Film Sebagai Komunikasi Massa Teori Konstruksi Realitas Sosial

BAB II KAJIAN PUSTAKA

2.1 Landasan Teori

2.1.1 Film Sebagai Komunikasi Massa

Film juga dianggap sebagai media massa kerana ia merupakan alat yang digunakan untuk mengkomunikasikan sesuatu muatan yang mempunyai kepentingan awam. Disamping itu, jumlah audiens nya bersifat massa, beragam dan luas. Film sebagai alat komunikasi massa yang kedua muncul di dunia mempunyai massa pertumbuhannya pada akhir abad ke 19 dengan perkataan lain pada waktu unsur- unsur yang merintangi perkembangan surat kabar yang dibikin lenyap. Ini berarti bahwa dari permulaan sejarahnya Film dengan lebih mudah dapat menjadi alat komunikasi yang sejati, karena ia tidak mengalami unsur teknik, politik, ekonomi, sosial dan demografi yang merintangi kemajuan surat kabar pada masa pertumbuhannya dalam abad ke-18 dan permulaan abad ke-19. Film mencapai masa puncaknya di antara perang dunia I dan perang dunia II, namun merosot tajam setelah tahun 1945, seiring dengan munculnya medium televisi Oey Hong Lee dalam Sobur, 2003 : 126. Pengertian film menurut Undang – undang nomor 33 tahun 2009 tentang perfilman, pasal 1. Film adalah karya seni budaya yang merupakan pranata 10 sosial dan media komunikasi massa yang dibuat berdasarkan kaidah sinematografi dengan atau tanpa suara dan dapat dipertunjukkan. Film merupakan alat bagi sutradara untuk menyampaikan sebuah pesan bagi pemirsanya. Film pada umumnya juga mengangkat sebuah tema atau fenomena yang terjadi di tengah-tengah masyarakat. Karakteristik film sebagai show bussines merupakan bentuk baru dari perkembangan pasar .Mc Quail, 1987.

2.1.2 Teori Konstruksi Realitas Sosial

Film adalah potret dari masyarakat dimana film itu dibuat. Film selalu merekam realitas yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat dan memproyeksikannya ke dalam layar. Irawanto dalam Alex Sobur 2002 : 127. Teori realitas sosial ini diperkenalkan oleh Peter L Berger, seorang sosiolog interpretative. Bersama Thomas Luckman, ia menulis sebuah risalat teoritis utamanya, The Social Construction Of Reality 1966. Menurut Berger, realitas sosial eksis dengan sendirinya dan dalam mode strukturalis, dunia dan social bergantung pada manusia sebagai sumber subyeknya. Bagi berger, relitas sosial secara objektif memang ada, tapi maknanya berasal oleh hubungan subyektif individu dengan dunia objektif. Poloma, 2000 : 299. Tesis utama dari Berger adalah manusia dan masyarakat adalah produk yang dialektis, dinamis dan plural secara terus-menerus. Masyarakat tidak lain adalah produk manusia, namun secara terus-menerus mempunyai aksi kembali terhadap penghasilannya. Sebaliknya manusia aalah hasil dari produk dari masyarakat. Eriyanto, 2002 : 130. Berger dan Luckman meringkas teori mereka dengan manyatakan realitas terbentuk secara sosial. Mereka mengakui realitas objektif, dengan membatasi realitas sebagai kausalitas yang berkaitan dengan fenomena yang kita anggap berada diluar kemampuan kita. Menurut Berger, kita semua mencari pengetahuan atau kepastian bahwa fenomena adalah riil adanya dan memiliki karakteristik yang khusus dalam kehidupan kita sehari-hari yang diabaikan, yang sebenarnya merupakan realitas yang teratur dan terpola, biasanya diterima begitu saja dan non-problematis, sebab dalam interaksi-interaksi yang terpola typified realitas sama-sama dimiliki leh orang lain. Akan tetapi berbeda dengan Garfinkel, Berger menegaskan bahwa realitas kehidupan sehari-hari memiliki dimensi-dimensi subyektif dan obyektif manusia merupakan proses instrument dalam menciptakan realitas sosial yang obyektif melalui proses internalisasi yang mencerminkan realitas subyektif. Dalam mode yang dialektis, berger melihat masyarakat sebagai produk manusia dan manusia sebagai produk masyarakat.Poloma, 2000 : 301 Bagi Berger, proses dialektis dalam konstruksi realitas sosial mempunyai tiga tahap : pertama eksternalisasi, yaitu, usaha pencurahan, ekspresi diri manusia kedalam dunia, bailk dalam Negara, mental maupun fisik. Kedua, obyektivikasi, yaitu hasil yang telah dicapai baik mental maupun fisik dari kegiatan eksternalisasi manusia. Hasil itu menghasilkan realitas obyektif yang bias jadi akan menghadapi penghasil itu sendiri sebagai suatu faktisitas yang berada diluar dan berlainan dari manusia yang menghasilkan. Ketiga, internalisasi yakni penyerapan kembali dunia kedalam kesadaran sedemikian rupa sehingga subyektif individu dipengaruhi oleh struktur dunia sosial. Berbagai macam unsur dunia yang terobyektifkan tersebut akan ditangkap sebagai gejala internal bagi kesadaran memlalui internalisasi, manusia menjadi hasil dari masyarakat. Eriyanto, 2002 : 14 Dalam sejarah umat manusia, obyektifikasi, internalisasi dan eksternalisasi merupakan tiga proses yang berjalan terus-menerus. Proses ini merupakan perubahan dialektis yang berjalan lambat, duluar sana tetap dunia sosial obyektif yang membentuk individu-individu dalam arti manusia dalam produk dari masyarakatnya. Beberapa dari dunia sosial ini eksis dalam bentuk hokum-hukum yang mencerminkan norma-norma sosial. Aspek lain dari realitas obyektif bukan sebagai realitas yang langsung dapat diketahui, tapi bisa mempengaruhi nilai-nilai sosial. Realitas obyektif ini diinternalisir oleh anak- anak melalui proses sosialisasi dan disaat dewasa merekapun tetap menginternalisir situasi-situasi baru yang mereka temui dalam duni sosialnya. Akan tetapi, manusi tidak seluruhnya ditentukan oleh lingkungan. Dengan kata lain, proses sosialisasi bukan merupakan suatu keberhasilan yang tuntas manusia memiliki peluang untuk mengeksternalisasi atau secara kolektif membentuk dunia sosial mereka. Eksternalisasi mengakibatkan terjadinya perubahan aturan sosial. Dengan demikian, masyarakat adalah produk manusia yang tak hanya dibentuk oleh masyarakat, tapi secara sadar atau tidak telah mencoba mengunah masyarakat itu. Poloma, 2000 : 316

2.1.3 Representasi