REPRESENTASI KEKERASAN DALAM FILM “PUNK IN LOVE” (Studi Semiotik Tentang Representasi Kekerasan Dalam Film “Punk In Love”).

(1)

OLEH :

CLAUDITA SASTRIS PASKANONKA NPM. 0643010048

JURUSAN ILMU KOMUNIKASI

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

YAYASAN KESEJAHTERAAN PENDIDIKAN DAN PERUMAHAN UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “VETERAN” JAWA TIMUR

SURABAYA 2010


(2)

Puji syukur kehadirat Tuhan Yesus Kristus, atas limpahan berkat, Nikmat, serta Karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul REPRESENTASI KEKERASAN DALAM FILM “PUNK IN LOVE” (Studi Analisis Semiotik Tentang Representasi Kekerasan Dalam Film “PUNK IN LOVE”)

Terima kasih penulis ucapkan kepada bapak Zainal Abidin Achmad, M.Si, M.Ed sebagai dosen pembimbing yang telah memberikan pengarahan dalam penyusunan skripsi ini dan pada kesempatan ini juga penulis juga akan menyampaikan ucapan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada pihak – pihak yan telah memberikan bantuan dan dukungan dalam penyusunan laporan ini baik moral maupun tenaga antara lain :

1. Ibu Dra.Hj.Suparwati, MSi selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur.

2. Bapak Juwito, S.Sos, M.Si selaku Ketua Program Studi Ilmu Komunikasi Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur.

3. Seluruh dosen FISIP khusunya Dosen Ilmu Komunikasi, yang telah bersedia untuk mengajarkan semua hal – hal yang berharga dan tak ternilai.

4. Untuk keluargaku yang telah memberiku semuanya, cinta, perlindungan, waktu. Dan untuk adikku terimakasih telah menjadi inspirasiku, I believe Jesus always care u.


(3)

v

Penulis sepenuhnya menyadari, banyak sekali terdapat kekurangan dalam penyusunan Proposal ini, untuk itu segala bentuk saran dan kritik yang membangun sangat diharapkan oleh penulis.

Skripsi ini adalah sebuah wujud terima kasih dan persembahan penulis untuk seluruh pembaca, sebagai bentuk kecintaan dan penghargaan penulis terhadap ilmu pengetahuan, juga dengan harapan besar semoga laporan ini dapat memberikan pengetahuan dan manfaat bagi semua yang membutuhkan. Terima kasih.

Sidoarjo, 2 Maret 2010


(4)

HALAMAN PERSETUJUAN DAN

PENGESAHAN UJIAN SKRIPSI………...ii

HALAMAN PERSETUJUAN DAN PENGESAHAN SKRIPSI………...iii

KATA PENGANTAR...iv

DAFTAR ISI...vi

DAFTAR LAMPIRAN...ix

DAFTAR GAMBAR………....x

ABSTRAKSI………...…xi

BAB I PENDAHULUAN...1

1.1 Latar Belakang Masalah...1

1.2 Rumusan Masalah…….………...8

1.3 Tujuan Penelitian………...8

1.4 Manfaat Penelitian………...8

BAB II KAJIAN PUSTAKA...10

2.1 Landasan Teori………...10

2.1.1 Film Sebagai Komunikasi Massa...10

2.1.2 Teori Konstruksi Realitas Sosial...11

2.1.3 Representasi……...14

2.1.4 Kekerasan……….…,,,,,………..17

2.1.4.1 Definisi Kekerasan..………17


(5)

2.1.8 Pendekatan Semiotika Dalam Film-John Fiske……..28

2.1.9 Kerangka Berpikir………..30

BAB III Metode Penelitian……...31

3.1 Metode Penelitian………...31

3.2 Kerangka Konseptual...32

3.2.1 Corpus……….32

3.2.2 Definisi Operasional………...36

3.2.2.1 Representasi………36

3.2.2.2 Kekerasan………37

3.2.2.3 Kategori Kekerasan…….………37

3.3 Unit Analisis………..………38

3.4 Jenis Sumber Data………...39

3.4.1 Sumber Data Primer………39

3.4.2 Sumber Data Skunder……….40

3.5 Teknik Pengumpulan Data………..40

3.6 Teknik Analisis Data………...40

BAB IV Hasil dan Pembahasan 4.1 Gambaran Umum Dan Objek Penelitian Data………42

4.1.1 Gambaran Umum Film Punk In Love………42

4.1.2 Penyajian Data………43

4.2 Analisis Data………...46 vii


(6)

DAFTAR PUSTAKA...81 LAMPIRAN – LAMPIRAN...85 GAMBAR – GAMBAR….………...99


(7)

Lampiran 1. Ody .C. Harahap : Berlaku Kejam Demi Totalitas

Lampiran 2. Ungkap Sisi Positif Komunitas Punk

Lampiran 3. Punk Pink Prank PoP (Punk In Love 2009)

Lampiran 4. Pasal-pasal tentang kekerasan dalam Standar Program Penyiaran (SPS) 2009

Lampiran 5. Pasal-pasal tentang kekerasan dalam Undang-Undang No.33 2009 tentang perfilman


(8)

Gambar 4.2 Yoji melakukan kekerasan psikologis terhadap grup musik dangdut Gambar 4.3 Arok, Yoji, Mojo dan Almira tengah memeras tukang sate

Gambar 4.5 Mojo, Arok dan Almira tengah mengolok Yoji Gambar 4.6 Ekspresi Arok saat melakukan kekerasan spiritual

Gambar 4.7 Arok merobek dan mengambil paksa pembalut untuk Almira Gambar 4.8 Ketika Arok, Yoji, Mojo dan Almira ditolak di suatu klinik Gambar 4.9 Perkelahian Arok, Yoji, Mojo dan Almira dengan preman stasiun


(9)

Kekerasan Dalam Film “Punk In Love”)

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana kekerasan direpresentasikan dalam film melalui tokoh-tokoh utama.

Film ini merupakan penelitian kualitatif dengan menggunakan metode semiotik. Pendekatan semiotik yang dikemukakan John Fiske (grammar and tv culture) melalui level realitas, level representasi, dan level ideologi.

Data dibagi menjadi tiga level yaitu level realitas, level representasi dan level ideologi. Pada level realitas, dianalisis penandaan yang terdapat pada kostum, make up, setting dan dialog. Pada level representasi dianalisis penandaan pada level kerja kamera, pencahayaan dan penataan suara. Pada ideologi dianalisis penandaan terhadap ideologi yang terkandung dalam film. Teori-teori yang digunakan antara lain Teori Konstruksi Realitas Sosial,  Kekerasan,  Kategori kekerasan,  Kekerasan Dalam Media,  Respon Psikologi Warna, Semiotika,  Representasi, Efek Media Massa Dalam Kehidupan Masyarakat. 

Dari hasil analisis data dari penelitian ini dapat disimpulkan dalam film yang diteliti ternyata dijumpai perilaku kekerasan spiritual, kekerasan fungsional, kekerasan prikologis, kekerasan seksual, dan kekerasan finansial. Kekerasan tersebut dilakukan karena latar belakang ekonomi atau kemiskinan yang dialami tokoh-tokoh utama dan kekerasan yang dihadirkan merupakan bumbu penyedap dan sarana humor dari film ini.

Kata kunci :


(10)

1.1 Latar Belakang Masalah

Film merupakan aktualisasi perkembangan kehidupan masyarakat pada masanya. Dari zaman ke zaman film mengalami perkembangan, baik dari teknologi yang digunakan maupun tema yang diangkat. Bagaimanapun, film telah merekam sejumlah unsur-unsur budaya yang melatar belakanginya. Termasuk pemakaian bahasa yang tampak pada dialog antar tokoh dalam film.

Film merupakan salah satu media komunikasi massa yang sudah sangat dikenal. Dengan caranya sendiri, film memiliki kemampuan untuk mengantar pesan secara unik; dapat juga dipakai sebagai sarana pameran bagi media lain dan juga sebagai sumber budaya yang berkaitan erat dengan buku, film kartun, bintang televisi, film seri, serta lagu (McQuail, 1987 : 14).

Dalam perkembangan media komunikasi masa sekarang ini, film menjadi salah satu media yang efektif untuk menyampaikan pesan-pesan. Film berperan sebagai sarana modern yang digunakan untuk menyebarkan hiburan yang sudah menjadi kebiasaan dan diakrabi oleh khalayak umum. Di samping itu film juga menyajikan cerita, peristiwa, musik, drama, komedi, dan sajian lainnya kepada masyarakat umum.

Film sebagai salah satu jenis media massa yang menjadi saluran berbagai macam gagasan, konsep, serta dapat memunculkan dampak dari penayangannya.


(11)

Ketika seseorang melihat sebuah film, maka pesan yang disampaikan oleh film tersebut secara tidak langsung akan berperan dalam pembentukan persepsi seseorang terhadap maksud pesan dalam film. Seorang pembuat film merepresentasikan ide-ide yang kemudian dikonversikan dalam sistem tanda dan lambang untuk mencapai efek yang diharapkan.

Graeme Turner mengungkapkan bahwa film tidak hanya sekedar refleksi dari realitas. Sebaliknya”Film lebih merupakan representasi atau gambaran dari realitas, film membentuk dan ”menghadirkan kembali” realitas berdasarkan kode-kode, konvensi-konvensi,dan ideologi dari kebudayaannya. ” (Sobur, 2006 : 127) .

Salah satu gambaran dari realitas yang berlaku ditengah masyarakat salah satunya adalah kekerasan. Gambaran dari realitas ini tercermin jelas dalam film-film yang tengah beredar di masyarakat. Bisa di bilang hampir semua film-film mengandung unsur kekerasan, bahkan film katun pun syarat dengan adegan kekerasan.

Muatan-muatan yang seharusnya tidak diperbolehkan untuk dimasukkan dalam sebuah film sudah diatur jelas dalam Undang-Undang Perfilman maupun peraturan yang dibuat KPI (Komisi Penyiaran Indonesia). Tetapi peraturan tersebut tidak menjadikan beberapa pembuat film untuk melakukan tanggung jawab tersebut. Pelanggaran-pelanggaran kekerasan ini ditampilkan tidak hanya berupa bentuk non-verbal tetapi juga dari sisi verbal dalam sebuah film. Kekerasan merujuk pada tindakan agresi dan pelanggaran (penyiksaan, pemerkosaan, pemukulan, dll.) yang menyebabkan atau dimaksudkan untuk


(12)

menyebabkan penderitaan atau menyakiti orang lain, dan hingga batas tertentu - kepada binatang dan harta-benda. Istilah "kekerasan" juga berkonotasi kecenderungan agresif untuk melakukan perilaku yang merusak(http://id.wiki.detik.com/wiki/Tindakan_kekerasan).

Jika didalam film menampilkan adegan yang mengandung kekerasan, maka akan berdampak negatif bagi penontonnya, karena bukan tidak mungkin bagi merekan untuk meniru apa yang dilihatnya dalam film.

Dalam perkembangannya, film di Indonesia dimonopoli oleh film yang mengangkat tema seputar remaja. Hal ini disebabkan karena pangsa pasar di Indonesia sebagian besar adalah remaja. Oleh karena itu, industri perfilman di Indonesia memiliki tendensi memproduksi film-film populer yang bersifat komersial, sehingga banyak film yang mengesampingkan estetika dan pesan moral yang hendak disampaikan.

Film remaja Indonesia tidak terlepas dari perkembangan remaja di Indonesia itu sendiri. Apabila ditinjau lebih lanjut, masa remaja merupakan masa kehidupan manusia yang paling menarik dan mengesankan. Masa remaja mempunyai ciri antara lain, petualangan, pengelompokan, dan kenakalan. Ciri ini tercermin juga dalam bahasa mereka. Keinginan untuk membuat kelompok eksklusif menyebabkan mereka menciptakan bahasa rahasia (Sumarsana dan Partana, 2002:150).

