Masalah Sistem Nilai Tukar

Penjelasan Atas Pertanyaan Lisan Anggota Komisi IX D PR RI yang diajukan dalam Rapat Kerja Tanggal 20 September 2001 7 Bank Indonesia bunga yang berlebihan. Sejalan dengan itu, upaya pencapaian target uang primer akan diupayakan dengan lebih mengefektifkan instrumen lain selain SBI lelang yaitu intervensi rupiah dan sterilisasi valas. Berkaitan dengan banyaknya permintaan penurunan suku bunga pada Bank Indonesia, dapat dikemukakan bahwa suku bunga yang terjadi di pasar pada dasarnya merupakan resultante dari proses lelang yang ditentukan sendiri oleh pasar. Sementara itu, tingginya posisi suku bunga SBI ini masih diperlukan mengingat masih adanya potensi tekanan laju inflasi. Selain itu, kondisi itu juga didasari oleh masih tingginya ekspektasi pelaku pasar terhadap melemahnya nilai tukar rupiah yang tercermin dari masih tingginya posisi forward rate yang berakibat terhadap rendahnya covered interest rate differential SBI bahkan mencapai posisi yang negatif untuk suku bunga deposito. Kedua pertimbangan inilah yang mendorong Bank Indonesia untuk tidak menurunkan suku bunga SBI dalam waktu dekat ini. Dalam hubungan ini, apabila tekanan terhadap laju inflasi dan nilai tukar telah menurun secara persisten dan hambatan-hambatan dalam pemulihan ekonomi nasional dapat diatasi, maka secara bertahap Bank Indonesia dapat menurunkan suku bunga guna mendorong pertumbuhan ekonomi.

3. Pelaksanaan dan Trade-off Dalam Pengendalian Moneter

Pengendalian harga yang diarahkan pada tingkat inflasi yang rendah sering dirasakan oleh berbagai kalangan sebagai langkah yang “kurang berpihak” kepada upaya menggenjot pertumbuhan ekonomi. Karena dengan pengendalian inflasi dari sisi moneter akan berdampak pada meningkatnya suku bunga sehingga dianggap kurang dapat mendukung kelancaran dunia usaha dan menghambat proses pemulihan ekonomi. Padahal, kestabilan harga yang persisten, apabila kredibel, sebenarnya akan memunculkan “confidence” bagi para pelaku ekonomi, tanpa mereka harus bersusah payah melakukan penyesuaian biaya produksi dan di sisi konsumen pun tidak dibebani dengan harga yang terus melonjak-lonjak. Untuk itu, pengendalian inflasi oleh Bank Sentral merupakan prasyarat penting bagi terwujudnya landasan yang kokoh bagi berlangsungnya pemulihan ekonomi dalam jangka yang lebih panjang. Pengendalian inflasi oleh Bank Indonesia dengan kondisi demikian menjadi sulit dan dilematis. Di bidang fiskal, misalnya, beban pembayaran bunga obligasi variable rate semakin terasa dan menyebabkan beban fiskal meningkat sekitar Rp2 triliun setiap kenaikan 1 suku bunga SBI. Sementara itu, di bidang perbankan, kenaikan 1 suku bunga SBI akan berdampak pada bank-bank yang lemah atau bank yang masih melakukan konsolidasi dikhawatirkan akan memunculkan kembali kesulitan-kesulitan finansialnya.

