1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Thymeleaeceae merupakan salah satu famili dari tanaman hutan tropika yang dapat menghasilkan gaharu. Famili ini memiliki kurang lebih 50 genus dan
hanya tujuh genus yang diduga mampu menghasilkan gaharu, diantaranya; Aetoxylon, Enkleia, Gyrinops, Gonystylus, Dalbergia, Wikstroemia dan Aquilaria
Whitmore 1980. Sumarna 2005 menyatakan bahwa dari ketujuh genus tersebut yang paling banyak dijumpai di Indonesia adalah jenis-jenis Aquilaria.
Penyebaran Aquilaria di Indonesia bagian barat terdiri dari spesies Aquilar ia
malacciensis, A. hirta, A. agallocha, A. beccariana, A. moszkowskii, dan A. microcarpa, sedang A. filaria, A. secundana, dan A. tomentosa tersebar pada
kawasan timur Indonesia. Tanaman ini umumnya tumbuh pada dataran rendah
sampai ketinggian 750 mdpl Hou 1960. Gaharu merupakan salah satu hasil hutan bukan kayu HHBK yang
memiliki nilai ekonomi yang tinggi, karena harga jualnya yang dapat mencapai Rp 30 jutakg untuk kualitas super Siran dan Turjaman 2010. Gaharu
diperdagangkan untuk keperluan industri parfum, kosmetik, dupakemenyan, pengawet berbagai jenis asesoris dan obat-obatan Sumarna 2005 dan juga acara
ritual keagamaan Barden et al. 2000.
Meningkatnya permintaan pasar atas komoditas ini, menyebabkan proses pencarian gaharu di hutan alam tak terkendali, disamping itu tidak semua pohon
yang dicari mengandung gaharu. Minimnya pengetahuan masyarakat dalam membandingkan tanaman yang bergaharu dan tidak bergaharu mengakibatkan
populasi tanaman penghasil gaharu semakin berkurang akibat kejadian asal tebang.
Sebagai konsekuensi penurunan populasi beberapa jenis Aquilaria, termasuk A. microcarpa telah masuk dalam kelompok tanaman yang terancam
punah sejak tahun 2004 telah masuk dalam Appendix II CITES Convention on International Trade of Endangered Species karena keberadaannya dialam telah
menurun Blanchette 2004. IUCN International Union for the Conservation of Nature and Natural Resources memberikan status rentan Vulnerable yang
berarti spesies ini sedang menghadapi risiko kepunahan di alam pada waktu yang akan datang.
Pembatasan ekspor dengan kuota merupakan salah satu kebijakan pemerintah dalam perdagangan ekspor-impor gaharu. Berdasarkan data Ditjen
PHKA Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam tahun 2010, telah ditetapkan kuota ekspor gaharu untuk jenis A. malaccensis yaitu 146,125 ton per tahun,
sedangkan untuk jenis A. filaria sebanyak 427 tontahun. Untuk memenuhi kuota yang telah ditetapkan, beberapa perkebunan telah membudidayakan gaharu.
Budidaya ini dilakukan karena tanaman penghasil gaharu di alam semakin sulit ditemukan. Selama ini, gaharu untuk ekspor berasal dari beberapa sentra produksi
gaharu yang tersebar di berbagai daerah di Indonesia seperti Kalimantan Barat,
Papua, Nusa Tenggara Barat, Kalimantan Timur, Jambi, Bengkulu, Maluku, Mataram, Lombok, Riau, Jawa Barat dan beberapa daerah lainnya.
Penanaman beberapa jenis tanaman penghasil gaharu yang dilakukan pada beberapa kawasan namun hingga tanaman berumur 10 tahun menurut
Umboh et al 1998, belum ada yang menghasilkan gaharu secara alami. Mekanisme pembentukan gaharu pada pohon penghasil gaharu hingga saat ini
masih belum begitu dipahami, namun pembentukan ini diduga merupakan bagian dari mekanisme pertahanan tanaman terhadap rangkaian patogenesis
Keeling dan Bohlmann 2006
. Pada mekanisme terinduksi, hama atau pathogen memicu tanaman untuk membentuk sistim pertahanan diantaranya melalui proses
inokulasi Agrios 1997. Sesquiterpenoid yang terdapat pada pembentukan gaharu diketahui
merupakan senyawa pertahanan tanaman tipe fitoaleksin yang diproduksi tanaman sebagai pertahanan terhadap pengaruh luar, seperti pengaruh lingkungan dan
penyakit Keeling dan Bohlmann 2006.
