komorbid dengan gangguan psikiatris, atau pemicu nyeri kepala yang tidak jelas yang persisten dapat membatasi efektifitas pengobatan nyeri
kepala. Obat-obatan dan terapi behavior saat ini efektif untuk ETTH tetapi kurang begitu efektif untuk CTTH. Kombinasi terapi behavior dan obat
preventif mungkin dapat memperbaiki hasil pengobatan CTTH Holroyd, 2002.
Penelitian-penelitian terdahulu mengenai mekanisme patofisiologi TTH memfokuskan pada faktor muskuler. Namun, telah menjadi lebih
nyata bahwa faktor sentral, khususnya sensitisasi sentral juga memiliki peranan yang penting Matthews, 2006.
Pada nyeri kepala, sensitisasi terdapat di nosiseptor meningeal dan neuron trigeminal sentral. Faktor-faktor miofasial dan sensitisasi perifer
dari nosiseptor memegang peranan dalam kejadian TTH episodik, sedangkan sensitisasi sentral berperan dalam TTH kronik.
Ketidakseimbangan antara faktor miofasial perifer dengan mekanisme sentral merupakan faktor dasar patogenetik sefalgia Jensen, Ehde,
Hoffman, Patterson, Czerniecki, Robnson, 2002; Sjahrir, 2008.
2.1.1. Faktor Perifer
Nyeri tekan jaringan miofasial perikranial merupakan gambaran klinis yang paling nyata pada TTH. Dianggap bahwa impuls nosiseptif dari
otot-otot perikranial mungkin dijalarkan ke kepala dan akan dirasakan sebagai nyeri kepala. Oleh karenanya jaringan miofasial memiliki peran
Universitas Sumatera Utara
penting dalam TTH. Mekanisme patofisiologi yang meningkatkan nyeri tekan ini masih belum dapat sepenuhnya dimengerti.
Mekanisme yang mungkin yang menyebabkan nyeri miofasial dan nyeri tekan meliputi Bendtsen, 2000 : 1. Sensitisasi nosiseptor miofasial;
2. Sensitisasi second order neurons pada level spinal dorsal horn trigeminal nucleus.
; 3. Sensitisasi neuron supraspinal ; dan 4. Penurunan aktifitas antinosiseptif dari struktur supraspinal.
Pada kondisi normal, nyeri miofasial dimediasi oleh serabut tipis bermielin A
δ dan serabut C tidak bermielin, dan serabut bermielin yang tebal A
α dan Aβ normalnya memediasi sensasi yang tidak berbahaya. Berbagai keadaan yang berbahaya, seperti stimulus mekanik, iskemia dan
mediator kimia dapat mengeksitasi dan mensensitisasi serabut A δ dan
serabut C, dan oleh karenanya memiliki peran dalam peningkatan nyeri tekan pada TTH Matthews, 2006
Selama bertahun-tahun dianggap bahwa kontraksi otot-otot kepala dan leher merupakan hal penting dalam perkembangan TTH,
sebagaimana terefleksi dari terminologi sebelumnya dari penyakit ini, “muscle-contraction headache”. Namun berbagai studi elektromiografi
EMG menunjukkan aktifitas otot yang normal atau hanya sedikit meninggi pada TTH. Hal ini mungkin tidak menimbulkan iskemia otot
umum. Peningkatan aktifitas otot mungkin merupakan suatu adaptasi protektif terhadap nyeri, dibandingkan sebagai penyebab nyeri Bendsten,
2000.