Pelanggaran berupa pemberian muatan kekerasan dalam film ini sama yang terjadi pada film remaja yang berjudul Punk in Love. Film ini mulai di


(13)

tayang kan di bioskop-bioskop Indonesia pada 9 Juli 2009. Film ini menceritakan perjuangan Arok yang diperankan Vino G. Bastian untuk menyatakan cinta kepada Maia yang diperankan oleh Girindra kara yang 5 hari lagi mau dipersunting cowok lain. Dalam perjalana dari Malang menuju Jakarta Arok ditemani Yoji (Andhika Pratama), Mojo (Yogi Finanda), dan Almira (Aulia Sarah). Sekumpulan sahabat ini memilih sub-kultur punk sebagai jalan hidup nya. Bermodal duit alakadarnya, empat sekawan ini lalu nekad berangkat ke Jakarta dengan misi menggagalkan pernikahan Maia-Andra. Berbagai rintangan mereka lalui termasuk nyasar ke Bromo, terjebak banjir di Semarang, mendadak sakit di Cirebon, sampai digebuki preman di Jakarta. Semua halangan ini bukannya membuat mereka patah semangat, tapi malah bikin persahabatan mereka makin erat.

Punk In Love memang bukan film tentang anak punk. Bukan juga film tentang cinta. Film garapan sutradara Ody C Harahap ini adalah film tentang persahabatan. Cuma kebetulan empat sekawan ini berdandan ala anak punk. Buktinya, meski suka musik punk, salah satu dari mereka diam-diam juga suka dangdut.

Cuma ada beberapa adegan yang mengisyaratkan ke-punk-an para tokoh utama, misalnya sebatas celetukan-celetukan seperti, “Anak punk kok pake baju basket?” dan satu adegan saat mereka tiba-tiba membahas filosofi punk.

Karena menceritakan sekumpulan anak punk yang berdomisili di kota Malang, maka dalam film ini banyak menggunakan dialog-dialog bahasa jawa.


(14)

Dan dimana anak punk di stereotype kan sebagai anak yang liar, kriminal, pemberontak dan semua yang berbau negative maka penggambaran dalam film ini berusaha memasukan unsur-unsur itu. Tak hanya dari sisi non-verbal dari sisi verbal pun banyak memakai umpatan-umpatan khas orang jawa yang bernada sarkasme.

Film ini termasuk salah satu film yang bermasalah karena dalam penayangan nya melanggar ketentuan yang diatur dalam Pasal 26 Peraturan Komisi Penyiaran Indonesia Nomor 03/P/KPI/12/2009 tentang standar program siaran, dalam pasal tersebut memuat ketentuan bahwa Program siaran dilarang membenarkan kekerasan dan sadisme sebagai hal yang lumrah dalam kehidupan sehari-hari. Adegan yang melanggar diantaranya adalah menampilkan secara detil (big close up, medium close up, extreme close up) korban yang berdarah-darah, menampilkan adegan penyiksaan secara close up dengan atau tanpa alat (pentungan/pemukul, setrum, benda tajam) secara nyata. Dan pada pasal 27 yang memuat tentang pelarangan kata-kata kasar dan makian baik diungkapkan secara verbal maupun non-verbal yang mempunyai kecenderungan menghina/merendahkan martabat manusia, memiliki makna jorok/mesum/cabul/vulgar, serta menghina agama dan Tuhan. Dan di dalam nya di jabarkan dengan jelas kategori kata-kata yang mempunyai kecenderungan menghina/merendahkan martabat manusia mulai dari kata-kata kasar ataupun umpatan, kata yang bermakna kelamin laki atau kelamin perempuan,


(15)

kata-kata yang bermakna hubungan seks/persetubuhan; dan/atau, kata-kata-kata-kata yang bermakna kotoran manusia atau hewan dan

Serta disebutkan dalam Pasal 6f Undang-Undang Nomor 33 tahun 2009 tentang perfilman juga disebutkan bahwa Film yang menjadi unsur pokok kegiatan perfilman dan usaha perfilman dilarang mengandung isi yang merendahkan harkat dan martabat manusia.

Dalam film Punk In Love ini sarat dengan adegan-adegan yang menggunakan kekerasan verbal yang ditujukan baik untuk merendahkan martabat manusia ataupun hanya sekedar umpatan-umpatan. Pada salah satu adegan terlihat ketika Yoji di ejek teman-teman nya ketika mengetahui dulunya Yoji adalah model yang bertentangan dengan idealisme punk yang anti kemapanan. Di situ Yoji terlihat kesal dengan ejekan temannya dan mengeluarkan kata-kata “taek kon kabeh..tak dungak no cangkem mu gak mbalik”. Pada umpatan tersebut di gambarkan teman-teman nya di samakan dengan kotoran yang mempunyai makna negatif.

Film ini menuai kritik dari khalayak nya, seperti sebuah kritik yang di lontarkan melalui sebuah sumber berikut :

“Tapi sayang, memirsa film ini saya malah jadi agak miris karena membayangkan penonton film ini akhirnya mudah untuk hanya sampai pada pemahaman-pemahaman yang dangkal dan negatif. Hanya sampai pada batas mengetahui bahwa yang dimaksud Punk itu adalah potongan rambut ala Indian, perilaku kasar, liar, dan... jorok.Sungguh patut disayangkan. Karena dalam kondisi masyarakat yang semakin modern seperti sekarang ini, sesungguhnya kita tak lagi membutuhkan sikap-sikap prejudice semacam itu. Poin


(16)

lain yang sebenarnya bisa menjadi kekuatan film ini, adalah keberanian untuk menghadirkan sisi kedaerahan dalam sosok anak muda Indonesia. Memilih kota non-metropolitan seperti Malang sebagai lokasi asal keempat sosok tokoh sentral dalam cerita ini, serta keberanian untuk menggunakan bahasa Jawa kasar dalam banyak dialog tokoh-tokohnya, bukanlah hal yang pantas ditemukan dalam film Indonesia yang market (pasarnya) ditujukan bagi remaja.” (http://www.apakabar.ws).

Untuk itu peneliti menggunakan metode analisis semiotik sebagai alat analisis. Sebuah metode yang mempelajari tentang tanda dan lambang. Penggunaan metode ini didasarkan atas kenyataan bahwa film adalah suatu bentuk pesan komunikasi. Komunikasi sendiri adalah suatu proses simbolik, yakni penggunaan lambang-lambang yang diberi makna. Lambang atau simbol adalah sesuatu yang digunakan untuk menunjuk atau mewakili sesuatu lainnya berdasar kesepakatan bersama. Tetapi, lambang pada dasarnya tidak mempunyai suatu makna pada satu lambang. Sedangkan semiotika menaruh perhatian pada apapun yang dinyatakan sebagai tanda. Sebuah tanda adalah semua hal yang mempunyai arti penting untuk menggantikan sesuatu yang lain. Sesuatu yang lain itu tidak perlu harus ada, atau tanda itu secara nyata ada di suatu tempat pada suatu waktu tertentu (Berger 2000:11-12).

Sistem semiotika yang lebih peting lagi dalam film adalah di gunakannya tanda-tanda ikonis, yaitu tanda-tanda yang menggambarkan sesuatu. Para semilog memandang film, program televisi, poster, iklan dan bentuk lainnya sebagai semacam teks linguistik. Dalam hal ini film bertugas untuk memperluas bahasa (Barthes, dalam Kurniawan 2001:53).


(17)

1.2 Rumusan Masalah

Beradasarkan uraian latar belakang masalah yang telah dipaparkan di atas maka dapat dikemukakan perimusan masalah sebagai berikut :

“Bagaimana representasi kekerasan pada film “Punk in Love” yang di perankan melalui aktor-aktor utamanya ? “

1.3 Tujuan penelitian

Tujuan yang ingin dicapai peneliti dalam penelitian skripsi ini adalah untuk mengetahui Representasi kekerasan melalui aktor-aktor utama.

1.4 Manfaat penelitian 1. Secara teoritis yaitu

Hasil penelitian diharapkan dapat mnambah kajian pemikiran bagi pengembangan ilmu komunikasi terutama berkaitan dengan pengembangan studi analisis semiotika.

2. Secara praktis yaitu

Dapat digunakan menjadi sumber informasi bagi penelitian selanjutnya. Selain itu hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan masukan kepada khalayak untuk lebih selektif dalam memilih film yang sesuai dengan etika yang


(18)

belaku di tengah masyarakat dan juga bagi dunia perfilman indonesia agar memperhatikan etika-etika yang berlaku dalam pembuatan suatu film.


(19)

2.1 Landasan Teori

2.1.1 Film Sebagai Komunikasi Massa

Film juga dianggap sebagai media massa kerana ia merupakan alat yang digunakan untuk mengkomunikasikan sesuatu muatan yang mempunyai kepentingan awam. Disamping itu, jumlah audiens nya bersifat massa, beragam dan luas.

Film sebagai alat komunikasi massa yang kedua muncul di dunia mempunyai massa pertumbuhannya pada akhir abad ke 19 dengan perkataan lain pada waktu unsur- unsur yang merintangi perkembangan surat kabar yang dibikin lenyap. Ini berarti bahwa dari permulaan sejarahnya Film dengan lebih mudah dapat menjadi alat komunikasi yang sejati, karena ia tidak mengalami unsur teknik, politik, ekonomi, sosial dan demografi yang merintangi kemajuan surat kabar pada masa pertumbuhannya dalam abad ke-18 dan permulaan abad ke-19. Film mencapai masa puncaknya di antara perang dunia I dan perang dunia II, namun merosot tajam setelah tahun 1945, seiring dengan munculnya medium televisi (Oey Hong Lee dalam Sobur, 2003 : 126).

Pengertian film menurut Undang – undang nomor 33 tahun 2009 tentang perfilman, pasal 1. Film adalah karya seni budaya yang merupakan pranata

10   


(20)

sosial dan media komunikasi massa yang dibuat berdasarkan kaidah sinematografi dengan atau tanpa suara dan dapat dipertunjukkan.

Film merupakan alat bagi sutradara untuk menyampaikan sebuah pesan bagi pemirsanya. Film pada umumnya juga mengangkat sebuah tema atau fenomena yang terjadi di tengah-tengah masyarakat. Karakteristik film sebagai show bussines merupakan bentuk baru dari perkembangan pasar .(Mc Quail, 1987).

2.1.2 Teori Konstruksi Realitas Sosial

Film adalah potret dari masyarakat dimana film itu dibuat. Film selalu merekam realitas yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat dan memproyeksikannya ke dalam layar. (Irawanto dalam Alex Sobur 2002 : 127).

Teori realitas sosial ini diperkenalkan oleh Peter L Berger, seorang sosiolog interpretative. Bersama Thomas Luckman, ia menulis sebuah risalat teoritis utamanya, The Social Construction Of Reality (1966). Menurut Berger, realitas sosial eksis dengan sendirinya dan dalam mode strukturalis, dunia dan social bergantung pada manusia sebagai sumber subyeknya. Bagi berger, relitas sosial secara objektif memang ada, tapi maknanya berasal oleh hubungan subyektif (individu) dengan dunia objektif. (Poloma, 2000 : 299).

Tesis utama dari Berger adalah manusia dan masyarakat adalah produk yang dialektis, dinamis dan plural secara terus-menerus. Masyarakat tidak lain adalah produk manusia, namun secara terus-menerus mempunyai aksi kembali


(21)

terhadap penghasilannya. Sebaliknya manusia aalah hasil dari produk dari masyarakat. (Eriyanto, 2002 : 130).