Metabolit sekunder atau zat ekstraktif tanaman, dapat efektif melawan patogen dan agen penyakit karena analog dengan
komponen vital tertentu dari sistim sinyal seluler, atau dapat terlibat dengan enzim vital dan menghambat jalur metabolisme Bulugahapitiya dan Musharaff
2009. Metabolit sekunder pada kayu teras dapat menjadi pertahanan tanaman terhadap agen perusak meskipun pengaruhnya sangat bervariasi pada berbagai
habitat Hills 1987. Konsentrasi metabolit sekunder ini bervariasi antar spesies, antar jaringan, antar pohon dalam spesies yang sama, maupun antar musim.
Respon yang dilakukan oleh tanaman saat terjadi interaksi dengan hama, adalah melakukan sintesis berbagai molekul toksik baik molekul protein maupun non
protein yang berfungsi sebagai perlindungan terhadap patogen Agrios 1997. Pelukaan jaringan tanaman diduga dapat menginduksi sintesis senyawa fitokimia
tertentu sebagai bentuk respon tanaman Wobbe dan Klessig 1996.
Pengembangan teknik inokulasi pada tanaman penghasil gaharu telah dilakukan oleh Ngatiman dan Armansyah 2005; Santoso et al. 2010, dengan
tujuan untuk meningkatan keberhasilan produksi gaharu. Pada beberapa penelitian, respon tanaman terhadap patogen ditunjukkan oleh adanya perubahan
dalam kandungan tanin dan fenol yang merupakan produk jalur asam sikimat Wobbe dan Klessig 1996. Namun sejauh mana proses penginokulasian buatan
ini dapat meningkatkan produk gaharu, perlu dilakukan penelitian yang menyeluruh untuk mendapatkan informasi yang tepat baik informasi karakter
fenotipe tanaman maupun karakter genotipenya guna mendapatkan karakter yang tepat bagi tanaman bergaharu.
Serangan dan infeksi patogen dalam hal ini Fusarium sp dapat mengganggu proses fisiologis yang berdampak pada perubahan morfologi
tanaman Nieamann dan Visintini 2005; Lee dan Bostock 2006. Perubahan tersebut dapat berupa gejala lokal dan gejala sistimatik Christiansen 1999.
Gejala lokal adalah gejala yang hanya terdapat di daerah inokulasi primer, yang dapat terlihat dengan melakukan pengamatan perubahan morfologi, sedangkan
gejala sistemik adalah gejala yang terjadi jauh dari daerah inokulasi sehingga pengamatannya perlu dilakukan dengan menggunakan alat bantu seperti
mikroskop disamping pengamatan molekuler.
Pengamatan karakter fenotipe tanaman dapat didasarkan pada pengamatan secara langsung baik morfologi maupun anatomi Tanksley 1983,
sedangkan penggunaan penanda molekuler dapat menggambarkan keadaan genom yang sesungguhnya Powell et al. 1996. Penanda morfologi telah banyak
digunakan dalam program dasar genetika untuk mengidentifikasi varietas, spesies, genus, maupun famili dari suatu jenis tanaman maupun program pemuliaan
tanaman. Meski demikian, terdapat beberapa kelemahan yang dimiliki penanda ini, yaitu dapat dipengaruhi lingkungan Tanksley 1983.
Penanda anatomi dapat dipelajari dengan menggunakan mikroskop untuk membedakan struktur antar organel sel. Namun penanda ini memiliki kelemahan
karena kadang sukar untuk memperoleh perbedaan antara sel terinfeksi dengan sel yang sehat. Sel yang terserang patogen atau sel yang tidak diserang patogen
kadang memiliki arsitektur sel yang sama Kunoh 1995. Untuk itu perlu dilakukan pendekatan dengan mempelajari senyawa-senyawa yang terbentuk
sebagai akibat dari pengakumulasian senyawa pertahanan tanaman. Dimana hal ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai perilaku patogen dalam sel
inang sekaligus dapat memberikan dasar pengetahuan mengenai respon fisiologi untuk penelitian selanjutnya ditingkat molekuler Kunoh 1995.