Universitas Sumatera Utara
Peningkatan kekerasan otot perikranial dijumpai pada penderita TTH kronik, namun hanya sedikit hubungan antara kekerasan dan
intensitas nyeri kepala. Pada penelitian oleh Rollnik dkk yang memberikan injeksi toksin botulinum dengan tujuan untuk menurunkan kekerasan otot
temporalis dinilai dengan pemeriksaan EMG dan dievalusi setelah 12 minggu, ternyata tidak ditemukan penurunan dalam nyeri kepala Rollnik,
Karst, Fink, Dengler, 2001. Selama istirahat atau olahraga, konsentrasi laktat di otot trapezius tidak berbeda antara penderita TTH kronik
dibandingkan dengan orang sehat. Namun peningkatan aliran darah yang diinduksi olahraga berkurang blunted pada penderita TTH kronik,
diinterpretasikan sebagai peningkatan vasokonstriksi simpatetik sehubungan dengan hipereksitabilitas neuron-neuron SSP Fernandez-
de-las-Penas, Bueno, Ferrando, Elliot, Cuadrado, Pareja, 2007. Peningkatan nyeri tekan perikranial mungkin disebabkan adanya
peningkatan aktifitas pada myofascial trigger points MTPs. Myofascial trigger points
adalah suatu tempat yang hyperirritable yang berhubungan dengan berkas yang rapat pada otot skeletal. Myofascial trigger points ini
memberikan respon nyeri terhadap tekanan dan regangan, dan selalu menyebabkan pola karakteristik nyeri rujukan referred pain Fernandez-
de-las-Penas dan Schoenen, 2009. Aktifitas EMG spontan ditemukan dalam nidus 1-2 mm dari seluruh MTP pada penderita TTH kronik. Diduga
MTP yang aktif menyebabkan kadar mediator kimia yang lebih tinggi, seperti bradikinin, CGRP, substansi P, serotonin, norepinefrin, dan lain-
lain, tidak hanya di sekitar MTP, namun juga di regio yang jauh yang
Universitas Sumatera Utara
bebas nyeri Shah, Danoff, Desai, Parikh, Nakamura, Philips, et.al. 2008. Bila hal ini benar, maka teori MTP aktif yang dapat menyebabkan
sensitisasi nosiseptor perifer, yang selanjutnya melalui input nosiseptif yang persisten, berkontribusi terhadap sensitisasi sentral dan kronifikasi
dari TTH. Selanjutnya kronifikasi TTH akan menimbulkan peningkatan nyeri tekan perikranial Bezov, Ashina, Jensen, Bendtsen, 2010. Couppe´
dkk menemukan bahwa trigger points TPs aktif jauh lebih sering ditemukan pada TTH kronik dibanding kontrol, dan jumlah serta intensitas
nyeri dari TPs dapat digunakan untuk membedakan kedua grup Couppe, Torelli, Fuglsang-Frederiksen, Andersen, Jensen, 2007. Trigger points
aktif multipel ditemukan pada otot temporalis, khususnya di columna anterior dan di medial perut otot muscle belly . Lokasi TPs yang aktif di
otot temporalis berhubungan dengan area otot dengan ambang nyeri tekan yang rendah, mendukung adanya hubungan antara TPs aktif
multipel dengan peta topografis sensitifitas terhadap tekanan pada wanita dengan TTH kronik Ferna´ndez-de-las-Pen˜as, Caminero, Madeleine,
Guillem-Mesado, Ge, Arendt-Nielsen, et.al., 2009. Pada penderita TTH kronik, nyeri lokal dan nyeri referal dari TPs aktif di otot temporalis
mungkin berkontribusi terhadap karakteristik nyeri pada TTH kronik Ferna´ndez-de-las-Pen˜as, Bueno, Ferrando, Elliot, Cuadrado, Pareja,
2007. Myofascial trigger points
yang aktif ditemukan di otot-otot yang dipersarafi nervus trigeminal, seperti temporalis, masseter, otot-otot
ekstraokular, dan di otot-otot yang dipersarafi oleh segmen C1-C3, seperti
Universitas Sumatera Utara
sternokleidomastoideus, suboksipital dan trapezius atas. Penderita TTH kronik memiliki MTP yang lebih banyak dibandingkan dengan orang sehat.
Hal ini menunjukkan kemungkinan peranan MTP dalam patofisiologi TTH Marcus, Scharff, Mercer, Turk,1999.
Gambar 1 di bawah ini menunjukkan bagaimana terjadinya konversi dari TTH episodik menjadi TTH kronik. Masukan nyeri yang terus
menerus dari jaringan miofasial perikranium menginduksi terjadinya sensitisasi sentral, sehingga lama kelamaan stimulus yang seharusnya
tidak menimbulkan nyeri, diterjemahkan sebagai nyeri Bezov, Ashina, Jensen, Bendtsen, 2011.
Gambar 1.
Input nosiseptif perifer yang berkelanjutan sebagai kemungkinan penyebab sensitisasi sentral dan kronifikasi nyeri kepala.
Dikutip dari : Bezov, Ashina, Jensen, Bendsten 2011
Sel imun dan glia berinteraksi dengan neuron untuk meningkatkan sensitifitas terhadap nyeri dan untuk memediasi transisi dari nyeri akut
menjadi nyeri kronik. Sebagai respon terhadap cedera, sel-sel imun diaktifasi dan sel imun di dalam darah akan menuju lokasi cedera. Sel-sel
Universitas Sumatera Utara
imun ini tidak hanya bertanggung jawab untuk mekanisme pertahanan tubuh tetapi juga menginisiasi sensitisasi nosiseptor perifer. Melalui
sintesis dan pelepasan mediator inflamasi dan interaksinya dengan neurotransmitter dan reseptornya, sel-sel imun, glia dan neuron-neuron
membentuk jaringan yang terintegrasi yang mengkoordinasikan respon imun dan memodulasi eksitabilitas jalur nyeri. Sistem imun juga akan
mengurangi sensitisasi dengan menghasilkan immune-derived analgetic dan anti inflamasi atau agen proresolusi Ren dan Dubner, 2010.