B. Masalah Sistem Nilai Tukar

Anggota Dewan yang menanyakan masalah sistem nilai tukar adalah Sdr. Daniel Budi Setiawan, Sdr. Sudirman, Sdr. Anthony Zedra Abidin, Sdr. FX. Soemitro, dan Sdr. Mukhtar. Pertanyaan : 1. Nilai tukar yang bergejolak tidak dapat memberikan kepastian kepada dunia usaha. Apakah dalam hal ini Bank Indonesia dapat memberikan kepastian berapa sebenarnya nilai tukar yang akan terjadi? Penjelasan Atas Pertanyaan Lisan Anggota Komisi IX D PR RI yang diajukan dalam Rapat Kerja Tanggal 20 September 2001 8 Bank Indonesia 2. Nilai tukar sempat menguat setelah terbentuknya pemerintahan yang baru. Namun sekarang justru melemah bahkan mencapai Rp9800 per dollar. Apa langkah-langkah Bank Indonesia menghadapi hal tersebut? Kami juga tahu bahwa Bank Indonesia tidak mampu melakukan intervensi dalam jumlah besar. 3. Mengapa nilai tukar masih bergejolak? 4. Ternyata free floating justru menyengsarakan rakyat, tidak sesuai dengan teorinya. Apakah tepat free floating exchange rate diterapkan dalam negara yang mengalami krisis? Saya rasa hal tersebut perlu dikaji ulang. 5. Apakah ini sudah saatnya Bank Indonesia untuk menentukan nilai tetap yang diadjustment sehingga mereka tidak bisa main valas lagi sebagai komoditi ? Jawaban : Anggota Dewan Yang terhormat, Mengingat pertanyaan dari para anggota Dewan secara substansi terkait satu sama lain, perkenankan kami menyatukan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang diajukan. Penerapan sistem nilai tukar di Indonesia Dalam kurun waktu 30 tahun terakhir, Indonesia telah mengimplementasikan berbagai sistem nilai tukar yaitu sistem nilai tukar tetap Agustus 1971 - November 1978, sistem nilai tukar mengambang terkendali dengan pita intervensi yang makin melebar November 1978 s.d. 14 Agustus 1997 dan sistem nilai tukar mengambang 14 Agustus 1997 hingga kini. Perubahan penerapan regim nilai tukar dari satu sistem ke sistem lainnya dilakukan sejalan dengan situasi dan kondisi perekonomian Indonesia serta semakin terintegrasinya dengan perekonomian dunia. Pemaparan kronologi penerapan sistem nilai tukar diharapkan dapat memberikan pemahaman mengenai kelebihan dan kelemahan masing-masing sistem. Nilai Tukar Tetap Agustus 1971 – November 1978 Dalam pelaksanaannya, setiap sistem nilai tukar mempunyai kelebihan dan kekurangannya masing-masing. Dalam sistem nilai tukar tetap, nilai tukar dapat dipertahankan stabil dari waktu ke waktu. Untuk menjaga nilai tukar tetap pada level yang telah ditetapkan bank sentral harus secara aktif melakukan intervensi sehingga harus memiliki cadangan devisa dalam jumlah besar khususnya apabila terjadi kecenderungan permintaan valas. Di Indonesia, sistem nilai tukar tetap dengan sistem kontrol devisa pada tahun 70-an masih dimungkinkan karena pada masa itu lembaga keuangan belum berkembang, volume transaksi devisa masih relatif kecil dan pasar valuta asing belum berkembang, sehingga tekanan-tekanan terhadap nilai tukar yang membutuhkan intervensi bank sentral untuk dapat mempertahankan nilai tukar pada level tertentu relatif kecil. Dewasa ini, perekonomian nasional telah semakin terbuka terhadap perekonomian dunia, dan sektor keuangan berkembang pesat dengan berbagai instrumen keuangannya serta mobilitas arus modal semakin tinggi. Dalam kondisi demikian, di satu pihak, penerapan nilai tukar tetap akan memberikan kepastian kepada dunia usaha. Namun di lain pihak, sistem tersebut akan semakin sulit untuk dipertahankan karena dalam sistem perekonomian Penjelasan Atas Pertanyaan Lisan Anggota Komisi IX D PR RI yang diajukan dalam Rapat Kerja Tanggal 20 September 2001 9 Bank Indonesia terbuka terdapat tekanan-tekanan eksternal yang berpengaruh pada nilai tukar rupiah. Upaya mempertahankan nilai tukar rupiah pada level tertentu dimana bank sentral harus terus melakukan intervensi sehingga membutuhkan cadangan devisa yang besar yang sering kali tidak mampu menghadapi kekuatan pasar eksternal