Penjelasan Atas Pertanyaan Lisan Anggota Komisi IX D PR RI yang diajukan dalam Rapat Kerja Tanggal 20 September 2001
16
Bank Indonesia
Obligasi pemerintah yang telah tercatat dalam portofolio perdagangan tersebut dapat diperjualbelikan atau diagunkan.
Dalam kaitan ini, bagi suatu bank yang telah memindahkan obligasi rekap-nya ke dalam portofolio perdagangan dapat melakukan transaksi penjualan obligasi rekap atau
pengagunan obligasi rekap ke bank lainpihak lain untuk memenuhi kebutuhan likuiditasnya. Dalam konteks ini maka peranan program rekapitalisasi perbankan sangat penting untuk
membantu bank-bank yang membutuhkan likuiditas yakni dengan cara bank-bank dapat menjualmengagunkan Obligasi Pemerintah yang dimilikinya. Kemudahan bank-bank untuk
menjualmengagunkan Obligasi Pemerintah yang dimilikinya sangat tergantung dari tersedianya pasar sekunder yang likuid. Selain itu, untuk menciptakan kepastian bagi calon
investor pembeli Obligasi Pemerintah tersebut, maka keberadaan suatu UU Surat Utang Negara SUN sangat diperlukan.
Selain itu, mengingat obligasi pemerintah merupakan surat berharga yang berkualitas tinggi dan mudah dicairkan, maka obligasi pemerintah tersebut dapat juga
diagunkan untuk memperoleh Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek FPJP kepada Bank Indonesia dalam fungsinya sebagai Lender of Last Resort sesuai pasal 11 UU No.231999
tentang Bank Indonesia dan untuk memperoleh Fasilitas Likuiditas Intrahari FLI dalam rangka menjaga kelancaran sistem pembayaran sebagaimana tugas Bank Indonesia sesuai
pasal 15 UU No.231999. Bank-bank yang membutuhkan Fasilitas Likuiditas Intrahari FLI dan Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek FPJP dapat memperolehnya sepanjang memiliki
agunan yang cukup, berkualitas tinggi dan mudah dicairkan yakni seperti SBI dan Obligasi Pemerintah. Dengan demikian, program rekap perbankan melalui penerbitan Obligasi
Pemerintah telah menyediakan surat berharga baru yang berkualitas tinggi dan mudah dicairkan yang dapat digunakan sebagai agunan untuk memperoleh fasilitas pendanaan
jangka pendek dari bank sentral untuk mengatasi kesulitan likuiditasnya.
Sementara itu, Bank Indonesia sebagai penatausaha obligasi pemerintah central registry dengan menggunakan sistem penatausahaan tanpa warkat book entry registry
berfungsi mencatat kepemilikan, perpindahan kepemilikan, kliring setelmen dan pembayaran kupon obligasi pemerintah.
Dapat dinformasikan hampir seluruh bank-bank rekap telah aktif melakukan transaksi jual beli dan atau mengagunkan obligasi rekapnya. Sampai dengan bulan Agustus
2001, posisi obligasi pemerintah yang tercatat dalam portofolio perdagangan sebesar Rp61,2 triliun dan portofolio investasi sebesar Rp 377,3 triliun.
Bank rekap yang pernah mengagunkan obligasi rekapnya ke Bank Indonesia adalah BII sebesar Rp1,38 triliun dalam rangka pemenuhan Giro Wajib Minimum GWM bank yang
bersangkutan dari bulan Juni sampai dengan Agustus 2001 yang pada saat ini telah lunas.
F. Masalah Pemulihan Fungsi Intermediasi Perbankan
Anggota Dewan yang menanyakan masalah pemulihan fungsi intermediasi perbankan adalah Sdr. Sudirman dan Sdri. Engelina A. Pattiasina
Pertanyaan :
1. Dalam beberapa kesempatan Bank Indonesia telah melaporkan membaiknya kondisi intermediasi perbankan. Namun hal ini tidak sesuai dengan kondisi di lapangan yang
cukup memprihatinkan dimana masyarakat khususnya golongan kecil dan menengah
Penjelasan Atas Pertanyaan Lisan Anggota Komisi IX D PR RI yang diajukan dalam Rapat Kerja Tanggal 20 September 2001
17
Bank Indonesia
kesulitan untuk mendapatkan modal. Bandingkan dengan bunga obligasi rekap yang sangat besar yang menjadi tanggungan masyarakat. Kami mengharapkan agar Bank
Indonesia mendorong bank-bank agar segera mengucurkan kredit. -
Dimana letak kesalahannya ? -
Sejauh mana Bank Indonesia dan jajaran perbankan telah berusaha ? -
Bank-bank perlu lebih inovatif, sampai saat ini kucuran kredit belum kunjung tiba. Padahal mereka juga tahu bahwa 80 dana ditransfer ke pusat.