Berger dan Luckman meringkas teori mereka dengan manyatakan realitas terbentuk secara sosial. Mereka mengakui realitas objektif, dengan membatasi realitas sebagai kausalitas yang berkaitan dengan fenomena yang kita anggap berada diluar kemampuan kita. Menurut Berger, kita semua mencari pengetahuan atau kepastian bahwa fenomena adalah riil adanya dan memiliki karakteristik yang khusus dalam kehidupan kita sehari-hari yang diabaikan, yang sebenarnya merupakan realitas yang teratur dan terpola, biasanya diterima begitu saja dan non-problematis, sebab dalam interaksi-interaksi yang terpola (typified) realitas sama-sama dimiliki leh orang lain. Akan tetapi berbeda dengan Garfinkel, Berger menegaskan bahwa realitas kehidupan sehari-hari memiliki dimensi-dimensi subyektif dan obyektif manusia merupakan proses instrument dalam menciptakan realitas sosial yang obyektif melalui proses internalisasi (yang mencerminkan realitas subyektif). Dalam mode yang dialektis, berger melihat masyarakat sebagai produk manusia dan manusia sebagai produk masyarakat.(Poloma, 2000 : 301)

Bagi Berger, proses dialektis dalam konstruksi realitas sosial mempunyai tiga tahap : pertama eksternalisasi, yaitu, usaha pencurahan, ekspresi diri manusia kedalam dunia, bailk dalam Negara, mental maupun fisik. Kedua, obyektivikasi, yaitu hasil yang telah dicapai baik mental maupun fisik dari kegiatan eksternalisasi manusia. Hasil itu menghasilkan realitas obyektif


(22)

yang bias jadi akan menghadapi penghasil itu sendiri sebagai suatu faktisitas yang berada diluar dan berlainan dari manusia yang menghasilkan. Ketiga, internalisasi yakni penyerapan kembali dunia kedalam kesadaran sedemikian rupa sehingga subyektif individu dipengaruhi oleh struktur dunia sosial. Berbagai macam unsur dunia yang terobyektifkan tersebut akan ditangkap sebagai gejala internal bagi kesadaran memlalui internalisasi, manusia menjadi hasil dari masyarakat. (Eriyanto, 2002 : 14)

Dalam sejarah umat manusia, obyektifikasi, internalisasi dan eksternalisasi merupakan tiga proses yang berjalan terus-menerus. Proses ini merupakan perubahan dialektis yang berjalan lambat, duluar sana tetap dunia sosial obyektif yang membentuk individu-individu dalam arti manusia dalam produk dari masyarakatnya. Beberapa dari dunia sosial ini eksis dalam bentuk hokum-hukum yang mencerminkan norma-norma sosial. Aspek lain dari realitas obyektif bukan sebagai realitas yang langsung dapat diketahui, tapi bisa mempengaruhi nilai-nilai sosial. Realitas obyektif ini diinternalisir oleh anak-anak melalui proses sosialisasi dan disaat dewasa merekapun tetap menginternalisir situasi-situasi baru yang mereka temui dalam duni sosialnya. Akan tetapi, manusi tidak seluruhnya ditentukan oleh lingkungan. Dengan kata lain, proses sosialisasi bukan merupakan suatu keberhasilan yang tuntas manusia memiliki peluang untuk mengeksternalisasi atau secara kolektif membentuk dunia sosial mereka. Eksternalisasi mengakibatkan terjadinya perubahan aturan sosial. Dengan demikian, masyarakat adalah produk manusia


(23)

yang tak hanya dibentuk oleh masyarakat, tapi secara sadar atau tidak telah mencoba mengunah masyarakat itu. (Poloma, 2000 : 316)

2.1.3 Representasi

Menurut John Fiske, yang dimaksud dengan representasi adalah sesuatu yang merujuk pada proses yang dengannya realitas disampaikan dalam komunikasi, via kata-kata, bunyi, citra atau kombinasinya (Fiske, 2004 : 282)

Representasi adalah konsep yang digunakan dalam proses sosial pemaknaan melalui sistem penandaan yang tersedia yakni dialog, tulisan, video, film, fotografi dan sebagainya. Konsep representasi bisa berubah- ubah. Selalu ada pemaknaan baru dan pandangan baru dalam konsep representasi yang sudah pernah ada. Karena makna sendiri juga tidak pernah tetap, ia selalu berada dalam proses negosiasi dan disesuaikan dengan situasi yang baru. Intinya adalah makna tidak inheren dalam sesuatu di dunia ini, ia selalu dikonstruksikan, diproduksi, lewat proses representasi. Ia adalah hasil dari praktek penandaan. Praktek yang membuat sesuatu hal bermakna sesuatu (Juliastuti, 2000 dalam http://kunci.or.id/esai/nws/04/representasi.htm).

Menurut Stuart Hall (1997), representasi adalah salah satu praktek penting yang memproduksi kebudayaan. Kebudayaan merupakan konsep yang sangat luas, kebudayaan menyangkut ‘pengalaman berbagi’. Seseorang dikatakan berasal dari kebudayaan yang sama jika manusia-manusia yang ada disitu membagi pengalaman yang sama, membagi kode-kode kebudayaan yang


(24)

sama, berbicara dalam ‘bahasa’ yang sama, dan saling berbagi konsep-konsep yang sama. Bahasa adalah medium yang menjadi perantara kita dalam memaknai sesuatu, memproduksi dan mengubah makna. Bahasa mempu melakukan semua ini karena ia beroperasi sebagai sistem representasi. Lewat bahasa (simbol-simbol dan tanda tertulis, lisan, atau gambar) kita mengung-kapkan pikiran, konsep, dan ide-ide kita tentang sesuatu. Makna sesuatu hal sangat tergantung dari cara kita ‘merepresentasikannya’. Dengan mengamati kata-kata yang kita gunakan dan imej-imej yang kita gunakan dalam merepresenta-sikan se-suatu bisa terlihat jelas nilai-nilai yang kita berikan pada se-suatu tersebut. Untuk menjelaskan bagaimana representasi makna lewat bahasa bekerja, kita bisa memakai tiga teori representasi yang dipakai sebagai usaha untuk menjawab pertanyaan: darimana suatu makna berasal? bagaimana kita membedakan antara makna yang sebenarnya dari sesuatu atau suatu imej dari sesuatu? Yang pertama adalah pendekatan reflektif. Di sini bahasa berfungsi sebagai cermin, yang merefleksikan makna yang sebenarnya dari segala sesuatu yang ada di dunia. Kedua adalah pendekatan intensional, dimana kita menggunakan bahasa untuk mengkomunikasikan sesuatu sesuai dengan cara pandang kita terhadap sesuatu. Sedangkan yang ketiga adalah pendekatan konstruksionis. Dalam pendekatan ini kita percaya bahwa kita mengkonstruksi makna lewat bahasa yang kita pakai. (http://www.fathurin-zen.com)

Menurut Stuart Hall, ada dua proses representasi. Pertama, representasi mental. Yaitu konsep tentang ‘sesuatu’ yang ada di kepala kita masing-masing


(25)

(peta konseptual). Representasi mental ini masih berbentuk sesuatu yang abstrak. Kedua, ‘bahasa’, yang berperan penting dalam proses konstruksi makna. Konsep abstrak yang ada dalam kepala kita harus diterjemahkan dalam ‘bahasa’ yang lazim, supaya kita dapat menghubungkan konsep dan ide-ide kita tentang sesuatu dengan tanda dan simbol-simbol tertentu. Proses pertama memungkinkan kita untuk memaknai dunia dengan mengkonstruksi seperangkat rantai korespondensi antara sesuatu dengan sistem ‘peta konseptual’ kita. Dalam proses kedua, kita mengkonstruksi seperangkat rantai korespondensi antara ‘peta konseptual’ dengan bahasa atau simbol yang berfungsi merepresentasikan konsep-konsep kita tentang sesuatu. Relasi antara ’sesuatu’, ‘peta konseptual’, dan ‘bahasa/simbol’ adalah jantung dari produksi makna lewat bahasa. (http://www.fathurin-zen.com)

Kosep representasi bisa berubah-ubah selalu ada pemaknaan baru dan pandangan baru dalam konsep representasi yang sudah pernah ada. Intinya adalah makna akan inheren dalam suatu dunia ini, ia selalu di komnstrukskan, diproduksi, lewat proses representasi. Ia adalah hasil dari praktek penandaan. Prektek yang membuat sesuatu hal bermakna sesuatu.

Konsep representasi pada penelitian ini merujuk pada pengertian tentang bagaimana seseorang, sebuah kelompok atau sebuah gagasan ditujukan dalam media massa (Eriyanto, 2001 : 113). Dalam film, alat-alat representasi itu sebuah narasi besar, cara bercerita, scenario, penikohan, dialog dan beberapa unsure lain didalamnya. Menurut Graeme Turner (1991 : 128), makna film


(26)

sebagai representasi dari realitas. Sebagai refleksi dari realitas, film sekedar memindah ke layar tanpa mengubah realitas itu. Sementara sebagai representasi dari realitas, film membentuk dan menghadirkan kembali realitas berdasarkan kode-kode, konvoi-konvoi ada ideology kebudayaannya. (Irawanto, 1999 : 15)

2.1.4 Kekerasan 2.1.4.1 Definisi Kekerasan

Yang dimaksud dengan “kekerasan” disini adalah yang biasa diterjemahkan dari violence. Violence berkaitan erat dengan gabungan kata Latin “vis” (daya, kekuatan) dan “latus” (yang berasal dari ferre, membawa) yang kemudian berarti membawa kekuatan. R. Audi “merumuskan “violence” sebagai “serangan atau penyalahgunaan fisik terhadap seseorang atau binatang; atau serangan, penghancuran, perusakan yang sangat keras, kasar, kejam dan ganas atas milik atau sesuatu yang secara potensial dapat menjadi milik seseorang” (Windhu, 1992 : 62).

Kekerasan adalah kekuatan yang sedemikian rupa dan tanpa aturan yang memukul dan melukai bagi jiwa maupun badan, kekerasan juga mematikan entah juga memisahkan orang dari kehidupanya. Melalui penderitaan atau kesengsaraan yang diakibatkanya, kekerasan tampak sebagai representasi kejahatan yang diderita manusia, tetapi bisa juga ia lakukan kepada orang lain.

Dalam kekerasan terkandung unsur dominasi pihak lain dalam berbagai bentuk ; fisik, verbal, moral, psikologis atau melalui gambar. Penggunaan


(27)

kekuatan, manipulasi, fitnak, pemberitaan yang tidak benar, pengkondisian yang merugikan, kata-kata yang memojokan, dan penghinaan merupakan ungkapan nyata kekerasan. Logika kekerasan merupakan logika kematian kerana bisa melukai tubuh, melikai secara psikologis, merugikan, dan bisa menjadi ancaman terhadap integritas pribadi. (s. Jehel, 2003 : 123)

2.1.4.2 Kategori Kekerasan

Menurut Sunarto terdapat beberapa bentuk-bentuk kekerasan antara lain (Sunarto, 2009 : 137)

a) Kekerasan fisik adalah kekerasan yang dilakukan oleh pelaku terhadap

korban dengan cara memukul, menampar, mencekik, menendang, melempar barang ke tubuh, menginjak, menlukai dengan tangan kosong, atau dengan alat/senjata, menganiaya, menyiksa, membunuh serta perbuatan lain yang relevan.

b) Kekerasan psikologis adalah kekerasan yang dilakukan oleh pelaku terhadap mental korban dengan cara membentak, menyumpah, mengancam, merendahkan, memerintah, melecehkan, menguntit, dan memata-matai, atau tindakan-tindakan lain yang menimbulkan rasa takut (termasuk yang diarahkan kepada orang-orang dekat korban, misalnya keluarga, anak, suami, teman, atau orang tua).

c) Kekerasan seksual adalah melakukan tindakan yang mengarah


(28)

melakukan tindakan-tindakan lain yang tidak dikehendaki korban, memaksa korban menonton produk pornografi, gurauan-gurauan seksual yang tidak dikehendaki korban, ucapan-ucapan yang merendahkan dan melecehkan dengan mengarah pada aspek jenis kelamin/ seks korban, memaksa hubungan hubungan seks tanpa persetujuan korban, memaksa melakukan aktivitas- aktivitas seksual yang tidak disukai, pornografi, kawin paksa.

d) .Kekerasan finansial adalah tindakan mengambil, mencuri uang korban,

menahan atau tidak memberikan pemenuhan kebutuan finansial korban, mengendalikan dan mengawasi pengeluaran uang sampai sekecil-kecilnya.

e) Kekerasan spiritual adalah merendahkan keyakinan dan kepercayaan

korban, memaksa korban untuk meyakini hal-hal yang tidak diyakininya, memaksa korban mempraktikkan ritual dan keyakinan tertentu.

f) Kekerasan fungsional adalah memaksa melakukan sesuatu yang tidak sesuai

dengan keinginan, menghalangi atau menghambat aktivitas atau pekerjaan tertentu, memaksa kehadiran tanpa dikehendaki, membantu tanpa dikehendaki dan lain-lain yang relevan.

2.1.4.2 Kekerasan Dalam Media

Media sering menyajikan nilai kekerasan. Disajikan sepertinya hanya sebagai berita atau informasi, disajikan dengan gaya yang indah dan dikemas menjadi berseni, menarik. Namun di dalamnya ada terjasi nilai-nilai kekerasan. Nilai-nilai itu dapat mempengaruhi tanpa sadar masyarakat yang menontonnya.


