Penjelasan Atas Pertanyaan Lisan Anggota Komisi IX D PR RI yang diajukan dalam Rapat Kerja Tanggal 20 September 2001
11
Bank Indonesia
penguatan dan stabilnya nilai tukar rupiah secara fundamental dapat terjadi melalui terciptanya aliran masuk modal asing FDI secara signifikan yang mencerminkan kuatnya
kepercayaan investor sekaligus kestabilan nilai tukar rupiah.
Sementara itu, dalam skala mikro gejolak nilai tukar sangat mempengaruhi kinerja perbankan dan sektor riil. Kondisi finansial dari corporate dan individual bank sangat
mempengaruhi terhadap permintaan dan penawaran valuta asing di pasar dalam menjaga posisi short atau long valuta asing. Dengan demikian, meskipun situasi politik di dalam
negeri relatif membaik, namun beberapa permasalahan fundamental ekonomi baik dalam skala makro maupun mikro masih belum mengalami perubahan yang signifikan untuk
memberikan dukungan bagi tercapainya stabilitas nilai tukar rupiah.
C. Masalah Perkembangan Nilai Tukar
Pertanyaan :
1. Kami ingin menanyakan kebenaran pernyataan yang tertuang dalam laporan Triwulan II yang menyatakan bahwa: “Kondisi pasar valas yang tidak likuid, biaya hedging yang
mahal, maka kebutuhan USD dipenuhi dari pasar spot sehinga nilai tukar menjadi melemah. Hal ini terlihat dari transaksi spot yang lebih besar dari transaksi hedging”.
Jawaban : Anggota Dewan yang terhormat,
Sebagaimana dikemukakan di atas, pembentukan harga kurs rupiah terhadap USD amat ditentukan oleh seberapa kuatnya permintaan dan ketersediaan penawaran valas.
Pergerakan nilai tukar di pasar spot merupakan pembentukan harga yang dipengaruhi oleh faktor-faktor yang lebih bersifat jangka pendek. Lain halnya dengan pembentukan harga di
pasar swap, lebih dipengaruhi oleh persepsi jangka panjang yang masih diliputi ketidakpastian. Oleh karena itu, di pasar swap atau forward, pelaku pasar memperhitungkan
premi yang merupakan harga dari risiko yang akan diterimadibayar sebagai salah satu sarana lindung nilai hedging atas eksposure mata uang yang dimiliki.
Sebagaimana disebutkan di atas, pada pasar valas Jakarta terdapat perubahan komposisi transaksi pasar valas. Transaksi spot lebih tinggi dari transaksi swap pada bulan
April, Mei, dan Agustus 2001. Fenomena ini disebabkan oleh makin tingginya biaya premi bersamaan dengan makin meningkatnya kebutuhan hedging pasar. Mahalnya biaya premi
tersebut menyebabkan pertambahan transaksi hedging tidak sebesar tambahan transaksi spot. Sementara itu, semakin memburuknya kondisi neraca bank telah menurunkan
kemampuan bank-bank domestik untuk menyediakan fasilitas lindung nilai hedging. Situasi ini telah mendorong kalangan dunia usaha lebih banyak melakukan lindung nilai di pasar
swap off-shore atau melakukan fungsi lindung nilai melalui transaksi spot dengan cara membeli valuta asing lebih dini untuk kebutuhan valasnya pada waktu yang akan datang.
Dalam periode-periode tertentu hal ini mengakibatkan lonjakan volume transaksi spot melebihi volume transaksi swap.
