act berupa
acuan dan prediksi, dan 3 tindak lokusi illocutionary act dapat berupa pernyataan, pertanyaan, janji, perintah, dan sebagainya. Efek komunikatif
perlokusi atau tindak proposisional itulah yang kadang-kadang memiliki dampak
terhadap perilaku masyarakat. Hal-hal yang bersifat perlokutif inilah yang biasanya muncul dari maksud yang berada di balik tuturan implikatur.
2.3 Prinsip Kesantunan Leech