1.2 Rumusan Masalah
Beradasarkan uraian latar belakang masalah yang telah dipaparkan di atas maka dapat dikemukakan perimusan masalah sebagai berikut :
“Bagaimana representasi kekerasan pada film “Punk in Love” yang di perankan melalui aktor-aktor utamanya ? “
1.3 Tujuan penelitian
Tujuan yang ingin dicapai peneliti dalam penelitian skripsi ini adalah untuk mengetahui Representasi kekerasan melalui aktor-aktor utama.
1.4 Manfaat penelitian
1. Secara teoritis yaitu
Hasil penelitian diharapkan dapat mnambah kajian pemikiran bagi pengembangan ilmu komunikasi terutama berkaitan dengan pengembangan studi
analisis semiotika.
2. Secara praktis yaitu
Dapat digunakan menjadi sumber informasi bagi penelitian selanjutnya. Selain itu hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan masukan kepada
khalayak untuk lebih selektif dalam memilih film yang sesuai dengan etika yang
belaku di tengah masyarakat dan juga bagi dunia perfilman indonesia agar memperhatikan etika-etika yang berlaku dalam pembuatan suatu film.
BAB II KAJIAN PUSTAKA
2.1 Landasan Teori
2.1.1 Film Sebagai Komunikasi Massa
Film juga dianggap sebagai media massa kerana ia merupakan alat yang digunakan untuk mengkomunikasikan sesuatu muatan yang mempunyai
kepentingan awam. Disamping itu, jumlah audiens nya bersifat massa, beragam dan luas.
Film sebagai alat komunikasi massa yang kedua muncul di dunia mempunyai massa pertumbuhannya pada akhir abad ke 19 dengan perkataan
lain pada waktu unsur- unsur yang merintangi perkembangan surat kabar yang dibikin lenyap. Ini berarti bahwa dari permulaan sejarahnya Film dengan lebih
mudah dapat menjadi alat komunikasi yang sejati, karena ia tidak mengalami unsur teknik, politik, ekonomi, sosial dan demografi yang merintangi kemajuan
surat kabar pada masa pertumbuhannya dalam abad ke-18 dan permulaan abad ke-19. Film mencapai masa puncaknya di antara perang dunia I dan perang
dunia II, namun merosot tajam setelah tahun 1945, seiring dengan munculnya medium televisi Oey Hong Lee dalam Sobur, 2003 : 126.
Pengertian film menurut Undang – undang nomor 33 tahun 2009 tentang perfilman, pasal 1. Film adalah karya seni budaya yang merupakan pranata
10
sosial dan media komunikasi massa yang dibuat berdasarkan kaidah sinematografi dengan atau tanpa suara dan dapat dipertunjukkan.
Film merupakan alat bagi sutradara untuk menyampaikan sebuah pesan bagi pemirsanya. Film pada umumnya juga mengangkat sebuah tema atau
fenomena yang terjadi di tengah-tengah masyarakat. Karakteristik film sebagai show bussines merupakan bentuk baru dari perkembangan pasar .Mc Quail,
1987.
2.1.2 Teori Konstruksi Realitas Sosial
Film adalah potret dari masyarakat dimana film itu dibuat. Film selalu merekam realitas yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat dan
memproyeksikannya ke dalam layar. Irawanto dalam Alex Sobur 2002 : 127. Teori realitas sosial ini diperkenalkan oleh Peter L Berger, seorang
sosiolog interpretative. Bersama Thomas Luckman, ia menulis sebuah risalat teoritis utamanya, The Social Construction Of Reality 1966. Menurut Berger,
realitas sosial eksis dengan sendirinya dan dalam mode strukturalis, dunia dan social bergantung pada manusia sebagai sumber subyeknya. Bagi berger, relitas
sosial secara objektif memang ada, tapi maknanya berasal oleh hubungan subyektif individu dengan dunia objektif. Poloma, 2000 : 299.
Tesis utama dari Berger adalah manusia dan masyarakat adalah produk yang dialektis, dinamis dan plural secara terus-menerus. Masyarakat tidak lain
adalah produk manusia, namun secara terus-menerus mempunyai aksi kembali
terhadap penghasilannya. Sebaliknya manusia aalah hasil dari produk dari masyarakat. Eriyanto, 2002 : 130.
Berger dan Luckman meringkas teori mereka dengan manyatakan realitas terbentuk secara sosial. Mereka mengakui realitas objektif, dengan
membatasi realitas sebagai kausalitas yang berkaitan dengan fenomena yang kita anggap berada diluar kemampuan kita. Menurut Berger, kita semua mencari
pengetahuan atau kepastian bahwa fenomena adalah riil adanya dan memiliki karakteristik yang khusus dalam kehidupan kita sehari-hari yang diabaikan,
yang sebenarnya merupakan realitas yang teratur dan terpola, biasanya diterima begitu saja dan non-problematis, sebab dalam interaksi-interaksi yang terpola
typified realitas sama-sama dimiliki leh orang lain. Akan tetapi berbeda dengan Garfinkel, Berger menegaskan bahwa realitas kehidupan sehari-hari
memiliki dimensi-dimensi subyektif dan obyektif manusia merupakan proses instrument dalam menciptakan realitas sosial yang obyektif melalui proses
internalisasi yang mencerminkan realitas subyektif. Dalam mode yang dialektis, berger melihat masyarakat sebagai produk manusia dan manusia
sebagai produk masyarakat.Poloma, 2000 : 301 Bagi Berger, proses dialektis dalam konstruksi realitas sosial
mempunyai tiga tahap : pertama eksternalisasi, yaitu, usaha pencurahan, ekspresi diri manusia kedalam dunia, bailk dalam Negara, mental maupun fisik.