Alasan penolakan bermacam-macam seperti : -
suku bunga kredit yang tinggi -
jaminan kurang -
Padahal sementara itu modal ventura dan BPR dapat menyalurkan dengan baik. 2. Dengan tragedi WTC tampaknya dorongan pertumbuhan yang berasal dari luar ekspor
menjadi sulit diharapkan, apakah mungkin dorongan berasal dari dalam negeri sendiri? Sementara kita tahu bahwa APBN kali ini kurang memberikan stimulus.
- Bagaimana usaha Bank Indonesia mempercepat intermediasi perbankan ?
Jawaban : Anggota Dewan yang terhormat,
Mengingat kedua pertanyaan tersebut saling berkaitan, perkenankanlah kami menjawabnya sekaligus.
Sejalan dengan semakin membaiknya kepercayaan masyarakat kepada perbankan, dana pihak ketiga yang dihimpun bank umum terus menunjukkan peningkatan. Sampai
dengan akhir Agustus 2001, dana pihak ketiga yang berhasil dihimpun bank umum dari masyarakat mencapai Rp591,65 triliun, atau meningkat sebesar Rp38,41 triliun bila
dibandingkan dengan posisi pada akhir tahun 2000. Dibanding akhir tahun 2000, secara total DPK rupiah dan valas meningkat sebesar Rp26,35 triliun menjadi Rp725,46 triliun.
Sementara itu, total kredit rupiah dan valas yang telah disalurkan bank umum sampai dengan Agustus 2001 meningkat sebesar Rp17,62 triliun sehingga menjadi sebesar Rp
338,02 triliun. Data diatas merupakan data berdasarkan laporan bulanan bank umum.
Namun demikian, jumlah kredit yang disalurkan tersebut memang masih jauh lebih rendah bila dibandingkan dengan penghimpunan dana yang dilakukan. Hal ini menunjukkan
penyaluran dana yang dihimpun perbankan masih belum dilakukan secara optimal yang juga tercermin dari masih rendahnya rasio loan to deposit LDR. Nilai LDR perbankan
meskipun meningkat dari 33,19 pada Desember 2000 menjadi 33,57 pada Juli 2001, namun masih jauh lebih rendah dibanding Desember 1996 sebesar 78,31.
Dapat kami kemukakan bahwa masih rendahnya penyaluran kredit perbankan disebabkan baik oleh sisi eksternal maupun internal perbankan. Di sisi eksternal, khususnya
sektor riil, krisis yang terjadi menyebabkan kualitas finansial dunia usaha menjadi sangat rendah. Meskipun disinyalir telah terdapat permintaan kredit oleh sektor riil, perbankan
masih enggan dan selektif untuk menyalurkan dananya dalam bentuk kredit, apalagi terhadap perusahaan atau calon debitur yang tidak memiliki agunan yang memadai seperti
perusahaan kecil. Di sisi internal, keengganan perbankan untuk menyalurkan kredit dipengaruhi juga oleh proses penyesuaian terhadap ketentuan prudential banking seperti
pemenuhan modal minimum CAR dan batas maksimum pemberian kredit BMPK. Sementara itu, suku bunga tidak merupakan faktor yang dominan mempengaruhi
Penjelasan Atas Pertanyaan Lisan Anggota Komisi IX D PR RI yang diajukan dalam Rapat Kerja Tanggal 20 September 2001
18
Bank Indonesia
penyaluran kredit perbankan. Perkembangan tersebut dapat dikatakan memberi indikasi terjadinya credit crunch yaitu penurunan kredit yang perbankan enggan menyalurkan kredit.
Kecenderungan terjadinya credit crunch juga diperkuat dengan masih besarnya penyesuaian portofolio yang dilakukan oleh perbankan dari kredit ke dalam penanaman lain
seperti surat berharga obligasi, pasar uang antar bank, dan SBI.
Upaya-upaya yang telah dan sedang dilakukan untuk memulihkan fungsi intermediasi
Guna mendorong penyaluran kredit, pemerintah dan Bank Indonesia telah dan terus melakukan langkah-langkah untuk memulihkan kondisi perbankan dari krisis melalui
kebijakan perbankan yang tetap difokuskan pada kesinambungan upaya untuk mempercepat pelaksanaan program restrukturisasi perbankan. Namun demikian, mengingat
masih tingginya uncertainty dan risiko yang dihadapi oleh dunia usaha, perbankan cenderung enggan dalam menyalurkan kreditnya. Di samping itu, pelaksanaan
restrukturisasi utang dan restrukturisasi perusahaan juga masih berjalan belum sesuai yang diharapkan. Akibatnya, penyaluran kredit meskipun sudah berlangsung, tetapi masih dalam
skala yang kecil.
Dalam upaya mendorong bank-bank menyalurkan kredit, Bank Indonesia juga menerapkan pelonggaran ketentuan, diantaranya tidak mewajibkan target pencapaian
NPLs, namun target CAR 8 pada akhir tahun 2001 tetap harus dipenuhi. Di samping itu, Bank Indonesia juga terus melakukan himbauan kepada bank untuk menyalurkan dana
mereka pada Usaha Kecil Menengah UKM.