Studi oleh Hubbard dan Berkoff 1993 yang menggunakan elektroda jarum, melaporkan aktifitas EMG pada MTP meningkat secara
signifikan dibandingkan aktifitas EMG pada otot yang tidak nyeri non- tender
. Selanjutnya, aktifitas EMG pada trigger points secara signifikan lebih tinggi pada penderita TTH kronik dibandingkan dengan kontrol yang
sehat. Trigger point tersebut ternyata hanya berdiameter beberapa milimeter, yang mungkin dapat menjelaskan mengapa peningkatan
aktifitas EMG hanya dapat dideteksi sebahagian pada elektroda permukaan. Aktifitas yang terus-menerus pada beberapa motor unit
sepanjang waktu yang lama mungkin cukup untuk perkembangan nyeri miofasial dan nyeri kepala. Oleh karenanya, dapat disimpulkan bahwa
nyeri tekan miofasial tidak disebabkan kontraksi otot berlebihan yang menyeluruh sehingga menyebabkan iskemia otot, seperti yang
sebelumnya diyakini Bendsten, 2000. Ambang nyeri pain treshold pada penderita TTH dapat diteliti
menggunakan tekanan, elektrik dan termal panas dan atau dingin. Untuk
Universitas Sumatera Utara
semua modalitas stimulus, ambang deteksi nyeri, ambang toleransi nyeri dan laporan nyeri dapat dinilai. Ambang deteksi nyeri adalah kemungkinan
stimulus terendah yang menimbulkan sensasi nyeri. Ambang toleransi nyeri adalah stimulus nyeri maksimal yang dapat ditoleransi seseorang.
Studi ambang nyeri pada penderita TTH menunjukkan perbedaan antara penderita TTH episodik dan TTH kronik. Deteksi ambang nyeri tekan yang
normal ditemukan pada penderita TTH episodik pada beberapa studi Gobel, Weigle, Kropp, Soyka,1992; Jensen, Rasmussen, Pedersen,
Olesen, 1993; Bezov, Ashina, Jensen, Bendtsen, 2011. Namun pada penderita TTH kronik, berbagai studi melaporkan adanya ambang nyeri
tekan, termal dan elektrik yang lebih rendah pada regio sefalik dibandingkan kontrol. Bendsten dan Jensen juga menemukan adanya
penurunan ambang nyeri dan toleransi nyeri pada penderita TTH kronik Bezov, Ashina, Jensen, Bendtsen, 2011.
Peningkatan sensitifitas nyeri miofasial dapat merupakan akibat dari pelepasan mediator-mediator inflamasi, yang menghasilkan eksitasi
dan sensitisasi aferen sensorik perifer Bendsten, 2000. Penelitian Bo dan kawan-kawan 2008 menemukan peningkatan kadar sitokin IL-1,
TGF- β1 dan MCP-1 pada CSS penderita TTH episodik dan migren.
Peningkatan konsentrasi protein CSS yang ditemukan pada penderita nyeri kepala menunjukkan bahwa sawar darah otak mungkin agak rentan
compromised, dan peningkatan sitokin dapat merupakan perembesan melalui sawar darah otak dari plasma Bo, Davidsen, Gulbrandsen,
Dietrichs, Bovim, Stovner, et.al., 2008.
Universitas Sumatera Utara
Meskipun fungsi fisiologis sitokin di otak adalah sebagai neuromodulator dan memiliki fungsi imunologik untuk preservasi atau
restorasi hemostasis, telah diketahui bahwa sedikit saja perubahan pada kadarnya di otak yang mungkin tidak dapat diukur di CSS terkadang
dapat mengakibatkan reaksi sistemik dan sintesis sitokin perifer Rothwell, 1995. Mungkin juga bahwa faktor-faktor seperti sitokin dapat memicu
sistem trigeminovaskuler, yang dianggap sebagai bagian dari sistem pertahanan otak. Dalam memicu pelepasan neuropeptida vasoaktif dan
nosiseptif, sitokin dapat berkontribusi terhadap terjadinya nyeri kepala. Bisa juga sitokin dilepaskan oleh karena aktifasi trigeminovaskuler Bo,
Davidsen, Gulbrandsen, Dietrichs, Bovim, Stovner, et.al., 2008. Mediator-mediator kimia juga dapat mensensitisasi ujung saraf
nosiseptif. Khususnya stimulan-stimulan yang efektif untuk nosiseptor- nosiseptor otot skelet adalah substansi endogen, seperti serotonin,
bradikinin dan ion potassium. Substansi-substansi ini dapat dihasilkan melalui berbagai mekanisme. Misalnya, serotonin dilepaskan oleh platelet,
bradikinin dapat dipecah dari molekul plasma prekursornya kallin, dan potassium dapat dilepaskan dari sel-sel otot, bila kondisi patologik terjadi
penurunan pH selama iskemia, kerusakan vaskuler, dan cedera terhadap sel otot Bendsten, 2000.
2.1.2. Faktor Sentral