Kedua, obyektivikasi, yaitu hasil yang telah dicapai baik mental maupun fisik dari kegiatan eksternalisasi manusia. Hasil itu menghasilkan realitas obyektif
yang bias jadi akan menghadapi penghasil itu sendiri sebagai suatu faktisitas yang berada diluar dan berlainan dari manusia yang menghasilkan. Ketiga,
internalisasi yakni penyerapan kembali dunia kedalam kesadaran sedemikian rupa sehingga subyektif individu dipengaruhi oleh struktur dunia sosial.
Berbagai macam unsur dunia yang terobyektifkan tersebut akan ditangkap sebagai gejala internal bagi kesadaran memlalui internalisasi, manusia menjadi
hasil dari masyarakat. Eriyanto, 2002 : 14 Dalam sejarah umat manusia, obyektifikasi, internalisasi dan
eksternalisasi merupakan tiga proses yang berjalan terus-menerus. Proses ini merupakan perubahan dialektis yang berjalan lambat, duluar sana tetap dunia
sosial obyektif yang membentuk individu-individu dalam arti manusia dalam produk dari masyarakatnya. Beberapa dari dunia sosial ini eksis dalam bentuk
hokum-hukum yang mencerminkan norma-norma sosial. Aspek lain dari realitas obyektif bukan sebagai realitas yang langsung dapat diketahui, tapi bisa
mempengaruhi nilai-nilai sosial. Realitas obyektif ini diinternalisir oleh anak- anak melalui proses sosialisasi dan disaat dewasa merekapun tetap
menginternalisir situasi-situasi baru yang mereka temui dalam duni sosialnya. Akan tetapi, manusi tidak seluruhnya ditentukan oleh lingkungan. Dengan kata
lain, proses sosialisasi bukan merupakan suatu keberhasilan yang tuntas manusia memiliki peluang untuk mengeksternalisasi atau secara kolektif
membentuk dunia sosial mereka. Eksternalisasi mengakibatkan terjadinya perubahan aturan sosial. Dengan demikian, masyarakat adalah produk manusia
yang tak hanya dibentuk oleh masyarakat, tapi secara sadar atau tidak telah mencoba mengunah masyarakat itu. Poloma, 2000 : 316
2.1.3 Representasi
Menurut John Fiske, yang dimaksud dengan representasi adalah sesuatu yang merujuk pada proses yang dengannya realitas disampaikan dalam
komunikasi, via kata-kata, bunyi, citra atau kombinasinya Fiske, 2004 : 282 Representasi adalah konsep yang digunakan dalam proses sosial
pemaknaan melalui sistem penandaan yang tersedia yakni dialog, tulisan, video, film, fotografi dan sebagainya. Konsep representasi bisa berubah- ubah. Selalu
ada pemaknaan baru dan pandangan baru dalam konsep representasi yang sudah pernah ada. Karena makna sendiri juga tidak pernah tetap, ia selalu berada
dalam proses negosiasi dan disesuaikan dengan situasi yang baru. Intinya adalah makna tidak inheren dalam sesuatu di dunia ini, ia selalu dikonstruksikan,
diproduksi, lewat proses representasi. Ia adalah hasil dari praktek penandaan. Praktek yang membuat sesuatu hal bermakna sesuatu Juliastuti, 2000 dalam
http:kunci.or.idesainws04representasi.htm. Menurut Stuart Hall 1997, representasi adalah salah satu praktek
penting yang memproduksi kebudayaan. Kebudayaan merupakan konsep yang sangat luas, kebudayaan menyangkut ‘pengalaman berbagi’. Seseorang
dikatakan berasal dari kebudayaan yang sama jika manusia-manusia yang ada disitu membagi pengalaman yang sama, membagi kode-kode kebudayaan yang
sama, berbicara dalam ‘bahasa’ yang sama, dan saling berbagi konsep-konsep yang sama. Bahasa adalah medium yang menjadi perantara kita dalam
memaknai sesuatu, memproduksi dan mengubah makna. Bahasa mempu melakukan semua ini karena ia beroperasi sebagai sistem representasi. Lewat
bahasa simbol-simbol dan tanda tertulis, lisan, atau gambar kita mengung- kapkan pikiran, konsep, dan ide-ide kita tentang sesuatu. Makna sesuatu hal
sangat tergantung dari cara kita ‘merepresentasikannya’. Dengan mengamati kata-kata yang kita gunakan dan imej-imej yang kita gunakan dalam
merepresenta-sikan se-suatu bisa terlihat jelas nilai-nilai yang kita berikan pada se-suatu tersebut. Untuk menjelaskan bagaimana representasi makna lewat
bahasa bekerja, kita bisa memakai tiga teori representasi yang dipakai sebagai usaha untuk menjawab pertanyaan: darimana suatu makna berasal? bagaimana
kita membedakan antara makna yang sebenarnya dari sesuatu atau suatu imej dari sesuatu? Yang pertama adalah pendekatan reflektif. Di sini bahasa
berfungsi sebagai cermin, yang merefleksikan makna yang sebenarnya dari segala sesuatu yang ada di dunia. Kedua adalah pendekatan intensional, dimana
kita menggunakan bahasa untuk mengkomunikasikan sesuatu sesuai dengan cara pandang kita terhadap sesuatu. Sedangkan yang ketiga adalah pendekatan
konstruksionis. Dalam pendekatan ini kita percaya bahwa kita mengkonstruksi makna lewat bahasa yang kita pakai. http:www.fathurin-zen.com
Menurut Stuart Hall, ada dua proses representasi. Pertama, representasi mental. Yaitu konsep tentang ‘sesuatu’ yang ada di kepala kita masing-masing
peta konseptual. Representasi mental ini masih berbentuk sesuatu yang abstrak. Kedua, ‘bahasa’, yang berperan penting dalam proses konstruksi
makna. Konsep abstrak yang ada dalam kepala kita harus diterjemahkan dalam ‘bahasa’ yang lazim, supaya kita dapat menghubungkan konsep dan ide-ide kita
tentang sesuatu dengan tanda dan simbol-simbol tertentu. Proses pertama memungkinkan kita untuk memaknai dunia dengan mengkonstruksi seperangkat
rantai korespondensi antara sesuatu dengan sistem ‘peta konseptual’ kita. Dalam proses kedua, kita mengkonstruksi seperangkat rantai korespondensi antara
‘peta konseptual’ dengan bahasa atau simbol yang berfungsi merepresentasikan konsep-konsep kita tentang sesuatu. Relasi antara ’sesuatu’, ‘peta konseptual’,
dan ‘bahasasimbol’ adalah jantung dari produksi makna lewat bahasa. http:www.fathurin-zen.com
Kosep representasi bisa berubah-ubah selalu ada pemaknaan baru dan pandangan baru dalam konsep representasi yang sudah pernah ada. Intinya
adalah makna akan inheren dalam suatu dunia ini, ia selalu di komnstrukskan, diproduksi, lewat proses representasi. Ia adalah hasil dari praktek penandaan.