(29)

Maka etika komunikasi mau tak mau juga harus merumuskan, mendefinidikan dan menentukan batas-batas kekerasan. Kekerasan dapat terjadi sebagai dokumen maupun fisik. Juga semacam latihan/simulasi kekerasan. Tanpa terkecuali kekerasan yang sifatnya symbol, kekerasan yang berupa sikap tidak saling peduli masyarakat. Dalam hal ini, maka etika komunikasi diciptakan agar dapat mendukung pihak yang rentan menjadi korban kekerasan media, tanpa terjebak bersikap represif. (http://id.shvoong.com)

Kekerasan dalam media dapat menyebabkan terjadinya kekerasan sosial riil. Informasi tentang kekerasan juga bias menambah kegelisahan umum sehingga membangkitkan sikap representif masyarakat, alat penegak hukum. (Haryatmoko, 2007 : 124)

Kekerasan dalam media dibedakan menjadi tiga berdasarkan tiga tipe

dunia dalam media, yaitu : (Nel dalam buku Haryatmoko, 2007 : 127)

1. Kekerasan – dokumen → Merupakan bagian dari dunia riil atau factual.

Dalam kekerasan – dokumen terdapat proses gambar yang dapat mempengaruhi psikisme pemirsa, penampilan gambar tersebt dipahami pemirsa sebagai dokumen atau rekaman fakta kekerasan. Kekerasan dalam media dapat di representasikan melalui isinya, missal : dengan tindakan (pembunuhan, pertengkaran perkelahian, tembakan) bias juga dengan situasi (konflik, luka, tangisan) sehingga timbul emosi yang menggambarkan perasaan yang terdalam dari diri manusia tersebut.


(30)

2. Kekerasan – fiksi → menunjukan kepada kepemilikan dunia yang mungkin ada, missal : kisah fiksi, film, kartun, komik dan iklan. Kekerasan yang terdapat dalam kisah fiksi dapat menyebabkan pemirsa terutama pada anak bias meninggalkan traumatisme dan perilaku agresif. Kekerasan fiksi menjadi berbahaya apabila member kemungkinan baru yang tidak ada dalam dunia riil.

3. Kekerasan – simulasi →Berasal dari dunia virtual, misal : dalam permainan video, permainan on-line. Kekerasan – simulasi memiliki dampak yang sangat besar terhadap anak-anak yaitu dapat melahirkan masalah psikologis diantaranya kemarahan, kegelisahan, kekecewaan yang lahir dari permainan video.

Ketiga bentuk kekerasan diatas sering dikondisikan sebagai kekerasan simbolik (Haryatmoko, 2007 : 127). Kekerasan simbolik berlangsung karena system informasi dan medi besar berjalan mengukuti aturan tertentu dalam bentuk keseragaman, tuntutan reportase langsung pada kejadian, sensasionalisme, dan penempatan prioritas informasi yang penuh kepentingan (Haryatmoko, 2007 : 128).

2.1.5 Efek Media Massa Dalam Kehidupan Masyarakat

Media televisi memiliki dampak yang besar yang mempengaruhi cara berpikir hingga perilaku melalui tayangan yang dikonsumsi oleh masyarakat setiap hari. Berbagai macam acara yang disajikan oleh berbagai macam media


(31)

memiliki dampak yang sangat luas yang berpengaruh pada berbagai aspek, sebagai berikut : psikologikal (body), afektif (feeling), kognitif (thinking), dan behavior (action). Satu tayangan saja atau informasi di media memiliki dampak tidak hanya jangka pendek. Namun jika berbagai paparan informasi atau tayangan tersebut dikonsumsi secara terus menerus maka akan terakumulasi pada cara berpikir hingga mendorong pada perilaku publik (Traudt, 2005 : 10). Selain dampak-dampak yang telah disebutkan diatas tadi, masyarakat dan media juga merupakan sumber pengetahuan langsung dan tak langsung. Pengetahuan langsung merupakan berbagai pengalaman yang dialami seseorang sedangkan pengalaman tak langsung adalah berbagai sumber pengetahuan yang didapat dari media yang diaksesnya (Traudt, 2005 : 11). Misalnya saja tayangan yang mengeksploitasi tindak kekerasan yang ditayangakan beramai-ramai oleh berbagai televisi, tidak terdapat batasan dan pengaturan jam penayangan, sehingga semua dapat menyaksikan program tersebut termasuk anak-anak. Sehingga hal ini dapat berbahaya bagi perkembangan anak-anak. Melihat dampak media yang cukup besar, penonton sudah saatnya menjadi lebih kritis, menelaah dan menanyakan setiap informasi atau tayangan yang ditampilkan (Traudt, 2005 : 82).

Ada lima jenis media massa yang dikenal sebagai "The big five of mass media" yaitu televisi, film, radio, majalah dan koran dengan fungsi komunikasi yang saling melengkapi yaitu Social function dan Individual Function.Fungsi


(32)

terhadap masyarakat (Social function) bersifat sosiologis sedangkan fungsi terhadap individu (Individual function) bersifat psikologis (Sasa Djuarsa, 1993)

1. Social Function (Fungsi komunikasi massa terhadap masyarakat) :

a. Pengawasan lingkungan

b. Korelasi antar bagian di dalam masyarakat untuk menanggapi lingkungannya

c. Sosialisasi atau pewarisan nilai-nilai d. Hiburan (Lasswell dan wright, 1975)

2. Individual function (Fungsi komunikasi massa terhadap individu) : a. Pengawasan atau pencarian informasi

b. Mengembangkan konsep diri

c. Fasilitasi dalam hubungan sosial d. Substitusi dalam hubungan sosial\

e. Membantu melegakan emosi

f. Sarana pelarian dari ketegangan dan keterasingan

g. Bagian dari kehidupan rutin atau ritualisasi (Samuel L. Becker, 1985)

2.1.6 Respon Psikologi Warna

Secara visual, warna memiliki kekuatan yang mampu memengaruhi citra orang yang melihatnya. Masing-masing warna mampu memberikan respons secara psikilogis. Molly E. Holzschlag, pakar warna dalam tulisannya Creating


(33)

Color Scheme membuat daftar mengenai kemampuan masing-masing warna ketika memberikan respons secara psikologis kepada pemirsanya sebagai berikut:

Merah. Mencerminkan kekuatan, energi, hasrat, cinta, gairah, semangat, dorongan, dan keinginan. Tetapi warna merah juga memiliki arti bahaya, perang, kekejaman, kekerasan, api, permusuhan, darah, dan agresif.

Merah muda (pink). Mencerminkan sifat kewanitaan, kasih sayang, cinta, romantis, keceriaan, dan keremajaan. Tetapi bisa juga berarti naif, lemah, dan merasa kekurangan.

Oranye. memiliki makna kehangatan, bersemangat, ceria, keseimbangan, musim gugur, menimbulkan getaran, dan warna ini banyak digunakan pada beberapa situs web. Warna ini juga digunakan untuk meminta perhatian.

Kuning. Melambangkan sinar matahari, emas, kekayaan, keberuntungan, dan juga kehidupan. Tetapi warna ini bisa juga melambangkan ketidakjujuran, pengecut, cemburu, iri hati, pengkhianatan, penipuan, kebohongan, resiko, dan sakit.

Hijau. Menggambarkan alam, lingkungan, kehidupan, pertumbuhan, stabil, santai, kesuburan, dan harapan. Tetapi warna ini bisa juga berarti kecemburuan, nasib buruk, iri hati, dan dengki.


(34)

Biru. Memiliki makna kepercayaan, kesetiaan, ketenangan, kedamaian, ketulusan, kesejukan, air, awan, harmoni, kebersihan, konservatif, percaya diri, dan penyembuhan. Warna ini merupakan warna yang aman dipakai untuk desain. Selain itu, warna ini juga bermakna kesedihan, kedingingan, depresi, dan penurunan vitalitas.

Ungu (violet). Mencerminkan kebangsawanan, perubahan, dan spiritual. Bisa juga berarti kesombongan, keangkuhan, kejam, kasar, dan duka cita.

Coklat. Berarti tanah, bumi, netral, hangat, aman, dan perlindungan. Bisa juga berarti kotor, tumpul, dan membosankan.

Abu-abu. Bermakna modern, cerdas, bersih, kokoh, masa depan, dan intelektual. Bisa juga berarti umur tua, kesedihan, dan kebosanan.

Putih. Melambangkan kesucian, kebersihan, kemurnian, kesederhanaan, damai, kebaikan, disiplin, perawan, perkawinan, musim dingin, dan salju. Bisa juga bermakna kematian (budaya timur), dingin, mandul, steril, klinik, dan hampa.

Hitam. Bermakna kekuatan, keanggunan, kemewahan, misteri, kecanggihan, kemakmuran, kepuasan, pengalaman, tegas, keras, kokoh, dan sangat kuat. Tetapi memiliki makna negatif kematian (budaya barat), takut, setan, kesedihan, duka cita, marah, anonim, dan penyesalan. (http://slidemaker.com)


(35)

Secara etimologis, istilah semiotik berasal dari bahasa Yunani, semeion,yang berarti tanda (Sobur, 2006 : 15). Studi tentang tanda dan cara tanda-tanda itu bekerja dinamakan semiotika (Fiske, 2006 : 60).

Oleh Saussure, ilmu tentang tanda dinamainya semiology, sementara

oleh Peirce, yang lebih berkembang di Amerika, menghadirkannya dalam

peristilahan semiotic. Keduanya merujuk pada kata semeion dalam bahasa

Yunani yang berarti tanda. Saussure (1974 dalam Kress & Hodge, 1988 : 1) mendaulat semiology sebagai, “the science of the life of signs in society,” sementara Peirce sendiri, mendefinisikan semiotic sebagai, “is something which stands to somebody for something in some respect or capacity.” (Pateda, 2001 dalam Sobur, 2004 : 41).

Semiotika adalah suatu ilmu atau metode analisis untuk mengkaji tanda. Tanda – tanda adalah perangkat yang kita pakai dalam upaya berusaha mencari jalan di dunia ini, di tengah – tengah manusia dan bersama –sama manusia (Sobur,2003 : 15). Pada dasarnya semiotika hendak mempelajari bagaimana kemanusiaan (humanity) memaknai hal – hal (things). Memaknai (to sinify) dalam hal ini tidak dapat dicampuradukkan dengan mengkomunikasikan (to communicate), dalam hal mana objek –objek itu hendak berkomunikasi, tetapi juga mengkonstitusu system terstruktur dari tanda (Barthes dalam Alex Sobur, 2003 : 15).

Didalam sejarah perkembangan semiotika, berasal dari dua induk yang memiliki dua tradisi dasar berbeda. Pertama, Charles Sanders Pierce, seorang


(36)

ahli filsuf yang hidup di peralihan abad lalu (1839-1914). Sebagai seorang filsuf dan ahli logika, Pierce berkehendak untuk menyelidiki apa dan bagaimana proses bernalar manusia. Teori Pierce tentang tanda dilandasi oleh tujuan besar ini sehingga tidak mengherankan apabila dia menyimpulkan bahwa semiotika tidak lan dan tidak bukan adalah sinonim bagi logika (Budiman, 2005 : 33).

Disisi lain, kedua terdapat pula tradisi semiotik yang dibangun berdasarkan teori kebahasaan Ferdinand de Saussure (1857-1913) sebagai seorang sarjana linguistic di Perancis. Sebuah ilmu yang mengkaji kehidupan tanda-tanda di dalam masyarakat. Akan menjadi bagian di psikologi sosial, sebagai konsekuensinya, psikologi general. Dan diberi nama ssemilogi akan menunujukan hal-hal apa yang membentuk tanda-tanda, kaidah-kaidah apa yang mengendalikannya (Saussure, 1966 : 16 dalam Budiman, 2005 : 35).

Semiotika mempunyai tiga bidang studi nama, yaitu : (Fiske dalam buku terjemahan Iriantara dan Subandy, 2007 : 60)

1. Tanda itu sendiri. Hal ini terdiri atas studi tentang berbagai tanda yang berbeda, cara-cara tanda yang berbeda itu dalam menyampaikan makna, dan cara tanda-tanda itu terkait dengan manusia yang menggunakannya.

2. Kode atau system yang mengorganisasikan tanda. Studi ini

mencakup cara berbagai kobe dikembangkan guna memenuhi kebutuhan suatu masyarakat atau budaya tau untuk mengeksploitasi saluran komunikasi yang tersedia untuk mentransmisikannya.


(37)

3. Kebudayaan tempat kode dan tanda bekerja. Ini giliranya bergantung pada pengguna kode dan tanda-tanda itu untuk keberadaan dan bentuknnya sendiri.