Selanjutnya, dengan makin bergejolaknya kurs kebutuhan lindung nilai terutama dari korporasi juga semakin meningkat sehingga menyebabkan ongkos lindung nilai menjadi
semakin mahal, sebagaimana tercermin dari tingginya tingkat premi swap. Apalagi, ditambah dengan masih tingginya faktor risiko dan ketidakpastian menimbulkan ekspektasi
Penjelasan Atas Pertanyaan Lisan Anggota Komisi IX D PR RI yang diajukan dalam Rapat Kerja Tanggal 20 September 2001
12
Bank Indonesia
pelaku pasar terhadap pergerakan nilai tukar rupiah dalam jangka panjang memburuk. Hal ini terlihat pada fenomena dalam dua bulan terakhir Agustus dan September 2001, yang
menunjukkan tingginya transaksi swap dibandingkan transaksi spot. Tercatat volume transaksi spot untuk bulan Agustus dan September angka sementara 2001 masing-masing
sebesar USD14,7 miliar dan USD6,4 miliar. Sementara volume transaksi swap mencapai USD17,1 miliar dan USD9,2 miliar pada periode yang sama. Tingginya transaksi swap ini
mencerminkan tingginya kebutuhan akan hedging pada periode dua bulan terakhir. Hal ini kemungkinan terjadi karena penguatan rupiah yang terjadi belum persisten dan belum diikuti
oleh prospek jangka panjangnya, seperti tercermin dari masih tingginya premi swap dan premi risiko di Indonesia.
Pertanyaan lain mengenai masalah nilai tukar dari Sdr. Mukhtar
Pertanyaan :
2. Musibah WTC dan kurs rupiah mencapai sebesar 9.800 dari 9.000 langkah apa yang diambil Bank Indonesia?
Jawaban : Anggota Dewan yang terhormat,
Musibah serangan teroris di AS pada 11 September 2001 ini terjadi bertepatan dengan sentimen negatif di pasar valas akibat penundaan Paris Club II. Pada saat yang
bersamaan pula, kebutuhan genuine demand valas dari sektor korporasi dan beberapa BUMN cukup besar berkaitan dengan pembayaran utang luar negeri dan keperluan impor.
Dengan demikian, kuatnya tekanan permintaan tersebut ikut memberikan kontribusi dalam mendorong depresiasi nilai rupiah sehingga rupiah tidak dapat bertahan di bawah level Rp.
9000 per dollar AS. Sentimen negatif diperkirakan masih berlanjut berkaitan dengan maraknya aksi demo menentang rencana aksi militer AS terhadap Afganistan yang
dikhawatirkan mengganggu keamanan sosial dalam negeri,
Fluktuasi nilai rupiah pada akhir-akhir ini juga dipengaruhi oleh kuotasi bank-bank off-shore menyusul kekhawatiran terhadap situasi ekonomi internasional yang cenderung
memburuk. Depresiasi rupiah akhir-akhir ini juga merupakan kecenderungan global dimana pada umumnya nilai tukar mengalami depresiasi terhadap USD, kecuali Euro dan
Poundsterling, akibat kekhawatiran resesi ekonomi global akan lebih berdampak negatif pada local currency yang struktur ekonominya umumnya bertumpu pada sektor ekspor.
Sehubungan dengan itu, langkah-langkah yang telah diambil oleh Bank Indonesia adalah meredam paniknya sebagian pelaku pasar dalam negeri dengan melakukan
penjualan dollar AS untuk memberikan sinyal kepada pasar bahwa Bank Indonesia senantiasa berupaya menjaga stabilitas nilai rupiah disamping sebagai langkah untuk
membantu penyerapan kelebihan uang beredar. Sementara itu, kebijakan moneter yang berhati-hati tetap dipertahankan untuk mengurangi insentif terhadap pelarian modal ke luar
negeri. Disamping sterilisasipenjualan valas, Bank Indonesia juga memonitor pelaksanaan PBI 33 tahun 2001 guna meminimalkan ruang gerak spekulan pasar. Dalam hubungan ini,
transaksi rupiah yang dilakukan non residen wajib dilengkapi dengan dokumen pendukung penggunaan transaksi.