Prektek yang membuat sesuatu hal bermakna sesuatu. Konsep representasi pada penelitian ini merujuk pada pengertian tentang
bagaimana seseorang, sebuah kelompok atau sebuah gagasan ditujukan dalam media massa Eriyanto, 2001 : 113. Dalam film, alat-alat representasi itu
sebuah narasi besar, cara bercerita, scenario, penikohan, dialog dan beberapa unsure lain didalamnya. Menurut Graeme Turner 1991 : 128, makna film
sebagai representasi dari realitas. Sebagai refleksi dari realitas, film sekedar memindah ke layar tanpa mengubah realitas itu. Sementara sebagai representasi
dari realitas, film membentuk dan menghadirkan kembali realitas berdasarkan kode-kode, konvoi-konvoi ada ideology kebudayaannya. Irawanto, 1999 : 15
2.1.4 Kekerasan 2.1.4.1 Definisi Kekerasan
Yang dimaksud dengan “kekerasan” disini adalah yang biasa diterjemahkan dari violence. Violence berkaitan erat dengan gabungan kata
Latin “vis” daya, kekuatan dan “latus” yang berasal dari ferre, membawa yang kemudian berarti membawa kekuatan. R. Audi “merumuskan “violence”
sebagai “serangan atau penyalahgunaan fisik terhadap seseorang atau binatang; atau serangan, penghancuran, perusakan yang sangat keras, kasar, kejam dan
ganas atas milik atau sesuatu yang secara potensial dapat menjadi milik seseorang” Windhu, 1992 : 62.
Kekerasan adalah kekuatan yang sedemikian rupa dan tanpa aturan yang memukul dan melukai bagi jiwa maupun badan, kekerasan juga mematikan
entah juga memisahkan orang dari kehidupanya. Melalui penderitaan atau kesengsaraan yang diakibatkanya, kekerasan tampak sebagai representasi
kejahatan yang diderita manusia, tetapi bisa juga ia lakukan kepada orang lain. Dalam kekerasan terkandung unsur dominasi pihak lain dalam berbagai
bentuk ; fisik, verbal, moral, psikologis atau melalui gambar. Penggunaan
kekuatan, manipulasi, fitnak, pemberitaan yang tidak benar, pengkondisian yang merugikan, kata-kata yang memojokan, dan penghinaan merupakan ungkapan
nyata kekerasan. Logika kekerasan merupakan logika kematian kerana bisa melukai tubuh, melikai secara psikologis, merugikan, dan bisa menjadi ancaman
terhadap integritas pribadi. s. Jehel, 2003 : 123
2.1.4.2 Kategori Kekerasan
Menurut Sunarto terdapat beberapa bentuk-bentuk kekerasan antara lain Sunarto, 2009 : 137
a Kekerasan fisik adalah kekerasan yang dilakukan oleh pelaku terhadap
korban dengan cara memukul, menampar, mencekik, menendang, melempar barang ke tubuh, menginjak, menlukai dengan tangan kosong, atau dengan
alatsenjata, menganiaya, menyiksa, membunuh serta perbuatan lain yang relevan.
b Kekerasan psikologis adalah kekerasan yang dilakukan oleh pelaku terhadap
mental korban dengan cara membentak, menyumpah, mengancam, merendahkan, memerintah, melecehkan, menguntit, dan memata-matai, atau
tindakan-tindakan lain yang menimbulkan rasa takut termasuk yang diarahkan kepada orang-orang dekat korban, misalnya keluarga, anak,
suami, teman, atau orang tua. c
Kekerasan seksual adalah melakukan tindakan yang mengarah ajakandesakan seksual seperti menyentuh, meraba, mencium, dan atau
melakukan tindakan-tindakan lain yang tidak dikehendaki korban, memaksa korban menonton produk pornografi, gurauan-gurauan seksual yang tidak
dikehendaki korban, ucapan-ucapan yang merendahkan dan melecehkan dengan mengarah pada aspek jenis kelamin seks korban, memaksa
hubungan hubungan seks tanpa persetujuan korban, memaksa melakukan aktivitas- aktivitas seksual yang tidak disukai, pornografi, kawin paksa.
d .Kekerasan finansial adalah tindakan mengambil, mencuri uang korban,
menahan atau tidak memberikan pemenuhan kebutuan finansial korban, mengendalikan dan mengawasi pengeluaran uang sampai sekecil-kecilnya.
e Kekerasan spiritual adalah merendahkan keyakinan dan kepercayaan
korban, memaksa korban untuk meyakini hal-hal yang tidak diyakininya, memaksa korban mempraktikkan ritual dan keyakinan tertentu.
f Kekerasan fungsional adalah memaksa melakukan sesuatu yang tidak sesuai
dengan keinginan, menghalangi atau menghambat aktivitas atau pekerjaan tertentu, memaksa kehadiran tanpa dikehendaki, membantu tanpa
dikehendaki dan lain-lain yang relevan.