Upaya mendorong penyaluran kredit diatas telah menunjukkan kemajuan yang tercermin dari meningkatnya penyaluran kredit baru oleh perbankan, meningkatnya kredit
yang berhasil direstrukturisasi dan menurunnya NPLs yang dimiliki perbankan. Penyaluran kredit baru berdasarkan laporan Sistem Informasi Debitur SID sampai bulan Juli 2001
sebesar Rp29,2 triliun. Jumlah tersebut termasuk penerusan kredit chanelling dan konversi dari LC atau wesel ekspor yang jatuh tempo. Sementara itu, kredit yang telah
direstrukturisasi yang dilaporkan melalui Satgas Restrukturisasi Kredit sejak Desember 1998 sampai dengan Juli 2001 sebesar Rp90,8 triliun yang terdiri atas 32.187 debitur.
Sedangkan, kredit yang telah berhasil direstrukturisasi oleh BPPN sampai dengan bulan Juli 2001 adalah sebesar Rp30,29 triliun meliputi implementasi proposal restrukturisasi dan
terbayar penuh, atau menunjukkan peningkatan sebesar Rp11,93 triliun dibandingkan dengan posisi akhir tahun 2000.Sejalan dengan meningkatnya kredit yang berhasil
direstrukturisasi, rasio NPLs yang dimiliki perbankan membaik sebesar 3,0 dibanding posisi akhir Desember 2000 sehingga menjadi 15,78.
Pertanyaan dari Sdr. Sudirman
Pertanyaan :
3. Apakah ada upaya dari Bank Indonesia agar sektor perbankan menjadi inovatif dalam memberikan kredit. Hal ini mengingat di Jawa Timur hampir 80 dana masyarakat yang
dihimpun perbankan di transfer ke pusat. Mereka juga memakai suku bunga pinjaman yang tinggi dengan alasan macam-macam. Mohon penjelasan.
Jawaban :
Penjelasan Atas Pertanyaan Lisan Anggota Komisi IX D PR RI yang diajukan dalam Rapat Kerja Tanggal 20 September 2001
19
Bank Indonesia
Anggota Dewan yang terhormat,
Dalam melakukan fungsi pengawasan perbankan, Bank Indonesia mewajibkan bank agar melakukan kegiatan usaha dengan menempuh cara-cara yang tidak merugikan bank
dan kepentingan nasabah yang mempercayakan dananya kepada bank. Disamping itu, Bank Indonesia juga mewajibkan bank agar memiliki Kebijakan Perkreditan yang bertujuan
mengoptimalkan pendapatan dan mengendalikan risiko bank dengan cara menerapkan asas-asas perkreditan yang sehat.
Secara umum, faktor-faktor yang perlu dipertimbangkan oleh bank dalam melakukan kegiatan penyediaan dana mencakup faktor internal antara lain meliputi strategi usaha
bank, ketersediaan danalikuiditas, serta kapasitas permodalan dan faktor eksternal antara lain meliputi karakter dan kelayakan usaha calon debitur serta iklim dan tren industri.
Sebagai lembaga intermediasi, bank diharapkan dapat mengerahkan dan memobilisasi dana untuk menggerakkan sektor perekonomian. Namun, dalam berbagai
kasus terdapat kecenderungan bank-bank di suatu daerah tertentu beroperasi sebagai funding vehicle, yaitu melakukan pengerahan dana pihak ketiga di daerah operasionalnya
dan menyalurkan dananya ke kantor pusat atau daerah lainnya. Hal ini dapat disebabkan oleh berbagai faktor antara lain:
- Kebijakanstrategi usaha bank yang memfokuskan pada pembiayaan kepada industrisektor tertentu maupun kepada debitur ritel vs. korporasi;
- Kebijakan internal bank yang memungkinkan kantor bank melakukan penempatan dana
antar kantor dengan suku bunga mendekati suku bunga pasar, sehingga memudahkan kantor bank mengelola dananya dengan risiko yang minimum;
- Perbedaan tingkat
risk and return di setiap daerah yang menyebabkan dana mengalir ke daerah yang menjanjikan return yang tinggi dengan risiko yang dapat ditolerir.
Namun, perlu dicermati bahwa dalam prakteknya seringkali pembiayaan kepada debitur tertentu umumnya korporasi besar di suatu daerah tertentu tidak dilakukan oleh
kantor bank setempat, namun langsung disediakan oleh kantor pusat sehingga merupakan portofolio kantor pusat. Hal ini terkait erat dengan kebijakan perkreditan bank yang
membatasi wewenang pemutusan kredit oleh kantor-kantor bank di daerah. Oleh karena itu, portfolio tersebut pencatatannya dilakukan di kantor pusat bank, bukan di daerah
G. Masalah Pengembangan Usaha Kecil