global yang sangat besar. Alternatif lain yakni penyesuaian berupa kebijakan devaluasi seperti yang pernah dilakukan beberapa kali di tahun 1970-an akan menimbulkan gejolak spekulasi besar-besaran apabila masyarakat memperkirakan Bank Sentral tidak mampu lagi mempertahankan nilai tukar. Dengan demikian, semakin sulit bagi Bank Indonesia untuk mempertahankan sistem nilai tukar tetap ini. Nilai Tukar Mengambang Terkendali November 1978 s.d. 14 Agustus 1997 Penerapan sistem nilai tukar mengambang terkendali memberikan kisaran tertentu bagi nilai tukar untuk bergerak mengikuti pasar. Dalam penerapannya, sistem mengambang terkendali dari waktu ke waktu disesuaikan dengan selisih inflasi antara Indonesia dan sekeranjang mata uang negara mitra dagang dan kompetitor Indonesia, untuk mempertahankan nilai tukar riil efektifnya Real Effective Exchange Rate. Dengan penyesuaian selisih inflasi tersebut, perkembangan nilai tukar rupiah pada masa sistem nilai tukar mengambang terkendali relatif stabil dan mudah diprediksi. Namun demikian, dengan makin berkembangnya sektor keuangan dan mobilitas modal yang tinggi, gejolak nilai tukar akan semakin membesar khususnya bila terdapat isu devaluasi. Meskipun pita kisaran intervensi telah terus menerus dilebarkan, pada akhirnya Bank Sentral tidak mampu menahan serangan spekulatif terhadap nilai tukar di awal periode krisis, karena cadangan devisa yang terbatas. Nilai tukar menjadi bergejolak dan kekuatan pasar begitu dominan sehingga menyebabkan terkurasnya cadangan devisa. Oleh sebab itu, sistem ini ditinggalkan dan kita beralih ke sistem nilai tukar mengambang. Nilai Tukar Mengambang Floating Exchange Rate Dalam sistem nilai tukar mengambang, fluktuasi sulit dihindari, misalnya nilai tukar pernah mencapai Rp. 16.000 per dolar AS pada tahun 1998, kemudian menguat Rp.6.900 per dolar AS pada Oktober 1999, namun kembali melemah menjadi Rp.7.463 per dolar AS pada Maret 2000 dan Rp.11.300 pada Juni 2001. Setelah pemerintahan baru nilai tukar sempat menguat hingga Rp.8600 per dolar AS di bulan Agustus 2001 namun masih berfluktuasi. Usaha-usaha yang dilakukan dalam rangka menjaga stabilitas nilai tukar oleh Bank Indonesia dan Pemerintah antara lain: menyerap kelebihan likuiditas di pasar uang melalui operasi pasar terbuka, melakukan sterilisasi valuta asing, membatasi transaksi rupiah antara bank dengan non-residen dan melakukan penjadwalan utang pemerintah melalui Paris Club I dan II. Dapat diinformasikan bahwa dalam sistem nilai tukar mengambang, Bank Indonesia dapat melakukan intervensi sewaktu-waktu. Bank Indonesia pada umumnya melakukan intervensi sebagai upaya menambah supply valas di pasar untuk meredam volatilitas harga yang terjadi di pasar dan bukan mengarahkan pada levelkurs tertentu. Dengan makin banyaknya tuntutan masyarakat terhadap kemungkinan menerapkan sistem nilai tukar tetap yang lebih mencerminkan adanya kepastian, patut kami sampaikan bahwa memperhatikan karakteristik struktural perekonomian serta gejolak yang mempengaruhinya, maka penerapan sistem nilai tukar tetap pada saat ini akan lebih Penjelasan Atas Pertanyaan Lisan Anggota Komisi IX D PR RI yang diajukan dalam Rapat Kerja Tanggal 20 September 2001 10 Bank Indonesia berisiko tinggi terhadap terjadinya serangan spekulatif mengingat terbatasnya cadangan devisa Bank Indonesia dan secara politis akan lebih mahal apabila dalam jangka pendek terpaksa melakukan devaluasi. Walaupun dengan menerapkan sistem mengambang terkendali, apabila faktor ketidakpastian dapat diselesaikan, maka diharapkan nilai tukar akan kembali menguat dan menjadi relatif stabil. Berdasarkan pengalaman negara-negara di dunia, suatu sistem nilai tukar yang cocok untuk suatu negara, belum tentu berhasil diterapkan di negara lainnya. Sebagai contoh, Hong Kong berhasil menjaga stabilitas perekonomiannya dengan sistem nilai tukar tetap Currency Board System, namun Argentina dengan sistem CBS-nya tidak