2.1.4.2 Kekerasan Dalam Media
Media sering menyajikan nilai kekerasan. Disajikan sepertinya hanya sebagai berita atau informasi, disajikan dengan gaya yang indah dan dikemas
menjadi berseni, menarik. Namun di dalamnya ada terjasi nilai-nilai kekerasan. Nilai-nilai itu dapat mempengaruhi tanpa sadar masyarakat yang menontonnya.
Maka etika komunikasi mau tak mau juga harus merumuskan, mendefinidikan dan menentukan batas-batas kekerasan. Kekerasan dapat terjadi sebagai
dokumen maupun fisik. Juga semacam latihansimulasi kekerasan. Tanpa terkecuali kekerasan yang sifatnya symbol, kekerasan yang berupa sikap tidak
saling peduli masyarakat. Dalam hal ini, maka etika komunikasi diciptakan agar dapat mendukung pihak yang rentan menjadi korban kekerasan media, tanpa
terjebak bersikap represif. http:id.shvoong.com
Kekerasan dalam media dapat menyebabkan terjadinya kekerasan sosial riil. Informasi tentang kekerasan juga bias menambah kegelisahan umum
sehingga membangkitkan sikap representif masyarakat, alat penegak hukum. Haryatmoko, 2007 : 124
Kekerasan dalam
media dibedakan
menjadi tiga berdasarkan tiga tipe dunia dalam media, yaitu : Nel dalam buku Haryatmoko, 2007 : 127
1. Kekerasan – dokumen
→ Merupakan bagian dari dunia riil atau factual. Dalam kekerasan – dokumen terdapat proses gambar yang dapat
mempengaruhi psikisme pemirsa, penampilan gambar tersebt dipahami pemirsa sebagai dokumen atau rekaman fakta kekerasan. Kekerasan dalam
media dapat di representasikan melalui isinya, missal : dengan tindakan pembunuhan, pertengkaran perkelahian, tembakan bias juga dengan situasi
konflik, luka, tangisan sehingga timbul emosi yang menggambarkan perasaan yang terdalam dari diri manusia tersebut.
2. Kekerasan – fiksi
→ menunjukan kepada kepemilikan dunia yang mungkin ada, missal : kisah fiksi, film, kartun, komik dan iklan. Kekerasan yang
terdapat dalam kisah fiksi dapat menyebabkan pemirsa terutama pada anak bias meninggalkan traumatisme dan perilaku agresif. Kekerasan fiksi
menjadi berbahaya apabila member kemungkinan baru yang tidak ada dalam dunia riil.
3. Kekerasan – simulasi
→Berasal dari dunia virtual, misal : dalam permainan video, permainan on-line. Kekerasan – simulasi memiliki dampak yang
sangat besar terhadap anak-anak yaitu dapat melahirkan masalah psikologis diantaranya kemarahan, kegelisahan, kekecewaan yang lahir dari permainan
video. Ketiga bentuk kekerasan diatas sering dikondisikan sebagai kekerasan
simbolik Haryatmoko, 2007 : 127. Kekerasan simbolik berlangsung karena system informasi dan medi besar berjalan mengukuti aturan tertentu dalam
bentuk keseragaman, tuntutan reportase langsung pada kejadian, sensasionalisme, dan penempatan prioritas informasi yang penuh kepentingan
Haryatmoko, 2007 : 128.
2.1.5 Efek Media Massa Dalam Kehidupan Masyarakat
Media televisi memiliki dampak yang besar yang mempengaruhi cara berpikir hingga perilaku melalui tayangan yang dikonsumsi oleh masyarakat
setiap hari. Berbagai macam acara yang disajikan oleh berbagai macam media
memiliki dampak yang sangat luas yang berpengaruh pada berbagai aspek, sebagai berikut : psikologikal body, afektif feeling, kognitif thinking, dan
behavior action. Satu tayangan saja atau informasi di media memiliki dampak tidak hanya jangka pendek. Namun jika berbagai paparan informasi atau
tayangan tersebut dikonsumsi secara terus menerus maka akan terakumulasi pada cara berpikir hingga mendorong pada perilaku publik Traudt, 2005 : 10.
Selain dampak-dampak yang telah disebutkan diatas tadi, masyarakat dan media juga merupakan sumber pengetahuan langsung dan tak langsung. Pengetahuan
langsung merupakan berbagai pengalaman yang dialami seseorang sedangkan pengalaman tak langsung adalah berbagai sumber pengetahuan yang didapat
dari media yang diaksesnya Traudt, 2005 : 11. Misalnya saja tayangan yang mengeksploitasi tindak kekerasan yang ditayangakan beramai-ramai oleh
berbagai televisi, tidak terdapat batasan dan pengaturan jam penayangan, sehingga semua dapat menyaksikan program tersebut termasuk anak-anak.