Penanda molekuler banyak diaplikasikan untuk membedakan setiap spesies tanaman melalui pembentukan genotipe tanaman yang tidak dipengaruhi
oleh lingkungan. Penanda molekuler mampu meningkatkan efisiensi seleksi dalam pemuliaan tanaman dengan cara seleksi secara tidak langsung terhadap
karakter yang diharapkan. Selain itu, marka molekuler tidak diregulasi lingkungan sehingga tidak dipengaruhi oleh kondisi dimana tanaman tersebut berada, juga
marka tersebut dapat terdeteksi pada semua tahap perkembangan tanaman Mohan et al. 1997.
1.2 Tujuan Penelitian
Penelitian ini secara umum bertujuan untuk mengetahui perbedaan karakter tanaman A. microcarpa yang berinteraksi dengan Fusarium solani dan
tanaman yang tidak menghasilkan gaharu ditinjau dari aspek morfologi, anatomi kayu dan genetika. Secara khusus tujuan penelitian adalah untuk:
1. Mengidentifikasi karakter morfologi tanaman A.microcarpa yang berinteraksi dengan F. solani
2. Menganalisis struktur anatomi kayu dan senyawa A.microcarpa yang berinteraksi dengan F. solani serta ragam senyawa yang terbentuk
3. Menentukan genotipe tanaman A. microcarpa yang berinteraksi dengan F. solani berdasarkan marka mikrosatelit
Hipotesis Penelitian
Hipotesis yang diuji dalam penelitian ini adalah: 1. Morfologi tanaman yang telah diinokulasi F. solani berbeda dengan yang
tidak diinokulasi. 2. Struktur anatomi dan kandungan senyawa A. microcarpa yang telah
diinokulasi F. solani berbeda dengan yang tidak diinokulasi . 3. Reaksi pertahanan tanaman terhadap beberapa strain F. solani, berbeda
antar individu tanaman maupun jenis F. solani akibat perbedaan genotipe tanaman.
1.3 Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat menghasilkan beberapa manfaat berupa informasi penting terkait:
1. Perbedaan karakter morfologi tanaman bergaharu, berdasarkan karakter yang diujikan.
2. Karakter struktur anatomi kayu yang diinokulasi F. solani serta informasi mengenai perbedaan kandungan senyawa kimia.
3. Genotipe tanaman yang berinteraksi dengan F. solani serta mampu menghasilkan gaharu.
Kebaruan Novelty
Kebaruaan yang dapat disampaikan dari hasil penelitian ini terkait informasi:
1. Karakter morfologi pembeda antara tanaman bergaharu, dilihat dari bentuk batang dan dauntajuk tanaman.
2. Perbedaan struktur anatomi dan perbedaan kandungan senyawa kimia A.microcarpa yang telah bergaharu dan yang tidak.
3. Genotipe tanaman bergaharu yang diinokulasi dengan F. solani.
1.4 Kerangka Pemikiran
Gaharu merupakan hasil dari pohon-pohon terinfeksi yang tumbuh di daerah tropis dan berasal dari marga Aquilaria, Gyrinops dan Gonystilus yang
keseluruhannya termasuk dalam famili Thymeleaeceae. Tanaman A. microcarpa merupakan salah satu jenis tanaman penghasil gaharu yang memiliki nilai
ekonomi yang tinggi.
Pada habitat alaminya maupun di hutan tanaman, tidak semua jenis ini akan menghasilkan gaharu, diperkirakan hanya 10 yang dapat memproduksi
resin gaharu Gibson 1977 dalam Ng et al. 1997. Namun karena nilai ekonomi gaharu tinggi, maka perburuan tanaman penghasil gaharu tidak terkendalikan
sehingga mengakibatkan populasi dari potensi tanaman ini khususnya A.microcarpa menurun.