Penjelasan Atas Pertanyaan Lisan Anggota Komisi IX D PR RI yang diajukan dalam Rapat Kerja Tanggal 20 September 2001
13
Bank Indonesia
Pertanyaan dari Sdr. Abdullah Zainie
Pertanyaan :
3. Mengenai laporan triwulan, ada yang kurang begitu kami pahami. Depresiasi nilai tukar rupiah terkait dengan masalah besar nilai tukar. Disitu dikatakan bahwa sekarang
terdapat perubahan perilaku pasar, khususnya sektor korporasi terhadap USD yang seharusnya dipenuhi dengan transaksi forex tapi terlambat oleh dua hal yaitu yang
petama kodisi pasar derivatif yang tidak likuid dan kedua ongkos hedging premi swap yang makin mahal, akibatnya dilukiskan disini transaksi spot yang selalu lebih besar
daripada transaksi swap dalam bulan April. Sehingga permintaan USD direalisasikan dalam pasar spot. Bagaimana mengatasi masalah ini, apakah ini pure masalah
kebijakan atau peraturan dari Bank Indonesia?
Jawaban : Anggota Dewan yang terhormat,
Pergesaran transaksi valuta asing dari jenis transaksi Swap menjadi transaksi Spot pada bulan April dan Mei 2001 sebagai mana pada laporan triwulan II 2001 bukan
merupakan hal yang permanen. Pergeseran pada waktu itu disebabkan oleh meningkatnya biaya premi premi swap akibat meningkatnya tingkat risiko investasi di tanah air sejalan
dengan berbagai kerusuhan sosial serta menjelang memorandum II akhir April 2001 yang dikhawatirkan memicu kerusuhan sosial yang lebih luas. Pergeseran antara dua jenis
transaksi tersebut merupakan hal biasa dalam transaksi valuta asing antar bank di pasar valas domestik. Transaksi spot akan melebihi transaksi swap apabila kondisi pasar diliputi
sentimen negatif yang membuat pasar panic akibat meningkatnya biaya premi sebagaiman terjadi pada bulan April, Mei, dan Juli 2001. Sebaliknya, dalam kondisi pasar yang relatif
tenang transaksi spot di pasar akan cenderung melebihi transaksi swap. Pada umumnya, besarnya premi dipengaruhi oleh tingginya country risk suatu negara yang mencerminkan
tingkat risiko investasi. Namun, relatif tipisnya pasar derivatif karena belum selesainya proses restrukturisasi diduga ikut menjadi faktor yang menaikkan harga premi tersebut.
Tipisnya pasar swap dalam negeri disinyalir juga disebabkan oleh pengalihan transaksi swap dari transaksi pasar domestik ke pasar luar negeri misalnya ke Singapura
dan Hong Kong, terkait dengan pembukaan LC oleh eksportir pada perbankan di negara- negara tersebut, karena belum pulihnya kepercayaan internasional terhadap perbankan
nasional dalam mendukung transaksi eksporimpor. Dengan belum berjalan baiknya sistem intermediasi perbankan di Indonesia, counterpart dagang Indonesia lebih mempercayakan
penerbitan LC pada bank-bank internasional.
Sebagai tambahan informasi, pasar derivatif yang disinyalir mempunyai likuiditas yang terbatas juga terkait dengan kondisi secara umum bahwa restrukturisasi perbankan
selama ini masih dalam proses penyelesaian. Upaya untuk memperdalam pasar derivatif tersebut antara lain adalah dengan memperbolehkan transaksi swap ataupun forward
dengan pihak asing dengan nilai transaksi lebih dari USD3 juta namun dengan mempersyaratkan dokumen yang mendasari penggunaan transaksi tersebut, yaitu untuk
keperluan perdagangan dan investasi. Aturan Bank Indonesia tersebut adalah PBI no.33PBI2001 tanggal 12 Januari 2001 tentang Pembatasan Transaksi Rupiah dan
Pemberian Kredit Valuta Asing oleh Bank yang memang dimaksudkan untuk mengurangi Rupiah yang dipergunakan pihak asing untuk berspekulasi melalui transaksi derivatif. Hal
Penjelasan Atas Pertanyaan Lisan Anggota Komisi IX D PR RI yang diajukan dalam Rapat Kerja Tanggal 20 September 2001
14
Bank Indonesia
ini cukup efektif mengurangi transaksi valas yang tidak terkait dengan kegiatan ekonomi dan investasi di Indonesia, yang sebelumnya dipergunakan sebagai sarana spekulasi oleh
pemilik modal.
D. Masalah Akuntabilitas Pencapaian Kestabilan Nilai Rupiah