Sehingga hal ini dapat berbahaya bagi perkembangan anak-anak. Melihat dampak media yang cukup besar, penonton sudah saatnya menjadi lebih kritis,
menelaah dan menanyakan setiap informasi atau tayangan yang ditampilkan Traudt, 2005 : 82.
Ada lima jenis media massa yang dikenal sebagai The big five of mass media yaitu televisi, film, radio, majalah dan koran dengan fungsi komunikasi
yang saling melengkapi yaitu Social function dan Individual Function.Fungsi
terhadap masyarakat Social function bersifat sosiologis sedangkan fungsi terhadap individu Individual function bersifat psikologis Sasa Djuarsa, 1993
1. Social Function Fungsi komunikasi massa terhadap masyarakat :
a. Pengawasan lingkungan
b. Korelasi antar bagian di dalam masyarakat untuk menanggapi
lingkungannya c.
Sosialisasi atau pewarisan nilai-nilai d.
Hiburan Lasswell dan wright, 1975
2. Individual function Fungsi komunikasi massa terhadap individu : a.
Pengawasan atau pencarian informasi b.
Mengembangkan konsep diri c.
Fasilitasi dalam hubungan sosial d.
Substitusi dalam hubungan sosial\ e.
Membantu melegakan emosi f.
Sarana pelarian dari ketegangan dan keterasingan g.
Bagian dari kehidupan rutin atau ritualisasi Samuel L. Becker, 1985
2.1.6 Respon Psikologi Warna
Secara visual, warna memiliki kekuatan yang mampu memengaruhi citra orang yang melihatnya. Masing-masing warna mampu memberikan respons
secara psikilogis. Molly E. Holzschlag, pakar warna dalam tulisannya Creating
Color Scheme membuat daftar mengenai kemampuan masing-masing warna ketika memberikan respons secara psikologis kepada pemirsanya sebagai
berikut:
Merah. Mencerminkan kekuatan, energi, hasrat, cinta, gairah, semangat,
dorongan, dan keinginan. Tetapi warna merah juga memiliki arti bahaya, perang, kekejaman, kekerasan, api, permusuhan, darah, dan agresif.
Merah muda pink. Mencerminkan sifat kewanitaan, kasih sayang,
cinta, romantis, keceriaan, dan keremajaan. Tetapi bisa juga berarti naif, lemah, dan merasa kekurangan.
Oranye. memiliki makna kehangatan, bersemangat, ceria,
keseimbangan, musim gugur, menimbulkan getaran, dan warna ini banyak digunakan pada beberapa situs web. Warna ini juga digunakan untuk meminta
perhatian.
Kuning. Melambangkan sinar matahari, emas, kekayaan,
keberuntungan, dan juga kehidupan. Tetapi warna ini bisa juga melambangkan ketidakjujuran, pengecut, cemburu, iri hati, pengkhianatan, penipuan,
kebohongan, resiko, dan sakit.
Hijau. Menggambarkan alam, lingkungan, kehidupan, pertumbuhan,
stabil, santai, kesuburan, dan harapan. Tetapi warna ini bisa juga berarti kecemburuan, nasib buruk, iri hati, dan dengki.
Biru. Memiliki makna kepercayaan, kesetiaan, ketenangan, kedamaian,
ketulusan, kesejukan, air, awan, harmoni, kebersihan, konservatif, percaya diri, dan penyembuhan. Warna ini merupakan warna yang aman dipakai untuk
desain. Selain itu, warna ini juga bermakna kesedihan, kedingingan, depresi, dan penurunan vitalitas.
Ungu violet. Mencerminkan kebangsawanan, perubahan, dan spiritual.
Bisa juga berarti kesombongan, keangkuhan, kejam, kasar, dan duka cita.
Coklat. Berarti tanah, bumi, netral, hangat, aman, dan perlindungan.
Bisa juga berarti kotor, tumpul, dan membosankan.
Abu-abu. Bermakna modern, cerdas, bersih, kokoh, masa depan, dan
intelektual. Bisa juga berarti umur tua, kesedihan, dan kebosanan.
Putih. Melambangkan kesucian, kebersihan, kemurnian, kesederhanaan,
damai, kebaikan, disiplin, perawan, perkawinan, musim dingin, dan salju. Bisa juga bermakna kematian budaya timur, dingin, mandul, steril, klinik, dan
hampa.
Hitam. Bermakna kekuatan, keanggunan, kemewahan, misteri,
kecanggihan, kemakmuran, kepuasan, pengalaman, tegas, keras, kokoh, dan sangat kuat. Tetapi memiliki makna negatif kematian budaya barat, takut,
setan, kesedihan, duka cita, marah, anonim, dan penyesalan. http:slidemaker.com
2.1.7 Semiotika
Secara etimologis, istilah semiotik berasal dari bahasa Yunani, semeion,yang berarti tanda Sobur, 2006 : 15. Studi tentang tanda dan cara
tanda-tanda itu bekerja dinamakan semiotika Fiske, 2006 : 60. Oleh Saussure, ilmu tentang tanda dinamainya semiology, sementara
oleh Peirce, yang lebih berkembang di Amerika, menghadirkannya dalam peristilahan semiotic. Keduanya merujuk pada kata semeion dalam bahasa
Yunani yang berarti tanda. Saussure 1974 dalam Kress Hodge, 1988 : 1 mendaulat semiology sebagai, “the science of the life of signs in society,”
sementara Peirce sendiri, mendefinisikan semiotic sebagai, “is something which stands to somebody for something in some respect or capacity.” Pateda, 2001
dalam Sobur, 2004 : 41. Semiotika adalah suatu ilmu atau metode analisis untuk mengkaji tanda.
