Masalah Utang Luar Negeri

Penjelasan Atas Pertanyaan Lisan Anggota Komisi IX D PR RI yang diajukan dalam Rapat Kerja Tanggal 20 September 2001 23 Bank Indonesia

H. Masalah Utang Luar Negeri

Anggota Dewan yang menanyakan masalah utang luar negeri adalah Sdr. Anthony Zedra Abidin. Pertanyaan : Saya mengharapkan Bank Indonesia ikut memikirkan dan bertanggung jawab bagaimana agar masalah hutang luar negeri ini bisa dikurangi bebannya tidak hanya sekedar penjadwalan utang tapi juga harus ada tanggung jawab dari pihak pemberi hutang, karena menurut pendapat saya tanggung jawab itu harus oleh kedua belah pihak. Jawaban : Anggota Dewan yang terhormat, Bank Indonesia sebagai mitra Pemerintah tentunya sangat menaruh perhatian terhadap permasalahan Utang Luar Negeri Pemerintah RI, karena permasalahan ini akan membawa dampak pada berbagai sektor ekonomi baik itu sektor fiskal, sektor riil maupun sektor moneter yang menjadi fokus utama tugas Bank Indonesia. Meskipun demikian, Bank Indonesia tidak secara langsung bertanggung jawab mengenai permasalahan Utang Luar Negeri Pemerintah. Sebagai mitra pemerintah, salah satu peran Bank Indonesia dalam mencari solusi penyelesaian Utang Luar Negeri Pemerintah adalah dengan berupaya mencari sumber dana dari dalam negeri, antara lain dengan mengembangkan pasar obligasi dalam negeri obligasi pemerintah. Alternatif ini akan membantu Pemerintah dalam mengurangi ketergantungan terhadap Utang Luar Negeri. Sementara itu, sampai saat ini memang harus kita akui bahwa pemerintah RI masih mengandalkan penjadualan ulang khususnya melalui Paris Club dalam rangka mengurangi atau menyelesaikan beban utang luar negeri. Penjadualan ulang itu sendiri sangat besar pengaruhnya terhadap berkurangnya beban anggaran pemerintah dalam jangka pendek, sehingga dapat memberikan ruang gerak yang lebih leluasa bagi pemerintah untuk menata ulang ‘cash flow’nya dan memprioritaskan dana yang ada untuk pembiayaan sektor-sektor lain yang relatif lebih produktif dari pada membayar kewajiban utang yang jatuh tempo. Oleh karenanya keberhasilan penjadualan ulang beban pembayaran utang luar negeri melalui Paris Club juga merupakan hal penting dan menjadi faktor penentu keberhasilan tercapainya percepatan proses pembangunan ekonomi nasional. Dalam rangka menyelesaikan persoalan utang luar negeri ini, sebagaimana diketahui bahwa upaya-upaya yang dapat ditempuh selain melakukan ‘rescheduling’ umumnya adalah melalui cara yang lebih ‘straightforward’ yaitu ‘debt reduction’ atau alternatif lainnya yaitu melalui ‘debt conversion’. Sementara ini upaya ‘debt reduction’ bagi Pemerintah RI khususnya melalui mekanisme Highly Indebted Poor Country HIPC tampaknya memiliki peluang yang sangat kecil sekali. Berdasarkan hasil penelitian kami, Indonesia belum memenuhi beberapa indikator utama suatu negara untuk dapat dikelompokan kedalam HIPC. Disamping itu, sebelum dapat masuk kedalam kelompok HIPC, debitur yang mengajukan debt reduction terlebih dahulu harus eligible menurut aturan main dalam kerangka Paris Club dibawah Penjelasan Atas Pertanyaan Lisan Anggota Komisi IX D PR RI yang diajukan dalam Rapat Kerja Tanggal 20 September 2001 24 Bank Indonesia criteria ‘Naples Terms’, antara lain debitur harus mempunyai ‘track record’ yang baik pada Paris club dan program IMF, hanya menerima pinjaman dalam bentuk IDA saja dari World Bank dan dengan GDP per Kapita USD755. Kriteria inipun belum terpenuhi oleh Indonesia. Sampai saat ini negara-negara yang tergolong kedalam HIPC umumnya adalah negara-negara miskin di Amerika Latin seperti : Bolivia, Honduras dan Nicaragua. Sementara dua negara di ASIA yang mengikuti mekanisme ini adalah Laos dan Vietnam. Mekanisme ‘debt relief’ dilakukan juga melalui mekanisme ‘debt conversion’, diantaranya melalui Debt for Nature Swap DNS. DNS pada prinsipnya adalah salah satu upaya menghapus sebagian utang dan mengkonversi sebagian kewajiban lainya menjadi kewajiban dalam bentuk mata uang domestik untuk pembiayaan pemeliharaan konservasi alam. DNS menjadi salah satu alternatif penting mengingat jumlah utang luar negeri Indonesia yang telah mencapai sekitar USD136 miliar, suatu jumlah yang oleh banyak pihak dianggap telah melampaui ambang batas kemampuan Indonesia untuk mengembalikannya. Sementara di sisi lain kualitas konservasi alam terus merosot dan kemampuan pemerintah serta swasta dalam membiayai program pelestarian dan konservasi alam di Indonesia sangat terbatas. DNS menjadi salah satu pilihan yang menarik karena menawarkan solusi pemecahan permasalahan utang luar negeri yang menguntungkan baik bagi debitur dan NGO maupun bagi kreditur. Dilihat dari keuntungan pemulihan konservasi lingkungan dan perlunya alternatif lain untuk mengurangi beban pembayaran utang luar negeri pemerintah selain melalui rescheduling, maka DNS merupakan alternatif yang perlu dipertimbangkan untuk segera diimplementasikan di Indonesia. Negara-negara yang telah mengikuti skim ini antara lain ialah Bolivia, Ecuador, Costa Rica dan Philipina. Di Indonesia sendiri, tantangan pelaksanaan DNS terutama pada dapat tidaknya pemerintah menjalin suatu kerjasama dengan LSM mengingat sudah terbentuknya friksi antara pemerintah dan LSM yang seringkali membuat pemerintah ‘reluctant’ untuk berkerjasama dengan LSM. Dalam hal DNS ini, Bank Indonesia juga sudah terlibat dalam pembahasan awal dengan instansi terkait seperti Menko Ekuin, Menkeu, BPPN, Bappenas dan KLH. Dari hasil pertemuan tersebut telah disepakati untuk mengagendakan gagasan tersebut dalam sidang tahunan CGI yang akan diselenggarakan dalam waktu dekat ini. Saat ini Bank Indonesia juga sedang mempersiapkan kajian detail tentang kemungkinan penerapan DNS dalam rangka mengurangi beban utang luar negeri pemerintah RI.

II. PERTANYAAN MENYANGKUT BIDANG PERBANKAN A. Masalah Permodalan

Pertanyaan masalah permodalan disampaikan oleh Sdr. Abdullah Al Wahdi Pertanyaan : 1. Kebijakan-kebijakan apa yang ditempuh Bank Indonesia sehingga CAR 8 bisa teratasi dengan baik atau tidak ada rencana likuidasi 2. Bagaimana tindakan Bank Indonesia terhadap bank-bank yang dibawah CAR 8