2.1.8 Pendekatan Semiotik Dalam Film – John Fiske

Menurut John Fiske (2004: 282), semiotika adalah studi tentang pertandaan dan makna dari sistem tanda; ilmu tentang tanda, tentang bagaimana makna dibangun dalam “teks” media; atau studi tentang bagaimana tanda dari jenis karya apapun dalam masyarakat yang mengkomunikasikan makna.

Metode analisis semiotika ini menurut Fiske (1990: 189) tidak hanya dipusatkan pada transmisi pesan, melainkan pada penurunan dan pertukaran makna. Penekanan di sini bukan pada tahapan proses, melainkan teks dan interaksinya dalam memproduksi dan menerima suatu kultur/budaya; difokuskan pada peran komunikasi dalam memantapkan dan memelihara nilai-nilai dan bagaimana nilai-nilai-nilai-nilai tersebut memungkinkan komunikasi memiliki makna. Di sisi lain, semiotika melihat bahwa pesan merupakan konstruksi tanda-tanda, yang pada saat bersinggungan dengan penerima akan memproduksi makna (Fiske, 1990: 2).

Menurut John Fiske, dalam bukunya Cultural And Communication Studies, disebutkan bahwa terdapat dua perspektif dalam mempelajari ilmu komunikasi. Perspektif yang pertama melihat komunikasi sebagai transmisi pesan. Sedangkan perspektif yang kedua melihat komunikasi sebagai produksi


(38)

dan pertukaran makna. Berkaitan dengan penelitian ini, maka peneliti hanya akan menggunakan perspektif yang kedua, yaitu dari sisi produksi dan pertukaran makna.

Perspektif produksi dan pertukaran makna memfokuskan bahasanya pada bagaimana sebuah pesan ataupun teks berinteraksi dengan orang-orang di sekitarnya untuk dapat menghasilkan sebuah makna. Hal ini berhubungan dengan peranan teks tersebut dalam budaya. Perspektif ini seringkali menimbulkan kegagalan dalam berkomunikasi karena pemahaman yang berbeda antara pengirim pesan dan penerima pesan. Meskipun demikian, yang ingin dicapai adalah signifikasinya dan bukan kejelasan sebuah pesan disampaikan. Untuk itulah pendekatan yang berasal dari perspektif tentang teks dan budaya ini dinamakan pendekatan semiotik. (Fiske, 2006 :9)

Fiske (Fiske, 1987 : 5). kemudian memilahnya ke dalam tiga level pengkodean tayangan di televisi, yang dalam kasus penelitian ini juga diberlakukan pada film,antara lain:

1. Level Pertama adalah reality (realitas), kode sosialnya antara lain,

appearance (penampilan), dress (kostum), make-up (riasan), environment (lingkungan), behaviour (kelakuan), speech (gaya bicara), gesture (gerakan), expression (ekspresi), sound (suara).

2. Level kedua adalah representation (representasi), kode sosialnya antara lain, camera (kamera), lighting (pencahayaan), editing (perevisian), music (musik), sound (suara).


(39)

3. Level ketiga adalah ideology (ideologi), kode sosialnya antara lain, narrative (narasi), conflict (konflik), character (karakter), action (aksi), dialogue (dialog), setting (latar), casting (pemeran). Selain itu analisis semiotik yang dilakukan pada sinema atau film layar lebar (wide screen) menurut Fiske disetarakan dengan analisis film yang ditayangkan oleh televisi. Sehingga analisis yang dilakukan pada film.

2.1.9 Kerangka Berpikir

Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan studi semiotik, mengingat film ini meliputi simbol-simbol yang sangat komplek, baik verbal maupun non-verbal. Menurut pendekatan semiotik John Fiske analisis isi terbagi atas tiga level yaitu level realitas, level representasi dan level ideology. Sehingga akhirnya diperoleh hasil dari interpretasi data mengenai representasi kekerasan film ini.

Representasi kekerasan dalam film “Punk In Love” Teori Semiotika

John Fiske

 Kekerasan fisik

 Kekerasan psikologis

 Kekerasan seksual

 Kekerasan financial


(40)

(41)

3.1.1 Metode Penelitian

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian deskriptif kualitatif. Bogdan dan Taylor dalam (Moelong, 2002 : 3) menyatakan bahwa metode penelitian bahwa metode penelitian kualitatif mempunyai prosedur penelitian yang menghasilkan kata deskriptif berupa kata-kata lisan, tulisan serta gambar dan bukan angka-angka dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati, pendekatan ini diarahkan pada latar dan individu tersebut secara utuh. Alasan menggunakan menggunakan metode kualiatif ini dikarenakan pertama, menyesuaikan metode kualitatif lebih mudah. Apabila berhadapan dengan kenyataan ganda selain itu metode ini lebih peka dan lebih dapat menyesuaikan diri dengan banyak penajaman pengaruh bersama dan terhadap pola-pola nilai yang dihadapi (Moelong, 2002 : 5).

Penelitian ini menggunakan deskriptif bermaksud untuk memberikan gambaran atau penjelasan yang lebih rinci terkait dengan permasalahan yang diajukan yaitu tentang kekerasan yang terkonstruksi dalam film “Punk In Love”.

Dalam menganalisis data, peneliti menggunaka metode semiotik. Semiotik adalah suatu ilmu atau metode analisis untuk mengkaji tanda (Sobur,

31   


(42)

2004 : 15). Dengan menggunakan metode semiotik, peneliti berusaha menggali realitas yang didapatkan memlalaui interpretasi simbol-simbol dan tanda-tanda yang ditampilkan dalam film, selanjutnya akan menjadi corpus penelitian ini dan kemudian menggunakan metode penelitian analisis yang dikemukakan John Fiske untuk merepresentasikan atau memaknai kekerasan dalam film “Punk In Love” melalui aktor-aktor utama.

3.2. Kerangka konseptual 3.2.1 Corpus

Didalam penelitian kualitatif diperlukan adanya suatu pembahasan masalah yang disebut corpus. Corpus adalah sekumpulan bahan terbatas yang ditentukan pada perkembangannya oleh analisis kesewanangan. Corpus haruslah cukup luas untuk memberi harapan yang beralasan bahwa unsur-unsur akan memelihara sebuah system kemiripan dan perbedaan yang lengkap, Corpus juga bersifat homogen mungkin, baik homogeny pada taraf waktu (sinkroni). (Kurniawan, 2000 : 70). Keseluruhan scene dalam film ini adala 136 scene dan yang menjadi corpus dalam penelitian ini adalah 10 adegan (selengkapnya ada pada lampiran) dan dialog yang merujuk pada kekerasan fisik, kekerasan psikologis, kekerasan seksual kekerasan finansial ,kekerasan spiritual dan kekerasan fungsional dalam film “Punk In Love” yang di tonton dalam versi DVD. Corpus dalam penelitian ini sebagai berikut :


(43)

Kekerasan Psikologis :

Arok merendahkan Mojo karena berpamitan saat akan pergi

Yoji melakukan kekerasan psikologis terhadap grup musik dangdut

Mojo, Arok dan Almira tengah mengolok Yoji

   


(44)

Ketika Arok, Yoji, Mojo dan Almira ditolak di suatu klinik

Kekerasan Fisik :

Perkelahian Arok, Yoji, Mojo dan Almira dengan preman stasiun


(45)

Kekerasan Seksual :

Preman melakukan pelecahan seksual kepada Arok Kekerasan Finansial :

Arok merobek dan mengambil paksa pembalut untuk Almira Kekerasan Spiritual :

   


(46)

Ekspresi Arok saat melakukan kekerasan spiritual

Kekerasan Fungsional :

Arok, Yoji, Mojo dan Almira tengah memeras tukang sate

3.2.2. Definisi Operasional 3.2.2.1 Representasi

Representasi berasal dari kata dasar Bahasa inggris represent yang berarti bertindak sebagai perlambang atas sesuatu. Representasi juga berarti sebagai proses dan hasil memberi makna khusus pada tanda. Oleh karena itu, yang dimaksud dengan representasi kekerasan yaitu kekerasan itu sendiri yang dihadirkan atau diperlihatkan melalui tanda-tanda melalui aktor-aktor utama dalam film “Punk In Love” berarti.


(47)

3.2.2.2 Kekerasan

Kekerasan dalam film ini adalan kegiatan atau hal yang keras, kekuatan dan paksaan, dan tekanan suatu serangan / invasi fisik ataupun integritas mental psikologis yang dilakukan oleh tokoh-tokoh utama dalam film “Punk In Love”.

3.2.2.3 Kategori Kekerasan

Kategori kekerasan dalam film “Punk In Love” ini adalah :

a) Kekerasan fisik : kekerasan dengan cara memukul, menampar, mencekik, menendang, melempar barang ke tubuh, menginjak, melukai dengan tangan kosong, atau dengan alat/senjata, menganiaya, menyiksa, membunuh serta perbuatan lain yang relevan yang dilakukan oleh tokoh-tokoh utama dalam film “Punk In Love”.

b) Kekerasan psikologis : kekerasan yang dengan cara membentak, menyumpah, mengancam, merendahkan, memerintah, melecehkan, menguntit, dan memata-matai, atau tindakan-tindakan lain yang menimbulkan rasa takut (termasuk yang diarahkan kepada orang-orang dekat korban, misalnya keluarga, anak, suami, teman, atau orang tua) yang dilakukan oleh tokoh-tokoh utama dalam film “Punk In Love”.

c) Kekerasan seksual : kekerasan yang mengarah ajakan/desakan seksual seperti menyentuh, meraba, mencium, dan atau melakukan tindakan-tindakan lain yang tidak dikehendaki korban, memaksa korban menonton produk pornografi, gurauan-gurauan seksual yang tidak dikehendaki korban, ucapan-ucapan yang merendahkan dan melecehkan dengan mengarah pada aspek jenis kelamin/ seks korban,

   


(48)

memaksa hubungan hubungan seks tanpa persetujuan korban, memaksa melakukan aktivitas- aktivitas seksual yang tidak disukai, pornografi, kawin paksa yang dilakukan oleh tokoh-tokoh utama dalam film “Punk In Love”.

d) .Kekerasan finansial : kekerasan dengan cara mengambil, mencuri uang, menahan atau tidak memberikan pemenuhan kebutuan finansial, mengendalikan dan mengawasi pengeluaran uang sampai sekecil-kecilnya yang dilakukan oleh tokoh-tokoh utama dalam film “Punk In Love”.

e) Kekerasan spiritual : kekerasan dengan cara merendahkan keyakinan dan kepercayaan, memaksa untuk meyakini hal-hal yang tidak diyakininya, memaksa mempraktikkan ritual dan keyakinan tertentu yang dilakukan oleh tokoh-tokoh utama dalam film “Punk In Love”.

f) Kekerasan fungsional : kekerasan dengan cara memaksa melakukan sesuatu yang tidak sesuai dengan keinginan, menghalangi atau menghambat aktivitas atau pekerjaan tertentu, memaksa kehadiran tanpa dikehendaki, membantu tanpa dikehendaki dan lain-lain yang relevan yang dilakukan oleh tokoh-tokoh utama dalam film “Punk In Love”.

3.3 Unit Analisis

Unit analisis pada film ini adalah keseluruhan tanda dan lambang yang menunjukan kekerasan berdasarkan pembagian level analisis John Fiske, yang terdapat pada aktor-aktor utama dalam film “Punk in Love”. Pembagian level tanda lambang menurut John Fiske yaitu :


(49)

1. Level Pertama adalah reality (realitas), kode sosialnya antara lain, appearance (penampilan), dress (kostum), make-up (riasan), environment (lingkungan), behaviour (kelakuan), speech (gaya bicara), gesture (gerakan), expression (ekspresi), sound (suara) yang terdapat pada film “punk In Love”.

2. Level kedua adalah representation (representasi), kode sosialnya antara lain, camera (kamera), lighting (pencahayaan), editing (perevisian), music (musik), sound (suara) yang terdapat pada film “punk In Love”. 3. Level ketiga adalah ideology (ideologi), kode sosialnya antara lain,

narrative (narasi), conflict (konflik), character (karakter), action (aksi), dialogue (dialog), setting (latar), casting (pemeran) yang terdapat pada film “punk In Love”.

3.4 Jenis Sumber Data 3.4.1 Sumber Data Primer

Sumber data primer dalam penelitian ini adalah DVD “Punk In Love”. Format DVD dipilih karena seluruh cerita sudah terbagi kedalam 15 chapter. Pembagian chapter-chapter ini membuat lebih mudah dalam menemukan dan mengambil data berupa gambar-gambar dalam film tersebut yang digunakan dalam penelitian ini.