Tanda – tanda adalah perangkat yang kita pakai dalam upaya berusaha mencari jalan di dunia ini, di tengah – tengah manusia dan bersama –sama manusia
Sobur,2003 : 15. Pada dasarnya semiotika hendak mempelajari bagaimana kemanusiaan humanity memaknai hal – hal things. Memaknai to sinify
dalam hal ini tidak dapat dicampuradukkan dengan mengkomunikasikan to communicate, dalam hal mana objek –objek itu hendak berkomunikasi, tetapi
juga mengkonstitusu system terstruktur dari tanda Barthes dalam Alex Sobur, 2003 : 15.
Didalam sejarah perkembangan semiotika, berasal dari dua induk yang memiliki dua tradisi dasar berbeda. Pertama, Charles Sanders Pierce, seorang
ahli filsuf yang hidup di peralihan abad lalu 1839-1914. Sebagai seorang filsuf dan ahli logika, Pierce berkehendak untuk menyelidiki apa dan bagaimana
proses bernalar manusia. Teori Pierce tentang tanda dilandasi oleh tujuan besar ini sehingga tidak mengherankan apabila dia menyimpulkan bahwa semiotika
tidak lan dan tidak bukan adalah sinonim bagi logika Budiman, 2005 : 33. Disisi lain, kedua terdapat pula tradisi semiotik yang dibangun
berdasarkan teori kebahasaan Ferdinand de Saussure 1857-1913 sebagai seorang sarjana linguistic di Perancis. Sebuah ilmu yang mengkaji kehidupan
tanda-tanda di dalam masyarakat. Akan menjadi bagian di psikologi sosial, sebagai konsekuensinya, psikologi general. Dan diberi nama ssemilogi akan
menunujukan hal-hal apa yang membentuk tanda-tanda, kaidah-kaidah apa yang mengendalikannya Saussure, 1966 : 16 dalam Budiman, 2005 : 35.
Semiotika mempunyai tiga bidang studi nama, yaitu : Fiske dalam buku terjemahan Iriantara dan Subandy, 2007 : 60
1. Tanda itu sendiri. Hal ini terdiri atas studi tentang berbagai tanda
yang berbeda, cara-cara tanda yang berbeda itu dalam menyampaikan makna, dan cara tanda-tanda itu terkait dengan
manusia yang menggunakannya. 2.
Kode atau system yang mengorganisasikan tanda. Studi ini mencakup cara berbagai kobe dikembangkan guna memenuhi
kebutuhan suatu masyarakat atau budaya tau untuk mengeksploitasi saluran komunikasi yang tersedia untuk mentransmisikannya.
3. Kebudayaan tempat kode dan tanda bekerja. Ini giliranya
bergantung pada pengguna kode dan tanda-tanda itu untuk keberadaan dan bentuknnya sendiri.
2.1.8 Pendekatan Semiotik Dalam Film – John Fiske
Menurut John Fiske 2004: 282, semiotika adalah studi tentang pertandaan dan makna dari sistem tanda; ilmu tentang tanda, tentang bagaimana
makna dibangun dalam “teks” media; atau studi tentang bagaimana tanda dari jenis karya apapun dalam masyarakat yang mengkomunikasikan makna.
Metode analisis semiotika ini menurut Fiske 1990: 189 tidak hanya dipusatkan pada transmisi pesan, melainkan pada penurunan dan pertukaran
makna. Penekanan di sini bukan pada tahapan proses, melainkan teks dan interaksinya dalam memproduksi dan menerima suatu kulturbudaya;
difokuskan pada peran komunikasi dalam memantapkan dan memelihara nilai- nilai dan bagaimana nilai-nilai tersebut memungkinkan komunikasi memiliki
makna. Di sisi lain, semiotika melihat bahwa pesan merupakan konstruksi tanda-tanda, yang pada saat bersinggungan dengan penerima akan memproduksi
makna Fiske, 1990: 2. Menurut John Fiske, dalam bukunya Cultural And Communication
Studies, disebutkan bahwa terdapat dua perspektif dalam mempelajari ilmu komunikasi. Perspektif yang pertama melihat komunikasi sebagai transmisi
pesan. Sedangkan perspektif yang kedua melihat komunikasi sebagai produksi
dan pertukaran makna. Berkaitan dengan penelitian ini, maka peneliti hanya akan menggunakan perspektif yang kedua, yaitu dari sisi produksi dan
pertukaran makna. Perspektif produksi dan pertukaran makna memfokuskan bahasanya
pada bagaimana sebuah pesan ataupun teks berinteraksi dengan orang-orang di sekitarnya untuk dapat menghasilkan sebuah makna. Hal ini berhubungan
dengan peranan teks tersebut dalam budaya. Perspektif ini seringkali menimbulkan kegagalan dalam berkomunikasi karena pemahaman yang
berbeda antara pengirim pesan dan penerima pesan. Meskipun demikian, yang ingin dicapai adalah signifikasinya dan bukan kejelasan sebuah pesan
disampaikan. Untuk itulah pendekatan yang berasal dari perspektif tentang teks dan budaya ini dinamakan pendekatan semiotik. Fiske, 2006 :9
Fiske Fiske, 1987 : 5. kemudian memilahnya ke dalam tiga level pengkodean tayangan di televisi, yang dalam kasus penelitian ini juga
diberlakukan pada film,antara lain: 1.
Level Pertama adalah reality realitas, kode sosialnya antara lain, appearance penampilan, dress kostum, make-up riasan,
environment lingkungan, behaviour kelakuan, speech gaya bicara, gesture gerakan, expression ekspresi, sound suara.