dapat terhindar dari krisis dan saat ini perekonomiannya sedang terpuruk sehingga membutuhkan bantuan IMF. Singapura yang menerapkan sistem mengambang bebas berhasil menjaga stabilitas nilai tukar dan perekonomiannya. Oleh karena itu, keberhasilan pelaksanaan suatu sistem nilai tukar sangat tergantung kepada kondisi di masing-masing negara. Faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan nilai tukar Perkembangan nilai tukar rupiah akhir-akhir ini lebih dipengaruhi oleh tiga faktor utama. Pertama, ekspektasi jangka pendek pelaku pasar sentimen pasar yang sering tercermin pada fluktuasi jangka pendek nilai tukar. Kedua, faktor fundamental berupa laju inflasi, pertumbuhan ekonomi, dan kinerja neraca pembayaran. Ketiga, struktur mikro pasar valuta asing yaitu kondisi finansial bank dan corporate. Ketiga faktor utama tersebut saling terkait satu sama lain dan telah menimbulkan lingkaran permasalahan vicious circle baik dalam skala makro maupun mikro dan gejolak nilai tukar yang kita alami ini merupakan gejala dari permasalahan ekonomi yang kita hadapi. Dalam beberapa periode Semester I tahun 2001, nilai tukar mengalami volatilitas yang cukup tinggi. Tidak dapat dipungkiri, bahwa harapan-harapan jangka pendek pelaku pasar selama ini banyak dipengaruhi oleh ketidakstabilan situasi sosial politik risiko politik, yang oleh pelaku pasar pada umumnya dikhawatirkan dapat mengganggu kelangsungan pemulihan ekonomi risiko ekonomi ke depan. Dengan relatif stabilnya situasi sosial politik saat ini dibandingkan di masa lalu, faktor pertama yang mempengaruhi nilai tukar tersebut sentimen pasar diharapkan dapat segera teratasi. Namun, di pihak lain gejolak nilai tukar yang berlebihan di masa lalu tersebut telah menimbulkan berbagai gangguan terhadap struktur ekonomi baik dalam skala makro dan mikro. Dalam skala makro, faktor fundamental ekonomi yang terjadi dapat mempengaruhi pergerakan nilai tukar secara signifikan, misalnya, dengan memburuknya kinerja Neraca Pembayaran Indonesia. Demikian halnya kondisi fundamental yang terefleksi dari tingginya permintaan untuk pembayaran utang dan kondisi kestabilan dan kesinambungan fiskal jangka panjang dapat mempengaruhi pergerakan nilai tukar. Sementara itu, dalam jangka panjang fakor utang luar negeri swasta masih cukup tinggi dan tetap menjadi sumber utama tekanan permintaan valuta asing di pasar. Sedangkan sumber pasokan valuta asing yang berasal dari aliran modal masuk dalam bentuk investasi asing dan kembalinya modal akibat capital flight yang terjadi dalam beberapa tahun terakhir belum terealisasi. Sementara itu, meskipun neraca perdagangan mengalami surplus, namun belum memberikan sumbangan berarti terhadap ketersediaan valuta asing di dalam negeri. Dalam konteks perekonomian nasional dewasa ini, untuk dapat mempengaruhi sentimen pasar, dibutuhkan upaya peningkatan fundamental yang tercermin dari pelaksanaan program pemulihan ekonomi secara konsisten. Keberhasilan dalam bentuk Penjelasan Atas Pertanyaan Lisan Anggota Komisi IX D PR RI yang diajukan dalam Rapat Kerja Tanggal 20 September 2001 11 Bank Indonesia penguatan dan stabilnya nilai tukar rupiah secara fundamental dapat terjadi melalui terciptanya aliran masuk modal asing FDI secara signifikan yang mencerminkan kuatnya kepercayaan investor sekaligus kestabilan nilai tukar rupiah. Sementara itu, dalam skala mikro gejolak nilai tukar sangat mempengaruhi kinerja perbankan dan sektor riil. Kondisi finansial dari corporate dan individual bank sangat mempengaruhi terhadap permintaan dan penawaran valuta asing di pasar dalam menjaga posisi short atau long valuta asing. Dengan demikian, meskipun situasi politik di dalam negeri relatif membaik, namun beberapa permasalahan fundamental ekonomi baik dalam skala makro maupun mikro masih belum mengalami perubahan yang signifikan untuk memberikan dukungan bagi tercapainya stabilitas nilai tukar rupiah.

C. Masalah Perkembangan Nilai Tukar