   


(50)

3.4.2 Sumber Data Sekunder

Data sekunder dalam penelitian ini adalah bahan-bahan tambahan dari sumber-sumber tertulis di beberapa media seperti buku, majalah dan internet. Sumber bahan ini dapat melengkapi informasi atau keterangan yang diperlukan sebagai data pelengkap.

3.5 Teknik Pengumpulan Data

Pengumpulan data dalam film ini dilakukan dengan teknik dokumentasi yaitu mengamati tanda-tanda yang tampak dalam film “Punk In Love” dan melakukan studi kepustakaan untuk melengkapi data dan bahan yang dapat dijadikan referensi.

3.6 Teknik Analisis Data

Analisis data dalam penelitian ini akan dilakukan berdasarkan system tanda yang tampak pada cerita “Punk In Love” yang dapat digolongkan sebagai kekerasan. Kemudian tanda tersebut dianalisis dengan menggunakan kerangka analisis semiotik John Fiske. Analisis ini terbagi menjadi tiga level yaitu :

1. Level reality

Kode sosial yang termasuk dalam level pertama ini yaitu meliputi appearance (penampilan), dress (kostum), make-up (riasan), environment (lingkungan), behavior (perilaku), speech (cara berbicara), gesture (sikaptubuh), dan expression (ekspresi) dalam “Film Punk In Love”.


(51)

   

2. Level representation

Dalam level kedua ini, kode-kode yang termasuk didalamnya antara lain berkaitan dengan kode-kode teknik, seperti camera (kamera), lighting (pencahayaan), music (musik), dan sound (suara) dalam “Film Punk In Love”. 3. Level ideology

Kode-kode yang termasuk dalam level ketiga yaitu narrative (narasi), conflict (konflik), character (karakter), action (aksi), dialogue (dialog), setting (latar), dan casting (pemeran) dalam “Film Punk In Love”.


(52)

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Gambaran Umum Objek Dan Penyajian Data 4.1.1. Gambaran Umum Film Punk In Love

Film Punk In Love di produksi oleh PT Tripar Multivision Plus atau Multivision Plus .Disutradarai oleh Ody C Harahap, mencoba untuk mengangkat kehidupan anak punk dalam film ini. Salah satu tujuannya agar masyarakat mendapat gambaran jelas tentang kehidupan anak punk yang sebenarnya.

Dengan mengambil genre film komedi romantis, Punk in Love mengungkapkan perjalanan anak punk dari Malang yang menuju Jakarta. Perjalanan yang membuat mereka melewati beberapa kota di Jawa, seperti Pati, Kudus, Semarang, dan Cirebon. Film ini dimainkan oleh Vino G Bastian, Andhika Pratama, Yogi Finanda, Aulia Sarah, dan Girindra Kara.

Secara garis besar, film ini bercerita tentang tokoh Arok, yang memunyai sifat tegar dalam kehidupan jalanan, namun lembek kalau bicara masalah cinta. Karena tahu gadis yang diincarnya, Maia, akan menikah di Jakarta, maka bersama rombongan punk- nya, anak-anak itu menempuh perjalanan jauh ke Ibu Kota.


(53)

Insiden demi insiden harus dihadapi oleh mereka berempat. Dari mulai kebanjiran, terus kejar kejaran maut di sepanjang jalur Pantura sampai bertengkar dengan tukang sate dan peristiwa peristiwa konyol harus dilalui sepanjang jalan menuju Jakarta. Anak anak Punk ini harus menjaga imagenya sebagai anak punk, tetapi hati mereka tetap saja bisa sedih. Film ini cukup menghibur dan mampu membuat penontonnya tertawa karena banyak adegan adegan konyol sepanjang film ini. Lika-liku perjalanan anak-anak punk inilah yang kemudian menjadi cerita utama film ini.

Ody menjelaskan kisah film ini diilhami perjalanan yang dilakukan almarhum Yogi Aulia, seorang anak Punk yang juga mahasiswa fotografi di IKJ. Bersama beberapa teman punknya, Yogi pernah menceritakan kisah lucu itu, yang menginspirasi Ody untuk menuangkannya dalam bentuk film.

Berlatar belakang sub kultur Punk, film ini dibuat dengan tujuan merubah pandangan masyarakat tentang anak Punk. Tidak semua anak punk itu jahat atau brutal. Banyak di antara mereka yang memunyai kepedulian tinggi terhadap masalah sosial. Menurutnya, beberapa anak punk yang ia jumpai rata-rata memiliki karakter sopan, bahkan memiliki kesadaran tinggi untuk membuang sampah pada tempatnya.

4.1.2. Penyajian Data

Cerita film “Punk In Love” diawali dari percobaan bunuh diri yang dilakukan oleh Arok. Arok yang bertempat tinggal di Malang ingin bunuh diri


(54)

karena mengetahui kekasih hatinya, Maia Yang berada di Jakarta akan menikah lima hari kemudian. Setelah dirayu oleh Yoji, Mojo dan Almira akhirnya Arok membatalkan niatnya untuk bunuh diri. Kemudian Arok menyadari bahwa perbuatannya adalah salah dan memilih untuk mengungkapkan langsung perasaannya kepada Maia. Bermodalkan uang seadanya Arok dengan ditemani Mojo, Yoji dan Almira memutuskan untuk berangkat ke Jakarta. Selama perjalanan ke Jakarta banyak rintangan yang mereka dapatkan, dimulai dengan menumpang truk yang salah yang seharusnya dengan tujuan ke Jogjakarta tetapi mmalah menuju ke Bromo. Disana mereka berjuang untuk mencari makan dan mencari tumpangan ke Jakarta. Karena tidak menemukan solusi akhirnya mereka berempat memutuskan untuk naik bis dengan uang yang mereka punya tetapi dengan uang mereka hanya dapat mengantar sampai kota Semarang. Dikota semarang pun perjalanan mereka tidak mulus, di Semarang mereka mengalami kebanjiran. Karena tidak membawa baju, mereka harus tidur di jalan untuk menjemur pakaian mereka yang basah. Kemudian perjalanan mereka dilanjutkan dengan penumpang kereta api barang menuju Jakarta. Sesampai dijakarta mereka dihadapkan lagi dengan satu masalah, mereka tidak sengaja menggangu preman yang menguasai stasiun dan terjadilah pertengkaran. Karena pertengkaran tersebut membuat mereka berempat ditahan polisi namun bisa dikeluarkan oleh tante Yoji. Perjalanan mereka lanjutkan dan akhirnya mereka menemukan rumah maia namun di kawasan rumah maia


(55)

mereka bertemu kembali dengan preman stasiun itu dan terjadi lagi pertengkaran. Namun pertengkaran kali ini di menangkan oleh mereka berempat. Tanpa diduga Maia melihat pertarungan Arok dengan preman-preman itu dan sadar apa yang dilakukan Arok adalah buktu cinta Arok. Maia pun ternyata juga mempunyai perasaan yang sama dengan Arok dan pernikahan Maia yang telah direncanakanpun batal dan diganti dengan pernikahan Maia dan Arok.

Di dalam film ini tindakan kekerasan seperti kekerasan kekerasan verbal dan non verbal dihadirkan untuk membumbui jalan cerita. Kekerasan verbal seperti berupa umpatan, ancaman, hinaan terliha pada adegan pada saat ketika Yoji di ejek teman-teman nya ketika mengetahui dulunya Yoji adalah model yang bertentangan dengan idealisme punk yang anti kemapanan. Di situ Yoji terlihat kesal dengan ejekan temannya dan mengeluarkan kata-kata “taek kon kabeh..tak dungak no cangkem mu gak mbalik”. Pada umpatan tersebut di gambarkan teman-teman nya di samakan dengan kotoran yang mempunyai makna negatif. Kekerasan dalam film ini kemudian dijabarkan lagi menjadi kekerasan fungsional, kekerasan spiritual, kekerasan financial, kekerasan seksual, kekerasan psikologis dan kekerasan fisik.


(56)

4.2 ANALISIS DATA Penggalan scene 1

Gambar 4.1 Arok merendahkan Mojo karena berpamitan saat akan pergi

Level Realitas

Penampilan (kostun dan make up) :

Menunjukkan keseharian Arok, Yojo, Mojo dan Almira dengan dandanan khas anak Punk dengan rambut mohawk, celana ketat, asesoris keeling, tato dan cat rambut.

Setting :

Suasana tempat Arok, Yojo, Mojo dan Almira tinggal sehari-hari di sebuah stasiun di kota Malang. Menunjukkan sebuah bangkai kereta di belakang tempat yang biasa digunakan untuk tempat nongkrong mereka


(57)

Teknik kamera : Long Shot

Teknik kamera long shot pada kamera scene tersebut untuk menggambakan konflik dengan memperlihatkan ekspresi Arok ketika merendahkan Mojo.

Level Ideologi

Dialog :

Yoji : nandi kon Jo?

Mojo : kalian pada ga Pamit to?

Almira : aku males ketemu ibu ku

Mojo : aku kudu pamit, mak ku sendirian

Arok : jancok, manja raimu

Mojo : jarno mak ku dewe

Analisis :

Pada setting scene tersebut menunjukan keadaan tempat Arok, Yoji, Mojo dan Almira tinggal sehari-hari. Lokasi outdoor di sebuah stasiun di kota malang dan diatas bangkai kereta angkut menjadi pilihan mereka. Keadaan seperti diatas menunjukan cara hidup mereka yang sesuai dengan ideology


(58)

punk yaitu anti kemapanan. Mereka memilih caranya sendiri untuk hidup tanpa adanya ikatan suatu aturan. Mereka tidak mau tinggal dalam rumah, mereka memilih tempat tinggal yang identik dengan kaum marginal dengan melakukan kegiatan ekonomi di jalanan. Hidup di luar ruangan seperti anak punk mencerminkan perilaku orang yang menjalaninya, di identikan dengan orang yang liar, tidak mau terikat aturan berandalan dan penuh dengan kekerasan.

Dan Dialog diatas terjadi ketika Arok, Yoji, Mojo dan Almira memutuskan untuk pergi ke Jakarta. Disini Mojo ijin kepada teman-temannya untuk berpamitan kepada emaknya terlebih dahulu. Jika dilihat latar belakang mereka sebagai anak punk, perbuatan Mojo memang terasa sedikit janggal karena anak punk adalah kaum yang ingin merdeka dalam hal apapun, melakukan sesuatu tanpa persetujuan siapapun dan terhadap orangtua sekalipun.

Dari dialog tersebut jelas terjadi kekerasan verbal secara tidak langsung seperti terlihat pada umpatan dan hinaan yang keluar dari perkataan Arok yang ia lakukan seperti dialog “jancok, manja raimu”, dengan umpatan tersebut sehingga menyinggung perasaan Mojo. Dan akhirnya Mojo membalas perkataan Arok dengan kata perlawanan dengan nada tinggi.

Kata “jancok” merupakan umpatan kasar khas orang jawa atua yang lebih sering disebut mesoh. Arti kata jancok sendiri menurut budaya orang


(59)

jawa berarti bersetubuh, jadi kata tersebut cenderung tabu untuk diucapkan dan dikategorikan kepada kata-kat yang tidak pantas diucapkan.

Kekerasan verbal adalah kekerasan yang berbentuk kata-kata, umpatan, hinaan dan menyebabkan lawan bicara tersinggung, emosi dan marah. (menurut Kompas, 1993 : dalam penelitan Paul Joseph I.R(1996 : 37).

Apabila diperinci lagi, perbuatan Arok dapat dikategorikan sebagai kekerasan Psikologis. Kata-kata Arok disini membuat Mojo merasa malu didepan teman-temannya, itu terlihat ketika Arok melontarkan umpatan dan mengatai Mojo sebagai anak yang manja dan Mojo membalas perkataan dan umapatan Arok dengan kata-kata bernada tinggi.

Penggalan Scene 2

Gbr 4.2 Yoji melakukan kekerasan psikologis terhadap grup musik dangdut


(60)

Level realitas

Penampilan (kostum dan make up) :

Menunjukkan keseharian Arok, Almira dan Yoji dengan dandanan khas anak punk melalui rambut Mohawk, celana ketat dan pakaian berasesoris keling. Dan kostom khas penyanyi dangdut yang berpakaian berani dan mencolok yaitu rok pendek dan warna terang.