2. Level kedua adalah representation representasi, kode sosialnya antara
lain, camera kamera, lighting pencahayaan, editing perevisian, music musik, sound suara.
3. Level ketiga adalah ideology ideologi, kode sosialnya antara lain,
narrative narasi, conflict konflik, character karakter, action aksi, dialogue dialog, setting latar, casting pemeran. Selain itu analisis
semiotik yang dilakukan pada sinema atau film layar lebar wide screen menurut Fiske disetarakan dengan analisis film yang ditayangkan oleh
televisi. Sehingga analisis yang dilakukan pada film.
2.1.9 Kerangka Berpikir
Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan studi semiotik, mengingat
film ini meliputi simbol-simbol yang sangat komplek, baik verbal maupun non- verbal. Menurut pendekatan semiotik John Fiske analisis isi terbagi atas tiga
level yaitu level realitas, level representasi dan level ideology. Sehingga akhirnya diperoleh hasil dari interpretasi data mengenai representasi kekerasan
film ini.
Representasi kekerasan dalam
film “Punk In Love” Teori Semiotika
John Fiske
Kekerasan fisik
Kekerasan psikologis
Kekerasan seksual
Kekerasan financial Film “Punk In Love”
BAB III METODE PENELITIAN
3.1.1 Metode Penelitian
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian deskriptif kualitatif. Bogdan dan Taylor dalam Moelong, 2002 : 3 menyatakan
bahwa metode penelitian bahwa metode penelitian kualitatif mempunyai prosedur penelitian yang menghasilkan kata deskriptif berupa kata-kata lisan,
tulisan serta gambar dan bukan angka-angka dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati, pendekatan ini diarahkan pada latar dan individu tersebut secara
utuh. Alasan menggunakan menggunakan metode kualiatif ini dikarenakan pertama, menyesuaikan metode kualitatif lebih mudah. Apabila berhadapan
dengan kenyataan ganda selain itu metode ini lebih peka dan lebih dapat menyesuaikan diri dengan banyak penajaman pengaruh bersama dan terhadap
pola-pola nilai yang dihadapi Moelong, 2002 : 5. Penelitian ini menggunakan deskriptif bermaksud untuk memberikan
gambaran atau penjelasan yang lebih rinci terkait dengan permasalahan yang diajukan yaitu tentang kekerasan yang terkonstruksi dalam film “Punk In Love”.
Dalam menganalisis data, peneliti menggunaka metode semiotik. Semiotik adalah suatu ilmu atau metode analisis untuk mengkaji tanda Sobur,
31
2004 : 15. Dengan menggunakan metode semiotik, peneliti berusaha menggali realitas yang didapatkan memlalaui interpretasi simbol-simbol dan tanda-tanda
yang ditampilkan dalam film, selanjutnya akan menjadi corpus penelitian ini dan kemudian menggunakan metode penelitian analisis yang dikemukakan John
Fiske untuk merepresentasikan atau memaknai kekerasan dalam film “Punk In Love” melalui aktor-aktor utama.
3.2. Kerangka konseptual
3.2.1 Corpus
Didalam penelitian kualitatif diperlukan adanya suatu pembahasan masalah yang disebut corpus. Corpus adalah sekumpulan bahan terbatas yang
ditentukan pada perkembangannya oleh analisis kesewanangan. Corpus haruslah cukup luas untuk memberi harapan yang beralasan bahwa unsur-unsur akan
memelihara sebuah system kemiripan dan perbedaan yang lengkap, Corpus juga bersifat homogen mungkin, baik homogeny pada taraf waktu sinkroni.
Kurniawan, 2000 : 70. Keseluruhan scene dalam film ini adala 136 scene dan yang menjadi corpus dalam penelitian ini adalah 10 adegan selengkapnya ada
pada lampiran dan dialog yang merujuk pada
kekerasan fisik, kekerasan psikologis, kekerasan seksual kekerasan finansial ,kekerasan spiritual dan kekerasan
fungsional
dalam film “Punk In Love” yang di tonton dalam versi DVD. Corpus dalam penelitian ini sebagai berikut :
Kekerasan Psikologis :
Arok merendahkan Mojo karena berpamitan saat akan pergi
Yoji melakukan kekerasan psikologis terhadap grup musik dangdut
Mojo, Arok dan Almira tengah mengolok Yoji
Ketika Arok, Yoji, Mojo dan Almira ditolak di suatu klinik
Kekerasan Fisik :
Perkelahian Arok, Yoji, Mojo dan Almira dengan preman stasiun
Perkelahian Arok, Yoji, Mojo dan Almira dengan preman stasiun
Kekerasan Seksual :
Preman melakukan pelecahan seksual kepada Arok Kekerasan Finansial :
Arok merobek dan mengambil paksa pembalut untuk Almira Kekerasan Spiritual :
Ekspresi Arok saat melakukan kekerasan spiritual
Kekerasan Fungsional :
Arok, Yoji, Mojo dan Almira tengah memeras tukang sate
3.2.2. Definisi Operasional 3.2.2.1 Representasi
Representasi berasal dari kata dasar Bahasa inggris represent yang berarti bertindak sebagai perlambang atas sesuatu. Representasi juga berarti
sebagai proses dan hasil memberi makna khusus pada tanda. Oleh karena itu, yang dimaksud dengan representasi kekerasan yaitu kekerasan itu sendiri yang
dihadirkan atau diperlihatkan melalui tanda-tanda melalui aktor-aktor utama dalam film “Punk In Love” berarti.
3.2.2.2 Kekerasan
Kekerasan dalam film ini adalan kegiatan atau hal yang keras, kekuatan dan paksaan, dan tekanan suatu serangan invasi fisik ataupun integritas mental
psikologis yang dilakukan oleh tokoh-tokoh utama dalam film “Punk In Love”.
3.2.2.3 Kategori Kekerasan
Kategori kekerasan dalam film “Punk In Love” ini adalah :
a Kekerasan fisik : kekerasan dengan cara memukul, menampar, mencekik,
menendang, melempar barang ke tubuh, menginjak, melukai dengan tangan kosong, atau dengan alatsenjata, menganiaya, menyiksa, membunuh serta
perbuatan lain yang relevan yang dilakukan oleh tokoh-tokoh utama dalam film “Punk In Love”.
b Kekerasan psikologis : kekerasan yang dengan cara membentak, menyumpah,
mengancam, merendahkan, memerintah, melecehkan, menguntit, dan memata- matai, atau tindakan-tindakan lain yang menimbulkan rasa takut termasuk yang
diarahkan kepada orang-orang dekat korban, misalnya keluarga, anak, suami, teman, atau orang tua yang dilakukan oleh tokoh-tokoh utama dalam film “Punk In
Love”. c
Kekerasan seksual : kekerasan yang mengarah ajakandesakan seksual seperti menyentuh, meraba, mencium, dan atau melakukan tindakan-tindakan lain yang
tidak dikehendaki korban, memaksa korban menonton produk pornografi, gurauan- gurauan seksual yang tidak dikehendaki korban, ucapan-ucapan yang merendahkan
dan melecehkan dengan mengarah pada aspek jenis kelamin seks korban,
memaksa hubungan hubungan seks tanpa persetujuan korban, memaksa melakukan aktivitas- aktivitas seksual yang tidak disukai, pornografi, kawin paksa yang
dilakukan oleh tokoh-tokoh utama dalam film “Punk In Love”. d
.Kekerasan finansial : kekerasan dengan cara mengambil, mencuri uang, menahan atau tidak memberikan pemenuhan kebutuan finansial, mengendalikan dan
mengawasi pengeluaran uang sampai sekecil-kecilnya yang dilakukan oleh tokoh- tokoh utama dalam film “Punk In Love”.
e Kekerasan spiritual : kekerasan dengan cara merendahkan keyakinan dan
kepercayaan, memaksa untuk meyakini hal-hal yang tidak diyakininya, memaksa mempraktikkan ritual dan keyakinan tertentu yang dilakukan oleh tokoh-tokoh
utama dalam film “Punk In Love”. f
Kekerasan fungsional : kekerasan dengan cara memaksa melakukan sesuatu yang tidak sesuai dengan keinginan, menghalangi atau menghambat aktivitas atau
pekerjaan tertentu, memaksa kehadiran tanpa dikehendaki, membantu tanpa dikehendaki dan lain-lain yang relevan yang dilakukan oleh tokoh-tokoh utama
dalam film “Punk In Love”.
3.3 Unit Analisis
Unit analisis pada film ini adalah keseluruhan tanda dan lambang yang menunjukan kekerasan berdasarkan pembagian level analisis John Fiske, yang terdapat
pada aktor-aktor utama dalam film “Punk in Love”. Pembagian level tanda lambang menurut John Fiske yaitu :
1. Level Pertama adalah reality realitas, kode sosialnya antara lain,
appearance penampilan, dress kostum, make-up riasan, environment lingkungan, behaviour kelakuan, speech gaya bicara,
gesture gerakan, expression ekspresi, sound suara yang terdapat pada film “punk In Love”.
2. Level kedua adalah representation representasi, kode sosialnya antara
lain, camera kamera, lighting pencahayaan, editing perevisian, music musik, sound suara yang terdapat pada film “punk In Love”.
3. Level ketiga adalah ideology ideologi, kode sosialnya antara lain,
narrative narasi, conflict konflik, character karakter, action aksi, dialogue dialog, setting latar, casting pemeran yang terdapat pada
film “punk In Love”.
3.4 Jenis Sumber Data 3.4.1 Sumber Data Primer
Sumber data primer dalam penelitian ini adalah DVD “Punk In Love”. Format DVD dipilih karena seluruh cerita sudah terbagi kedalam 15 chapter.
Pembagian chapter-chapter ini membuat lebih mudah dalam menemukan dan mengambil data berupa gambar-gambar dalam film tersebut yang digunakan
dalam penelitian ini.
3.4.2 Sumber Data Sekunder
Data sekunder dalam penelitian ini adalah bahan-bahan tambahan dari
sumber-sumber tertulis di beberapa media seperti buku, majalah dan internet.
Sumber bahan ini dapat melengkapi informasi atau keterangan yang diperlukan sebagai data pelengkap.
3.5 Teknik Pengumpulan Data
Pengumpulan data dalam film ini dilakukan dengan teknik dokumentasi yaitu mengamati tanda-tanda yang tampak dalam film “Punk In Love” dan
melakukan studi kepustakaan untuk melengkapi data dan bahan yang dapat dijadikan referensi.
3.6 Teknik Analisis Data
Analisis data dalam penelitian ini akan dilakukan berdasarkan system tanda yang tampak pada cerita “Punk In Love” yang dapat digolongkan sebagai
kekerasan. Kemudian tanda tersebut dianalisis dengan menggunakan kerangka analisis semiotik John Fiske. Analisis ini terbagi menjadi tiga level yaitu :
1. Level reality Kode sosial yang termasuk dalam level pertama ini yaitu meliputi appearance
penampilan, dress kostum, make-up riasan, environment lingkungan, behavior perilaku, speech cara berbicara, gesture sikaptubuh, dan
expression ekspresi dalam “Film Punk In Love”.