Setting :

Suasana tempat istirahat supir truk, dan terlihat sebuah grup band dangdut yang sedang mengamen di sana.

Level Representasi

Teknik kamera : Long Shot

Pengambilan gambar dengan Long Shot agar penonton mengetahui mengenai grup musik dangdut yang berada di sekitar tokoh utama dalam hal ini penyanyi dangdut yang sedang bernyanyi dengan gaya dan kostum khasnya.

Pencahayaan

Pencahayaan di buat terang karena suasana siang hari, dan pencahayaan difokuskan pada tokoh utama dan grup musik dangdut.


(61)

Sehingga pencahayaan disini ingin memperlihatkan bagaimana Yoji melecahkan grup musik dangdut diatas.

Level Ideologi Dialog :

Arok : “onok opo Ji ?”

Yoji : “iki lho gendeng, musik nya eleh banget iki lho cemen, trus kurang liar ngono lho, kurang rebel”

Analisis :

Dari shot diatas, dandanan khas anak Punk mudah dikenali terutama dari potongan rambut ala suku Indian di Amerika Serikat, Mo hawk seperti yang dikenakan Yoji. Dengan hanya menyisakan rambut membelah tengah kepala yang ditata meninggi dan diwarnai merah. Tatanan model rambut seperti ini mengisyaratkan kebebasan berekspresi bagi kaum punk. Pandangan kaum punk tentang arti rambut Mohawk berbeda dengan pandangan masyarakat awam. Potongan rambut Mohawk dipandang sebagai tatanan rambut yang aneh, tidak seperti kebanyakan orang. Model ini dapat


(62)

mencerminkan jiwa pemberontak dari yang mengenakannya, diamana pemberontak diidentikan dengan kekerasan.

Setting mengambil di sebuah tempat peristirahatan supir-supir truk yang akan melanjutkan perjalanan lagi. Pemilihan setting ini dimaksud untuk menggambarkan kemiskinan yang di alami tokoh utama, digambarkan tokoh utama lebih memilih menumpang truk untuk menuju Jakarta dari pada naik angkutan umum yang memerlukan biaya mahal.

Dialog yang diucapkan oleh Yoji dapat diartikan terdapat perilaku kekerasan yaitu kekerasan psikologis. Karena dialog yang diucapkan Yoji diatas merupakan sebuah ungkapan yang melecehkan aliran musik dangdut. Dapat diartikan musik dangdut identikan dengan musik yang rendah dan kampungan Dengan ucapan Yoji ini menyebabkan ketersinggungan penyanyi dangdut.

Dialog yang diucapkan oleh Yoji dapat diartikan terdapat perilaku kekerasan yaitu kekekrasan psikologis. Karena dalam dialog tersebut menunjukan adanya pelecehan dan perendahan yang dapat menyebabkan pemberontakan, ketersinggungan. Disini Yoji menggunakan kata-kata atau istilah kasar seperti “iki lho gendeng, musik nya elek banget iki lho cemen, trus kurang liar ngono lho, kurang rebel” untuk merendahkan dan melecehkan aliran musik dangdut yang dianggap Yoji musik dangdut


(63)

dipandang sebagai aliran musik yang jelek, kurang liar seperti cerminan kehidupan mereka.

Jika diurai, perkataan Yoji yang digunakan untuk merendahkan aliran music dangdut penuh dengan unsure kekerasan seperti ; Kata “cemen”, kata cemen sendiri sebenarnya bukanlah bahasa baku tetapi merupakan bahasa gaul anak muda jaman sekarang. Kata cemen berarti penakut dan tidak punya nyali, jika dihubungkan dengan konteks perkataan Yoji dapat diartikan bahwa orang-orang yang berada dibelakang music dangdut merupakan orang-orang yang penakut dan tidak punya nyali. Perkataan ini jelas sebuak ungkapan yang merendahkan martabat manusia. Dan lagi pada ungkapan “kurang rebel” juga mempunyai mempunyai makna yang mengandung unsure kekerasan. Rebel sendiri berasal dari bahasa inggris yang berarti berontak. Berontak sendiri dalam bahasa Indonesia berarti usaha untuk melawan untuk melepaskan diri dari sesuatu. Jadi Yoji menganggap bahwa aliran music yang sebenarnya adalah music yang memberontak dan melawan arus dari kehidupan.

Penggalan scene 3


(64)

Gambar 4.3 Arok, Yoji, Mojo dan Almira tengah memeras tukang sate Level realitas

Penampilan (kostum dan make up) :

Tukang sate terlihat sederhana dengan mengenakan t-shirt putih polos dan setelan celana panjang hitam

Setting :

Lokasi tempat berjualan tukang sate dan terlihat sepi tanpa ada seorangpun selain Arok, Yoji, Mojo dan Almira yang sedang memeras tukang sate.

Level Representasi

Teknik kamera : Long Shot

Pengambilan gambar dengan Long Shot ini memberikan informasi kepada penonton mengenai bagaimana ekspresi tubuh Arok, Yoji, Mojo dan Almira yang memeras tukang sate dengan berpura-pura mabuk dan memperlihatkan ekspresi tukang sate yang ketakutan.

Pencahayaan

Pencahayaan dibuat lembut karena suasana malam hari, dan pencahayaan difokuskan pada tokoh utama dan penjual sate.


(65)

Pencahayaan lembut pada malam hari juga untuk mendukung terjadinya tindak kekerasan.

Level Ideologi Dialog :

Yoji : Sate sepuluh berapa ?

Penjual Sate : Tujuh ribu nggak peke lontong.

Arok : Ahh..larang, aku beli petang puluh tusuk, Al..kasih no duwik e.

Almira : Nih enam ribu.

Penjual sate : bercanda sampean dik, ini Cuma dapat tujuh tusuk gak pakek lontong.

Arok : Gawek no kono, aku gak gelem mekso.

Analisis :

Dari kostum tukang sate yang mengenakan t-shirt putih polos dan setelan celana panjang hitam menggambarkan keadaan ekonomi tukang sate itu. Menggambarkan keadaan ekonomi yang pas-pasan dan jauh dari mewah, jika di hubungkan dengan scene diatas dapat diartikan bahwa kekerasan rawan


(66)

mengenai pada orang-orang yang ekonomi atau orang-orang bawah sebagai sasaran kekerasan.

Dialog diatas di ucapkan pemeran Arok, Almira dan Yoji adalah merupakan kata-kata ancaman kepada penjual sate ketika mereka sedang kelaparan dan hanya mempunyai uang tujuh ribu rupiah. Arok, Yoji, Mojo dan Almira berpura-pura mabuk minuman keras menyuruh penjual sate untuk membuatkan sate empat puluh tusuk tetapi dengan uang yang mereka miliki hanya dapat membeli sate tujuh tusuk. Dengan nada suara yang tidak keras tetapi membuat penjual sate merasa tertekan dan ketakutan.

Dialog yang diucapkan mereka bertiga dapat dikategorikan sebagai kekerasan psikologis dan kekerasan fungsional. Kekerasan psikologis tersebut dapat menyebabkan penjual sate tersebut merasa terintimidasi terpojok sehingga ia harus menurut walaupun sempat sedikit melawan dengan kata-kata. Dan kekerasan psikologis bisa menimbulkan pemberontakan sebagai respon dari rasa terintimidasi tersebut.

Dialog tersebut juga bisa dikategorikan sebaga kekerasan fungsional, yaitu pemaksaan terhadap seseorang yang tidak sesuai dengan keinginan orang tersebut. Disini tukang sate dipaksa membuatkan sate dengan uang dengan uang yang kurang, perbuatan ini membuat tukang sate marasa tertekan dalam melakukan pekerjaan yang tidak ia kehandaki.


(67)

Penggalan scene 4

Gambar 4.4 Preman melakukan pelecahan seksual kepada Arok Level realitas

Penampilan (kostum dan make up) :

Terlihat pimpinan preman yang mengenakan kemeja putih.

Level Representasi

Teknik kamera : Close Up

Pengambilan jarak close up memberikan informasi bagaimana ekspresi wajah pimpinan preman yang sedang melakukan kekerasan


(68)

seksual kepada Arok. Terlihat ekspresi wajah yang preman yang sedang menikmati kekerasan seksual itu.

Pencahayaan :

Pencahayaan sedikit gelap karena suasana malam hari, pencahayaan juga ingin memfokuskan kepada ekspresi pimpinan preman yang melakukan kekerasan seksual.

Analisis :

Shot pada gambar diatas, pembuat film ingin menunjukan ekspresi preman secara Close Up. Tampak ekspresi preman yang tengah malakukan kekerasan seksual kepada Arok. Dengan mengerutkan dahi dan mulut terbuka menggambarkan preman yang sangat bernafsu melakukan kejahatan seksual kepada arok. Jenis kekerasan seksual ini jika di telusuri lebih dalam mengambil dari realitas yang tengah terjadi di masyarakat. Penyimpangan seksual dengan melakukan seksual sesama jenis yang awal nya banyak terjadi di negara-negara bagian barat, kini mulai banyak bermuculan di Indonesia. Keberanian para pelaku yang mulai menampakkan diri di kehidupan masyarakatlah yang menjadikan inspirasi dari penambahan unsur-unsur dalam film seperti ini.

Kejadian itu berlangsung saat Arok tengah bermimpi sudah menikah dengan Maia pujaan hatinya, namuh ada sekumpulan preman yang ingin


(69)

mengganggu rumah tangga mereka. Arok pun menjadi sasaran kekerasan seksual dari preman itu, arok dipegang kedua tangannya oleh anak buah preman itu dan dipaksa berposisi jongkok. Arok dipaksa melayani keinginan preman untuk melakukan kegiatan seksual sesama jenis dengan pimpinan preman itu.

Perlakuan preman terhadap arok diatas tergolong kedalam kategori kekerasan seksual, Arok disini dipaksa melakukan Aktivitas seksual yang tidak dikehendakinya. Dalam konteks scene diatas, Arok dipegang kedua tangannya oleh dua orang preman dan dibuat tidak berdaya agar menurut untuk melakukan hubungan seksual sesama jenis.

Penggalan scene 5

Gambar 4.5 Mojo, Arok dan Almira tengah mengolok Yoji Level realitas


(70)

Menunjukkan keseharian Arok, Yojo, Mojo dan Almira dengan dandanan khas anak Punk.

Setting :

Berlokasi di sebuah gang dengan sebidang tembok dibelakang dengan poster Yoji ketika menjadi model kalender

Level Representasi

Teknik kamera : Long Shot

Jarak Long Shot memberikan visual bagaimana Mojo, Arok dan Almira yang sedang mengolok-olok Yoji dan memperlihatkan bagaimana ekspresi tubuh Yoji yang hanya menundukkan kepala ketika sedang di olok-olok.

Level Ideologi

Dialog :

Arok : Asu, jancok, model kalender cok, baju basket..yoji Yoji : Opo seh rek

Arok : Aku minta tanda tangan mu dong Yoji : taek

Arok : ih sombong


(71)

Almira : Ajari mereka dong, biar kepilih

Yoji : ooh, kon pisan Al,,taek kon kabeh tak dongakno cangkem mu gak balik, puas ta kon, puas ? mbokne ancok

Analisis :

Dari shot diatas, Punk mudah dikenali terutama dari potongan rambut ala suku Indian di Amerika Serikat, Mo hawk seperti yang dikenakan Yoji. Dengan hanya menyisakan rambut membelah tengah kepala yang ditata meninggi dan diwarnai merah. Tatanan model rambut seperti ini mengisyaratkan kebebasan berekspresi bagi kaum punk. Pandangan kaum punk tentang arti rambut Mohawk berbeda dengan pandangan masyarakat awam. Potongan rambut Mohawk dipandang sebagai tatanan rambut yang aneh, tidak seperti kebanyakan orang. Model ini dapat mencerminkan jiwa pemberontak dari yang mengenakannya, diamana pemberontak diidentikan dengan kekerasan.

Celana dekil ketat berbahan jeans yang dikenakan Arok, Yoji dan Mojo pada dasar nya merupakan simbol dari keterhimpitan kaum bawah terhadap kapitalisme. Bahan jeans yang dipakai mencerminkan nilai demokratis yang mendalam. Jeans dapat juga dapat dijelaskan sebagai usaha untuk menolak semua identifikasi kelas sosial dalam masyarakat.

Pemilihan setting disebuah gang merepresentasikan kehidupan Arok, Yoji, Mojo dan Almira yang jauh dari kemewahan. Hampir semua setting


(72)

dalam film ini menghindari tempat-tempat yang berkesan mewah. Sebuah gang dengan tembok yang ditumbuhi lumut, cat yang kusam dan tidak terawat merepresantasikan lingkungan yang akrab dengan kehidupan Arok, Yoji, Mojo dan Almira. Sebagai anggota dari subkultur punk, mereka menolak sekali kehidupan yang berbau dengan materi, kekayaan, dan menolak semua yang berhubungan dengan kapitalisme. Pada scene sebelumnya diperlihatkan, Mojo tengah mengais-ngais makanan di tong sampah tepat didepan poster Yojo di gang itu. Dari konteks itu dapat terlihat pemilihan setting ini ingin menonjolkan cerminan kehidupan mereka berempat yang erat dengan kemiskinan.

Dialog diatas menggambarkan bagaimana tindak kekerasan yang dilakuakan Arok, Mojo dan almira terhadap Yoji yang dahulunya adalah seorang model. Dari dialog-dialog tersebut jelas terjadi kekerasan verbal secara tidak langsung seperti terlihat pada umpatan, hinaan dalam dialog tersebut.

Dialog diatas terjadi ketika Mojo melihat sebuah kalender yang ditempel di pinggir jalan dan yang menjadi model dari kelender tersebut adalah Yoji. Umpatan yang ditujukan kepada Yoji merupakan ungkapan ketidak sukaan mereka atas profesi Yoji sebagai model karena mereka sebagai kaum punk anti sekali dengan ketenaran da ketenaran tersebut identik dengan hidup yang mapan dan kekayaan dan ungkapan tersebut cenderung merendahkan Yoji.


(73)

Dari dialog tersebut dapat digolongkan kedalam kekerasan psikologis, karena umpatan-umpatan yang dilakukan Arok, Mojo dan Almira menyebabakan Yoji merasa tersinggung, hilang rasa percaya diri dan Yoji hanya bisa menanggapi dengan umpatan-umpatan juga.

Dengan tehnik kamera long shot, menggambarkan akibat yang ditimbulkan oleh kekerasan psikologis. Dalam adegan jelas terlihat Yoji yang hanya menunudukan kepala karena merasa malu dan emosi saat teman-temanya mengolok-oloknya. Yoji menundukkan kepala karena telah kehilanggan percaya diri dan tertekan akibat olokan itu.

Penggalan scene 6

Gambar 4.6 Ekspresi Arok saat melakukan kekerasan spiritual Level realitas


(74)

Penampilan (kostum dan make up) :

Menunjukkan keseharian Arok dan Almira dengan dandanan khas anak Punk dengan baju berhiaskan keeling dan dan lusuh.

Setting

Suasana Dalam sebuah mobil ambulance ketika Arok, Yoji, Mojo dan Almira ketika tengah menumpang menuju Cirebon.

Level Representasi

Teknik kamera : Medium Shot

Tehnik kamera diatas menunjukkan makna ekspresi marah Arok kepada Tuhan ketika merasa Tuhan membiarkan mereka dalam keadaan kelaparan dan menambah siksaan dengan memperdengarkan music dangdut

Penggunaan Suara : Musik

Penambahan musik dangdut dengan volume sedang yang berasal dari perangkat audio mobil ambulance yang ditumpangi Arok, Yoji, Mojo dan Almira dimaksud untuk mendukung informasi tentang penyebab kemarahan Arok atas music dangdut kepada Tuhan

Level Ideologi Dialog


(75)

Mojo : Lho kok bawa-bawa Gusti Allah ?

Arok : Yo, liat aja cok, kita laper gak dikasi makan terus menyiksa kita dengan lagu beginian

Yoji : Bener iku Ro, aku yo gak percoyo yang namanya Tuhan, kita orang susah kok di susahi terus

Almira : Yo, kalo Tuhan itu ada kenapa banjir lumpur lapindo gak di Jakarta aja, kan orang Jakarta yang buat tambang

Analisis :

Mengambil setting dalam sebuah mobil ambulance lagi-lagi ingin merepresentasikan keadaan ekonomi Arok, Yoji, Mojo dan Almira. Mereka terpaksa menumpang sebuah ambulance karena tidak punya uang yang cukup untuk menumpang angkutan umum.

Pada dialog diatas dapat terlihat bahwa kekerasan tidak hanya ditujukan kepada sesama manusia saja tetapi juga bisa terhadap keyakinan yang dianutnya dan menjurus kepada kekerasan kepada Tuhan. Dialog diatas terjadi ketika Arok, Yoji, Mojo dan Almira tengah melakukan perjalanan menuju Jakarta dengan menumpang mobil dengan keadaan kelaparan. Ditambah pengemudi mobil itu memainkan musik dangdut dengan perangkat audionya,


(76)

bertambahlah kekesalan mereka karena mereka anak punk seperti mereka memang anti musik yang komersil seperti musik dangdut. Mereka menyalahkan Tuhan atas kejadian yang mereka alami itu dengan menganggap Tuhan itu tidak adil dengan membiarkan mereka kelaparan dan menyiksa mereka dengan musik dangdut.

Kekerasan seperti yang mereka lakukan tergolong kedalam kekerasan Spiritual. Kekerasan spiritual adalah kekerasan yang berbentuk merendahkan keyakinan dan kepercayaan korban, memaksa korban untuk meyakini hal-hal yang tidak diyakininya, memaksa korban mempraktikkan ritual dan keyakinan tertentu. Dari dialog diatas terlihat bahwa hanya Mojo yang tidak sependapat dengan Arok, Yoji dan Almira. Mojo yang mempercayai Tuhan tidak terima dengan umpatan dan hinaan Arok, Yoji dan Almira kepada Tuhan dengan mengutarakan “Lho kok bawa-bawa Gusti Allah ?”. Mojo berkata demikian karena merasa keyakinannya kepada Tuhan telah direndahkan

Teknik kamera long shot yang dipakai pada scene ini menjelaskan pikiran dan maksud dari tokoh. Terdapat ekspresi Arok yang tengah merendahkan dan tidak percaya akan Tuhan, terlihat alis Arok yang naik ke atas, wajah yang menyeringai menampakkan kekesalan atas keadaan yang dialami.


(77)

Penggalan scene 7

Gambar 4.7 Arok merobek dan mengambil paksa pembalut untuk Almira

Level realitas

Penampilan (kostum dan make up) :

Dandanan sehari-hari arok dengan mengenakan rompi berhiaskan keeling.


(78)

Sebuah toko kelontong dikota Cirebon. Terlihat arok sedang memegang pembalut yang telah dirobek paksa dari bungkus nya.

Level Representasi

Teknik Kamera : Close Up

Jarak Close Up diatas memberikan makna ekspresi Arok saat melakukan kekerasan saat memaksa membeli pambalut yang tidak boleh di ecer,

Pencahayaan :

Pencahayaan dibuat terang karena memang terjadi pada siang hari, pencahayaan juga ingin memfokuskan pada ekspresi Arok yang melakukan kekerasan

Analisis :

Kekerasan seperti yang terjadi pada scene diatas lagi-lagi terjadi bukan karena konflik, tetapi karena latar belakang ekonomi memicu terjadinya kekerasan. Kekerasan terjadi saat Almira mengalami menstruasi namun tidak mempunyai uang untuk membeli pembalut. Dan mereka memutuskan untuk membeli pembalut dengan hanya membeli dua buah saja. Sesampai disebuah toko kelontong mereka ingin membeli pembalut dua buah saja namun tidak


(79)

diperbolehkan oleh penjual toko dan Arok yang emosi merobek paksa bungkus pembalut dan mengambil dua buah pembalut.

Pemilihan setting toko kelontong juga memperjelas motivasi ekonomi yang menjadi latar belakang mereka melakukan kekerasan. Toko kolontong kecil pinggir jalan identik dengan pembeli yang berlatar belakang ekonomi menengah kebawah, lain lagi jika cerita yang mengambil setting di toko yang terkesan mewah.

Teknik kamera close up dimaksud untuk memfokuskan ekspresi arok saat melakukan kekerasan. Dengan alis yang menaik keatas dan dengan penggunaan dialog yang bernada tinggi merepresentasikan kekerasan yang terjadi secara non verbal.

Kekerasan yang dilakukan Arok termasuk kedalam kategori kekerasan financial, yaitu tindakan mengambi paksa, mencuri, menahan barang milik korban hingga menyebabkan kerugian.

Penggalan scene 8


(1)

80   

diperbolehkan untuk dimasukkan dalam sebuah film sudah diatur jelas dalam Undang-Undang Perfilman maupun peraturan yang dibuat KPI (Komisi Penyiaran Indonesia).


(2)

81   

   


(3)

DAFTAR PUSTAKA

Berger, Arthur Asa. 2000. Media and communication research methods. London: Sage Publication.

Djuarsa Sendjaja, Sasa, et.al. Teori Komunikasi, Jakarta: Pusat Penerbitan Universitas Terbuka, 2004

Eriyanto, 2002. Analisis Framing, Konstruksi, Ideologi dan Politik Media. Yogyakarta: LKIS.

Fiske, John. (2004) . Cultural and communication studies. (Yosal Iriantara dan Idi Subandy Ibrahim, Trans.) Yogyakarta& Bandung: Jalasutra.

Fiske, J. (2006). Culture and communication studies – sebuah pengantar paling komprehensif. Idi Subandy Ibrahim (Ed.). Yogyakarta: Jalasutra.

Hakim, Budiman. (2005). Dasar-dasar kreatif periklanan. Yogyakarta: Galang Press

Haryatmoko. (2007). Etika komunikasi. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.

Hendrarti, I.M., & Herudjati. (2008). Aneka sifat kekerasan. Jakarta: PT. Indeks.

Irawanto, Budi. (1999). Fim, ideologi dan militer; hegemoni militer dalam sinema Indonesia. Yogyakarta: Media Pressindo.

Jalaluddin Rakhmat, 1994, Psikologi Komunikasi, Bandung: Remaja Rosdakarya.

Kurniawan. 2001, Semiologi Roland Barthes, Magelang : Yayasan Indonesiatera.

McQuail, Denis. 1987, Teori Komunikasi Massa, Jakarta : Erlangga.


(4)

Sobur, Alex. 2003, Psikologi umum. Bandung : Pustaka Setia

Sobur, Alex. 2002. Analisis Teks Media: Sebuah Pengantar kepada Analisis Wacana, Analisis Semiotik, dan Analisis Framing. Bandung: Remaja Rosdakarya. Sumarsana,Partana 2002, Sosiolinguistik. Michigan : Sabda bekerjasama dengan

Pustaka Pelajar.

Sunarto. (2009). Televisi, kekerasan dan perempuan. Jakarta: PT. Kompas Media.

Peraturan Komisi Penyiaran Indonesia Nomor 03/P/KPI/12/2009 tentang standar program siaran.

Poloma, Margaret,M.,2000. Sosiologi Kontemporer, Jakarta : Penerbit Rajawali Press.

Traudt, Paul, J. (2005) Media, audiences, effects an introduction to the study of media content and audience analysis. Boston: Pearson Education Inc. Undang-Undang Nomor 33 tahun 2009 tentang perfilman

Windhu Marsana. 1992. Kekuasaan dan kekerasan menurut Johan Galtung. Yogyakarta: Kanisius

Non buku :

http://id.wiki.detik.com/wiki/Tindakan_kekerasan

http://www.apakabar.ws/viewtopic.php?f=1&t=52588

http://kunci.or.id/esai/nws/04/representasi.htm


(5)

http://id.shvoong.com/books/1942088-etika-komunikasi-menipulasi-media-kekerasan/

Juliastuti, Nuraini. (2000). Representasi. Kunci Cultural

Studies Center. http://kunci.or.id/esai/nws/04/representasi.htm

http://slidemaker.com/2009/04/02/arti-warna-versi-psikologi


(6)

REPRESENTASI KEKERASAN DALAM FILM “PUNK IN LOVE” (Studi Analisis Semiotik Tentang Representasi Kekerasan Dalam Film “PUNK

IN LOVE”)

SKRIPSI

Oleh :

CLAUDITA SASTRIS PASKANONKA NPM. 063010048

YAYASAN KEJUANGAN PANGLIMA BESAR SUDIRMAN

UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “VETERAN” JAWA TIMUR FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK

SURABAYA 2010